• Tidak ada hasil yang ditemukan

DIAGNOSIS BANDING INFEKSI OPORTUNISTIK SSP PADA PASIEN AIDS

PATOGEN IMAGING PEM.PENUNJANG LAIN

Ensefalitis toksoplasm osis, CD4<100 Lesi massamultipel/kdg-kdg single

pada CT/MRI, biasanya pada basal ganglia, ring enhancement pada CT

IgG serum terhadap toksoplasmosis (+)

Meningitis criptokokus , CD4<100

Nonspesifik LCS : tekanan tinggi, kadar glucosa rendah, protein, antigen kriptokokus (+) kultur (+)

Lainnya : antigen serum biasanya juga (+) Meningitis Tuberkulosi s Nonspesifik (lesi massa jarang)

dengan abnormalitas pada CXR

LCS: protein, kadar glucosa rendah, pleositosis, kultur acid-fast bacteria (+) sediaan hapus selalu (-)

Sifilis Nonspesifik LCS: protein dan

WBC,VDRL(+) Ensefalitis

HSV

edema, focal haemorrhage biasanya pada lobus medial

temporal/inferior frontal

LCS: limfositik, pleositosis, protein, PCR HSV

HIV, CD4<200

atrofi difus, patchy/diffuse white matter changes on T2-weighted MRI pd stadium lanjut

Lainnya: beta-2 mikroglobulin LCS, HIV RNA tinggi pada semua kasus

PML,CD4<100 Single/multiple focal/diffuse white matter lesions tanpa ring enhancement

LCS: PCR untuk virus JC DNA

Limfoma primer SSP, CD4<100 Single/multiple lesions pd CT/MRI, ring enhancementpd CT

Biopsi otak/LCS sitologi (+), LCS PCR EBV (+)

Tuberculosis

Tuberculosis adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri yaitu bakteri yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. TB biasanya mempengaruhi paru – paru, tetapi kadang – kadang dapat juga mempengaruhi organ tubuh lain, terutama pada penderita HIV dengan CD4 dibawah 200.

 TB primer terjadi setelah terinfeksi TB untuk pertama kali. Insiden TB primer progresif sangat tinggi pada pasien HIV + dengan derajat imunosupresi lanjut. Imunosupresi menyebabkan pasien tidak mampu membentuk reaksi imunologi yang diperantarai sel T CD4 untuk menahan infeksi.

 TB sekunder merupakan penyakit yang terjadi pada pejamu yang telah tersensitasi. Umumnya muncul karena reaktivasi lesi primer dorman

Pengobatan antiretroviral dan pengobatan TB

TB paru dengan CD4 di bawah 200 atau limfosit total di bawah 1.200, atau TB di luar paru

Mulai OAT.

Mulai ART segera setelah tidak ada keluhan dengan OAT

TB paru dengan CD4 200-350, atau CD4/limfosit tidak diketahui

Mulai OAT.

Mempertimbangkan ART setelah selesai fase intensif OAT

TB paru dengan CD4 di atas 350 Mulai OAT.

Mempertimbangkan ART setelah terapi TB selesai

HIV Testing. A. Pendahuluan.

 Untuk mengetahui secara pasti apakah seorang terinfeksi HIV.  Secara garis besar untuk memastikan diagnosis maka dilakukan :

i. Pemeriksaan serologik untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV.

ii. Pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan virus HIV. B. Pemeriksaan Antibodi.

 Pemeriksaan dilakukan setelah masa jendela.

 Masa jendela adalah waktu sejak tubuh terinfeksi sampai timbulnya antibodi.  Antibodi mulai terbentuk pada 4-8 minggu setelah infeksi.

 Jadi jika tes dilakukan pada masa tersebut kemungkinan akan menghasilkan hasil yang negatif.

 Untuk itu perlu dilakukan kembali 3 bulan kemudian.

 Teknik yang dilakukan adalah teknik ELISA dan Western blot.

C. Teknik ELISA.

Pendahuluan.

i. Uji serologi yang digunakan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV karena ELISA bereaksi terhadap antibodi dalam serum

dengan memperlihatkan warna yang lebih jelas apabila terdeteksi antibodi virus dalam jumlah besar.

Indikasi .

i. Pasien yang ingin di tes.

ii. Pasien dengan resiko tinggi (Sex bebas,penggunaan jarum suntik, pekerja sex).

iii. Pasien yang dengan kondisi dan infeksi seperti Sarkoma Kaposi serta pneumonia.

iv. Wanita hamil, untuk membantu pencegahan virus ke bayi . v. Pasien dengan infeksi yang tidak biasa seperti gonnorhea.  Prosedur.

i. Well dilapisi atau ditempeli antigen.

ii. Sampel darah (antibodi) yang ingin diuji ditambahkan.

iii. Antibodi yang sesuai akan menempel dengan antigen yang ada di well. iv. Dicuci dengan bufer washer untuk menghilangkan antibodi yang tidak

berikatan dengan antigen yang pada well.

v. Ditambahkan konjugat seperti peroksidase alkali. Konjugat ini akan menguatkan ikatan antigen-antibodi.

vi. Dibiarkan dalam waktu yang ditentukan.

vii. Dimasukkan substrat enzim yang dapat menimbulkan warna tertentu saat bereaksi.

viii. Diberikan stop solution untuk menghentikan proses sebelumnya . ix. Intensitas warna campuran diukur dengan spektrofotometer yang

disebut ELISA reader hingga mendapatkan hasil. D. Teknik Western Bolt.

 Merupakan teknik yang digunakan untuk mengidentifikasi protein spesifik dari kumpulan protein ekstra sel.

 Terdapat 3 prinsip :

i. Pemisahan seusai ukurannya. ii. Pemindahan ke lapisan padat.

iii. Penandaan target protein untuk memudahkan observasi .  Prosedur :

1. Cucilah sel yang ada di labu kultur jaringan dengan penambahan PBS (Phospate buffered saline) kemudian goyangkan. Lalu sisihkan PBS tersebut.

2. Tambahkan kembali PBS kemudian gunakan cell scraper untuk. memisahkan sel. Ambil di pipete larutan tersebut dan masukan ke microsentrifuge tubes.

3. Sentrifusikan pada 1500 RPM selama 5 menit dan lepaskan supernatant.

4. Tambahkan 180 uL ice cold cell lysis buffer dan 20 uL fresh protease inhibitor cocktail .

5. Inkubasikan selama 30 menit pada suhu dingin. Kemudian spinasikan untuk 10 menit pada 12.000 RPM di 4 derajat C. 6. Pindahkan supernatant ke tabung dan simpan di suhu -20

derajat C.

7. Yakinkan konsentrasi protein dengan menggunakan spektrofotometer.

ii. Sample Preparation

1. Letakan 50 ug ekstrak protein di setiap well. 2. Tambahkan larutan buffer dan ratakan well.

3. Panaskan sampel selama 5 menit di suhu 100 derajat C. iii. Gel Preparation.

1. Setelah preparat sudah menjadi gel solution, letakan di tempat gel (gel solidification).

2. Lakukan secara hati-hati hingga berada di garis hijau pada gel solidifaksi tersebut. Tambahkan H20 di atasnya. Tunggu 15-30 menit sampai gel tersolidifikasi.

3. Buang air yang tadi ditambahkan lalu lapiskan gel tersebut dengan separating gel .

4. Masukan comb, untuk memastikan tidak ada gelembung air. 5. Tunggu kembali hingga gel tercampur dengan merata. iv. Elektroforesis.

1. Tuangkan preparat tadi ke elektroforator.

2. Tambahkan gel tersebut ke dalam eketroforator dan jangan lupa untuk hubungkan power supply.

3. Yakinkan bahwa preparat buffer tersebut tertutupi dengan gel seluruhnya, dan pastikan tidak ada gelembung air.

4. Tambahkan marker (6uL) di setiap sampel.

5. Operasikan dalam 60V kemudiam 140V selama 1 jam.

v. Elektrotransfer.

1. Potonglah 6 filter helaian dan 1 PDVF (Polyvinylidene Fluoride) di ukuran yang sama.

2. Basahkan spons dan helaian tersebut pada buffer tersebut. Kemudian basahkan PDVF dengan metanol.

3. Buatlah sandiwch transfer a. Sponse

b. 3 kertas saringan c. Gel PVDF d. 3 kertas saringan.

4. Tempatkan sandwich di apparatus, kemudian tambahkan buffer kembali dan pastikan seluruh permukaan sandwich tertutup oleh buffer.

5. Letakan elektroda di atas sandwich dan pastikan PVDF membran terletak diantara gel dan elektrode.

6. Tunggu selama 90 menit. vi. Blocking and intubasi antibodi

1. Tutupi membran dengan 5% susu milk di TBST selama 1 jam. 2. Tambahkan antibodi primer di 5% BSA (Bovine Serum

Albumin) dan inkubasikan sepanjang malam dengan 4 derajat C di pengocok/shaker.

3. Cucui membran dengan TBST selama 5 menit. Lakukan ini 3 kali.

4. Tambahkan antibodi sekunder di 5% susu skim di TBST dan inkubasikan selama 1 jam.

5. Cuci membran TBST selama 5 menit. Lakukan ini 3 kali. 6. Siapkan larutan ECL. Inkubasikan membran selama 1-2 menit. 7. Lihat hasilnya di ruangan yang gelap.

vii. Recipe

1. Larutkan larutan ini di 800 ml H2O : a. 8.8 g NaCl b. 0.2 g KCl c. 3 g Tris base 2. Tambahkan 500 ul Tween-20 3. Buatlah pH jadi 7.4 4. Tambahkan 1L H20

5. Sterilkan dengan filtrasi atau autoklaf E. Hasil

 Hasil positif tidak selalu pasien tersebut terkena infeksi HIV. Namun pada beberapa penyakit seperti sifilis dan lupus juga menghasilkan hasil yang positif.

 Umumnya, hasil ELISA yang positif akan dilanjutkan dengan hasil western blot. Jika pada western blot memberikan hasil yang positif, dapat didiagnosis pasien tersebut terkena infeksi HIV.

 Apabila tes western bolt negatif maka terdapat kesalahan pada pemeriksaan tes ELISA.

 Hasil tes yang negatif belum tentu tidak adanya infeksi HIV, karena harus memperhatikan masa jendela.

 Jika pemeriksaan tes ELISA dan western bolt menghasilkan hasil yang negatif namun terdapat manifestasi klinik yang sesuai dengan HIV pada pasien, dapat dilakukan pemeriksaan tes lainnya seperti tes untuk mengetahui keberadaan HIV.

F. Pengukuran sel CD4+

 Pada sistem imun normal, jumlah limfosit CD4+ berkisar dari 600-1200/ul darah.

 Dilakukan pengukuran segera setelah infeksi.

 Segera setelah infeksi virus primer, hitung limfosit CD4+ turun dibawah kadar normal karena HIV melakukan replikasi dengan menggunakan sel inang CD4+ sehingga terjadi lisisnya sel CD4+.

 Pengaruh CD4+ terhadap HIV

 Menurut CDC, pasien yang memiliki hitung limfosit CD4+ kurang dari 200/ul dapat menjadi penyakit indikator AIDS karena pasien tersebut mengalami imunosupresi yang berat dan beresiko tinggi terjadi keganasan serta infeksi oportunistik.

BAB III

PENUTUP

Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. Infeksi HIV pada manusia dianggap sebagai pandemi oleh World Health Organization (WHO). Dari penemuan pada tahun 1981 sampai 2006, AIDS telah membunuh lebih dari 25 juta orang. HIV menginfeksi sekitar 0,6% dari populasi dunia. Pada tahun 2005 saja, penderita AIDS lebih dari 570.000 adalah anak-anak. Dengan pertumbuhannya yang semakin pesat, perlu untuk kita mengetahui apa saja komplikasi neurologis yang dapat terjadi.

31-60% pasien AIDS memiliki kelainan neurologis. Kelainan ini mengenai SSP dan sedikit ke sistem saraf tepi. Infeksi yang mengenai SSP pada AIDS ada dua jenis yaitu infeksi opportunis sekunder atas imunosupresi yang diinduksi oleh hilangnya imunitas sel-T, dan infeksi HIV langsung yang tampil sebagai meningitis atau kompleks dementia AIDS, manifestasi ensefalitis HIV yang secara klinis dan biologis berjangkauan luas.

Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada penderita HIV/AIDS, akibatnya mudah terkena penyakit-penyakit lain seperti penyakit infeksi disebabkan oleh virus, bakteri, protozoa dan jamur dan juga mudah terkena penyakit keganasan.

Pengobatan untuk infeksi oportunistik bergantung pada penyakit infeksi yang ditimbulkan. Pengobatan status kekebalan tubuh dengan menggunakan immune restoring agents, diharapkan dapat memperbaiki fungsi sel limfosit, dan menambah jumlah limfosit.

Penatalaksanaan HIV/AIDS bersifat menyeluruh terdiri dari pengobatan, perawatan/rehabilitasi dan edukasi. Pengobatan pada pengidap HIV/penderita AIDS ditujukan terhadap: virus HIV (obat ART), infeksi opportunistik, kanker sekunder, status kekebalan tubuh, simptomatis dan suportif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Aru W. Sudoyo, dkk. HIV/AIDS di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006

2. Sylvia Price dan Lorraine Wilson. Human Immunodeficiency (HIV)/Acquired Immunodeficiency Sindrome). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 1. Edisi 6. Jakarta: EGC,2006

3. Patric Davey. Infeksi HIV dan AIDS. At a Glance Medicine. Jakarta: EMS. 2006 4. Yayasan Spirita. 2007. Oleh National institude of Neurological Disorders and Stroke.

Diunduh dari http://www.spirita.or.id

5. Yayasan Spirita. Agustus 2010. Meningitis Kriptokokus. Di unduh dari http://spiritia.or.id/li/bacali.php?.

Dokumen terkait