• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II Landasan Teori

2.1.2. Ganguan Akibat Kekurangan Yodium

2.1.2.7. Diagnosis

yaitu sebuah proses yang dapat ditunjukkan dengan meningkatkan asupan tiroidal yodium radio aktif isotop dan yodium.

Dalam keadaan defisiensi yodium selama kehamilan seperti yang terjadi di daerah kretin endemik, akan mengakibatkan naiknya angka kejadian abortus spontan, kelahiran prematur, dan kematian bayi dini (early infant death). Demikian juga dengan meningkatnya angka kejadian hipertirotropinemia neonetal sementara. Pada masa neonatus, keadaan terpenting dalam kaitannya dengan perubahan fungsi tiroid akibat defisiensi yodium semasa masa kehamilan adalah kejadian hipoteroidisme pada neonatus tersebut. Sedang pada hipoteroidi kongenital terjadi karena kegagalan sintesis hormon tiroid fetus secaara permanen. Walaupun hanya sementara ternyata dapat menimbulkan gangguan intelektual di kemudian hari (Bambang Hartono, 2001 :19).

Defisiensi yodium pada janin merupakan dampak dari kekurangan pada ibu. Keadaan ini berkaitan dengan meningkatnya insidensi lahir mati, aborsi, cacat lahir, yang kesemuanya ini sesungguhnya dapat dicegah melalui intervensi yang tepat. Pengaruh ini serupa dengan pengaruh pada wanita yang menderita hipotiroidisme yang dapat diobati dengan pengobatan pengganti hormon tiroid (Arisman MB, 2004:134),.

2.1.2.7Diagnosis

Keluasan dan keparahan GAKY perlu dinilai dengan seksama untuk menentukan perlu atau tidaknya intervensi. Indikator utama diagnosis ialah Total Goitre Rate dan Urinary Iodine Level. Kedua indikator inilah yang biasanya dianalisis pada pemeriksaan populasi anak usia pra-sekolah. Suatu daerah

ditetapkan sebagai daerah endemis manakala lebih dari 10 % populasi, anak yang berusia antara 6-12 tahun terjangkit gondok (Arisman, 2004).

1). TGR (Total Goitre Rate).

Pengukuran prevalensi pembesaran kelenjar thyroid menggunakan indikator Total Goitre Rate (TGR) dan Visible Goitre Rate (VGR). TGR merupakan semua pembesaran kelenjar thyroid baik yang tampak maupun yang tidak tampak, sedangkan VGR merupakan pembesaran kelenjar thyroid yang tampak (Siti Arifah P, 2008). Cara menghitung TGR dan VGR seperti terdapat pada rumus dibawah ini : % 100 Palpasi yang Anak Jumlah II Kelompok Pembesaran VGR % 100 Palpasi yang Anak Jumlah II Kelompok Pembesaran I Kelompok Pembesaran TGR x x = + =

Khusus mengenai pembesaran kelenjar gondok, kriteria yang dipakai saat ini adalah TGR (Total Goitre Rate) yaitu pembesaran kelenjar gondok derajat I dan II. Bila di suatu daerah TGR lebih besar daripada 5 % maka daerah itu dapat dikatakan endemik gondok atau daerah yang harus mendapat perhatian, karena sudah terjadi masalah kesehatan masyarakat khususnya masalah GAKY.

Untuk kegawatannya menurut WHO dapat dibagi menjadi : • ≤ 5,0 % : Non endemik

• 5,0 % - 19,9 % : Endemik Ringan • 20 % - 30 % : Endemik Sedang • ≥ 30 % : Endemik Berat

31

Dalam rangka penentuan pembesaran gondok, maka metode yang digunakan adalah inspeksi (pengamatan) dan palpasi (perabaan). Metode inspeksi digunakan sebagai alat untuk menduga apakah ada pembesaran atau tidak, sedangkan untuk mengkonfirmasi apakah ada pembesaran betul-betul pembesaran kelenjar gondok, maka perlu dilakukan palpasi, sehingga palpasi disebut juga sebagai alat konfirmasi (Supariasa, 2001:134)

Cara untuk menentukan pembesaran kelenjar gondok yang paling efisien dan dapat dilakukan secara cepat sehingga dalam waktu relatif singkat dapat memeriksa orang dalam jumlah yang banyak yaitu dengan cara palpasi. Hanya saja teknik ini sangat tergantung pada ketrampilan seeorang terutama pemeriksaan kelenjar gondok derajat ringan. Jadi nilai subyektifnya cukup besar. Walaupun demikian cara palpasi ini oleh WHO masih dipakai secara standar untuk survei epidemiologik adanya daerah yang mengalami defisiensi yodium.

Urutan pemeriksaan kelenjar gondok adalah sebagai berikut :

(1).Orang (sampel) yang diperiksa berdiri tegak atau duduk menghadap pemeriksa

(2).Pemeriksa melakukan pengamatan di daerah leher depan bagian bawah terutama pada lokasi kelenjar gondoknya.

(3).Amatilah apakah ada pemebesaran kelenjar gondok (termasuk tingkat II atau III).

(4).Kalau bukan, sampel disuruh menengadah dan menelan ludah. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah yang ditemukan adalah kelenjar

gondok atau bukan. Pada gerakan menelan, kelenjar gondok akan ikut terangkat ke atas.

(5).Pemeriksa berdiri di belakang sampel dan lakukan palpasi. Pemeriksa meletakkan dua jari telunjuk dan dua jari tengahnya pada masing-masing lobus kelenjar gondok.

(6).Menemukan (mendiagnosis) apakah orang (sampel) menderita gondok atau tidak. Apabila salah satu atau kedua lobus kelenjar lebih kecil dari ruas terakhir ibu jari orang yang diperiksa, berarti orang tersebut normal. Apabila salah satu atau kedua lobus ternyata lebih besar dari ruas terakhir ibu jari orang yang diperiksa maka orang tersebut menderita gondok. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan palpasi gondok adalah sebagai berikut :

a) Cahaya hendaknya cukup menerangi bagian leher orang yang diperiksa. b) Pada saat mengamati kelenjar gondok, posisi mata pemeriksa harus sejajar

(horisontal) dengan leher orang yang diperiksa.

c) Palpasi (perabaan) jangan dilakukan dengan tekanan terlalu keras atau terlalu lemah. Tekanan yang terlalu keras akan mengakibatkan kelenjar masuk atau pindah ke bagian belakang leher, sehingga pembesaran tidak teraba.

Klasifikasi pembesaran menurut WHO dapat dibagi sebagai berikut :

(a) Grade 0 : dengan inspeksi tidak terlihat, baik datar maupun tengadah maksimal dan dengan palpasi tidak teraba.

33

(b) Grade I A : kelenjar gondok tidak terlihat, baik datar maupun penderita tengadah maksimal dan palpasi teraba lebih besar dari ruas terakhir ibu jari penderita.

(c) Grade I B : kelenjar gondok dengan inspeksi datar tidak terlihat tetapi terlihat dengan tengadah maksimal dan dengan palpasi teraba lebih besar dari Grade IA.

(d) Grade II : kelenjar gondok dengan inspeksi terlihat dalam posisi datar dan dengan palpasi terasa lebih besar dari Grade IB.

(e) Grade III : kelenjar gondok cukup besar sehingga dapat terlihat dari jarak yang cukup jauh (sekitar 6 meter atau lebih) (Supariasa, 2001:134-136).

2) Pemeriksaan UIE

Ekskresi yodium dalam urine mencerminkan besaran asupan yodium. Cara ini telah diterapkan pada survei gizi berskala besar, karena hanya sedikit sekali yodium yang diekskresikan melalui tinja. Penentuan ekskresi yodium dalam urine dapat dilakukan dengan sampel urine 24 jam. Namun urine 24 jam tidak praktis digunakan dalam survei berskala luas, yang melibatkan banyak sekali sampel. Oleh karena itu contoh urine sewaktu, tanpa harus puasa terlebih dahulu, kerap digunakan meskipun tidak cocok diterapkan untuk pemeriksaan status yodium seseorang. Metode ini tidak dapat digunakan jika fungsi ginjal sampel tidak normal dan atau mengalami KKP (Arisman, MB, 2004:138)

Untuk mengetahui Total Goiter Rate (pembesaran kelenjar gondok) di masyarakat selain dilakukan dengan cara palpasi dapat juga dengan pemeriksaan

kadar yodium dalam urine dan kadar Thyroid Stimulating Hormon dalam darah. Metode penentuan kadar yodium dalam urine dengan menggunakan metode Cerium.

Prosedur penentuan kadar yodium dalam urine dengan menggunakan metode Cerium adalah sebagai berikut :

(1).10 ml urine didestruksi (pengabuan basah) dengan penambahan 25 ml asam klorat 28 % dan 1 ml kalium kromat 0,5 %.

(2).Panaskan di atas hotplate sehingga volume larutan menjadi kurang dari 0,5 ml. Larutan ini diencerkan dengan air suling sehingga volume larutan menjadi 100 ml.

(3).Dari larutan terakhir ini dipipet 3 ml, kemudian ditambahkan 2 ml asam arsenit 0,2 N, lalu didiamkan selama 15 menit.

(4).Kedalam tiap larutan kemudian ditambahkan 1 ml larutan cerium (4+) ammonium sulfat 0,1 M, dikocok kembali didiamkan selama 30 menit. Absorpsi dilakukan pada panjang gelombang 420 nm (Supariasa, 2001:163-164).

Dokumen terkait