• Tidak ada hasil yang ditemukan

Macro & Micro National

DI EMPAT KABUPATEN DI BALI

Modal Sosial: Dasar Penentuan Strategi

Dale dan Onyx (2005) menyatakan bahwa keterkaitan pembangunan ekonomi wilayah dan modal sosial sulit untuk dipahami. Namun demikian, peran modal sosial dalam pertumbuhan dan pembangunan ekonomi dapat dijelaskan melalui beberapa mekanisme. Modal sosial memfasilitasi terjadinya proses adopsi yang lebih cepat dan juga menekan biaya-biaya transaksi dalam proses produksi. Penggunaan modal sosial yang tepat akan meningkatkan akses setiap orang untuk memperoleh pengetahuan, pendidikan, kesehatan, rasa aman dan lapangan kerja sehingga lebih sejahtera.

Hasil analisis terdahulu menunjukkan bahwa rasa percaya masyarakat di Bali berada dalam kategori relatif lemah dibandingkan beberapa negara lainnya di dunia, kepadatan organisasi pada kategori sedang dan norma pada kategori kuat. Di Bali, modal sosial mengikat (bonding social capital) dan modal sosial menyambung (bridging social capital) memberi pengaruh negatif terhadap pertumbuhan (PDRB). Modal sosial mengikat (bonding social capital) yang berlandaskan atas rasa percaya terhadap sesama etnis (thick trust), berbeda nyata dan lebih kuat dibandingkan dengan modal sosial menyambung (bridging social capital) yang berlandaskan atas rasa percaya terhadap etnis lain (thin trust). Perbedaan tersebut perlu memperoleh perhatian mengingat kuatnya ikatan bonding tidak selalu memiliki dampak yang positif terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi wilayah (Iyer et al, 2005).

Rendahnya rasa percaya terhadap etnis lain (thin trust) akan menimbulkan sifat saling mencurigai dan berpotensi menimbulkan konflik antar etnis padahal konflik-konflik yang bersifat potensial maupun laten, harus dihindari mengingat Bali sebagai daerah tujuan wisata yang memerlukan keamanan dan kenyamanan. Oleh karenanya, keseimbangan antara thick trust dan thin trust tersebut harus terus dijaga. Alesina dan La Ferrara (2000), menyatakan bahwa melemahnya rasa percaya dapat disebabkan oleh pengalaman yang menimbulkan traumatis. Indeks dari berbagai komponen modal sosial ditunjukkan pada Tabel 36.

Tabel 36 Indeks Rasa Percaya, Kepadatan Jaringan Kerja dan Norma di Empat kabupaten di Bali, Tahun 2005

Komponen Nilai paling

diharapkan

Nilai tidak diharapkan

Rata-Rata Indeks

Rasa Percaya individu 2 1 1.16 0.16

1. Bonding (Thick Trust) 5 1 3.21 0.55 2. Bridging (Thin Trust) 5 1 1.81 0.16

3. Pemerintah kabupaten 5 1 2.48 0.37 4. Pemerintah provinsi 5 1 2.27 0.32 5. Polisi 5 1 2.71 0.43 6. Guru 5 1 3.35 0.59 Kepadatan Jaringan Kerja individu 7 1 3.19 0.37 1. Jumlah Teman 4 1 3.51 0.84 2. Partisipasi 4 1 2.68 0.56 Norm individu 5 1 4.09 0.77 1. Titip anak 4 1 3.60 0.95 2. Free rider 5 1 3.85 0.71

Sumber : Analisis Data Primer, 2005

Di antara berbagai profesi yang ada, profesi guru memperoleh rasa percaya tertinggi dari masyarakat Bali. Secara umum, rasa percaya terhadap semua profesi berada pada kategori sedang. Rasa percaya masyarakat terhadap kinerja pegawai provinsi memiliki indeks terendah sedangkan rasa percaya terhadap kinerja pegawai kabupaten setingkat lebih tinggi. Rendahnya rasa percaya tersebut dapat menjadi faktor penghambat bagi upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam program-program pembangunan.

Partisipasi anggota masyarakat di Bali dalam kegiatan bersama berada pada kategori sedang. Demikian pula kepadatan jaringan kerja (organisasi) masyarakatnya. Partisipasi merupakan faktor penting dalam proses difusi informasi dan kelekatan sosial. Indikator-indikator tersebut dan tingginya indeks jumlah teman dekat menunjukkan bahwa intensitas hubungan sosial di Bali relatif kuat.

Norma yang masih mengikat kuat dalam masyarakat Bali adalah norma saling memberi bantu fisik terutama saat adanya kegiatan adat. Selain itu, gotong royong untuk menjaga lingkungan masih sering dilakukan. Menitipkan anak dan

rumah pada tetangga, relatif masih mudah dilakukan. Namun demikian, hal yang tidak diharapkan sudah mulai tumbuh dalam masyarakat yaitu adanya individu individu yang bersikap sebagai pembonceng (free rider). Indeks free rider di Bali termasuk kategori tinggi. Sebagian besar masyarakat merasa ada yang telah memanfaatkan kebaikan yang mereka berikan pada pihak lain. Dengan kata lain, sudah mulai tumbuh jiwa asosial dalam masyarakat Bali. Salah satu faktor yang dapat diduga menyebabkan hal tersebut adalah lemahnya sanksi yang dikenakan terhadap anggota dalam suatu organisasi yang melalaikan tugasnya. Sanksi moral yang dahulu sangat efektif karena malu dan takut bila dikucilkan, saat ini mulai melemah. Menurunnya keefektifan sanksi moral disebabkan oleh munculnya alternatif untuk menghindari sanksi tersebut seperti berdomisili pada dua desa pakraman maupun membeli ayahan1. Gejala tumbuhnya pembonceng tersebut seharusnya ditekan sejak awal, jika tidak, akan memberi dampak negatif terhadap keberadaan modal sosial masyarakat.

Pada bab sebelumnya telah ditunjukkan pula bahwa rasa percaya, yang menjadi dasar untuk membangun kerjasama, merupakan faktor yang memberi kontribusi nyata terhadap variabel modal sosial dan pertumbuhan ekonomi di Bali. Namun hasil analisis menunjukkan pula bahwa indeks rasa percaya masyarakat terhadap etnis lain, pegawai pemerintah provinsi maupun kabupaten, relatif rendah. Oleh karenanya, diperlukan suatu sikap politik yang mampu menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat terutama berkaitan dengan upaya-upaya meningkatkan investasi di bidang sosial (revitalisasi modal sosial), terutama dalam rangka pemberdayaan masyarakat.

Berkaitan dengan upaya membangun modal sosial, muncul pertanyaan mengenai strategi apakah yang harus dipilih oleh masyarakat dan pemerintah di Bali untuk merevitalisasi modal sosial? Bekerjasama ataukah tidak bekerjasama? Bekerjasama seringkali merupakan hasil dari terbangunnya rasa percaya. Williamson (1988) dalam Casson dan Godley (2000), menyatakan bahwa rasa percaya tidak dapat ditumbuhkan oleh salah satu sumber saja. Seringkali rasa saling percaya tumbuh berdasarkan hubungan yang setara antara masyarakat dan pemerintahnya. Oleh karenanya, keputusan untuk bekerjasama berarti semua

1

Ayahan adalah kewajiban masyarakat untuk memberi bantuan fisik maupun finansial kepada tetangga atau kelompok pada saat dilaksanakan kegiatan adat.

pihak harus membangun kesetaraan dan menanggung biaya sosial secara bersama-sama. Berapa besar ganjaran (payoff) yang diperoleh setiap aktor atau stakeholder pembangunan di Bali jika mereka memilih strategi bekerjasama atau tidak bekerjasama? Apakah strategi tersebut dapat menghasilkan suatu keadaan keseimbangan Nash (Nash Equilibrium) yaitu keadaan dimana tidak ada peluang bagi masing-masing pihak untuk mengubah strateginya karena strategi yang telah dipilih merupakan strategi terbaik?

Strategi Membangun Modal Sosial:

Bekerjasama (cooperative) atau Tidak Bekerjasama (non-cooperative) Bekerjasama adalah salah satu cara untuk menguatkan modal sosial. Kerjasama sesungguhnya telah mencakup ketiga komponen dalam modal sosial yaitu rasa percaya, jaringan kerja dan norma. Namun membangun kerjasama untuk memelihara dan menguatkan modal sosial yang merupakan common pool resources membutuhkan kemauan politis (political will) yang besar. Sekelompok orang tidak akan dapat membangun kerjasama jika tidak ada organisasi yang mewadahi mereka. Prasyarat terbangunnya organisasi adalah adanya rasa percaya dan norma yaitu aturan yang mengatur cara mereka berperilaku dalam organisasi tersebut.

Membangun dan menguatkan modal sosial di Bali tidak hanya dapat dilakukan oleh masyarakat saja. Paling tidak, ada tiga aktor (player) yang terlibat dalam upaya penguatan modal sosial di Bali yaitu pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi dan masyarakat. Secara teoritis, Schubick (1995) menyatakan bahwa bekerjasama hanya akan menguntungkan apabila memenuhi kriteria berikut:

ν (S∪T) ≥ν (S) + ν(T) ; dimana:

ν = adalah fungsi karakteristik (characteristic function) yang diformulasikan oleh John von Neuman.

ν (S∪T) = manfaat yang diperoleh apabila bekerjasama

ν (S) = manfaat yang diperoleh individu S bila memutuskan bekerja sendiri

ν(T) = manfaat yang diperoleh individu T bila memutuskan bekerja sendiri S,T = aktor yang terlibat dalam interaksi

Perilaku setiap aktor dalam suatu organisasi dapat digambarkan dengan baik oleh Axelrod (1984) melalui Teori Permainan (Game Theory). Permainan (Game) adalah suatu situasi strategis dimana terdapat keterkaitan antar dua atau lebih aktor yang membuat keputusan. Masing-masing aktor memperoleh penghargaan (reward) atas keputusannya. Nilai dari penghargaan (reward) yang diperoleh tergantung pada keputusan yang dibuat oleh pihak lain (Kimbrough, 2002).

Analisis permainan ini menjadi penting, mengingat perilaku ekonomi masyarakat di Bali masih terikat kuat pada norma-norma bersama (collective norms). Sebagai contoh keterikatan masyarakat dengan daerah asalnya karena adanya sanggah kemulan1. Seringkali masyarakat di Bali mengorbankan waktu kerja agar dapat berpartisipasi dalam kegiatan bersama (collective action) yang berkaitan dengan adat dan agama di daerah asalnya. Keputusan rumah tangga dan individu dalam membentuk kelompok dan berorganisasi pun masih dipengaruhi oleh struktur sosial tradisional (sistem kasta). Batasan-batasan norma tersebut menyebabkan keputusan masyarakat dan individu tidak hanya didasarkan oleh rasionalitas. Perilaku pemain tidak lagi mengarah pada sikap altruism namun menuju sikap yang resiprokal karena sikap tersebut menghindarkan mereka dari tindakan tereksploitasi oleh pihak lain (pembonceng).

Tabel 37 Bantuan Dana per Tahun untuk Desa Pakraman di Empat Kabupaten di Bali, Tahun 2004 Pengeluaran

Sosial

Jembrana Badung Gianyar Karangasem

Provinsi 25 000 000 25 000 000 25 000 000 25 000 000

Kabupaten 10 000 000*) 100 000 000 12 000 000 10 000 000 Masyarakat

per 100 pddk

9 904 400 19 005 900 11 415 700 8 100 000

Sumber : Data Primer, 2005

*) bukan bantuan rutin, nominalnya bergantung pada kebutuhan desa pakraman

1

Selama ini, pemerintah kabupaten dan provinsi melakukan investasi sosial yang bertujuan untuk memelihara dan menjaga keberlangsungan aktivitas sosial dalam organisasi sekaa, desa pakraman dan subak. Besarnya investasi sosial tersebut ditetapkan secara eksogen berdasarkan kemampuan keuangan pemerintah bukan berdasarkan hasil kajian teoritis terhadap optimasi biaya sosial yang dibutuhkan (Tabel 37). Kabupaten yang memiliki PAD tinggi memberikan dana operasional yang tinggi pula kepada masing-masing desa pakraman dan organisasi lain yang ada di wilayahnya, sebaliknya kabupaten yang memiliki PAD rendah memberi bantuan jauh lebih rendah, sesuai dengan kemampuannya. Hingga saat ini, ada kecenderungan bahwa sebagian besar dana tersebut digunakan untuk biaya operasional dan pemeliharaan bangunan fisik (tempat persembahyangan bersama) sedangkan investasi sosial untuk membangun dan menguatkan modal sosial melalui aktivitas bersama relatif diabaikan.

Proksi yang digunakan sebagai ukuran keterlibatan masyarakat, pemerintah kabupaten dan provinsi dalam membangun modal sosial dalah besarnya kontribusi masing-masing pihak dalam aktivitas sosial yang dinyatakan dengan istilah pengeluaran sosial (social expenditure). Semakin tinggi pengeluaran sosial berarti semakin tinggi investasi yang dialokasikan untuk aktivitas sosial sehingga dapat diharapkan bahwa semakin tinggi pula stok modal sosial dalam kelompok tersebut. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka dapat ditentukan besarnya ganjaran (payoff) dari modal sosial di masing masing kabupaten. Ganjaran masing-masing aktor dalam analisis permainan untuk membangun modal sosial di Bali ditunjukkan pada Tabel 12 (Bab Metodologi Penelitian).

Sesungguhnya terdapat beberapa strategi yang dapat dipilih oleh masing-masing aktor yang berperan dalam proses pembangunan modal sosial, yaitu bersikap altruism, resiprokal ataupun selfish. Namun dalam penelitian ini, ketiga sikap tersebut dikelompokkan atas dua strategi, yaitu: (1) tidak bekerjasama; dan (2) bekerjasama. Memilih bekerjasama berarti aktor harus bersedia saling bantu dalam membangun modal sosial dengan cara (1) pemerintah provinsi dan kabupaten memfasilitasi terbangunnya modal sosial seperti penyediaan fasilitas fisik dan bantuan dana; (2) masyarakat menjaga hubungan sosialnya dengan

menjaga norma saling bantu dan interaksi (silahturahim) dengan sesamanya. Ketiga aktor yakni pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan masyarakat harus mengeluarkan sejumlah uang untuk membangun modal sosial karena modal sosial tidak akan terbangun secara sepihak.

Modal sosial yang tidak terjaga dan terpelihara akan menyebabkan adanya situasi dan kondisi tidak aman yang menekan produktivitas kerja masyarakat di semua sektor perekonomian, terutama sektor kepariwisataan sebagai sektor dominan di Bali. Ketidakamanan akan berakibat pada menurunnya jumlah wisatawan dan lama tinggal wisatawan di Bali. Apabila pemerintah kabupaten dan masyarakat bekerjasama, maka ganjarannya akan berupa peningkatan pendapatan rumah tangga dan regional. Sebaliknya, keputusan masyarakat untuk tidak bekerjasama berarti bertindak selfish atau masing-masing individu tidak membangun modal sosialnya yang berimplikasi pada rendahnya pengeluaran untuk aktivitas sosial masyarakat. Keputusan untuk tidak bekerjasama memang akan melemahkan pengawasan terhadap orang lain sehingga memungkinkan munculnya berbagai konflik yang memicu rasa ketidakamanan dan situasi yang tidak kondusif untuk melaksanakan aktivitas produktif. Situasi yang tidak kondusif tersebut akan menyebabkan hilangnya sebagian pendapatan masyarakat karena menekan perkembangan industri pariwisata seperti turunnya kunjungan wisata dan semakin pendeknya length of stay wisatawan.

Analisis terhadap upaya membangun modal sosial di Bali dilakukan melalui extensive game analysis, yang memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) ada pemain-pemain dalam permainan (player), (2) masing-masing pemain bergerak sesuai dengan informasi yang dimilikinya (strategy), dan (3) ganjaran (payoff) yang diterima oleh masing-masing pemain untuk setiap kombinasi gerakan-gerakan yang dipilih oleh para pemain (Anwar, 2002). Penentuan pemerintah kabupaten sebagai aktor utama disesuaikan dengan pertimbangan adanya kebijakan otonomi daerah yang memberi otonomi kepada pemerintah kabupaten untuk bertindak sebagai penentu kebijakan. Setiap keputusan yang diambil oleh masing-masing aktor dapat dinyatakan sebagai berikut:

Bekerjasama (cooperative), Jika B Sexp ij

ij ji Tidak Bekerjasama (non-cooperative), jika B< Sexp

δ

⎧ ⎫

= ⎨ ⎬

⎩ ⎭

dimana: ij

δ = keputusan yang diambil oleh aktor i terhadap aktor j

B = keuntungan (benefit) yang diterima dari interaksi sosial yang terbangun Sexp = biaya sosial (social expenditure) yang harus ditanggung oleh aktor i,j = aktor dalam interaksi sosial

Analisis permainan dilakukan melalui Program Gambit. Hasil analisis tersebut dibagi dalam dua kelompok yaitu: (1) permainan yang menganalisis interaksi antara pemerintah kabupaten dan masyarakat, dan (2) permainan yang menganalisis interaksi antara pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi. Hasil analisis permainan menunjukkan bahwa terdapat dua keseimbangan Nash (Multiple Nash Equilibria) dalam setiap interaksi antara pemerintah kabupaten dan masyarakat, dan antara pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi. Nash Equilibrium adalah keadaan dimana setiap peserta dalam permainan memilih strategi terbaik bilamana strategi pihak lain diketahui (Anwar, 2002). Secara lebih spesifik dapat dinyatakan bahwa Nash Equilibrium adalah suatu keseimbangan dimana setiap pemain tidak dapat lagi mengubah strategi permainannya dengan tujuan untuk meningkatkan keuntungannya.

Gambar 36 Ganjaran bagi Pemerintah dan Masyarakat Kabupaten Jembrana dalam Membangun Modal Sosial Tahun 2005

Adanya dua keseimbangan Nash ( Nash Equilibrium) yang terjadi dalam setiap interaksi yang dianalisis menunjukkan bahwa interaksi antar aktor pembangunan di wilayah berkembang dan wilayah maju tidak berbeda dan akan

menghasilkan outcome yang sama, yaitu Dua Nash Equilibrium. Keseimbangan tersebut tercapai apabila pemerintah kabupaten memilih strategi untuk bekerjasama, baik dengan masyarakat maupun dengan pemerintah provinsi. Demikian pula halnya dengan strategi masyarakat dan pemerintah provinsi, yaitu bekerjasama dengan pemerintah kabupaten. Pilihan untuk bekerjasama memiliki konsekwensi menanggung bersama-sama biaya untuk membangun modal sosial.

Apabila pemerintah Kabupaten Jembrana memilih untuk bekerjasama dengan masyarakat maka ganjaran yang diperoleh sebesar Rp 1 879.23 juta per tahun dan masyarakat memperoleh rataan peningkatan pendapatan riil sebesar Rp 3 478 700 per kapita per tahun. Rataan biaya sosial yang dikeluarkan oleh masyarakat adalah sebesar Rp 99 044 per bulan untuk membangun modal sosial individu. Pihak pemerintah kabupaten harus mengalokasikan dana sebesar Rp 630 juta rupiah per tahun untuk investasi modal sosial yang merupakan biaya untuk membangun atau memelihara prasarana dan sarana yang dapat digunakan untuk melakukan aktivitas bersama.

Gambar 37 Ganjaran bagi Pemerintah dan Masyarakat Kabupaten Badung dalam Membangun Modal Sosial Tahun 2005

Strategi pemerintah daerah Kabupaten Badung untuk bekerjasama dengan masyarakatnya dalam membangun modal sosial juga menghasilkan ganjaran yang berupa rataan peningkatan pendapatan wilayah sebesar Rp 56 097 juta per tahun, dan rataan peningkatan pendapatan riil bagi masyarakat sebesar Rp 6 198 480 per kapita per tahun atau Rp 516 540 per kapita per bulan.

Gambar 38 Ganjaran bagi Pemerintah dan Masyarakat Kabupaten Gianyar dalam Membangun Modal Sosial Tahun 2005

Keseimbangan Nash dalam interaksi antara pemerintah daerah (pemda) di Kabupaten Gianyar dan masyarakat juga berjumlah dua yaitu bila pemda bekerjasama dan masyarakat juga bekerjasama. Ganjaran untuk pemda Gianyar berupa rataan peningkatan pendapatan wilayah (PDRB) sebesar Rp 34 440.31 juta per tahun sedangkan ganjaran bagi masyarakat berupa rataan peningkatan pendapatan rumah tangga sebesar Rp 233 930 per bulan .

Gambar 39 Ganjaran bagi Pemerintah dan Masyarakat Kabupaten Karangasem dalam Membangun Modal Sosial Tahun 2005

Sama halnya dengan pemerintah daerah (pemda) lainnya, strategi dominan bagi pemda Karangasem adalah melakukan kerjasama dengan menyediakan fasilitas bagi masyarakat untuk berinteraksi dalam kelompok dengan cara melakukan investasi modal sosial. Strategi tersebut akan memberikan ganjaran sebesar Rp 37 000 juta per tahun kepada pemerintah daerah dan rataan peningkatan pendapatan rumah tangga sebesar Rp 83 100 per bulan.

Secara umum, dapat dinyatakan bahwa keputusan pemerintah kabupaten untuk bekerjasama dengan masyarakatnya dalam membangun dan menguatkan modal sosial akan memberikan tambahan pendapatan bagi wilayah danrumah tangga. Tambahan pendapatan yang diperoleh jauh melebihi tambahan pendapatan masing-masing pihak apabila memilih strategi tidak bekerjasama (non-cooperative) sesuai dengan Schubick (1995).

Analisis permainan antara pemerintah kabupaten dan provinsi dikelompokkan atas: (1) pemerintah kabupaten di wilayah maju (Badung) dengan pemerintah provinsi; (2) pemerintah kabupaten di wilayah belum berkembang (Karangasem) dengan pemerintah provinsi. Hasil analisis menunjukkan hal yang sama dengan hasil analisis permainan antar pemerintah kabupaten dan masyarakat. Strategi terbaik yang harus dilakukan oleh pemerintah kabupaten di wilayah belum berkembang dan di wilayah maju terhadap pemerintah provinsi adalah bekerjasama. Demikian pula sebaliknya, pemerintah provinsi harus mengambil kebijakan-kebijakan yang mampu membangun kerjasama dengan pemerintah kabupaten.

Gambar 40 Ganjaran bagi Pemerintah kabupaten di Wilayah Maju dan Pemerintah Provinsi Bali dalam Membangun Modal Sosial Tahun 2005

Secara keseluruhan, hasil analisis game menunjukkan bahwa kerjasama adalah strategi terbaik yang harus dipilih oleh masyarakat, pemerintah kabupaten maupun provinsi. Implikasi hasil penelitian ini menunjukkan krusialnya upaya untuk menekan egoisme regional yang tumbuh seiring dengan penetapan kebijakan otonomi daerah sejak 2001. Kebijakan-kebijakan kabupaten yang bersifat mementingkan wilayah sendiri dan bersikap non-cooperative sudah seharusnya dihentikan. Demikian pula dengan kebijakan pemerintah Provinsi

Bali yang bersifat bias kepada wilayah atau pusat-pusat pengembangan pariwisata sebaiknya ditiadakan lagi.

Gambar 41 Ganjaran Pemerintah kabupaten di Wilayah Belum Berkembang dan Pemerintah Provinsi Bali dalam Membangun Modal Sosial Tahun 2005

Hasil penelitian ini juga mendukung pendapat Coleman (1988) yang menekankan pentingnya struktur yang bersifat tertutup (closure) untuk mengefektifkan norma. Struktur sosial yang bersifat closure dapat dibangun melalui organisasi-organisasi yang bersifat antar wilayah. Organisasi tersebut tidak hanya melibatkan partisipasi masyarakat namun juga para eksekutif dan legislatif. Dengan demikian, norma di satu kabupaten tidak akan bertentangan dengan norma di kabupaten lainnya. Bentuk closure yang dimaksud adalah sebagai digambarkan pada Gambar 42 berikut:

(a) (b)

Gambar 42 Perbedaan antara struktur sosial yang bersifat non-closure (a) dan struktur sosial yang bersifat Closure (b)

Organisasi Bj

Masyarakat A Masyarakat B Organisasi Ai

Pemerintah

kabupaten A kabupaten BPemerintah

Masyarakat A Masyarakat B Organisasi Ai Organisasi Bj Pemerintah kabupaten A Pemerintah kabupaten B

Kegiatan bersama lebih mudah diorganisasikan di wilayah yang relatif homogen. Namun di sisi lain, heterogenitas merupakan alat peredam terjadinya pemberontakan antar masyarakat sipil (perang saudara) dengan pemerintah karena keragaman etnis akan menumbuhkan sistem kontrol yang baik antar etnis tersebut. Oleh karena itu, keragaman etnis tidak harus dihindari melainkan harus dipertahankan melalui kebijakan-kebijakan yang inklusif dan berkeadilan.

Simpulan Akhir Bab

Modal sosial merupakan modal yang terbangun dari interaksi sosial. Oleh karenanya, seringkali terjadi konflik kepentingan antar individu yang terlibat di dalam interaksi tersebut yang penyelesaiannya hanya dapat dilakukan melalui interaksi yang berulang-ulang. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat dua keseimbangan Nash dalam setiap interaksi yang dibangun antara masyarakat dan pemerintah kabupaten, yaitu (1) pada saat pemerintah kabupaten memutuskan untuk memilih strategi bekerjasama (cooperative) dan masyarakat merespons dengan memilih strategi bekerjasama (cooperative) pula, dan (2) saat pemerintah kabupaten memutuskan untuk tidak bekerja sama (non-cooperative) yang direspons oleh masyarakat dengan sikap non-cooperative pula. Namun ganjaran tertinggi hanya akan dicapai apabila semua pihak memilih strategi untuk bekerjasama. Hal yang sama juga terjadi pada interaksi antara pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi. Singkatnya, adanya biaya sosial yang harus bersedia ditanggung oleh masing-masing aktor dalam strategi bekerjasama ternyata jauh lebih rendah daripada manfaat sosial. Apalagi jika diperhitungkan pemanfaatan ruang sosial yang menyertainya yang menambah suburnya demokratisasi.

Simpulan

Dari Uraian dan bahasan pada bab-bab terdahulu dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut:

1. a. Modal sosial di tingkat mikro (individu) dan di tingkat meso (kelompok) dianalisis berdasarkan data primer sedangkan modal sosial di tingkat makro (wilayah) dianalisis berdasarkan data panel. Secara umum, modal sosial individu di wilayah belum berkembang lebih rendah daripada di wilayah maju.

b. Rasa percaya individu di empat kabupaten di Bali berada dalam kategori rendah, kepadatan jaringan kerja individu berada dalam kategori sedang dan norma saling bantu berada dalam kategori tinggi.

c. Komponen dominan modal sosial individu di wilayah maju adalah rasa percaya sedangkan di wilayah belum berkembang adalah rasa percaya, jaringan kerja dan norma. Komponen dominan modal sosial kelompok dalam organisasi tradisional adalah jaringan kerja dan norma, dalam organisasi modern hanya rasa percaya sedangkan dalam desa/banjar pakraman adalah rasa percaya dan jaringan kerja.

2. Secara spesifik, keterkaitan modal sosial dengan kesejahteraan rumah tangga dan pembangunan wilayah dapat dinyatakan sebagai berikut:

a. Di tingkat mikro, modal sosial memiliki keterkaitan positif yang nyata dengan kesejahteraan rumah tangga (pendapatan rumah tangga). Semakin kuat modal sosial, semakin tinggi partisipasi dan kepadatan jaringan kerja maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan rumah tangga tersebut. Demikian pula sebaliknya. Semakin tinggi tingkat kesejahteraan rumah tangga cenderung akan menguatkan modal sosial.

b. Di tingkat makro, modal sosial berkaitan secara positif dan nyata dengan pembangunan wilayah (IPM) namun tidak memiliki keterkaitan yang nyata dengan kemiskinan (IKM) dan pertumbuhan ekonomi (laju PDRB). Kepadatan jaringan kerja, modal sosial mengikat (bonding social capital) dan modal sosial menyambung (bridging social capital) berpengaruh

negatif terhadap PDRB sedangkan modal sosial menyambung (bridging social capital) berpengaruh positif terhadap produktivitas faktor total (TFP).

3. Berdasarkan karakteristik sosial ekonomi masyarakat di Bali, maka

Dokumen terkait