• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.6. Epidemiologi Penyakit ISPA

2.6.2. Determinan Penyakit ISPA

Proses terjadinya penyakit disebabkan adanya interaksi antara agent atau faktor penyebab penyakit, manusia sebagai pejamu atau host dan faktor lingkungan yang mendukung (environment). Ketiga faktor tersebut dikenal sebagai trias penyebab penyakit. Berat ringannya penyakit yang dialami amat ditentukan oleh sifat- sifat dari mikroorganisme sebagai penyebab penyakit seperti : patogenitas, virulensi, antigenitas, dan infektivitas. 15

Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA) seperti Faringitis dan Tonsilitis akut dapat disebabkan oleh karena infeksi virus, bakteri ataupun jamur. Setengah dari infeksi ini disebabkan oleh virus yakni virus influenza, parainfluenza, adeno virus, respiratory sincytial virus dan rhino virus.18

b. Faktor Host (Pejamu) b.1. Umur

Umur mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk terjadinya ISPA. Oleh sebab itu kejadian ISPA pada bayi dan anak balita akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang dewasa. Kejadian ISPA pada bayi dan balita akan memberikan gambaran klinik yang lebih berat dan jelek, hal ini disebabkan karena ISPA pada bayi dan anak balita umumnya merupakan kejadian infeksi pertama serta belum terbentuknya secara optimal proses kekebalan secara alamiah. Sedangkan orang dewasa sudah banyak terjadi kekebalan alamiah yang lebih optimal akibat pengalaman infeksi yang terjadi sebelumnya.12

Hasil survei kesehatan Rumah tangga (SKRT) tahun 1992 menunjukkan prevalensi ISPA untuk bayi 42,4% dan anak umur 1-4 tahun 40,6% sedangkan Case Spesific Death Rate (CSDR) karena ISPA pada bayi 21% dan untuk anak 1-4 tahun 35%.19

b.2. Jenis Kelamin

Berdasarka hasil penelitian dari berbagai negara termsuk Indonesia dan berbagai publikasi ilmiah, dilaporkan berbagai faktor risiko yang meningkatkan insiden ISPA adalah anak dengan jenis kelamin laki-laki. 5

Berdasarkan hasil penelitian Ruli Handayani Kota Palembang Tahun 2004, dengan desain Prospectice Cohort Study berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian gangguan saluran pernafasan diperoleh p value = 0,089 dan diperoleh nilai Relative Risk (RR) 1,77 (CI 95% : 1,162-2,716) artinya risiko anak laki-laki terkena gangguan saluran pernafasan sebesar 1,77 dibandingkan dengan anak perempuan.20

b.3. Status Gizi

Salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi anak adalah makanan dan penyakit infeksi yang mungkin diderita oleh anak. Anak yang mendapat makanan baik tetapi sering diserang penyakit infeksi dapat berpengaruh terhadap status gizinya. Begitu juga sebaliknya anak yang makanannya tidak cukup baik, daya tahan tubuhnya pasti lemah dan akhirnya mempengaruhi status gizinya. Gizi kurang menghambat reaksi imunologis dan berhubungan dengan tingginya prevalensi dan beratnya penyakit infeksi.21

Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting untuk terjadinya penyakit infeksi. Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai cukup kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap infeksi. Jika keadaan gizi menjadi buruk maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun yang berarti kemampuan tubuh mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menjadi turun. Oleh karena itu, setiap bentuk gangguan gizi sekalipun dengan gejala defisiensi yang ringan merupakan pertanda awal dari terganggunya kekebalan tubuh terhadap penyakit infeksi. 22

Hasil penelitian Calvin S di wilayah puskesmas Curug Kabupaten Tangerang (2004), dengan desain cross sectional, berdasarkan hasil analisis bivariat menujukkan

ada hubungan antara status gizi anak balita dengan penyakit ISPA diperoleh nilai p = 0,001 dan Ratio Prevalens 5,980 (CI 95%; 2,090-17,111). Artinya balita yang mempunyai status gizi tidak baik merupakan faktor resiko untuk terjadinya ISPA. 23 b.4. Berat Badan Lahir

Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu berat lahir yang kurang dari 2500 gram.24 BBLR membawa akibat bagi bayi berupa : daya tahan terhadap penyakit infeksi rendah, pertumbuhan dan perkembangan tubuh lebih lamban, tingkat kematian lebih tinggi dibanding bayi yang lahir dengan berat badan cukup. 22

Bayi dengan BBLR sering mengalami penyakit gangguan pernafasan, hal ini disebabkan oleh pertumbuhan dan pengembangan paru yang belum sempurna dan otot pernafasan yang masih lemah.24

b.5. Status ASI Eksklusif

ASI (Air Susu Ibu) merupakan makanan bayi yang paling sempurna, bersih dan sehat serta praktis karena mudah diberikan setiap saat. ASI dapat mencukupi kebutuhan gizi bayi untuk tumbuh kembang dengan normal sampai berusia 6 bulan). ASI Eksklusif adalah pemberian ASI saja kepada bayi sampai umur 6 bulan tanpa memberikan makanan/cairan lain.26

ASI mengandung gizi yang cukup lengkap dan mengandung imun untuk kekebalan tubuh bayi. Keunggulan lainnya, ASI disesuaikan dengan sistem pencernaan bayi sehingga zat gizi cepat terserap. Berbeda dengan susu formula atau makanan tambahan yang diberikan secara dini pada bayi. Susu formula sangat susah diserap usus bayi sehinnga dapat menyebabkan susah buang air besar pada bayi.

Proses pembuatan susu formula yang tidak steril menyebabkan bayi rentan terkena diare. Hal ini akan menjadi pemicu terjadinya kurang gizi pada anak dan akibat dari kurang gizi anak lebih mudah terserang penyakit infeksi. 26

Berdasarkan hasil penelitian Agustama (2008) di Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang (2005) dengan desain cross sectional, berdasarkan hasil analisis bivariat antara status ASI eksklusif dengan penyakit ISPA diperoleh nilai p=0,000, Ratio Prevalens 0,2 (di Kota Medan) sedangkan di Kabupaten deli Serdang RP=0,5. Artinya ASI Eksklusif bukan merupakan faktor resiko untuk terjadinya ISPA. 27

b.6. Status Imunisasi

Imunisasi berasal dari kata imun yang berarti kebal atau resisten. Anak yang diimunisasi berarti diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Dalam imunologi, kuman atau racun kuman (toksin) disebut sebagai antigen. Imunisasi merupakan upaya pemberian ketahanan tubuh yang terbentuk melalui vaksinasi.28

Imunisasi bermamfaat untuk mencegah beberapa jenis penyakit infeksi seperti, Polio, TBC, difteri, pertusis, tetanus dan hepatitis B. Bahkan imunisasi juga dapat mencegah kematian dari akibat penyakit-penyakit tersebut. Sebagian besar kasus ISPA merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, penyakit yang tergolong ISPA yang dapat dicegah dengan imunisasi adalah difteri, dan batuk rejan.

Anak balita yang telah memperoleh imunisasi yang lengkap sesuai dengan umurnya otomatis sudah memiliki kekebalan terhadap penyakit tertentu maka jika ada kuman yang masuk ketubuhnya secara langsung tubuh akan membentuk antibodi terhadap kuman tersebut.28

Berdasarkan penelitian Munjiah di Kecamatan Inderalaya Kabupaten Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan (2002) dengan desain case control, berdasarkan analisis bivariat menunjukkan ada hubungan antara status imunisasi dengan penyakit ISPA diperoleh p = 0,047 dan OR 3,67 (CI 95%; 0,596-14,070) yang berarti bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi tidak lengkap kemungkinan untuk mendapatkan penyakit gangguan saluran pernafasan 3,67 kali dibandingkan dengan bayi dan balita dengan status imunisasi lengkap.25

c. Faktor Lingkungan (Environment) c.1. Kepadatan Hunian Ruang Tidur

Berdasarkan KepMenkes RI No.829 tahun 1999 tentang kesehatan perumahan menetapkan bahwa luas ruang tidur minimal 8m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah umur 5 tahun. Bangunan yang sempit dan tidak sesuai dengan jumlah penghuninya akan mempunyai dampak kurangnya oksigen didalam ruangan sehingga daya tahan penghuninya menurun, kemudian cepat timbulnya penyakit saluran pernafasan seperti ISPA.29

Kepadatan di dalam kamar terutama kamar balita yang tidak sesuai dengan standar akan meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan oleh pengeluaran panas badan yang akan meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pernapasan tersebut. Dengan demikian, semakin banyak jumlah penghuni ruangan tidur maka semakin cepat udara ruangan mengalami pencemaran gas atau bakteri. Dengan banyaknya penghuni, maka kadar oksigen dalam ruangan menurun dan diikuti oleh peningkatan

CO2 ruangan dan dampak peningkatan CO2 ruangan adalah penurunan kualitas udara dalam ruangan.29

Hasil penelitian Calvin S di wilayah puskesmas Curug Kabupaten Tangerang (2004), dengan desain cross sectional, berdasarkan hasil analisis bivariat menujukkan ada hubungan antara kepadatan hunian ruang tidur anak balita dengan penyakit ISPA diperoleh nilai p = 0,004 dan Ratio Prevalens 4,930 (CI 95%; 1,682-14,451). Artinya balita yang tinggal dalam rumah dengan padat penghuni merupakan faktor resiko untuk terjadinya ISPA. 23

c.2. Penggunaan Anti Nyamuk Bakar

Penggunaan anti nyamuk sebagai alat untuk menghindari gigitan nyamuk dapat menyebabkan gangguan saluran pernafasan karena menghasilkan asap dan bau tidak sedap. Adanya pencemaran udara di lingkungan rumah akan merusak mekanisme pertahanan paru-paru sehingga mempermudah timbulnya gangguan pernafasan.

Hasil penelitian Calvin S di wilayah puskesmas Curug Kabupaten Tangerang (2004), dengan desain cross sectional, berdasarkan hasil analisis bivariat menujukkan ada hubungan antara Pemakaian anti nyamuk bakar dengan penyakit ISPA pada anak balita diperoleh nilai p = 0,000 dan Ratio Prevalens 4,930 (CI 95%; 1,342-16,115). Artinya balita yang tinggal dalam rumah yang menggunakan obat nyamuk bakar merupakan faktor resiko untuk terjadinya ISPA.23

c.3. Bahan Bakar Untuk Memasak

ISPA merupakan penyakit yang paling banyak di derita anak-anak. Salah satu penyebab ISPA adalah pencemaran kualitas udara di dalam ruangan seperti pembakaran bahan bakar yang digunakan untuk memasak dan asap rokok.

Berdasarkan penelitian Safwan di puskesmas Alai Kota Padang Sumatera Barat (2003), dengan menggunakan desain case control, berdasarkan analisis bivariat hubungan bahan bakar minyak tanah/kayu bakar dengan kejadian ISPA pada balita diperoleh nilai p = 0,012 dan Odds Ratio 2,24 (CI 95%; 1,221-4,089). Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara kepadatan hunian ruang tidur dengan kejadian ISPA pada balita. Niali OR sebesar 2,24 artinya balita yang dirumahnya menggunakan bahan bakar minyak tanah/kayu bakar berpeluang menderita ISPA sebesar 2,24 kali lebih banyak dibanding dengan balita yang dirumahnya menggunakan bahan bakar gas.30

c.4. Keberadaan Perokok

Rokok bukan hanya masalah perokok aktif tetapi juga perokok pasif. Asap rokok terdiri dari 4.000 bahan kimia, 200 diantaranya merupakan racun antara lain Carbon Monoksida (CO), Polycyclic Aromatic Hidrocarbons (PAHs) dan lain-lain.

Berdasarkan hasil penelitian Pradono dan Kristanti (2003), secara keseluruhan prevalensi perokok pasif pada semua umur di Indonesia adalah sebesar 48,9% atau 97.560.002 penduduk. Prevalensi perokok pasif pada laki-laki 32,67% atau 31.879.188 penduduk dan pada perempuan 67,33% atau 65.680.814 penduduk. Sedangkan perokok aktif pada laki-laki umur 10 tahun ke atas adalah sebesar 54,5%, pada perempuan 1,2%.

Prevalensi perokok pasif pada balita sebesar 69,5 %, pada kelompok umur 5-9 tahun sebesar 70,6% dan kelompok umur muda 10-14 tahun sebesar 70,5%. Tingginya prevalensi perokok pasif pada balita dan umur muda disebabkan karena mereka masih tinggal serumah dengan orangtua ataupun saudaranya yang merokok dalam rumah. 31

Berdasarkan penelitian Safwan di puskesmas Alai Kota Padang Sumatera Barat (2003), dengan menggunakan desain case control, berdasarkan analisis bivariat hubungan kebiasaan perokok dengan kejadian ISPA pada balita diperoleh nilai p = 0,031 dan OR 1,81 (CI 95%; 1,085-2,996). Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara kepadatan hunian ruang tidur dengan kejadian ISPA pada balita. OR 1,81 artinya balita yang tinggal dirumah yang anggota keluarganya mempunyai kebiasaan merokok dalam rumah berpeluang menderita ISPA sebesar 1,81 kali lebih banyak dibanding dengan balita yang anggota keluarganya tidak merokok didalam rumah.30

Dokumen terkait