• Tidak ada hasil yang ditemukan

Macro & Micro National

DI EMPAT KABUPATEN DI BALI: Pendekatan Pemodelan Persamaan Struktural

(Structural Equation Modelling)

Pada bab sebelumnya telah ditunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara tingkat rasa percaya, kepadatan jaringan kerja dan norma saling bantu masyarakat di wilayah belum berkembang dan wilayah maju. Hasil analisis tersebut sesuai dengan pendapat Knack dan Keefer (1997) yang menyatakan bahwa modal sosial memang sangat bervariasi dan berbeda-beda antar wilayah demikian pula dengan dampaknya. Oleh karenanya, keterkaitan modal sosial tidak dapat diberlakukan secara umum dan menjadi blue print bagi seluruh wilayah. Peranan modal sosial, khususnya rasa percaya, akan lebih dirasakan oleh masyarakat di wilayah-wilayah miskin (Rothstein, 2004).

Bab ini mencoba melakukan kajian empiris terhadap komponen dominan yang membangun modal sosial di Bali. Secara rinci struktur bab ini menggambarkan hal-hal sebagai berikut: (1) penentuan indikator modal sosial dominan di tingkat individu (tingkat mikro) yang bertempat tinggal di wilayah belum berkembang (undeveloped) dan wilayah maju (developed region), serta (2) penentuan indikator modal sosial dominan di tingkat kelompok (tingkat meso) terutama pada komunitas pertanian (subak), banjar/desa pakraman dan kepariwisataan (PHRI, Asita dan HPI). Pengelompokan tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa keragaman karakteristik antar berbagai komunitas maupun antar wilayah akan berpengaruh terhadap modal sosial.

Seperti telah dinyatakan dalam bab metodologi penelitian, indikator kebaikan model yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai chi square, root mean square residual (RMSE) dan adjusted goodness of fit index (AGFI). Hasil analisis komponen dominan modal sosial yang dibangun berdasarkan model umum untuk Bali, menunjukkan bahwa model tersebut cukup valid (nilai RMSE lebih kecil dari 0.08 dan nilai AGFI lebih besar dari 0.8). Namun, nilai chi square nyata (lebih kecil dari 0.05) menunjukkan model kurang fit (kurang sesuai) dengan data empiris. Kekurangsesuaian model dengan data membutuhkan sikap kehati-hatian dalam pengambilan kesimpulan mengenai kontribusi masing-masing variabel tersebut. Salah satu penyebab kekurangsesuaian model dengan data

empiris adalah keragaman karakteristik sosial ekonomi di wilayah penelitian sehingga nilai masing-masing indikator akan cenderung saling meniadakan.

Berdasarkan model umum tersebut, rasa percaya ternyata merupakan satu-satunya variabel yang nyata. Secara umum, Putnam (1995) dan Fukuyama (1999) memang menyatakan bahwa rasa percaya adalah bagian terpenting dari modal masyarakat untuk berdemokrasi secara sehat. Di Bali, seluruh indikator (peubah manifes) rasa percaya memberi pengaruh nyata kecuali thin trust. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa semakin kuat rasa percaya pada sesama etnis (thick trust), rasa percaya pada pengelola pemerintahan, rasa percaya pada penyelenggara keamanan dan rasa percaya pada penyelenggara pendidikan, akan memperkuat variabel laten rasa percaya dan akhirnya memperkuat modal sosial.

Komponen Modal Sosial di Tingkat Mikro:

Modal Sosial Individu di Wilayah Belum Berkembang dan Wilayah Maju Uji signifikansi terhadap pengaruh indikator modal sosial secara keseluruhan dilakukan dengan analisis peubah ganda (analisis multivariate). Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai T2 Hotelling nyata (F = 1421.688, probabilitas = 0.000) yang berarti secara keseluruhan, nilai indikator modal sosial di wilayah maju lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan wilayah belum berkembang. Putnam (1993), Beugelsdijk dan van Schaik (2003) dan Iyer et al. (2005) memang menyatakan bahwa modal sosial bervariasi, sesuai dengan letak geografis, tingkat pendapatan rumah tangga maupun keragaman etnisnya.

Untuk memperoleh gambaran yang lebih rinci mengenai komponen dominan modal sosial kemudian dilakukan analisis SEM di masing-masing wilayah belum berkembang dan wilayah maju melalui dua tahap yaitu: (1) menentukan kontribusi masing-masing indikator (peubah manifes) terhadap variabel laten eksogen (rasa percaya, jaringan kerja dan norma); (2) menentukan kontribusi variabel laten eksogen terhadap variabel laten endogen (modal sosial). Hasilnya adalah sebagai berikut:

Modal Sosial Individu di Wilayah Belum Berkembang

Wilayah belum berkembang dalam penelitian ini meliputi Kabupaten Jembrana dan Karangasem yang terletak masing-masing di ujung barat dan timur Provinsi Bali. Hasil analisis SEM menunjukkan bahwa P-value 0.11671 (lebih besar dari 0.05) adalah tidak nyata, artinya ada kesesuaian model dengan data empiris (model fit). Nilai Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) 0.821 lebih besar dari 0.8 sehingga model dianggap cukup baik untuk menggambarkan keterkaitan antar variabel laten dan indikatornya (peubah manifes). Modal sosial di wilayah belum berkembang ditentukan secara nyata oleh variabel rasa percaya, jaringan kerja dan norma. Norma merupakan variabel yang memberi kontribusi paling dominan.

Variabel rasa percaya ditentukan secara nyata oleh indikator rasa percaya sosial (general trust), dinamika rasa percaya dan partisipasi. Kontribusi terbesar untuk variabel laten rasa percaya berasal dari partisipasi artinya semakin tinggi rasa percaya ditunjukkan oleh semakin tingginya partisipasi individu dalam organisasi. Pertimbangan memasukkan partisipasi ke dalam variabel laten rasa percaya didasarkan pendapat Azwar (2005), yang menyatakan bahwa sikap seseorang tidak cukup jika dinilai hanya melalui penanyaan langsung namun juga harus disertai dengan observasi terhadap perilaku. Partisipasi adalah perilaku yang dapat diobservasi berkaitan dengan pernyataan tentang rasa percaya seseorang. Individu yang memiliki rasa percaya yang tinggi terhadap pimpinan maupun lembaga tertentu akan berpartisipasi dalam setiap aktivitas bersama.

Semua indikator (peubah manifes) jaringan kerja memberi kontribusi yang nyata terhadap variabel laten jaringan kerja (network). Namun, kontribusi terbesar berasal dari indikator jumlah teman. Semakin tinggi kepadatan jaringan kerja, semakin banyak teman dan semakin tinggi pengeluaran untuk kegiatan sosial akan menguatkan jaringan kerja individu tersebut. .

Variabel laten norma ditentukan secara nyata oleh indikator jumlah pembonceng (free rider), kemudahan menitipkan anak oleh tetangga, dan kesediaan memberi bantuan fisik. Semakin berkurangnya perilaku free rider, semakin mudah menitipkan anak pada tetangga serta memperoleh bantuan fisik

maka semakin kuat norma individu. Indikator dominan yang memberi kontribusi terbesar adalah kemudahan menitipkan anak.

Tabel 23 Variabel Laten dan Signifikansi Masing-Masing Indikator terhadap Variabel Laten Modal Sosial di Wilayah Belum Berkembang di Bali, 2005

Variabel laten Indikator Koefisien t-hit Rasa Percaya*

(0.402)

1.Aware (kesadaran untuk bersikap percaya – kehati-hatian) 2.General trust 3.Dinamika trust 4.Partisipasi -0.081 0.2330 -0.176 0.741 -1.128 3.015* -2.371* 3.640* Norma* (0.454) 1.Titip anak 2.Jumlah free rider

3.Bantuan fisik 0.399 -0.376 0.264 3.018* -2.497* 3.353* Jaringan Kerja* (0.431)

1.Kepadatan jaringan kerja 2.Pengeluaran sosial 3.Jumlah teman 0.295 0.263 0.306 2.918* 2.295* 3.353* Sumber : Hasil analisis data primer, 2005

* nyata pada tingkat 5 persen

Ketiga variabel laten memberi kontribusi yang nyata dan positif terhadap pembentukan modal sosial. Hasil tersebut menunjukkan bahwa membangun atau menguatkan modal sosial di wilayah belum berkembang tidak dapat dilakukan hanya melalui perbaikan salah satu komponen saja karena ketiganya memberi kontribusi yang nyata. Penguatan modal sosial harus dilakukan melalui peningkatan rasa percaya, peningkatan partisipasi, menekan peluang munculnya individu yang bersikap sebagai pembonceng, menjaga keberlangsungan norma saling memberi bantuan fisik dan memperluas jaringan kerja (kehidupan berorganisasi).

Norma merupakan variabel laten eksogen yang memberi konrtibusi paling dominan terhadap variabel laten endogen modal sosial. Hasil tersebut menunjukkan bahwa norma masih mengikat kuat terhadap kehidupan sosial masyarakat di wilayah belum berkembang. Perubahan norma yang kecil saja akan berdampak besar terhadap perubahan modal sosial. Oleh karena itu, upaya

terpenting menjaga modal sosial dapat dilakukan melalui penguatan norma saling bantu dan tidak memanfaatkan orang lain demi kepentingan pribadi (menekan adanya pembonceng).

Modal Sosial Individu di Wilayah Maju

Wilayah maju dalam penelitian ini adalah kabupaten Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar. Hasil analisis persamaan struktural (SEM) menunjukkan bahwa model yang dibangun memiliki nilai p (P-Value) yang lebih besar dari 0.05 yang menunjukkan bahwa model modal sosial yang dibangun memiliki kesesuaian dengan data, valid dan dapat diterima. Demikian pula dengan nilai RMSE yang lebih kecil dari 0.08 dan nilai AGFI lebih besar dari 0.8 yaitu 0.942. Berdasarkan kriteria kecocokan model, dapat dinyatakan bahwa secara statistik, model persamaan struktural yang diperoleh memiliki validitas yang tinggi.

Tabel 24 Variabel Laten dan Signifikansi Masing-Masing Indikator di Wilayah Maju di Bali, 2005

Variabel laten Indikator Koefisien t-hit Rasa Percaya*

(0.453)

1.Aware (kesadaran untuk bersikap percaya – kehati-hatian) 2.General trust 3.Dinamika trust 4.Partisipasi 0.448 0.477 0.245 0.253 4.383* 4.509* 3.024* 2.997* Norma (0.104) 1.Titip anak 2.Jumlah free rider

3.Bantuan fisik 0.027 -0.549 0.733 0.403 -7.238* 6.248* Jaringan Kerja (-0.101)

1.Kepadatan jaringan kerja 2.Pengeluaran sosial 3.Jumlah teman 0.363 -0.532 -0.254 5.160* -5.409* -4.001* Sumber : Hasil analisis data primer, 2005

* nyata pada tingkat 5 persen

Variabel laten rasa percaya menjadi satu-satunya komponen dominan modal sosial yang memberi kontribusi nyata di wilayah maju. Variabel rasa percaya tersebut ditentukan secara nyata oleh indikator (peubah manifes) sikap kehati-hatian (aware), rasa percaya umum (general trust), dinamika rasa percaya dan partisipasi.

Hasil analisis tahap kedua menunjukkan bahwa ada keterkaitan yang kuat dan positif antara rasa percaya dan jaringan kerja (0.914), sebaliknya dengan norma. Jaringan kerja memiliki keterkaitan negatif yang kuat dengan norma yaitu -0.90, artinya semakin kuat norma yang berlaku akan membatasi masyarakat Bali yang ada di wilayah maju untuk membangun jaringan kerja.

Berbeda dengan wilayah belum berkembang, membangun maupun menguatkan modal sosial di wilayah maju hanya efisien bila dilakukan melalui upaya memperkuat rasa percaya (trust). Upaya tersebut ditentukan secara dominan oleh rasa percaya sosial (general trust) sehingga harus memperoleh perhatian terbesar. Selain itu, sikap kehati-hatian, partisipasi dan dinamika rasa percaya juga dapat memperkuat rasa percaya masyarakat (Tabel 24).

Komponen Modal Sosial di Tingkat Meso: Modal Sosial Kelompok Tradisional dan Modern

Berdasarkan sistem pengelolaannya, organisasi kemasyarakatan di Bali dibedakan atas organisasi tradisional dan modern sedangkan berdasarkan proses pembentukannya dibedakan atas organisasi formal dan non-formal. Pada umumnya, organisasi non-formal terbentuk dari adanya hubungan keluarga maupun kekerabatan. Sebaliknya, organisasi formal memiliki karakteristik anggota yang sangat beragam sesuai dengan jenis dan tujuan organisasi (Gambar 32).

Masyarakat di Bali, terikat dalam organisasi tradisional formal maupun non-formal seperti sekaa, dadia, subak dan desa/banjar adat. Sekaa dan dadia merupakan organisasi tradisional non-formal karena keanggotaannya tidak mengikat dan umumnya tidak memiliki awig-awig tertulis, sedangkan subak dan desa/banjar adat adalah organisasi tradisional formal yang keanggotaannya mengikat serta memiliki awig-awig tertulis maupun tidak tertulis. Anggota sekaa umumnya bersifat temporal dan memiliki hubungan kekerabatan yang kuat dan terbentuk sesuai dengan tujuan aktivitasnya seperti sekaa manyi, sekaa nandur, sekaa gong, sekaa suling dan lainnya. Dadia adalah kelompok keluarga (extended family) yang memiliki hubungan patrilineal. Jumlah anggota sekaa dan dadia umumnya lebih kecil dibandingkan dengan subak dan desa/banjar adat. Ikatan

yang terbangun antar anggota sekaa maupun dadia didasarkan atas rasa kebersamaan dan resiprositas. Setiap anggota dalam kelompok tradisional tidak akan bersikap ragu-ragu untuk memberikan bantuan kepada anggota lainnya karena adanya rasa percaya (trust), bahwa kelak, pada saat yang diperlukan, anggota lain pasti akan mengulurkan tangan untuk membantu mereka (hukum karma).

Sumber : Data Primer, 2005

Gambar 32 Klasifikasi organisasi di Bali berdasarkan proses pembentukan dan Sistem pengelolaannya, 2005

Organisasi sosial tradisional yang mengkoordinasikan segala kegiatan administratif masyarakat dikenal dengan nama banjar. Khusus untuk masyarakat yang beragama Hindu, organisasi sosial yang mengordinasikan segala aktivitas berkaitan dengan kegiatan sosial dan keagamaan disebut banjar pakraman. Setiap anggota masyarakat yang beragama Hindu memiliki kewajiban yang sama dalam banjar pakraman.

Sesuai dengan pembentukannya, anggota organisasi tradisional umumnya merupakan penduduk yang telah menetap lama sehingga memiliki kehidupan bertetangga dan keluarga (extended family) yang lebih erat. Mereka umumnya mengelola tanah warisan yang telah berlangsung secara turun temurun. Sebaliknya, anggota organisasi modern sebagian besar merupakan kelompok

Formal Klub olah raga, arisan,

dan hobbi

Organisasi Profesi, Institusi Pemerintahan

Sekaa dan Dadia Kelompok adat dan Subak Non-Formal

Modern

pendatang di kota atau daerah-daerah yang menjadi pusat pengembangan sarana kepariwisataan.

Iyer et al. (2005) menyatakan bahwa perbedaan karakteristik wilayah atau komunitas berkaitan erat dengan modal sosial yang terbangun. Masyarakat di wilayah tertentu mampu membangun modal sosial menyambung (bridging social capital) yang kuat sedangkan masyarakat di wilayah lain akan lebih mampu membangun modal sosial mengikat (bonding social capital). Individu tertentu hanya percaya terhadap individu-individu yang telah dikenal sejak lama (strong thin trust), sedangkan individu lain mudah mempercayai orang yang baru dikenalnya (strong thick trust).

Kekentalan hubungan dalam suatu jaringan kerja apabila tidak disertai dengan kekentalan antar kelompok dalam suatu wilayah, akan memudahkan terjadinya penolakan-penolakan atau penghancuran terhadap orang-orang yang ada di luar kelompok tersebut. Hal tersebut akan meningkatkan frekwensi pergesekan-pergesekan antar kelompok seperti perkelahian antar banjar adat, kelompok masyarakat, dan penolakan-penolakan terhadap berbagai kebijakan lembaga eksekutif dan legislatif yang ditetapkan di suatu wilayah.

Organisasi non-formal dan tradisional umumnya menerapkan sanksi moral sedangkan organisasi formal modern tidak mengenal sanksi moral. Proses pembentukan organisasi formal modern lebih disebabkan oleh desakan kebutuhan ekonomi daripada sosial. Oleh karena itu, organisasi modern seringkali tidak mampu mengikat anggotanya secara emosional namun lebih pada rasionalitas keinginan-keinginan pribadi (individual interest).

Modal Sosial dalam Subak

Struktur masyarakat Bali sedang mengalami perubahan secara gradual. Masyarakat agraris berubah dan bermigrasi ke kota menjadi masyarakat pariwisata. Komposisi etnis penduduk menjadi berubah, kasta dan wargapun menjadi alat untuk mencapai tujuan politis. Perubahan-perubahan tersebut menyebabkan fungsi-fungsi sosial kelembagaan tradisional menjadi berkurang. Kerjasama dan rasa aman yang merupakan produk dari terjaganya kelembagaan

tradisional menjadi barang langka dan membutuhkan biaya tinggi untuk memperolehnya.

Saat kontribusi sektor pariwisata melemah yang disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal, masyarakat mulai mempertimbangkan untuk kembali memfungsikan sektor pertanian seperti menjadi buruh tani. Namun bias pembangunan yang selama ini cenderung memihak sektor pariwisata menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan dalam luasan yang besar dan secara otomatis telanjur meniadakan organisasi subak yang keberadaannya berkaitan erat dengan ketersediaan lahan pertanian di banyak daerah di Bali.

Subak adalah organisasi pengelola air untuk aktivitas pertanian yang telah terbangun sejak dahulu dan hingga saat ini masih berperan penting dalam keberhasilan usaha pertanian di Bali. Selama ini, tidak ada sistem kontrak formal yang dilakukan oleh masing-masing anggota subak. Pembagian air dilakukan dengan landasan sikap saling percaya antar anggota subak sesuai dengan aturan yang telah ditentukan turun-temurun. Norma-norma dalam subak disepakati serta ditaati oleh para anggota.

Keanggotaan subak bukan disebabkan oleh lokasi tempat tinggal tetapi lokasi lahan sawah yang dikelolanya. Oleh karena itu, seringkali anggota subak tidak saling bertetangga, bahkan mereka bertempat tinggal dalam wilayah desa administratif maupun desa adat yang berbeda. Oleh karenanya, interaksi antar anggota subak hanya terjadi saat-saat proses produksi maupun upacara keagamaan. Rendahnya kuantitas interaksi tersebut dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi modal sosial dalam komunitas subak. Namun hasil analisis non-parametrik menunjukkan bahwa perbedaan lokasi tempat tinggal tidak menyebabkan anggota subak memiliki rasa percaya (trust) yang rendah terhadap sesamanya. Thick trust anggota subak lebih tinggi dibandingkan dengan thin trust-nya. Rasa percaya secara umum, memiliki hubungan positif yang nyata dengan partisipasi anggota terhadap organisasinya. Implikasinya, peningkatan rasa percaya cenderung akan diikuti dengan meningkatnya partisipasi dalam organisasi tersebut. Dinamika partisipasi anggota subak-pun menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara dinamika partisipasi dengan thick trust anggota.

Pada tingkat kepercayaan 80 persen dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan negatif yang nyata antara rasa percaya dengan jumlah pembonceng (free rider) artinya semakin banyak jumlah anggota yang bersikap sebagai pembonceng cenderung akan melemahkan rasa percaya antar anggota. Di sisi lain, dapat disimpulkan pula bahwa terdapat hubungan negatif yang nyata antara jumlah anggota yang bersikap sebagai pembonceng dengan kesediaan anggota memberi bantuan fisik terhadap orang lain artinya, semakin tinggi jumlah pembonceng cenderung akan memperkecil kesediaan anggota memberi bantuan fisik terhadap sesamanya. Hal tersebut menunjukkan bahwa anggota subak cenderung bersikap resiprokal dibandingkan dengan altruisme.

Variabel laten modal sosial kelompok subak terdiri dari variabel laten rasa percaya (trust), jaringan kerja (network) dan norma (norm). Namun berbeda dengan indikator teramati dalam modal sosial individu, indikator teramati dalam modal sosial kelompok adalah kepadatan jaringan kerja, kepemimpinan, keterkaitan dengan organisasi lain yang memiliki tujuan sama dalam satu wilayah (bonding 1) dan wilayah lain (bonding 2), keterkaitan dengan organisasi lain yang memiliki tujuan berbeda dalam suatu wilayah (bridg 1) dan wilayah lain (bridg 2), apresiasi terhadap dana kelompok maupun dana awal yang harus ditanggung anggota tersebut.

Nilai Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) model adalah 0.914 menunjukkan bahwa model modal sosial subak dapat digunakan untuk menggambarkan hubungan antar variabel laten endogen, variabel laten eksogen dan indikator yang teramati (peubah manifes). Namun, nilai chi-square nyata dan RMSE lebih besar dari 0.08 menunjukkan bahwa model tidak fit (kurang sesuai) dengan data yang menuntut peneliti untuk berhati-hati dalam mengambil kesimpulan.

Hasil analisis SEM menunjukkan bahwa variabel laten rasa percaya tidak memberi kontribusi yang nyata terhadap variabel modal sosial. Sebaliknya variabel laten jaringan kerja (network) dan norma (norm) memberi kontribusi yang nyata. Sebagian besar indikator jaringan kerja memiliki tanda yang negatif, kecuali indikator keterkaitan organisasi subak dengan organisasi lain yang memiliki tujuan yang berbeda di wilayah lain (Bridg 2), namun indikator tersebut

tidak nyata. Implikasinya, jaringan kerja subak akan semakin baik apabila anggota subak mengurangi interaksinya dengan organisasi lain, yang sejenis (sesama subak) maupun organisasi yang tidak sejenis, yang ada di satu wilayah maupun wilayah lain.

Tabel 25 Variabel Laten dan Signifikansi Masing-Masing Indikator terhadap Variabel Laten Modal Sosial dalam Komunitas Subak di Bali, 2005 Variabel laten Indikator Koefisien t-hit Rasa Percaya

(0.078)

1. Kepadatan jaringan kerja (DN) 2. Leadership 0.346 0.893 4.534* 7.768* Jaringan Kerja* (0.580) 1. Bonding (1) 2. Bonding(2) 3. Bridging(1) 4. Bridging (2) -0.109 -3.881 -0.075 0.044 -4.162* -44.596* -2.861* 1.705 Norma* (0.216) 1. Dana Kelompok 2. Dana Awal 0.827 -1.187 8.430* -8.871* Sumber : Hasil analisis data primer, 2005

*nyata pada tingkat 5 persen

Variabel laten norma memberi pengaruh nyata dan positif. Indikator kesediaan menanggung dana untuk aktivitas kelompok berpengaruh positif, sedangkan indikator dana awal berpengaruh negatif. Subak adalah organisasi yang tidak berorientasi ekonomi melainkan berorientasi keberlanjutan ketersediaan air untuk produksi padi di lahan sawah. Sebagian norma bersifat tidak tertulis dan sebagian lainnya sudah tertulis. Semakin kuat norma yang mengikat anggota maka semakin besar partisipasi anggota pada setiap aktivitas kelompok yang berkaitan dengan penyediaan upakara untuk menjaga keselamatan dan keberhasilan usaha pertanian mereka. Hal tersebut tentunya berdampak pada semakin tinggi biaya-biaya yang harus ditanggung oleh anggota. Kesediaan anggota memberi kontribusi pada setiap kegiatan bersama yang dilaksanakan oleh organisasi dapat menjadi indikator kuatnya rasa memiliki dan tanggung jawab anggota terhadap keberlangsungan organisasi. Saat ini, pemerintah menyediakan berbagai bantuan dana yang berkaitan dengan keikutsertaan subak dalam lomba subak. Campur tangan pemerintah yang besar tersebut berpeluang mengurangi

rasa memiliki anggota subak, yang akhirnya dapat melemahkan kontrol sosial anggota subak terhadap keberadaan organisasi subak tersebut.

Dalam komunitas subak, upaya membangun modal sosial dapat dilakukan melalui penguatan jaringan kerja dan norma dimana kontribusi jaringan kerja lebih besar dibandingkan dengan norma. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa modal sosial subak dapat ditingkatkan melalui jaringan kerja dan penguatan norma-norma tradisional yang memiliki kearifan dan melibatkan seluruh anggota.

Modal Sosial dalam Organisasi Kepariwisataan

Komunitas pariwisata terdiri dari beberapa kelompok yang dibedakan atas lapangan pekerjaannya yaitu kelompok pramuwisata (HPI), pemilik hotel dan restoran (PHRI) serta pemilik biro perjalanan wisata (Asita). Ketiga kelompok tersebut memiliki karakteristik yang relatif sama yaitu merupakan organisasi yang dikelola secara modern dan bersifat formal. Seluruh anggotanya memiliki pekerjaan di sektor pariwisata dengan standar kualitas pendidikan formal yang lebih tinggi dibandingkan dengan anggota subak.

Analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif yang nyata antara thick trust dan thin trust. Korelasi tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi rasa percaya terhadap orang yang dikenal, maka semakin tinggi pula rasa percaya terhadap orang yang tidak dikenal. Hasil analisis indikator norma menunjukkan bahwa kesediaan memberi bantuan fisik berkorelasi nyata dan negatif dengan jumlah pembonceng (free rider). Semakin banyak jumlah individu yang bersikap sebagai pembonceng maka semakin lemah norma saling bantu sehingga mengurangi kesediaan individu untuk memberi bantuan fisik kepada individu lainnya.

Kesejahteraan berkorelasi nyata dan positif dengan pengeluaran sosial dan sikap kehati-hatian, namun berkorelasi negatif dengan thick trust dan thin trust. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kesejahteraan seseorang maka semakin besar pengeluaran sosial yang harus ditanggungnya dan semakin besar sikap kehati-hatiannya. Selanjutnya, semakin tinggi tingkat kesejahteraan individu, semakin rendah rasa percaya terhadap individu lain.

Berdasarkan kriteria kebaikan model maka model struktural modal sosial untuk komunitas pariwisata merupakan model yang valid karena sebagian besar kriteria kebaikan model dipenuhi seperti nilai chi-square tidak nyata (P>0.05), nilai AGFI adalah 0.804 dan RMSE kurang dari 0.08.

Modal sosial dipengaruhi secara nyata hanya oleh variabel rasa percaya sedangkan jaringan kerja dan norma tidak nyata. Membangun atau menguatkan modal sosial dalam komunitas pariwisata hanya dapat dilakukan melalui peningkatan rasa percaya antar individu maupun kelompok yang terlibat dalam aktivitas kepariwisataan tersebut. Selanjutnya, membangun rasa percaya sebaiknya dilakukan melalui peningkatan kepadatan jaringan kerja masing-masing anggota sehingga dapat diharapkan terjadi interaksi yang semakin intensif yang sangat berguna untuk membangun rasa saling mempercayai atau menghilangkan rasa saling mencurigai.

Dokumen terkait