Pada pasien dengan gejala disfungsi fokal sistem saraf sentral yang terjadi secara tiba-tiba, stroke iskemik harus dibedakan dari proses struktural atau
metabolik yang dapat menyerupai gejala stroke iskemik. Ketika hasil defisit neurologis tidak bersesuaian dengan distribusi dari salah satu arteri cerebri, perlu dicurigai proses yang mendasari lain disamping. Sebagai tambahan, stroke biasanya tidak memberikan gejala penurunan kesadaran tanpa ditemukannya defisit fokal, sementara gangguan cerebral lain dapat menyebabkannya. [7]
Kelainan vaskuler yang seringkali disangka merupakan stroke iskemik antara lain perdarahan intracerebral, hematoma subdural, hematoma epidural, dan perdarahan subarachnoid akibat rupturnya aneurysma atau malformasi vaskuler. Kondisi tersebut sering kali dapat dibedakan dari riwayat trauma, sakit kepala hebat pada saat kejadian, terjadinya penurunan kesadaran, atau adanya kekakuan leher pada saat pemeriksaan. Kondisi tersebut juga dapat dibedakan melalui CT scan atau MRI[7]
Lesi otak struktural lainnya seperti tumor atau abses dapat juga memberikan gejala fokal cerebral dengan onset akut. Abses cerebri dicurigai bila ditemukan bersamaan dengan adanya demam. Abses dan tumor juga dapat dibedakan dengan CT scan dan MRI. Gangguan metabolik, lebih tepatnya hypoglycemia dan hyperosmolar non ketotic hyperglycemia , dapat muncul menyerupai stroke, maka dari itu, pada pasien yang muncul dengan gejala stroke kadar glukosa diperiksa secara rutin. [7]
Tumor Cerebri
Gambar 14. Ct scan astrocytoma tingkat rendah10 [17]
Diagnosis banding sulit ditegakkan pada kasus astrocytoma tingkat rendah, lesi isodens atau hipodens pada CT scan kepala tanpa kontras. Dalam kasus tersebut, sangat penting untuk menentukan ada tidaknya lesi yang bersesuaian dengan wilayah pembuluh darah, pola perubahan, dan temuan klinis. Pada infark, efek massa dapat menyusut dan mereda dalam waktu 3 minggu; tampilan akhirnya berupa pembesaran ventrikel ipsilateral dan perubahan atrofi kortikal juga sering dijumpai pada kasus-kasus iskemia. Dalam kasus patologi neoplastik, edema vasogenik terbatas pada white matter saja dan secara bertahap menyebar. Defisit neurologis yang dihasilkan tumor cerebri, dengan volume lesi yang sama, jauh lebih sedikit dibandingkan iskemia. [18]
10 Ct scan astrocytoma tingkat rendah. Supir taxi berusia 28 tahun masuk ke unit gawat darurat
setelah mengalami kejang. Dilakukan pemeriksaan CT scan kepala dan tampak gambaran khas dari astrocytoma tingkat rendah. Lesi terletak pada lobus frontal kiri dengan densitas lesi yang hipodens[17]
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Farmakologis
Terapi thrombolitik IV
Tissue plasminogen activator (t-PA) mempu mengkatalis perubahan plasminogen menjadi plasmin, sehingga memiliki kemampuan untuk melisiskan sumbatan yang mengandung fibrin seperti yang ditemukan pada lesi cerebrovascular thrombotik. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa pemberian recombinant t-PA (rt-PA) IV (intra vena) dalam waktu 3 jam setelah munculnya gejala dapat menurunkan tingkat kecacatan dan kematian akibat stroke iskemik. Dosis pemberian adalah 0,9 mg/kg berat badan, dengan dosis maksimal 90 mg. 10% dosis diberikan secara bolus IV dan sisanya melalui drips selama 60 menit. Efektivitas dari pemberian rt-PA setelah 3 jam terhadap stroke dari onset stroke jika dibandingkan dengan pemberian obat thrombolitik lain seperti urokinase, atau pemberian secara intraarterial dari obat ini belum diketahui. [7]
Komplikasi terbanyak dari pemberian rt-PA adalah perdarahan, yang dapat mempengaruhi otak atau jaringan lain. Kurangnya bukti keuntungan pemberian rt-PA yang diberikan setelah 3 jam dari munculnya gejala, risiko terjadinya perdarahan, dan pentingnya diagnosis yang benar ketika pengobatan yang diberikan cukup berbahaya, menyebabkan rt-PA tidak dapat diberikan pada beberapa keadaan, misalnya adanya gambaran CT scan stroke iskemik luas atau perdarahan. Rt-PA juga tidak boleh diberikan kepada pasien dengan fungsi koagulasi yang terganggu, baik akibat pemberian warfarin, heparin atau oleh karena thrombocytopenia (thrombosit < 100.000/mm3), juga jika ditemukan tanda-tanda yang mengindikasikan peningkatan risiko perdarahan, misalnya kejang pada saat onset gejala akibat perdarahan intracranial, kelainan intracranial lain (termasuk stroke dan trauma) dalam 3 bulan terakhir, operasi besar dalam 14 hari terakhir, perdarahan traktur digestivus atau traktur urinarius dalam 21 hari terakhir, atau hipertensi berat (sistol >185 mmHg atau diastol >110 mmHg). Untuk menghindari mengobati TIA yang telah memasuki masa pemulihan, pada
dimana risiko yang mungkin terjadi lebih besar daripada keuntungan yang akan diperoleh, pasien dengan perbaikan defisit neurologis yang cepat atau spontan, pasien dengan defisit ringan atau terisolasi, pasien dengan glukosa darah yang konsisten hipo- atau hiperglikema (<50 mg/dl atau >400 mg/dl), harus dieksklusi.
[7]
Pasien yang mendapatkan pemberian rt-PA untuk stroke harus dirawat pada fasilitas yang dapat mendiagnosis stroke dengan ketepatan tinggi dan mampu menangani komplikasi perdarahan. Selama 24 jam pertama setelah pemberian rt-PA, tidak boleh diberikan antikoagulan dan antiplatelet, tekanan darah harus dimonitor secara cermat, serta harus dihindari punksi arteri, pemasangan infus vena sentral, kateter, maupun nasogastric tube. [7]
Terapi thrombolytic intraarterial
Pemberian urokinase, prourokinase, atau rt-PA secara intraarterial tengah diteliti sebagai pengobatan akut stroke. Hasil awal menunjukkan pemberian urokinase, dan mungkin obat thrombolytic lain, yang diberikan bersamaan dengan heparin IV dosis rendah, dapat memberikan keuntungan untuk pasien dengan stroke yang bersesuaian dengan distribusi arteri cerebri medius yang dapat ditangani dalam waktu 3-6 jam setelah onset gejala. [7]
Obat Antiplatelet
Beberapa penelitian menunjukkan penurunan insidens stroke ketika diberikan aspirin setelah stroke. [7]
Aspirin, ketika diberikan pada pasien dengan TIA ( minor stroke) terbukti menurunkan insidens TIA berikutnya, stroke, atau kematian. Pemberian aspirin juga berguna untuk mencegah iskemia cerebri berulang akibat cardiac emboli.
Dosis aspirin antara 80 sampai 1300 mg secara oral setiap hari terbukti efektif. [7]
Ticlopidine (250 mg oral, dua kali sehari), merupakan antiplatelet lain yang lebih efektif mencegah stroke dan menurunkan angka kematian pada pasien TIA atau stroke ringan. Tetapi ticlopidine lebih mahal daripada aspirin dan memiliki efek samping seperti diare, skin rash, dan kadang-kadang neutropenia berat walaupun reversible.[7]
Clopidogrel (75 mg oral per hari), menghambat agregasi platelet dengan berikatan ke reseptor adenosine diphosphate (ADP) pada permukaan platelet, terbukti menurunkan insidens stroke iskemik. Diare dan skin rash lebih sering dijumpai pada penggunaan obat ini, tetapi neutropenia dan thrombocytopenia terjadi dalam tingkat yang sama. Pada beberapa pasien pengobatan dengan obat ini menimbulkan komplikasi berupa thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP).[7]
Antikoagulan
Antikoagulan belum terbukti berguna pada kebanyakan kasus stroke. Pengecualin dimana terdapat sumber cardiac emboli yang menetap. Antikoagulan diindikasikan untuk mencegah terjadinya stroke embolik, walaupun tidak memberikan pengaruh kepada perjalanan penyakit stroke yang telah terjadi. [7]
Heparin merupakan drug of choice sebagai antikoagulan akut. Heparin biasanya digunakan dengan infus IV 1000-2000 unit/jam. aPTT ( activated partial thromboplastin time) harus diukur minimal satu kali sehari dan dosis herparin disesuaikan untuk menjaga aPTT pada kisaran 1,5-2,5 kali dari nilai sebelum pengobatan dilaksanakan. [7]
Warfarin (Dosis maintenance 5-15 mg/hari oral), dapat dimulai bersamaan dengan terapi heparin. Sekitar 2 hari setelah PT ( prothrombin time) mencapai 1 sampai 1,5 kali dari nilai sebelum terapi (biasanya sekitar 5 hari) pemberian heparin dapat dihentikan. PT atau INR ( international normalized ratio ) harus diukur sekurang-kurangnya setiap 2 minggu sekali dan dosis warfarin disesuaikan untuk menjaga PT = 1,5 kali kontrol atau INR 3,0-4,0. [7]
Operasi
Indikasi penatalaksanaan operasi pada stroke komplit sengat terbatas pada keadaan dimana terjadi stroke yang diikuti peningkatan tekanan intracranial dan dibutuhkan dekompresi segera. [7]
Obat antihipertensi
Walaupun hipertensi berkontribusi atas patogenesis stroke dan banyak pasien dengan stroke memiliki tekanan darah yang meningkat, usaha untuk
buruk, karena suplai darah ke daerah iskemik yang belum infark dapat terganggu. Sehingga penggunaan obat hipertensi tidak diperbolehkan. Secara normal tekanan darah akan menurun secara spontan setelah beberapa jam sampai beberapa hari. [7]
Obat antiedema
Obat antiedema seperti manitol dan corticosteroid belum terbukti memberikan keuntungan untuk cytotoxic edema (pembengkakan seluler) yang berhubungan dengan infark cerebri. [7]
Obat neuroprotektif
Bermacam-macam obat dengan mekanisme farmakologis yang bervariasi telah diajukan sebagai obat neuroprotektif yang mampu menurunkan derajat kerusakan iskemik cerebri dengan menurunkan metabolisme otak atau mengintervensi mekanisme sitotoksik yang dipicu oleh iskemia. Obat-obat tersebut meliputi barbiturat, opioid antagonis (nalaxone) voltage-gated calcium channel antagonist (nimodipine) excitatory amino acid receptor antagonist , throphic factors, gangliosides, dan lipid peroxidation inhibitor (trilazad), walaupun begitu, percobaan klinis terhadap obat-obat ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan. [7]
Penatalaksanaan Nonfarmakologis
Magnesium
Magnesium berperan dalam berbagai proses yang berhubungan dengan iskemia cerebri, termasuk inhibisi pelepasan glutamat presynaptic, NMDA receptor blockade, calcium channel antagonism, dan memelihara aliran darah otak. Penelitian pada model hewan, pemberian magnesium IV paling lambat 6 jam setelah onset stroke, dengan dosis dua kali dari konsentrasi serum normal,
mampu menurunkan volume infark. Pada studi klinis, magnesium diteliti mampu menurunkan angka kematian dan kecacatan akibat stroke. Tetapi, pada uji coba multicenter dalam skala besar yang melibatkan 2589 pasien, magnesium yang diberikan 12 jam setelah stroke akut tidak menunjukkan penurunan risiko kematian maupun kecacatan secara signifikan, walaupun beberapa keuntungan telah didokumentasi pada kasus stroke lakunar. Penelitian lebih lanjut tengah
berlangsung untuk menentukan apakah pemberian magnesium, dengan mengurangi waktu pengobatan, memberikan keuntungan bagi pasien stroke. [10]
Infusi Albumin
Infusi albumin dapat meningkatkan perfusi eritrosit dan menekan adhesi thrombosit dan leukosit pada sirkulasi mikro otak, terutama selama fase reperfusi awal setelah iskemi fokal. Albumin juga menurunkan hematokrit secara signifikan, dengan begitu akan meningkatkan aliran sirkulasi mikro, viskositas plasma dan deformabilitas sel, begitu juga dengan kapasitas transport oksigen. Pada hewan uji coba, Albumin memberikan efek menurunkan volume infark, meningkatkan skor neurologi, dan menurunkan edema cerebri. Efek tersebut mungkin menggambarkan kombinasi sifat terapinya, termasuk efek antioksidan, efek antiapoptotik pada endothelium, dan efek menurunkan darah statis pada sirkulasi mikro. Uji coba klinis untuk mengetahui efek dari albumin pada saat ini sedang direncanakan. [10]
Hipotermia
Hampir semua kejadian iskemik dimodulasi oleh suhu, dan pertahanan otak terhadap hipotermia dipercaya meningkatkan resistensi terhadap berbagai jalur mekanisme berbahaya, termasuk stess oksidatif dan inflamasi. Secara umum, sebagian besar proses biologis menampilkan Q10 sekitar 2,5, yang memiliki makna bahwa penurunan suhu 1 ºC menurunkan tingkat respirasi seluler, permintaan oksigen, serta produksi karbondioksida sekitar 10%. Penurunan temperatur juga menurunkan tingkat proses patologi seperti peroksidasi lipid, begitu juga dengan aktivitas beberapa protease cystein atau serine. Tetapi, detoksidikasi dan proses perbaikan juga ikut melambat, sehingga hasil akhir yang diharapkan tidak dapat dipastikan. [10]
Penurunan suhu otak dapat diperoleh secara cepat (dan spontan) ketika aliran darah ke seluruh otak berhenti akibat serangan jantung, dan termoregulator dapat menjadi abnormal akibat disfungsi hipotalamus. Jika hanya satu segmen dari otak yang mengalami iskemik, otak yang tidak mengalami kerusakan tetap menjadi sumber panas metabolisme aktif. Jika hipotermia sedang (28-32 ºC)
terkini menunjukkan bahwa sedikit penurunan dari temperatur tubuh (dari normothermia ke 33-36 ºC) cukup untuk menurunkan tingkat kematian sel-sel saraf. Pada model global dari iskemia hippocampal, hiporetmia menguntungkan jika dimulai 30 menit sebelum tetapi tidak dalam 10 menit setelah onset troke. Tetapi, bila pendinginan diperpanjang (12-48 jam), proteksi terhadap kerusakan cukup signifikan baik pada iskemia cerebri fokal maupun global. Pada manusia, hasil positif baru-baru ini dilaporkan pada dua penelitian uji klinis secara acak dari hipotermia ringan pada pasien selamat yang keluar dari rumah sakit setelah serangan jantung. Sekarang ini beberapa penelitian baik yang berdiri sendiri maupun penelitian multicenter secara acak sedang dilakukan pada pasien dengan stroke iskemik dan hemorrhagik [10]
Induksi Hipertensi
Penumbra iskemik menunjukkan adanya ketidakmampuan proses autoregulasi, dimana daerah ini tampak sangat sensitif terhadap manipulasi tekanan darah. Alasan rasional dari penginduksian hipertensi sebagai terapi stroke diperoleh dari penelitian yang menunjukkan bahwa peningkatan tekanan darah arteri rata-rata memberikan hasil perbaikan perfusi otak disertai kembalinya aktivitas elektrik pada daerah penumbra. Pada hewan uji coba dengan iskemia cerebri fokal, terapi induksi hipertensi ditemukan mampu meningkatkan aliran darah otak, meredam kerusakan otak, dan meningkatkan fungsi neurologis. Pada manusia dengan stroke iskemik akut, peningkatan tekanan darah secara spontan adalah hal yang umum ditemui, bahkan pemberian terapi antihipertensi yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan neurologis. [10]
Perhatian utama pada terapi induksi hipertensi meliputi risiko memicu terjadinya perdarahan intracerebral serta memperburuk edema cerebri, terutama pada pasien dengan reperfusi, begitu juga dengan komplikasi sistemik seperti iskemi myocard, cardiac arrythmia, dan iskemi akibat vasokonstriksi yang diinduksi oleh phenyleprhine. Pada akhirnya, pengobatan ini mungkin lebih berguna pada pasien stroke yang bukan merupakan kandidat terapi thrombolitik.
Hiperoksia
Hipoksia jaringan memainkan peranan penting pada kejadian primer dan sekunder yang mengarah kepada kematian sel setelah stroke iskemik, sehingga peningkatan oksigenasi otak telah lama dipertimbangkan sebagai strategi pengobatan stroke yang logis. Secara teori, oksigen seharusnya menjadi pengobatan yang baik untuk mengatasi stroke karena oksigen memliki beberapa keuntungan dibandingkan obat-obatan lain, diantaranya oksigen dapat dengan mudah berdifusi melewati sawar darah otak, memiliki berbagai efek keuntungan biokimia, molekuler, dan hemodinamik, lebih mudah ditolerir, dan dapat diberikan dalam dosis tinggi tanpa dosis batas efek samping (kecuali pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis). Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa pemberian oksigen bermakna positif mengubah tingkat glutamat, laktat, bcl2, manganese superoxide dismutase, cyclooxygenase-2, dan menghambat mekanisme kematian sel seperti apoptosis. Terapi oksigen hiperbarik telah secara luas diteliti karena secara signifikan dapat meningkatkan tekanan parsial oksigen jaringan otak, yang dipercaya penting untuk neuroproteksi yang efektif. Walaupun
terapi ini telah menunjukkan kegagalan pada tiga penelitian uji coba klinis. Terdapat pemahaman bahwa faktor barotrauma dari tekanan ruangan yang tinggi, keterlambatan dimulainya terapi (2-5 hari setelah stroke), dan pemilihan pasien yang buruk menyebabkan kegagalan uji coba klinis tersebut. Saat ini efek klinis dari terapi oksigen hiperbarik pada stroke akut sedang ditinjau ulang. [10]
Disisi lain, penelitian mengenai efek terapi dari terapi hiperoksia normobarik juga tengah dimulai oleh beberapa peneliti. Pemberian terapi hiperoksia normobarik memiliki beberapa keuntungan, antara lain: mudah dilakukan, dapat ditoleransi dengan baik, terjangkai, tersedia luas, dapat dimulai segera setelah onset stroke, dan noninvasif. Pada penelitian dengan hewan uji coba, terapi ini menunjukkan penurunan volume infark, perbaikan defisit neurobehavioural, dan perfusi parameter MRI dari iskemia, dan meningkatkan tekanan oksigen interstitial pada jaringan penumbra. Jika dibandingkan dengan terapi oksigen hiperbarik, terapi oksigen normobarik relatif kurang efektif dalam meningkatkan tekanan parsial oksigen otak, dan mekanisme neuroproteksinya
Penelitian lebih lanjut juga perlu dilakukan untuk mengetahui keamanan dari terapi ini. Secara teori, peningkatan pemberian oksigen dapat meningkatkan radikal bebas oksigen, yang secara teori dapat memperberat kerusakan dengan mendorong proses seperti peroksdasi lipid, inflamasi, apoptosis, dan glutamate exitoxicity. Data menunjukan bahwa keuntungan oksigen hanya bersifat sementara dan tidak dapat dipertahankan tanpa reperfusi yang tepat waktu. Pada akhirnya, terapi oksigen dapat lebih bermanfaat jika dikombinasikan dengan terapi reperfusi, atau digunakan sebagai strategi untuk memperpanjang waktu untuk terapi seperti t-PA.[10]
Prognosis
Hasil akhir stroke tergantung dari beberapa faktor, yang paling penting adalah sifat dan derajat keparahan yang menyebabkan defisit neurologis. Umur pasien, penyebab stroke, dan kelainan medis yang menyertai juga turut mempengaruhi prognosis. Secara keseluruhan, kurang dari 80% pasien dengan stroke yang mampu bertahan setidaknya 1 bulan, dan 10-years survival rate berkisar pada 35%. Dari pasien yang mampu bertahan pada periode akut setengah sampai dua pertiga mampu mendapatkan kembali fungsi independen, sedangkan sekitar 15% membutuhkan perawatan institusional. [7]