BAB III KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI KOTA SERANG BANTEN
B. Membangun Dialog dengan Sikap Teologis di Kota
4. Dialog Spiritual
Dialog spiritual bergerak dalam wilayah esoterik, yaitu “sisi dalam”
agama-agama. Sebagaimana diketahui bahwa tiap agama memiliki aspek lahir
(eksoteris) dan aspek batin (esoteric).Sistem teologi dan ritus agama-agama
merupakan sisi eksoteris. Sementara itu, pengalaman iman atau pengalaman akan
62
agama-agama, aspek esoterisme ini biasanya disebut dengan istilah mistik
(mysticism).
Dalam Islam, dimensi mistik diperkenalkan di dalam tradisi tasawuf.
Dialog spiritual melampaui sekat-sekat dan batas-batas formalisme agama. Sebab
sekat dan batas mengindikasikan perpecahan. Sementara kaum sufi meyakini
bahwa tuhan hanya bisa di jumpai di tempat dimana tidak ada perpecahan.
Perpecahan itu, kata Muhammad muhayyadin, menjauhkan kita dari sifat-sifat
tuhan, dari ilmu pengetahuannya, dari kebenarannya, dari kedamaiannya.
Orang-orang yang memiliki rasa perbedaan itu dalam dirinya, kata muhayyadin lebih
lanjut, tidak akan pernah menemukan kedamaian (Madjid, 2004: 224-230).
Berdasarkan pemahaman inilah dialog antar agama dilaksanakan untuk
menyatakan bahwa setiap agama memiliki dasar keyakinan yang berbeda-beda.
Berdialog antar agama adalah pertemuan hati dan pikiran antara pelbagai macam
agama. Dalam dialog, masing-masing pemeluk tidak boleh meninggalkan agama
dan kepercayaannya tetapi harus memegang teguh agamanya disertai dengan
sikap penghargaan kepada pemeluk lain yang tidak seagama dengannya. Dialog
antar agama pada masa kekinian dipahami masyarakat sebagai percakapan antar
berbagai elemen agama untuk mengungkapkan pendangan mereka secara terbuka
tanpa apriori yang berlebihan. Bagi masyarakat dialog bukanlah ajang perdebatan,
polemik atau pemaksaan kebenaran dan intimidasi ajaran dari satu agama.
melainkan salah satu proses yang mampu menghilangkan rasa saling curiga, takut
dan saling menumbuhkan rasa saling percaya, untuk hidup dan berbuat
bersama.Dan dialog yang dilaogis, dapat mengubah gambaran yang salah dan
63
timbal balik dari pandangan-pandangan dan terbuka untuk belajar satu sama lain.
Dialog sebagai bentuk perwujudan yang tulus dari sikap toleransi dan
penghargaan terhadap keyakinan pemeliknya. Masyarakat paham bahwa dialog
tidak harus menghasilkan kesepakatan untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan
hal yang sama. dalam dialog bisa muncul kesepakatan untuk tidak sepakat.56 Dan
melalui proses dialog, masing-masing pihak saling belajar daripandangan dan
pengalaman satu sama lain, saling terbuka dan respek untuk lebih memahami
keyakinan, pemikiran dan problem yang dihadapi mitra dialog dengan lebih tepat
dan utuh.
Ahmad Gaus membagi dua golongan yang pesimis terhadap dialog agama,
antara lain: pertama, mereka yang berpandangan bahwa agama-agama sejak awal
sudah saling berbeda, bahkan bertentangan satu sama lain. Akhirnya dialog
hanya dipandang sebagai basa-basi dan tata krama sosial yang jika dihadapkan
pada persoalan menyangkut ketegangan antar pemeluk agama, melarikannya pada
masalah yang kurangnya toleransi, menipisnya budaya kerukunan dan sebagainya,
yang cenderung tidak menyentuh akar permasalahan. Kedua, adalah mereka yang
memang sejak semula tidak menganggap agama sebagai faktor dalam berbegai
kerusuhan sosial. Agama hanyalah faktor yang diselipkan sehingga kerusuhan
muncul dengan nuansa agama, dan karenanya kambing hitam dari kerusuhan itu
mudah diidentifikasikan, misalnya pada oknum-oknum yang tidak bertanggung
jawab, dan bukan pada akar masalahnya sendiri.Itulah sebabnya, mereka tidak
menganggap dialog agama sebagai suatu langkah yang strategis, bahkan hal terapi
dialog agama dianggap sebagai ikut menutup-nutupi kenyataan yang sebenarnya.
56
64
Kedua pemahaman itu muncul disinyalir akibat tidak terumuskannya
platform dialog agama dalam suatu kerangka kerja yang operatif yang bisa didefinisikan secara sosial. Sebab lainnya, karena dialog agama yang muncul
selama ini lebih bersifat reaktif terhadap persoalan-persoalan sekitar kehidupan
beragama yang muncul dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.
Akibat dari kenyataan itu, dialog agama cenderung menjadi ekslusif dalam arti
terjebak pada tema-tema yang elitis dan intelektualistik sehingga dengan
sendirinya tidak menjadi bagian dari kesadaran masa. Ini jelas akan berbeda
seandainya dialog agama merapatkan dirinya dengan tema-tema populer atau
dekat dengan persoalan kerakyatan.57
Kita tidak bisa mengklaim kebenaran agama kita dengan mengklaim
kesalahan dalam agama orang lain. Karena hanya merupakan jalan manusia untuk
mencapai Tuhan, dan jalan mana yang paling tepat dan cepat untuk mencapai
Tuhan, hanya Tuhan yang tahu. Manusia hanya mampu berusaha menapaki jalan
itu, dengan kemungkinan berhasil atau gagal. Oleh karena itu, masyarakat Kota
Serang harus tetap menghargai agama dan kepercayaan orang lain dengan tidak
perlu terjebak pada anggapan “menyamakan semua agama”. Orang yang
menghormati jati diri masing-masing agama pasti tidak akan mengatakan, semua
agama adalah sama. Setiap agama tentu memiliki perbedaan.Untuk bisa
menghidari masalah ini, maka membangun dialog dalam mengimplementasikan
konsep pluralisme agama merupakan jalan yang baik untuk mencapai suatau
keharmonisan demi terjaganya kerukunan hidup antar umat beragama di Kota
Serang.
57
Ahmad Gaus, Dialog Agama: Kekuatan Yang Membisu?,dalam Nur Achmad (ed), Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Keragaman (Jakarta: Buku Kompas, 2001), h.. 155-156.
65
Menurut Rusiani, setidaknya ada dua hal penting yang seharusnya
dilakukan umat beragama untuk melakukan dialog yang konstruktif. Pertama,
melakukan pemikiran kembali terhadap konsep-konsep lama tentang agama dan
masyarakat untuk menuju era pemikiran baru berdasarkan solidaritas historis dan
integrasi sosial. Kedua, melakukan reformasi pemikiran dari pemikiran teologis
yang ekslusif menuju kritisisme radikal dan pemikiran teologis yang inklusif,
terbuka dan pluralis dan bersedia menerima umat beragama lain sebagai teman
dialog untuk memperluas wawasan dan pengalaman keagamaan kita.58 Knitter
menamakan dialog antar agama ini dengan sebutan Dialog Korelasional, artinya
dialog yang bertanggung jawab secara global di antara berbagai agama. Suatu
dialog yang bertanggungjawab secara global harus didasarkan pada kesadaran
bahwa semua pertemuan antar agama tidak lengkap, barangkali bahkan
berbahaya, jika tidak memperhatikan masalah keprihatinan serta upaya mengatasi
penderitaan umat manusia dan lingkungan yang terdapat di seluruh bumi. Agar
dialog korelasional ini dapat berlangsung, perjumpaan dialogis harus dilakukan
dalam suatu komunitas yang egaliter, bukan hierarkis. Walaupun para peserta
saling mengemukakan pendapat serta kebenaran, tidak satu pun akan
mengemukakannya dari satu posisi teologis yang mengklaim dominasi agamanya
atas yang lain atau menghakimi yang lain.59 Di sini menurut penulis yang
dimaksudkan Paul Knitter adalah wacana dialog yang dibangun hendaknya tidak
memaksakan muatan teologis setiap agama. Biarlah muatan teologis tersebut
menjadi kekayaan setiap agama masing-masing dan janganlah hal tersebut
58
Rusiani, Dialog Antar Agama dalam Nur Achmad (ed), Pluralitas Agama: Kerukunan Dalam Keragaman (Jakarta: Buku Kompas, 2001), h. 146.
59
Knitter,Satu Bumi Banyak Agama : Dialog Multi Agama dan Tanggung Jawab Global(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), h. 22.
66
menjadi pemicu ketidakseimbangan dalam dialog. Dengan demikian agar dialog
ini bisa dibangun dengan baik maka perlu adanya interaksi antar pemeluk agama,
bukan sekedar dituntut untuk membuka diri, belajar dan menghormati mitra
dialognya. Namun, mereka juga dituntut harus tetap memiliki komitmen terhadap
agama yang dianutnya.Dalam rangka itu. Dalam rangka itu, diperlukan satu hal
mendasar, yaitu masing-masing hendaknya memiliki informasi dan pemahaman
yang baik mengenai agama lain, dan gama mereka sendiri. Penguasaan ini pada
gilirannya mengantarkan para penganut agama pada keimanan yang kukuh dan
sekaligus toleransi yang signifikan terhadap penganut agama lain.60
Dalam setiap dialog, masalah yang hendak dibicarakan harus lebih terarah
pada penghargaan nilai-nilai kemanusiaan dan penghargaan terhadap nila-nilai
kebebasan beragama.Lefebure menuliskan dalam salah satu bentuk dialognya,
bahwa dialog yang hendak dibangun lebih berfokus dalam masyarakat untuk
keadilan sosial, pembangunan dan kebebasan. Dari sekian banyak dimensi dialog
antar agama, mungkin yang paling mendesak adalah perlunya kerja sama
agama-agama di Indonesia umumya dan di Kota Serang khususnya dan kesediaan untuk
saling belajar dari yang lain dalam menjawab masalah-masalah yang digadapi
masyarakat, seperti kekerasan, kemiskinan, pembangunan ekonomi, pertumbuhan
penduduk, dan ekologi.61Gerrit Singgih menambahkan, bahwa dalam rangka
kehidupan yang memungkinkan kerukunan beragama dalam arti kata yang
sebenarnya, orang dari agama yang berbeda-beda perlu berkumpul dan bergaul
bersama.Bukan hanya sebagai warga negara di tempat pekerjaan kita bersama,
60
Qamaruddin (edit), Melampaui Dialog Agama (Jakarta: Buku Kompas, 2002), h. 166.
61
Lefebure memberikan empat bentuk dialog, antara lain: Dialog kehidupan, Dalam pada tindakan dalam masyarakat, Dialog Pertukaran Teologis, dan Dialog Pengalaman Religius (Leo Lefebure, Penyataan Allah, Agama dan Kekerasan (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2003), h. 11-13)
67
melainkan juga dalam pergaulan sehari-hari. Oleh karena itu, ada yang
mengusulkan supaya istilah dialog karya diperluas menjadi “dialog kehidupan”.
Dalam pengertian ini orang dari berbagai agama diajak untuk hidup berdampingan
secara damai, dalam rangka meningkatkan mutu kehidupan secara menyeluruh,
yang meliputi baik aspek rohani maupun aspek jasmani.62
Dari beberapa pendapat di atas, bahwa dialog merupakan jalan terbaik
demi terjaganya impian akan kerukunan hidup umat beragama di Kota Serang.
Sebagai Kota yang majemuk dan pluralis, sudah selayaknya para elit/pemuka
agama mencari solusi tidak hanya dalam menjaga kerukunan yang telah ada, lebih
dari itu, mereka mampu mengembangkan dan memberdayakan
pemahaman-pemahaman akan konsep pluralisme agama kepada semua kalangan masyarakat
tanpa terkecuali demi menunjangnya kerukunan dengan berbagai kegiatan yang
dapat memberikan nilai positif.
Suparman Usman sebagai guru besar IAIN Sultan Maulana Hasanudin
Banten dan Fakultas Hukum di UNTIRTA juga menuturkan, bahwa kedepannya
dialog antarumat beragama juga akan menjadi agenda penting di kalangan
mahasiswa khususnya di Kota Serang.Karena mahasiswa merupakan elemen yang
ideal untuk menembus tembok kekerasan, penindasan, dan tindakan-tindakan
anarkis yang mengatasnamakan agama.