• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

3. Diameter Tubulus Dentin, Pembentukan Kristal dan Margin Tubulus Dentin

Gambar 20. Diameter Tubulus Dentin 158nm Kristal (+)

Margin Tubulus Dentin Tipe Irregular (6000x) (Dokumentasi)

BAB 5 PEMBAHASAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat mikrostruktur dentin tertier yang terbentuk akibat kebiasaan menyirih. Mikrostruktur dentin tertier yang diteliti adalah tebal dentin tertier, diameter tubulus dentin tertier, ada atau tidaknya kristal pada tubulus dentin tertier, tipe margin tubulus dentin tertier dan tipe tubulus dentin tertier. Sampel penelitian adalah gigi molar pertama bawah permanen pada penyirih suku Karo Pancur Batu Medan, karena sulitnya memperoleh gigi molar pertama bawah permanen penyirih suku karo di Puskesmas dan praktek dokter gigi swasta Pancur Batu Medan maka jumlah sampel penelitian hanya 10 gigi berdasarkan inklusi dan eksklusi.

Spesimen penelitian diperoleh dengan melakukan pemotongan gigi pada

daerah groove oklusal (0.5mm dari titik puncak cusp bukal) dengan menggunakan

disc bur dilakukan pemotongan vertikal dari arah oklusal sampai ke 1/3 servikal sehingga membelah gigi bagian bukal dan bagian lingual. Kemudian dengan disc bur juga dilakukan pemotongan secara horizontal pada daerah 1/3 servikal dari arah bukal ke lingual. Dengan demikian diperoleh spesimen 1x1x0.5 cm untuk mendapatkan struktur enamel, dentin dan tanduk pulpa. Selanjutnya diamati dengan menggunakan Scanning Electron Microscope (HITACHI MT3030).

Pengamatan dilakukan pada setiap gigi masing-masing 3 kali pembesaran, pada pembesaran 100x untuk mengukur tebal dentin tertier (µm), pembesaran 3000x untuk melihat tipe tubulus dentin tertier, dan 6000x untuk mengukur diameter tubulus dentin tertier (nm), untuk melihat pembentukan kristal, dan untuk melihat tipe margin tubulus dentin tertier.

Dentin merupakan salah satu jaringan keras gigi yang terletak di bawah lapisan enamel yang menyusun bagian yang terbesar pada struktur gigi.15 Dentin

lebih keras daripada tulang dan sementum tetapi lebih lunak daripada enamel.13

dentinogenesis.15 Struktur dentin terdiri dari 70% bahan anorganik, 20% bahan organik dan 10% air. Bahan anorganik baik enamel maupun dentin terdiri dari ion kalsium fosfat dan hidroksiapatit [Ca10(PO4)6(OH)2].41 Gambaran histologis dentin terdiri dari tubulus dentin, peritubulus dentin, intertubulus dentin, predentin dan prosesus odontoblas. Dentin mempunyai kemampuan untuk mereparasi jaringan dentin dengan adanya tubulus dentin, kapiler darah, saraf dan prosesus odontoblas yang merupakan respon biologis terhadap stimulus misalnya atrisi, erosi, karies, abrasi, pengunyahan, jenis makanan, usia dan lain-lain.15

Dentin sekunder terbentuk akibat adanya respons odontoblas terhadap stimulus fisiologis, dentin sekunder merupakan dentin yang terbentuk secara terus menerus selama manusia hidup mulai dari gigi erupsi sempurna dan berfungsi secara fungsional. Setelah pembentukan dentin primer selesai dan odontoblas memasuki fase istirahat barulah dentin sekunder diproduksi dan membentuk deposit dentin yang fisiologis.6 Deposit dentin sekunder yang paling banyak terbentuk pada dentin diatas atap pulpa simetris dengan arah stimulus (Gambar 6).17 Sepanjang hidup dentin dipengaruhi oleh perubahan lingkungan, termasuk atrisi fisiologis, karies, prosedur operatif dan restorasi, serta trauma. Perubahan ini menyebabkan timbulnya respon protektif dengan terbentuknya dentin sekunder. Pembentukan dentin sekunder merupakan suatu mekanisme penutupan alamiah tubulus dentin yang terpotong atau terkena penyakit di permukaan pulpa.18 Mekanisme pembentukan ini terjadi dengan jalan serabut-serabut kolagen yang mendukung tubulus dentin mengalami kalsifikasi, dan aktivitas odontoblas yang tersebar di dekat pulpa. Odontoblas mensintesa dan mensekresi matriks anorganik kemudian menciptakan lingkungan yang memungkinkan terjadinya mineralisasi matriks sehingga menghasilkan dentin sekunder yang permeabilitasnya kurang lebih sama dengan dentin primer.15

Dentin tertier adalah dentin yang terbentuk pada jaringan pulpa, biasanya berlokasi pada bagian tepi dari pulpa dan sejajar dengan arah stimulus, khususnya karena pengunyahan pada penyirih. Dentin tertier tebagi dua yaitu dentin reaksioner dan dentin reparatif. Dentin reaksioner digunakan untuk menjelaskan pembentukan

dentin tertier oleh odontoblas primer yang masih ada setelah terjadi injuri pada gigi, dentin ini sering ditemui pada injuri yang intensitasnya rendah, contohnya karies pada enamel dan lesi dentin yang berkembang secara perlahan-lahan. Dentin reparatif merupakan pembentukan dentin tersier setelah kematian odontoblas primer akibat injuri. Dentin reparatif terbentuk setelah terjadinya injuri yang intensitasnya besar dan mewakili urutan yang lebih kompleks dalam aktivitas biologis, melibatkan kehadiran sel progenitor dan diferensiasi serta regulasi yang meningkat dalam proses sekresi sel.8

5.1 Tebal Pembentukan Dentin Tertier Pada Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Penyirih Suku Karo di Pancur Batu Medan

Mahajan P dkk. (2006) menyatakan bahwa rata-rata tebal pembentukan dentin tertier pada gigi permanen adalah 1.5µ, dinyatakan juga kalsifikasi yang terjadi adalah respon dari pulpa terhadap injuri yang mendepositkan jaringan keras didalam saluran akar.39 Menurut penelitian Filipovic V (2003) telah melakukan penelitian mengenai pembentukan dentin tertier pada gigi dengan kavitas yang dalam, diperoleh tebal dentin tertier tertinggi sebesar 348µm dan nilai paling rendah 219µm. Dilaporkan juga bahwa kedalaman kavitas mempengaruhi ketebalan dentin tertier,

semakin dalam kavitas, semakin tebal pembentukan dentin tertier.40 Menurut

penelitian Anthony J.S (2005) jika stimulus masih awal dan ringan terbentuk dentin tertier sedikit dan dinamakan sebagai dentin reaksioner manakala stimulus yang berat akan membentuk dentin tertier yang dinamakan dentin reparatif karena pembentukannya lebih banyak.41 Sementara pada penelitian ini menunjukkan tebal dentin tertier tertinggi adalah 765µm dan ukuran tebal dentin tertier terendah adalah 129µm, dimana nilai rata-rata tebal dentin tertier adalah 317.9µm. Hal ini menunjukkan bahwa pada penyirih mempunyai tebal dentin tertier lebih tinggi daripada penelitian Filipovic pada kavitas gigi. Hal ini menunjukkan pada penyirih: lamanya menyirih, frekuensi menyirih, komposisi menyirih, dan umur penyirih berperan meningkatnya derajat atrisi pada gigi penyirih.4 Dengan adanya stimulus

atrisi yang semakin betambah maka bertambah pembentukan dentin tertier sebagai respon pertahanan gigi.

Laporan penelitian Ginting R dan Permana B (2012) yang melakukan penelitian terhadap penyirih wanita di Pancur Batu Medan, melaporkan bahwa derajat atrisi meningkat sejalan dengan meningkatnya frekuensi menyirih. Semakin bertambah frekuensi menyirih yaitu menyirih lebih dari 3 kali sehari, semakin banyak dijumpai atrisi derajat 3 pada gigi penyirih. Dijumpai atrisi derajat 3 pada gigi penyirih dalam linkungan umur 23-36 dan 50-69 yang menyatakan bahwa bertambahnya usia mempengaruhi derajat atrisi yang terjadi. Begitu juga komposisi menyirih yang merupakan bahan yang kasar seperti pinang, daun sirih, tembakau berpengaruh terhadap derajat atrisi yang terjadi. Dinyatakan juga penyirih dengan komposisi sirih, kapur, gambir dan pinang derajat atrisinya lebih tinggi dibandingkan dengan penyirih dengan komposisi sirih, kapur dan gambir.42 Dengan adanya atrisi yang parah, respon pertahanan pulpa terhadap stimulus atrisi adalah pembentukan dentin tertier. Semakin tinggi stimulus yang diterima, semakin tebal pembentukan dentin tertier.41

5.2 Pembentukan Kristal, Diameter Dentin Tertier, dan Tipe Margin Tubulus Dentin Pada Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Penyirih Suku Karo di Pancur Batu Medan

Menurut penelitian Madhura M.G (2006) yang meneliti pada gigi premolar (10 gigi yang atrisi, 6 gigi yang abrasi dan 4 gigi normal) di India mengenai perubahan pada dentin karena atrisi dan abrasi diamati dibawah Scanning Electron Microscope. Pada semua sampel penelitian kasus gigi atrisi dan abrasi pada penelitian Madhura dijumpai Kristal dengan variasi bentuk (rhomboid) dan variasi ukuran juga terlihat di tubulus dentin. Menurut Madhura hal ini terjadi karena adanya stimulus (atrisi dan abrasi). Kalsifikasi globular terjadi untuk membentuk kristal sebagai mekanisme pertahanan untuk menghambat masuknya bakteri dan antigen yang merusak jaringan dan menutup akses ke pulpa.20

Menurut penelitian Cesar AGA dkk (2004) yang meneliti mengenai efek agen desensitifikasi terhadap tubulus dentin pada gigi molar 3 yang telah dicabut dan diberikan agen desensitifikasi Gel-OXA (Potasium oxalate-based). Pada penelitian tersebut ditemui adanya pembentukan kristal pada tubulus dentin dimana variasi ukuran kristal ditemui sehingga ada kristal yang sama diameternya dengan tubulus dentin. Pembentukan kristal ini adalah sebagai efek untuk mencegah terjadinya dentin hipersensitif (derajat berkurangnya nyeri atau sakit).43

Pada penelitian ini menunjukkan seluruh spesimen terdapat pembentukan kristal di tubulus dentin tertier (100%). Pada penelitian ini dapat diasumsikan bahwa frekuensi pengunyahan, lamanya pengunyahan, komposisi sirih, usia, atrisi, abrasi dan erosi merupakan stimulus yang kuat terhadap pembentukan kristal dalam tubulus dentin sesuai dengan penelitian Madhura M.G (2006) dan Cesar AGA dkk (2004). Pada penelitian ini hanya melihat pembentukan kristal tidak mengukur tebal kristal dan jumlah kristal. Jadi perlu penelitian selanjutnya untuk mengukur jumlah dan besarnya kristal yang terbentuk.

Tubulus dentin tertier berbeda dari tubulus dentin normal karena pada tubulus dentin tertier diameter tubulusnya tidak teratur dan kurang daripada yang normal, diameter tubulus dentin tertier berbeda-beda dan kebanyakan tubulus ditutupi oleh kristal karena terjadinya kalsifikasi globular.31 Menurut penelitian Madhura M.G (2006) diameter tubulus dentin yang normal adalah 2.13µ pada tubulus yang dekat dengan pulpa dan 1.55µ pada tubulus di dentino-enamel junction dan nilai rata-rata diameter tubulus dentin pada dentin tertier yang terbentuk akibat atrisi adalah dari 0.83µ pada tubulus yang berdekatan dengan lesi dan 1.38µ pada tubulus yang dekat dengan pulpa. Secara mikroskopis tubulus dentin tertier lebih irregular, dan pada beberapa kasus tidak menunjukkkan adanya pembentukan tubulus dentin.43 Derajat irregularitas dentin tertier tergantung pada beberapa faktor seperti besarnya inflamasi yang terjadi, sampai mana terjadinya injuri selular dan kadar differensiasi odontoblas pengganti.

Pada penelitian ini diperoleh nilai rata-rata diameter dentin tertier adalah 750.4nm yang menunjukkan diameter lebih kecil pada penyirih dibandingkan dengan

penelitian Madhura pada kasus atrisi dan abrasi, pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa diameter tubulus dentin penyirih lebih kecil dari diameter tubulus dentin normal sesuai yang dilaporkan pada penelitian Madhura. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa semakin besar stimulus, semakin kecil diameter tubulus dentin pada dentin tertier. Penyempitan tubulus dentin adalah karena kristal menempel di tubulus dentin dan akhirnya tubulus menjadi sempit. Tubulus tertutup sehingga tidak ada rangsangan ke pulpa, jadi tidak ada sensitivitas dentin karena terhambatnya cairan masuk ke pulpa.

Pada penelitian Madhura M.G (2006) margin tubulus dentin yang diamati kasar dan irregular pada kedua kasus yang ditelitinya yaitu gigi yang atrisi dan abrasi. Hal ini terjadi adalah karena terjadinya kalsifikasi pada dinding tubulus dentin yang menyebabkan margin dinding tubulus dentin kasar dan irregular. Kristal rhomboid yang terbentuk di dinding tubulus dentin juga menyebabkan terjadinya perubahan pada tubulus dentin tertier.20

Pada penelitian ini, seluruh gigi menunjukkan margin tubulus yang kasar dan irregular (100%) karena terjadinya kalsifikasi globular yang menghasilkan kristal akibatnya tubulus dentin menjadi irregular karena adaanya pembentukan kristal yang melekat pada dinding tubulus.20

5.3 Tipe Tubulus Dentin Yang Terbentuk Pada Dentin Tertier Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Penyirih Suku Karo di Pancur Batu Medan

Menurut Bjorndal L (2002) dikenal ada 5 tipe tubulus dentin yaitu tipe normal, tipe tubulus sedikit, tipe irregular, tipe osteodentin dan tipe kombinasi. Pada penelitian ini diperoleh 60% tipe tubulus sedikit, 30% tipe kombinasi, 10% tipe irregular dan tidak dijumpai tipe osteodentin. Teori mengenai kenapa hal ini terjadi belum diperoleh dari literatur. Oleh karena itu perlu penelitian lebih lanjut mengenai tipe tubulus dentin. Tidak seperti dentin fisiologis, mikrostruktur dari dentin tertier sangat bervariasi dan biasanya tidak beraturan. Bentuk tubular-tubular dari dentin tertier berubah-ubah dan sangat tidak teratur mulai dari tubular yang terputus-putus

sampai pada dentin reparatif yang tidak memiliki tubular sehingga permeabilitas dari dentin tertier menurun dan difusi dari agen yang berbahaya dari tubulus dapat dicegah. Secara histologi dentin tertier merupakan dentin yang paling sedikit memiliki tubulus.10

BAB 6

Dokumen terkait