• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Hubungan Hukum Adat dan Hukum Islam

Masa sekarang ini sistim perkawinan yang banyak berlaku adalah sistim dimana seorang pria tidak lagi diharuskan atau dilarang untuk mencari calon isteri di luar atau di dalam lingkungan kerabat/suku melaikan dalam batas-batas keturunan dekat (nasab) atau periparan (musyaharah) sebagaimana ditentukan oleh hukum Islam atau hukum perundang-undangan yang berlaku.54

Di samping itu pihak orang tua masih menginginkan agar dalam mencari jodoh anak-anak mereka memperhatikan, sebagaimana dikatakan orang Jawa bibit, bobot, dan bebet dari si pria atau wanita bersangkutan. Apakah bibit seseorang itu berasal dari keturunan yang baik, bagaimana sifat watak perilaku dan kesehatannya, bagaimana keadaan orang tuanya. Bagaimana pula bobotnya, harta kekayaan dan kemampuan serta ilmu pengetahuannya, apakah anak itu anak yang bertanggung jawab atau tidak. Bagaimana pula bebetnya, apakah mempunyai martabat yang baik atau tidak.55

53

Purwadi, Upacara Tradisional Jawa Menggali Untaian Kearifan Local, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 159.

54Hilman Hadikusuma, “Hukum Perkawinan Adat”( Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,

1995), 69.

55

30

Hubungan hukum Islam dengan hukum adat tercermin dari aturan-aturan hukum Islam perlunya ditemukan nilai maslahat dalam konteks budaya msyarakat penerima pertamanya, untuk kemudian dianalogikan dengan konteks masyarakat sekarang. Metode ini bertumpu pada empat prinsip, yaitu:56

a. Dalam menetapkan hukum harus menggunakan kolektifitas dalil, tidak bertumpu pada satu dalil saja;

b. Memperhatikan konteks, baik konteks nash maupun konteks masyarakat;

c. Memperhatikan tujuan Allah SWT dalam mensyariatkan hukum; d. Terbuka terhadap kebenaran yang ditemukan, baik kebenaran dalil

maupun kebenaran empiris.

Dalam menyalaraskan tradisi yang ada dalam masyarakat, perlu adanya pendekatan yaitu melalui dialektika budaya dan komunikasi. Martin dan Nakayama memandang, bahwa perspektif dialektika budaya dan komunikasi memiliki beberapa tingkatan, yaitu:57

a. Dialektika Individu-Budaya (Cultural-Individual Dialectic). Dialektika individu-individu tersebut dapat terjadi pada proses

56Ali Sodiqin, “Antropologi Hukum Sebagai Pendekatan Dalam Penelitian Hukum Islam”,

Jurnal Kajian Hukum Islam Vol. VII No. 1,(Januari 2013), 120.

57Ujang Saefullah, “Dialektika Komunikasi, Islam, dan Budaya Sunda”, Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 16 No. 1, (Juli 2013), 73-74.

komunikasi antarbudaya. Komunikasi antarbudaya dari perspektif dialektika bersifat individu dan budaya;58

b. Dialektika Personal/Sosial-Kontekstual (Personal/Social-Contecstual Dialectic). Perspektif dialektika ini melihat hubungan antara personal dan kontekstual dari komunikasi. Manusia berkomunikasi dengan cara tertentu dan dalam konteks tertentu pula;59

c. Dialektika Kesamaan-Perbedaan (Differences-Similarities Dialectic). Dialektika kesamaan dan perbedaan ini sangat esensial dalam memahami komunikasi antarbudaya. Kesamaan dan perbedaan ini menjadi penting dalam memahami keberadaan kelompok-kelompok budaya yang berbeda;60

d. Dialektika Dinamik-Statik (Static-Dynamic Dialectic). Perspektif dinamikstatik ini membantu untuk memahami dunia yang luas dan mengembangkan cara memahami antarbudaya itu sendiri;61

e. Dialektika Sekarang-Masa Lalu/Masa Depan-Sejarah (Present-Future/History-Past Dialectic). Dialektika komunikasi antarbudaya berada diantara masa lalu, dan masa kini. Perspektif

58 Ibid., 59 Ibid., 60 Ibid., 61 Ibid.,

32

dialektika ini memberi gambaran tentang seharusnya ada keseimbangan dalam memahami masa kini dan masa lalu;62

f. Dialektika Untung-Rugi (Privilege-Disadvantage Dialectic). Perspektif dialektika ini memberikan gambaran bahwa orang melakukan komunikasi pada bentuk-bentuk yang menguntungkan dirinya atau tidak. Tindakan komunikasi seperti itu sering terjadi di dalam dunia politik, posisi sosial, dan kedudukan.63

2. „urf

a. Pengertian „urf

Dalam kaitannya dengan adat, para ahli usul fikih menggolongkan pengertian „urf ke dalam tiga kategori. Kelompok pertama berpendapat bahwa kata al-‟urf adalah sinonim dari kata adat. Pendapat kedua menyatakan bahwa al-‟urf lebih umum daripada al-„âdah. Al-‟urf mencakup verbal custom dan actual custom, adapun adat hanya mencakup actual custom.64

Adapun kelompok ketiga berpendapat bahwa adat lebih umum daripada al-‟urf. Sebab, adat mencakup apa saja yang bersumber dari akal, tabiat, dan yang tidak berkaitan dengan akal, baik berupa perkataan ataupun perbuatan, baik bersumber dari individu ataupun masyarakat.65

62 Ibid., 63 Ibid., 64 Ibid.,

65Sunan Autad Sarjana dan Imam Kamaluddin Suratman, “Konsep „urf dalam Penetapan Hukum Islam”, Jurnal Peradaban Islam Vol. 13, No. 2, November 2017, 283.

Terlepas dari perbedaan di atas, penulis memandang bahwa kedua hal tersebut adalah sinonim. Sebab, titik perbedaan dan persamaan dalam dua hal ini muncul karena banyaknya definisi yang ditawarkan oleh masing-masing ulama. Sedangkan dalam tataran praktis, fukaha nyaris tidak membedakan kedua istilah tersebut.

b. Klasifikasi „urf

Dari segi objeknya, „urf dibagi menjadi dua macam, yaitu „urf lafziy atau qauliy (verbal custom) dan „urf „amaliy (actual custom). „urf lafziy adalah ungkapan atau istilah tertentu yang diberikan oleh suatu komunitas untuk menunjuk makna tertentu, dan tidak ada kecenderungan makna lain, sehingga makna itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran. 66

Adapun „urf „amaliy (actual custom) adalah sejenis pekerjaan atau aktivitas tertentu yang sudah biasa dilakukan secara terus menerus, sehingga dipandang sebagai norma sosial, baik itu berupa al-a‟mâl al-„âdiyah (kebiasaan), atau muamalah keperdataan seperti bay‟ mu‟âtah, kredit, upah, kebiasaan hari libur kerja, dan lain sebagainya.67

Sedangkan dari segi cakupannya, „urf dibagi dua macam juga, yaitu: „urf „âmm (general custom) dan „urf khas (special custom). „urf „âmm (general custom) adalah kebiasaan yang

66

Ibid., 286.

67

34

berlaku menyeluruh pada suatu tempat, masa, dan keadaan, atau kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan daerah. Sementara „urf khas (special custom) adalah adat yang berlaku hanya pada suatu tempat, masa dan keadaan tertentu saja, atau kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu dan tidak tampak pada komunitas lainnya.68

Dari segi keabsahannya dalam perspektif syarak, „urf dibagi menjadi dua kategori, yaitu: „urf sahîh (valid custom) dan „urf fâsid (invalid custom). „urf sahîh (valid custom) adalah suatu kebiasaan manusia yang tidak bertentangan dengan dalil syarak, sehingga tidak menghalalkan yang haram dan tidak pula sebaliknya, tidak membatalkan yang wajib, serta tidak menyebabkan mafsadah (kerugian atau kerusakan). Adapun „urf fâsid (invalid custom) yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok orang atau masyarakat, akan tetapi berlawanan dengan ketentuan syariat karena menghalalkan yang haramatau membatalkan yang wajib.69

Dari uraian tersebut tidak semua „urf dapat diambil sebagai sumber hukum Islam, melainkan hanya „urf yang shahih saja yang dijadikan acuan fiqh. Selain „urf shahih, ada pula „urf fasid. Jika „urf fasid adalah adat kebiasaan yang bertentangan dengan syariat, maka, „urf shahih adalah adat kebiasaan yang tidak bertentangan

68

Ibid., 287.

69

dengan syariat, dan oleh karena itu masih tetap digunakan dalam Islam.

BAB III

PANDANGAN TOKOH NAHDLATUL ULAMA DI KECAMATAN