Lampiran 1 : Alur Pikir
1. Menyirih adalah suatu proses mengunyah campuran bahan yang
umumnya terdiri atas daun sirih, kapur, dan pinang. Menyirih
dilakukan oleh berbagai suku di Indonesia dan merupakan tradisi
yang dilakukan secara turun temurun yang mulanya berkaitan erat
dengan adat kebiasaan masyarakat setempat. (Tebai Y, dkk 2009)
2. Efek menyirih dan menyuntil terhadap rongga mulut dapat dibagi dua
yaitu terhadap mukosa mulut dan terhadap gigi, terhadap mukosa
dapat menyebabkan lesi oral leukoplakia, fibrosis submukosa,
karsinoma sel skuamosa, dan penyakit periodontal; terhadap gigi
dapat menyebabkan atrisi gigi, abrasi gigi, sensitivitas dentin, fraktur
akar, dan stein. (Chang CS, dkk 1973)
3. Dalam proses menyirih terjadi peningkatan frekuensi dan tekanan
pengunyahan. Meningkatnya frekuensi pengunyahan, menyebabkan
meningkatnya jumlah gesekan mekanis yang diterima oleh gigi.
Semakin banyak gesekan mekanis yang diterima oleh gigi, maka
semakin banyak terjadi pengikisan pada permukaan gigi. Hal ini
menyebabkan meningkatnya derajat atrisi gigi. (Trivedy CR, dkk
2002)
4. Atrisi gigi adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyatakan
hilangnya substansi gigi akibat gesekan mekanis yang terjadi antara
gigi dengan gigi yang berantagonis dalam proses pengunyahan.
Terjadinya atrisi gigi akibat kebiasaan menyirih terutama dipengaruhi
oleh komposisi menyirih yang bersifat kasar dan keras. (Frias FJL,
dkk 2012)
5. Atirisi yang parah menyebabkan kematian sel odontoblas maka sel
yang menyerupai sel odontoblas akan membentuk kristal kalsium
fosfat dalam tubulus dentin untuk melindungi jaringan pulpa.
Penulis sebagai mahasiswa kedokteran gigi merasa tertarik untuk meneliti
mikrostruktur dentin tertier gigi molar pertama bawah permanen penyirih di
Pancur Batu Medan dengan Scanning Electron Microscope (SEM).
Masalah
Apakah terdapat perubahan mikrostruktur dentin tertier pada gigi molar
pertama bawah permanen penyirih di Pancur Batu Medan dalam hal :
1. Tebal dentin tertier.
2. Diameter tubulus dentin.
3. Pembentukan kristal di tubulus dentin.
4. Bentuk margin tubulus dentin.
5. Tipe tubulus dentin.
6. Dentin reparatif adalah dentin yang dibentuk oleh odontoblas
sekunder setelah pulpa mendapat cedera yang cukup parah akibat
atrisi, karies, atau injuri lainnya. (Melfi RC, dkk 2000)
7. SEM (Scanning Electron Microscope) adalah alat yang digunakan
untuk melihat morfologi dentin tertier dan struktur tubulus dentin
pada dentin tertier dengan skala yang lebih besar dan gambaran yang
Tujuan
1. Mengetahui tebal pembentukan dentin tertier pada bagian mesio bukal
tanduk pulpa gigi penyirih.
2. Mengetahui diameter tubulus dentin pada dentin tertier penyirih.
3. Mengetahui pembentukan kristal pada tubulus dentin tertier.
4. Mengetahui bentuk margin tubulus dentin pada dentin tertier. 5. Mengetahui tipe-tipe tubulus dentin pada dentin tertier.
Manfaat
1. Sebagai data dan informasi mengenai mikrostruktur dentin tertier pada
gigi penyirih.
2. Sebagai bahan masukan dalam perkembangan ilmu kedokteran gigi
Lampiran 2 : KUESIONER
DEPARTEMEN BIOLOGI ORAL FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KRITERIA PEMILIHAN SAMPEL GIGI PENYIRIH SUKU KARO DI PANCUR BATU MEDAN
Pertanyaan
1. Gigi molar pertama bawah permanen.
A. Kanan
B. Kiri
2. Apakah ada stein sirih pada permukaan
enamel gigi ?
A. Ya
B. Tidak
3. Apakah ada terjadi atrisi pada permukaan
oklusal gigi ?
A. Ya
B. Tidak
Kesimpulan
Sampel Diterima
Spesimen Bleaching Akrilik Akrilik Oklusal 1
2
3
4
5
Spesimen Bleaching Akrilik Akrilik Oklusal 6
7
8
9
10
Lampiran 4 : Skema Kerja Penelitian I. Preparasi Gigi
Sampel gigi dibersihkan dengan bur brush dan pumice
Garis horizontal dibuat dari arah mesial ke distal dengan spidol 2/3 dari akar gigi ditanam pada resin akrilik
Gigi dipotong secara vertikal dari arah oklusal ke 1/3 servikal dengan menggunakan disc bur
Gigi di potong secara horizontal pada 1/3 servikal dari arah bukal ke palatal
Spesimen gigi setelah dipreparasi.
II. Pengamatan pada Scanning Electron Microscope (SEM)
Fiksasi dengan metallic stub
Shooting pada 6000x untuk melihat pembentukan kristal pada tubulus dentin, diameter tubulus dentin dan margin dinding tubulus dentin
Data
1. Tebal dentin tertier
2. Pembentukan kristal pada tubulus dentin tertier
3. Margin dinding tubulus dentin tertier
4. Diameter tubulus dentin tertier
5. Tipe tubulus dentin tertier
Lampiran 5 : Gambaran Hasil Pengukuran dan Pengamatan SEM Spesimen 1
Mesio Bukal
Tebal Dentin Tertier 321 µm
Pembentukan Kristal + -
Marjin Tubulus Dentin
Regular Irregular
Tipe Tubulus Dentin Tubulus Irregular
Sedikit
Osteodentin Kombinasi
Diameter Tubulus 901 nm
Pembesaran x100 Pembesaran x3000
Tebal dentin tertier (321µm) Tipe tubulus dentin (Tubulus sedikit)
Pembesaran x6000
Spesimen 2
Mesio Bukal
Tebal Dentin Tertier 240 µm
Pembentukan Kristal + -
Marjin Tubulus Dentin
Regular Irregular
Tipe Tubulus Dentin Tubulus Irregular
Sedikit
Osteodentin Kombinasi
Diameter Tubulus 990 nm
Pembesaran x100 Pembesaran x3000
Tebal dentin tertier (240µm) Tipe tubulus dentin (Tubulus sedikit)
Pembesaran x6000
Spesimen 3
Mesio Bukal
Tebal Dentin Tertier 129 µm
Pembentukan Kristal + -
Marjin Tubulus Dentin
Regular Irregular
Tipe Tubulus Dentin Tubulus Irregular
Sedikit
Osteodentin Kombinasi
Diameter Tubulus 158 nm
Pembesaran x100 Pembesaran x3000
Tebal dentin tertier (129µm) Tipe tubulus dentin (tubulus sedikit)
Pembesaran x6000
█ Diameter Tubulus Dentin █Pembentukan Kristal █ Margin Tubulus Dentin
Mesio Bukal
Tebal Dentin Tertier 431 µm
Pembentukan Kristal + -
Marjin Tubulus Dentin
Regular Irregular
Tipe Tubulus Dentin Tubulus
Sedikit
Irregular Osteodentin Kombinasi
Diameter Tubulus 901 nm
Pembesaran x100 Pembesaran x3000
Tebal dentin tertier (431µm) Tipe tubulus dentin (Kombinasi)
Pembesaran x6000
█ Diameter Tubulus Dentin █Pembentukan Kristal █ Margin Tubulus Dentin
Mesio Bukal
Tebal Dentin Tertier 230 µm
Pembentukan Kristal + -
Marjin Tubulus Dentin
Regular Irregular
Tipe Tubulus Dentin Tubulus Irregular
Sedikit
Osteodentin Kombinasi
Diameter Tubulus 856 nm
Pembesaran x100 Pembesaran x3000
Tebal dentin tertier (230µm) Tipe tubulus dentin (Tubulus sedikit)
Pembesaran x6000
█ Diameter Tubulus Dentin █Pembentukan Kristal █ Margin Tubulus Dentin
Mesio Bukal
Tebal Dentin Tertier 765 µm
Pembentukan Kristal + -
Marjin Tubulus Dentin
Regular Irregular
Tipe Tubulus Dentin Tubulus Irregular
Sedikit
Osteodentin Kombinasi
Diameter Tubulus 885 nm
Pembesaran x100 Pembesaran x3000
Tebal dentin tertier (765µm) Tipe tubulus dentin (Tubulus sedikit)
Pembesaran x6000
█ Diameter Tubulus Dentin █Pembentukan Kristal █ Margin Tubulus Dentin
Mesio Bukal
Tebal Dentin Tertier 222 µm
Pembentukan Kristal + -
Marjin Tubulus Dentin
Regular Irregular
Tipe Tubulus Dentin Tubulus
Sedikit
Irregular Osteodentin Kombinasi
Diameter Tubulus 450 nm
Pembesaran x100 Pembesaran x3000
Tebal dentin tertier (222µm) Tipe tubulus dentin (Kombinasi)
Pembesaran x6000
█ Diameter Tubulus Dentin █Pembentukan Kristal █ Margin Tubulus Dentin
Mesio Bukal
Tebal Dentin Tertier 196 µm
Pembentukan Kristal + -
Marjin Tubulus Dentin
Regular Irregular
Tipe Tubulus Dentin Tubulus
Sedikit
Osteodentin
Irregular Kombinasi
Diameter Tubulus 949 nm
Pembesaran x100 Pembesaran x3000
Tebal Dentin Tertier (196µm) Tipe tubulus dentin (Irregular)
Pembesaran x6000
█ Diameter Tubulus Dentin █Pembentukan Kristal █ Margin Tubulus Dentin
Mesio Bukal
Tebal Dentin Tertier 303 µm
Pembentukan Kristal + -
Marjin Tubulus Dentin
Regular Irregular
Tipe Tubulus Dentin Tubulus Irregular
Sedikit
Osteodentin Kombinasi
Diameter Tubulus 743 nm
Pembesaran x100 Pembesaean x3000
Tebal dentin tertier (303µm) Tipe tubulus dentin (Tubulus sedikit)
Pembesaran x6000
█ Diameter Tubulus Dentin █Pembentukan Kristal █ Margin Tubulus Dentin
Mesio Bukal
Tebal Dentin Tertier 342 µm
Pembentukan Kristal + -
Marjin Tubulus Dentin
Regular Irregular
Tipe Tubulus Dentin Tubulus
Sedikit
Irregular Osteodentin Kombinasi
Diameter Tubulus 671 nm
Pembesaran x100 Pembesaran x3000
Tebal dentin tertier (342µm) Tipe tubulus dentin (Kombinasi)
Pembesaran x6000
DAFTAR PUSTAKA
1. Gupta P, Ray C. Epidemiology of betel quid usage. Ann Acad Med Singapore
2004; 33: 31-6.
2. Tebai Y, Sukartini E, Hayati AT. Caries prevalence and dmft-t index of Papuan’s students with betel chewing habit. Padjajaran J Dent 2009; 21: 41-6.
3. Saub R. the betel quid chewing habit: why it should be stopped and what can be done to stop this habit? Annal Dent Univ Malaya 2001; 8: 62-6.
4. Rooney D. Betel chewing traditions in South-East Asia. Oxford University Press, 1995: 1-12.
5. Trivedy C, Craig G, Warnakulasuriya S. The oral health consequences of chewing areca nut. Addiction Biology 2002; 7: 115-25.
6. Lingappa A, Nappalli D, Sujatha G, Prasad S. Areca nut: to chew or not to chew? e-J Dent 2011; 46-50.
7. Tsurumachi T, Huang T, Zhang W, Hayashi M, Ogiso B. Scannig electron
microscopic study of dentinal pulpal walls in relation to age and tooth area. Oral Science J 2008; 50: 199-203.
8. Haniastuti T, Nunez P, Djais A. The role of transforming growth factor beta in tertiary dentinogenesis. Dent J 2008; 14: 15-20.
9. Chang C, Devol C. The effects of chewing betel nuts on the mouth. Taiwania
1973; 18: 123-43.
10. Seligman D, Pulingger A, Solberg W. The prevalence of dental attrition and its association with factors of age, gender, occlusion, and tmj symptomatology. Section of gnathology and occlusion. J Dent Res 1988; 67: 132-3.
11. Mahajan P, Monga P, Bahunguna N, Baja N. Principles of management of calcified canals
13. Smith AJ, Cassidy N, Perry H, Kirn CB, Ruch JV, Lesot H. Reactionary dentinogenesis. Int. J. Dev. Biol 2005. 39. 273-80.
14. Ginting R, Permana B. Hubungan kebiasaan menyirih dan menyuntil terhadap terjadinya atrisi dan abrasi gigi pada perempuan penyirih suku Karo di pasar Pancur Batu, Sumatera Utara. 2012. FKG USU.
15. Madhura m. Dentinal changes in attrition and abrasion- A combined light and scanning electron microscopic study. 2006. Rajiv Gandhi Univ. India.
16. Arrais C, Chan D, Giannini M. Effects of desensitizing agents on dentinal tubule occlusion. J. Appl Oral Sci (2004); 12(2): 144-8.
17. Ho C. Non-carious tooth surface loss. Australian Dent Prac 2007; 184-90.
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian dengan desain pengukuran deskriptif
dengan menggunakan alat Scanning Electron Microscope (SEM) untuk melihat
mikrostruktur dentin tertier gigi molar pertama bawah permanen penyirih suku Karo
di Pancur Batu Medan.
3.2 Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Fakultas Kedokteran Gigi dan Lab Uji Terpadu
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September - Desember 2014.
Populasi dalam penelitian ini adalah gigi yang sudah dicabut dari perempuan
penyirih suku Karo Pancur Batu Medan. Sampel penelitian merupakan gigi yang
mengalami atrisi dan terdapat stein sirih. Gigi yang diambil adalah gigi molar
pertama bawah permanen.
3.4 Kriteria Sampel
Kriteria pemilihan sampel dapat dibagi atas : kriteria inklusi dan eksklusi.
3.4.1 Kriteria Inklusi
1. Gigi molar pertama bawah permanen
2. Atrisi
3. Stein Sirih
3.4.2 Kriteria Eksklusi
1. Gigi yang hanya tinggal radiks
2. Gigi yang fraktur
3. Gigi dengan karies
4. Gigi yang sudah ditambal
3.5 Besar Sampel
Dalam penelitian ini sampel yang digunakan berjumlah 10 gigi molar pertama
bawah permanen penyirih. Dimana gigi dibelah dua pada bahagian oklusal dan
bagian bukal digunakan sebagai sampel. Kemudian total 10 spesimen gigi diamati
dengan metode Scanning Electron Microscope (SEM).
3.6 Variabel Penelitian
Variabel Terkendali
● Suku
3.7 Alat dan Bahan Penelitian Alat dan Bahan :
1. Formalin 10%
2. Dental lathe
3. Inverted cone diamond bur 4. Mikromotor
5. Rubber bowl dan spatula 6. Dental stone
7. Disc bur
8. Silicone carbide stone 9. Glass slide
10. Fine Coat Ion Sputter
11. Scanning Electron Microscope
Variabel Tergantung
• Dentin tertier
Variabel Bebas
• Gigi
Variabel Tidak Terkendali
• Diet ● Lama menyirih
• Oral hygiene ● Frekuensi menyirih
• Force penguyahan
Gambar 13. Gambar mesin sputtering dan SEM1 3.8 Definisi Operasional
Definisi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Menyirih adalah suatu proses mengunyah campuran bahan yang umumnya terdiri
dari daun sirih, kapur, gambir, dan pinang. Kebiasaan ini merupakan tradisi yang
dilakukan secara turun temurun dan berkaitan erat dengan adat istiadat serta
kebiasaan masyarakat setempat.
2. Atrisi gigi adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyatakan hilangnya
substansi gigi akibat gesekan mekanis yang terjadi antara gigi dengan gigi yang
berantagonis dalam proses pengunyahan. Terjadinya atrisi gigi akibat kebiasaan
menyirih terutama dipengaruhi oleh komposisi menyirih yang bersifat kasar dan
keras.
3. Dentin tertier adalah lapisan dentin yang dibentuk pada batas antara dentin
dan pulpa. Pembentukan lapisan ini hanya terjadi pada area terbatas di bawah
dentin primer dan sekunder) hingga variasi irreguleritas bahkan dapat terbentuk
jaringan abnormal dengan sedikit tubulus, banyak daerah interglobuler, dan
terdapat odontoblas.
4. Tebal dentin tertier adalah jarak antara perbatasan dentin-pulpa ke deposit dentin
yang terbentuk di dalam pulpa yang dapat diukur dengan SEM. Tebal lapisan
dentin tertier akan bertambah seiring dengan injuri yang terjadi diatas permukaan
gigi tersebut. (Gambar 14)
Gambar 14. Pengukuran tebal pembentukan dentin tertier (Dokumentasi)
5. Diameter tubulus dentin tertier adalah jarak antar dinding dalam satu tubulus yang
telah mengalami pembentukan kristal. Deposit-deposit yang berada dalam tubulus
dentin tertier terbentuk dari kristal-kristal yang menjadikan struktur tubulus
Gambar 15. Pengukuran diameter tubulus dentin Tertier (Dokumentasi).
6. SEM (Scanning Electron Microscope) adalah alat yang digunakan untuk melihat
struktur permukaan sampel dengan perbesaran sampai dengan 1,000,000x.
Peralatan ini dapat digunakan untuk melihat mikrostruktur daripada dentin tertier.
3.9 Prosedur Kerja I. Preparasi Gigi
1. Sampel gigi disimpan ke dalam larutan formalin 10%.
2. Sampel gigi dibersihkan dengan bur brush dan pumice.
3. 2/3 dari akar gigi ditanam pada resin akrilik.
4. Garis di buat pada permukaan oklusal gigi dari arah mesial ke distal dengan
spidol.
5. Bagian oklusal dibuat groove dengan bur inverted cone.
6. Sampel gigi dipotong secara vertikal dari arah oklusal ke servikal dengan
menggunakan disc bur.
7. Sampel gigi di potong secara horizontal pada 1/3 servikal dari arah bukal ke
palatal.
8. Sampel gigi disimpan kembali ke dimasukkan ke dalam formalin 10%.
2. Shooting pada bagian mesio bukal diatas tanduk pulpa.
3. Shooting pada 100x untuk melihat pembentukan tebal dentin tertier.
4. Shooting pada 3000x untuk melihat tipe tubulus dentin tertier.
5. Shooting pada 6000x untuk melihat pembentukan kristal pada tubulus dentin
tertier, diameter tubulus dentin tertier dan margin dinding tubulus dentin
tertier.
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada gigi molar pertama bawah permanen yang sudah
dicabut dari penyirih suku Karo di Pancur Batu Medan, jumlah sampel penelitian
sebanyak 10 gigi. Jumlah sampel yang diperoleh sedikit karena gigi yang dicabut
pada puskesmas tidak disimpan, juga dikarenakan tidak adanya data mengenai umur,
frekuensi menyirih, dan lamanya menyirih. Data yang diperoleh dari sampel gigi
penyirih ini adalah gigi yang atrisi dan ada stein sirih pada gigi.
Penelitian ini dilakukan untuk melihat mikrostruktur dentin tertier. Teknik
pembuatan spesimen dilakukan dengan memotong gigi dari arah vertikal dari oklusal
ke 1/3 servikal dengan menggunakan disc bur dan mikromotor. Spesimen diperoleh
palatal sesuai ukuran 1x1x0.5cm yaitu panjang gigi 1cm, lebar gigi 1cm dan tebal
gigi 0.5cm.
Mikrostruktur dentin tertier dilihat dengan menggunakan alat Scanning
Electron Microscope (HITACHI MT3030) untuk mendapatkan data mengenai tebal dentin tertier, tipe tubulus dentin tertier, diameter tubulus dentin tertier, ada tidaknya
pembentukan kristal pada tubulus dentin tertier dan tipe margin tubulus dentin tertier
dengan pembesaran 100x, 3000x dan 6000x. Pengamatan dilakukan pada daerah
mesio bukal tanduk pulpa. Pembesaran 100x dilakukan untuk melihat tebal dentin
tertier, pada daerah pengamatan dilakukan pembesaran 3000x untuk mendapatkan
data tipe tubulus dentin tertier, dan pembesaran 6000x untuk mendapatkan diameter
tubulus dentin tertier, tipe margin tubulus dentin tertier dan ada tidaknya
pembentukan kristal.
4.1 Tebal Dentin Tertier Pada Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Penyirih Suku Karo di Pancur Batu Medan
Tabel 1. Hasil Pengukuran Ketebalan Dentin Tertier Pada Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Penyirih Suku Karo di Pancur Batu Medan
8 196
9 303
10 342
Tabel 1 menunjukkan tebal dentin tertier sebesar 129 µm sampai 765 µm, dari
4.2 Diameter Tubulus Dentin Tertier Pada Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Penyirih Suku Karo di Pancur Batu Medan
Tabel 2. Hasil Pengukuran Diameter Tubulus Dentin Tertier Pada Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Penyirih Suku Karo di Pancur Batu Medan
Spesimen Diameter Tubulus Dentin (nm) x ± SD (µm)
1 901
750.4 ± 262.3
2 990
3 158
4 901
5 856
6 885
7 450
8 949
9 743
10 671
Tabel 2 menunjukkan diameter tubulus dentin tertier sebesar 158 nm sampai
990nm, dari seluruh sampel yang diteliti nilai rata-rata diameter tubulus dentin tertier
4.3 Pembentukan Kristal Pada Tubulus Dentin Tertier Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Penyirih Suku Karo di Pancur Batu Medan
Tabel 3. Hasil Pengamatan Pembentukan Kristal Pada Tubulus Dentin Tertier Pada Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Penyirih Suku Karo di Pancur Batu Medan
Pembentukan Kristal N Total
Kristal (+) 10 100%
Kristal (-) 0 0
Tabel 3 menunjukkan seluruh sampel yang diteliti menunjukkan pembentukan
kristal sebanyak 100%.
4.4 Tipe Margin Tubulus Dentin Pada Dentin Tertier Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Penyirih Suku Karo di Pancur Batu Medan
Tabel 4. Hasil Pengamatan Tipe Margin Tubulus Dentin Pada Dentin Tertier Pada Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Penyirih Suku Karo di Pancur Batu Medan
Margin Tubulus Dentin N Total
Regular 0 0
Irregular 10 100%
Tabel 4 menunjukkan seluruh sampel yang diteliti menunjukkan tipe margin
tubulus dentin irregular sebanyak 100% dan tidak dijumpai tipe margin tubulus
4.5 Tipe Tubulus Dentin Yang Terbentuk Pada Dentin Tertier Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Penyirih Suku Karo di Pancur Batu Medan
Tabel 5. Hasil Pengamatan Tipe Tubulus Dentin Pada Dentin Tertier Pada Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Penyirih Suku Karo di Pancur Batu Medan
Tipe Tubulus Dentin N Total
Tubulus Sedikit 6 60%
Irregular 1 10%
Osteodentin 0 0
Kombinasi 3 30%
Tabel 5 menunjukkan pada seluruh sampel yang diteliti tipe tubulus dentin
yang paling banyak terbentuk adalah tipe tubulus sedikit sebanyak 60%, tipe
kombinasi sebanyak 30%, tipe irregular sebanyak 10% dan tidak dijumpai tipe
Hasil Scanning Electron Microscope (SEM) Dentin Tertier :
1. Tebal Dentin Tertier
Gambar 16. Tebal dentin tertier 321µm (100x) ( Dokumentasi)
2. Tipe Tubulus Dentin
Gambar 18. Tubulus dentin tipe Kombinasi (3000x) ( Dokumentasi)
3. Diameter Tubulus Dentin, Pembentukan Kristal dan Margin Tubulus Dentin
Gambar 20. Diameter Tubulus Dentin 158nm Kristal (+)
BAB 5 PEMBAHASAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat mikrostruktur dentin tertier yang
terbentuk akibat kebiasaan menyirih. Mikrostruktur dentin tertier yang diteliti adalah
tebal dentin tertier, diameter tubulus dentin tertier, ada atau tidaknya kristal pada
tubulus dentin tertier, tipe margin tubulus dentin tertier dan tipe tubulus dentin tertier.
Sampel penelitian adalah gigi molar pertama bawah permanen pada penyirih suku
Karo Pancur Batu Medan, karena sulitnya memperoleh gigi molar pertama bawah
permanen penyirih suku karo di Puskesmas dan praktek dokter gigi swasta Pancur
Batu Medan maka jumlah sampel penelitian hanya 10 gigi berdasarkan inklusi dan
eksklusi.
Spesimen penelitian diperoleh dengan melakukan pemotongan gigi pada
daerah groove oklusal (0.5mm dari titik puncak cusp bukal) dengan menggunakan
disc bur dilakukan pemotongan vertikal dari arah oklusal sampai ke 1/3 servikal sehingga membelah gigi bagian bukal dan bagian lingual. Kemudian dengan disc bur
juga dilakukan pemotongan secara horizontal pada daerah 1/3 servikal dari arah bukal
ke lingual. Dengan demikian diperoleh spesimen 1x1x0.5 cm untuk mendapatkan
struktur enamel, dentin dan tanduk pulpa. Selanjutnya diamati dengan menggunakan
Scanning Electron Microscope (HITACHI MT3030).
Pengamatan dilakukan pada setiap gigi masing-masing 3 kali pembesaran,
pada pembesaran 100x untuk mengukur tebal dentin tertier (µm), pembesaran 3000x
untuk melihat tipe tubulus dentin tertier, dan 6000x untuk mengukur diameter tubulus
dentin tertier (nm), untuk melihat pembentukan kristal, dan untuk melihat tipe margin
tubulus dentin tertier.
Dentin merupakan salah satu jaringan keras gigi yang terletak di bawah
lapisan enamel yang menyusun bagian yang terbesar pada struktur gigi.15 Dentin
lebih keras daripada tulang dan sementum tetapi lebih lunak daripada enamel.13
dentinogenesis.15 Struktur dentin terdiri dari 70% bahan anorganik, 20% bahan organik dan 10% air. Bahan anorganik baik enamel maupun dentin terdiri dari ion
kalsium fosfat dan hidroksiapatit [Ca10(PO4)6(OH)2].41 Gambaran histologis dentin
terdiri dari tubulus dentin, peritubulus dentin, intertubulus dentin, predentin dan
prosesus odontoblas. Dentin mempunyai kemampuan untuk mereparasi jaringan
dentin dengan adanya tubulus dentin, kapiler darah, saraf dan prosesus odontoblas
yang merupakan respon biologis terhadap stimulus misalnya atrisi, erosi, karies,
abrasi, pengunyahan, jenis makanan, usia dan lain-lain.15
Dentin sekunder terbentuk akibat adanya respons odontoblas terhadap
stimulus fisiologis, dentin sekunder merupakan dentin yang terbentuk secara terus
menerus selama manusia hidup mulai dari gigi erupsi sempurna dan berfungsi secara
fungsional. Setelah pembentukan dentin primer selesai dan odontoblas memasuki fase
istirahat barulah dentin sekunder diproduksi dan membentuk deposit dentin yang
fisiologis.6 Deposit dentin sekunder yang paling banyak terbentuk pada dentin diatas atap pulpa simetris dengan arah stimulus (Gambar 6).17 Sepanjang hidup dentin dipengaruhi oleh perubahan lingkungan, termasuk atrisi fisiologis, karies, prosedur
operatif dan restorasi, serta trauma. Perubahan ini menyebabkan timbulnya respon
protektif dengan terbentuknya dentin sekunder. Pembentukan dentin sekunder
merupakan suatu mekanisme penutupan alamiah tubulus dentin yang terpotong atau
terkena penyakit di permukaan pulpa.18 Mekanisme pembentukan ini terjadi dengan jalan serabut-serabut kolagen yang mendukung tubulus dentin mengalami kalsifikasi,
dan aktivitas odontoblas yang tersebar di dekat pulpa. Odontoblas mensintesa dan
mensekresi matriks anorganik kemudian menciptakan lingkungan yang
memungkinkan terjadinya mineralisasi matriks sehingga menghasilkan dentin
sekunder yang permeabilitasnya kurang lebih sama dengan dentin primer.15
Dentin tertier adalah dentin yang terbentuk pada jaringan pulpa, biasanya
berlokasi pada bagian tepi dari pulpa dan sejajar dengan arah stimulus, khususnya
karena pengunyahan pada penyirih. Dentin tertier tebagi dua yaitu dentin reaksioner
dentin tertier oleh odontoblas primer yang masih ada setelah terjadi injuri pada gigi,
dentin ini sering ditemui pada injuri yang intensitasnya rendah, contohnya karies pada
enamel dan lesi dentin yang berkembang secara perlahan-lahan. Dentin reparatif
merupakan pembentukan dentin tersier setelah kematian odontoblas primer akibat
injuri. Dentin reparatif terbentuk setelah terjadinya injuri yang intensitasnya besar dan
mewakili urutan yang lebih kompleks dalam aktivitas biologis, melibatkan kehadiran
sel progenitor dan diferensiasi serta regulasi yang meningkat dalam proses sekresi
sel.8
5.1 Tebal Pembentukan Dentin Tertier Pada Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Penyirih Suku Karo di Pancur Batu Medan
Mahajan P dkk. (2006) menyatakan bahwa rata-rata tebal pembentukan dentin
tertier pada gigi permanen adalah 1.5µ, dinyatakan juga kalsifikasi yang terjadi
adalah respon dari pulpa terhadap injuri yang mendepositkan jaringan keras didalam
saluran akar.39 Menurut penelitian Filipovic V (2003) telah melakukan penelitian mengenai pembentukan dentin tertier pada gigi dengan kavitas yang dalam, diperoleh
tebal dentin tertier tertinggi sebesar 348µm dan nilai paling rendah 219µm.
Dilaporkan juga bahwa kedalaman kavitas mempengaruhi ketebalan dentin tertier,
semakin dalam kavitas, semakin tebal pembentukan dentin tertier.40 Menurut
penelitian Anthony J.S (2005) jika stimulus masih awal dan ringan terbentuk dentin
tertier sedikit dan dinamakan sebagai dentin reaksioner manakala stimulus yang berat
akan membentuk dentin tertier yang dinamakan dentin reparatif karena
pembentukannya lebih banyak.41 Sementara pada penelitian ini menunjukkan tebal dentin tertier tertinggi adalah 765µm dan ukuran tebal dentin tertier terendah adalah
129µm, dimana nilai rata-rata tebal dentin tertier adalah 317.9µm. Hal ini
menunjukkan bahwa pada penyirih mempunyai tebal dentin tertier lebih tinggi
daripada penelitian Filipovic pada kavitas gigi. Hal ini menunjukkan pada penyirih:
lamanya menyirih, frekuensi menyirih, komposisi menyirih, dan umur penyirih
atrisi yang semakin betambah maka bertambah pembentukan dentin tertier sebagai
respon pertahanan gigi.
Laporan penelitian Ginting R dan Permana B (2012) yang melakukan
penelitian terhadap penyirih wanita di Pancur Batu Medan, melaporkan bahwa derajat
atrisi meningkat sejalan dengan meningkatnya frekuensi menyirih. Semakin
bertambah frekuensi menyirih yaitu menyirih lebih dari 3 kali sehari, semakin banyak
dijumpai atrisi derajat 3 pada gigi penyirih. Dijumpai atrisi derajat 3 pada gigi
penyirih dalam linkungan umur 23-36 dan 50-69 yang menyatakan bahwa
bertambahnya usia mempengaruhi derajat atrisi yang terjadi. Begitu juga komposisi
menyirih yang merupakan bahan yang kasar seperti pinang, daun sirih, tembakau
berpengaruh terhadap derajat atrisi yang terjadi. Dinyatakan juga penyirih dengan
komposisi sirih, kapur, gambir dan pinang derajat atrisinya lebih tinggi dibandingkan
dengan penyirih dengan komposisi sirih, kapur dan gambir.42 Dengan adanya atrisi yang parah, respon pertahanan pulpa terhadap stimulus atrisi adalah pembentukan
dentin tertier. Semakin tinggi stimulus yang diterima, semakin tebal pembentukan
dentin tertier.41
5.2 Pembentukan Kristal, Diameter Dentin Tertier, dan Tipe Margin Tubulus Dentin Pada Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Penyirih Suku Karo di Pancur Batu Medan
Menurut penelitian Madhura M.G (2006) yang meneliti pada gigi premolar
(10 gigi yang atrisi, 6 gigi yang abrasi dan 4 gigi normal) di India mengenai
perubahan pada dentin karena atrisi dan abrasi diamati dibawah Scanning Electron
Microscope. Pada semua sampel penelitian kasus gigi atrisi dan abrasi pada penelitian Madhura dijumpai Kristal dengan variasi bentuk (rhomboid) dan variasi ukuran juga
terlihat di tubulus dentin. Menurut Madhura hal ini terjadi karena adanya stimulus
(atrisi dan abrasi). Kalsifikasi globular terjadi untuk membentuk kristal sebagai
mekanisme pertahanan untuk menghambat masuknya bakteri dan antigen yang
Menurut penelitian Cesar AGA dkk (2004) yang meneliti mengenai efek agen
desensitifikasi terhadap tubulus dentin pada gigi molar 3 yang telah dicabut dan
diberikan agen desensitifikasi Gel-OXA (Potasium oxalate-based). Pada penelitian
tersebut ditemui adanya pembentukan kristal pada tubulus dentin dimana variasi
ukuran kristal ditemui sehingga ada kristal yang sama diameternya dengan tubulus
dentin. Pembentukan kristal ini adalah sebagai efek untuk mencegah terjadinya dentin
hipersensitif (derajat berkurangnya nyeri atau sakit).43
Pada penelitian ini menunjukkan seluruh spesimen terdapat pembentukan
kristal di tubulus dentin tertier (100%). Pada penelitian ini dapat diasumsikan bahwa
frekuensi pengunyahan, lamanya pengunyahan, komposisi sirih, usia, atrisi, abrasi
dan erosi merupakan stimulus yang kuat terhadap pembentukan kristal dalam tubulus
dentin sesuai dengan penelitian Madhura M.G (2006) dan Cesar AGA dkk (2004).
Pada penelitian ini hanya melihat pembentukan kristal tidak mengukur tebal kristal
dan jumlah kristal. Jadi perlu penelitian selanjutnya untuk mengukur jumlah dan
besarnya kristal yang terbentuk.
Tubulus dentin tertier berbeda dari tubulus dentin normal karena pada tubulus
dentin tertier diameter tubulusnya tidak teratur dan kurang daripada yang normal,
diameter tubulus dentin tertier berbeda-beda dan kebanyakan tubulus ditutupi oleh
kristal karena terjadinya kalsifikasi globular.31 Menurut penelitian Madhura M.G (2006) diameter tubulus dentin yang normal adalah 2.13µ pada tubulus yang dekat
dengan pulpa dan 1.55µ pada tubulus di dentino-enamel junction dan nilai rata-rata
diameter tubulus dentin pada dentin tertier yang terbentuk akibat atrisi adalah dari
0.83µ pada tubulus yang berdekatan dengan lesi dan 1.38µ pada tubulus yang dekat
dengan pulpa. Secara mikroskopis tubulus dentin tertier lebih irregular, dan pada
beberapa kasus tidak menunjukkkan adanya pembentukan tubulus dentin.43 Derajat irregularitas dentin tertier tergantung pada beberapa faktor seperti besarnya inflamasi
yang terjadi, sampai mana terjadinya injuri selular dan kadar differensiasi odontoblas
pengganti.
Pada penelitian ini diperoleh nilai rata-rata diameter dentin tertier adalah
penelitian Madhura pada kasus atrisi dan abrasi, pada penelitian ini juga
menunjukkan bahwa diameter tubulus dentin penyirih lebih kecil dari diameter
tubulus dentin normal sesuai yang dilaporkan pada penelitian Madhura. Dengan
demikian dapat diasumsikan bahwa semakin besar stimulus, semakin kecil diameter
tubulus dentin pada dentin tertier. Penyempitan tubulus dentin adalah karena kristal
menempel di tubulus dentin dan akhirnya tubulus menjadi sempit. Tubulus tertutup
sehingga tidak ada rangsangan ke pulpa, jadi tidak ada sensitivitas dentin karena
terhambatnya cairan masuk ke pulpa.
Pada penelitian Madhura M.G (2006) margin tubulus dentin yang diamati
kasar dan irregular pada kedua kasus yang ditelitinya yaitu gigi yang atrisi dan abrasi.
Hal ini terjadi adalah karena terjadinya kalsifikasi pada dinding tubulus dentin yang
menyebabkan margin dinding tubulus dentin kasar dan irregular. Kristal rhomboid
yang terbentuk di dinding tubulus dentin juga menyebabkan terjadinya perubahan
pada tubulus dentin tertier.20
Pada penelitian ini, seluruh gigi menunjukkan margin tubulus yang kasar dan
irregular (100%) karena terjadinya kalsifikasi globular yang menghasilkan kristal
akibatnya tubulus dentin menjadi irregular karena adaanya pembentukan kristal yang
melekat pada dinding tubulus.20
5.3 Tipe Tubulus Dentin Yang Terbentuk Pada Dentin Tertier Gigi Molar Pertama Bawah Permanen Penyirih Suku Karo di Pancur Batu Medan
Menurut Bjorndal L (2002) dikenal ada 5 tipe tubulus dentin yaitu tipe
normal, tipe tubulus sedikit, tipe irregular, tipe osteodentin dan tipe kombinasi. Pada
penelitian ini diperoleh 60% tipe tubulus sedikit, 30% tipe kombinasi, 10% tipe
irregular dan tidak dijumpai tipe osteodentin. Teori mengenai kenapa hal ini terjadi
belum diperoleh dari literatur. Oleh karena itu perlu penelitian lebih lanjut mengenai
tipe tubulus dentin. Tidak seperti dentin fisiologis, mikrostruktur dari dentin tertier
sangat bervariasi dan biasanya tidak beraturan. Bentuk tubular-tubular dari dentin
sampai pada dentin reparatif yang tidak memiliki tubular sehingga permeabilitas dari
dentin tertier menurun dan difusi dari agen yang berbahaya dari tubulus dapat
dicegah. Secara histologi dentin tertier merupakan dentin yang paling sedikit
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Mikrostruktur dentin tertier pada gigi molar pertama bawah permanen
penyirih suku Karo menunjukkan :
1. Adanya penebalan dentin tertier pada bagian mesio bukal tanduk pulpa gigi
dengan rata-rata 317.9 ± 178.6 µm.
2. Adanya penyempitan diameter tubulus dentin tertier dengan rata-rata 750.4 ±
262.3 nm.
3. Pembentukan kristal dalam tubulus dentin tertier pada seluruh sampel yang
diteliti 100%.
4. Tipe margin tubulus dentin irregular pada seluruh sampel yang diteliti 100%.
5. Ditemui tipe tubulus dentin tipe tubulus sedikit 60%, tipe irregular 10% tipe
kombinasi 30% dan tidak dijumpai tipe osteodentin.
6.2 Saran
Perlu penelitian lebih lanjut dengan kriteria usia, lamanya menyirih, dan
frekuensi menyirih ditetapkan untuk mendapat hasil yang lebih baik dan akurat
mengenai tebal pembentukan dentin tertier pada gigi molar pertama bawah permanen
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Struktur Gigi
Enamel, dentin dan sementum adalah bagian dari gigi yang sebagian besar
terdiri dari jaringan keras. Enamel mengandung zat anorganik dalam jumlah yang
besar sehingga merupakan bagian yang terkeras. Namun, karena letaknya paling luar,
maka kerusakan enamel sangat dipengaruhi oleh faktor yang ada dalam rongga mulut.
Faktor yang berpengaruh pada kerusakan enamel salah satunya adalah keasaman
makanan dan minuman yang akan menyebabkan keausan enamel yang disebut erosi
gigi.7
Dilihat dari struktur utama enamel, prisma merupakan struktur komponen
terluas dengan lebar 4-6 mikron, prisma ini memanjang dari arah perbatasan enamel
dan dentin ke permukaan enamel serta saling mengikat satu sama lain. Pada potongan
melintang nampak seperti ‘keyhole’ yang terdiri atas kepala dan ekor, arah prismata
ke permukaan tidak lurus melainkan bergelombang untuk mempertinggi
ketahanannya terhadap gaya yang datang. Di bagian kepala prisma terdapat selubung
prisma (prisma sheath) dengan tebal 0,5 mikron yang di dalamnya terdapat kristal
hidroksiapatit. Sumbu kristal sejajar dengan arah prismata di dasar prismata dan
nampak memanjang di ujung prismata. Cross striations terdapat diantara kristal,
bagian luar dari ‘cross striations’ terdapat striae of retzius yang arahnya dari
perbatasan enamel dan dentin ke permukaan bersudut tajam.11
Enamel terdiri dari 96% bahan anorganik sisanya bahan organik dan air,
sebagian besar bahan anorganik terdiri dari ion kalsium fosfat dan hidroksiapatit
[Ca10(PO4)6(OH)2]. Secara rinci, Williams dan Elliot (1979) menyusun komposisi
mineral enamel normal dari persentase terbesar yaitu Ca, P, CO2, Na, Mg, Cl dan K
dan elemen dengan jumlah yang kecil yaitu F, Fe, Zn, Sr, Cu, Mn, Ag. Ion fluor
sangat esensial pada pembentukan dan perkembangan enamel karena dapat
menggantikan gugus hidroksil sehingga membentuk fluor apatit [Ca10(PO4)6(F)2].7,12
Enamel merupakan jaringan yang tidak mempunyai kemampuan untuk
mengantikan bagian-bagian yang rusak, oleh karena itu setelah gigi erupsi enamel
akan terlepas dari jaringan-jaringan lainnya yang ada dalam gusi.11 Akan tetapi ada beberapa hal yang dapat memperkuat enamel yaitu terjadinya perubahan susunan
kimia sehingga enamel akan lebih kuat menghadapi rangsangan-rangsangan yang
diterimanya seperti pemberian fluor, saliva yang jenuh akan kalsium dan fosfat
sehingga dapat mengurangi kelarutan permukaan enamel.13 Namun pada pH di bawah 5.5, mineral akan terlepas dari permukaan enamel.14
2.1.2 Dentin
Dentin merupakan salah satu jaringan keras gigi yang terletak di bawah
dengan tulang namun dentin dibentuk oleh odontoblas dimana pembentukan dentin
dikenal dengan dentinogenesis. Dentin terdiri dari 70% kristal hidroksiapatit
(anorganik), 18% zat organik yang tersusun dari kolagen, substansi dasar
mukopolisakarida, dan 12% air. Tipe modifikasi dari dentin dikenal dengan dentin
sekunder dan dentin tertier. Dentin yang termineralisasi bersama dengan pulpa
membentuk suatu hubungan yang disebut dengan kompleks dentin-pulpa yang
bertanggung jawab dalam memelihara vitalitas gigi.7
Secara mikroskopis, dentin terdiri dari berbagai struktur diantaranya tubulus
dentin, peritubulus dentin, intertubulus dentin, predentin, dan prosesus odontoblas.
Masing-masing struktur memiliki kegunaan seperti tubulus dentin memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap permeabilitas dentin terhadap jaringan.15 Secara histologis dentin terdiri atas :
1. Tubulus Dentin
Tubulus dentin merupakan kanal-kanal yang memanjang dari daerah pulpa
sampai ke batas dentin-enamel. Tubulus dentin berbentuk seperti garis-garis yang
tersusun mengikuti arah mahkota dan garis-garis ini menyerupai huruf S. Tubulus
yang terletak dekat dengan puncak akar dan tepi insisal bentuknya lebih lurus.7 Perbandingan antara dentin yang berada pada permukaan luar dengan dentin yang
berada pada permukaan dalam adalah 5:1 sehingga tubulus-tubulus memiliki jarak
yang lebih jauh antara satu dengan yang lain pada daerah garis permukaan luar,
sementara pada daerah permukaan dalam jarak antar tubulus lebih dekat.
Tubulus-tubulus dentin pada daerah yang berdekatan dengan pulpa memiliki diameter yang
lebih besar (3-4 µm) dan lebih kecil pada permukaan luar (1 µm). Tubulus dentin
memiliki cabang lateral di seluruh dentin dimana tubulus ini diisi oleh kanalikuli atau
mikrotubulus. Beberapa tubulus dentin memanjang sampai beberapa millimeter pada
Gambar 1. Tubulus dentin normal.7
2. Peritubulus Dentin
Dentin yang mengelilingi tubulus dentin disebut dengan peritubulus dentin
yang termineralisasi 40% lebih banyak daripada intertubulus dentin dan dua kali lebih
tebal pada permukaan luar dentin daripada permukaan dalam dentin.7
3. Intertubulus Dentin
Secara keseluruhan dentin tersusun atas intertubulus dentin yang terletak
antara terletak antara tubulus atau lebih spesifik lagi terletak diantara daerah
Gambar 2. A. Peritubulus dentin; B. Intertubulus dentin7
4. Predentin
Predentin terletak berdekatan dengan jaringan pulpa dengan lebar sekitar
2-6µm, dan lebar ini tergantung pada aktivitas odontoblas. Predentin merupakan
pembentukan awal dari dentin dan predentin tidaklah termineralisasi.10 Serat kolagen bertanggung jawab dalam proses mineralisasi antara dentin dan predentin, dimana
predentin menjadi dentin dan terbentuk sebuah lapisan baru dari predentin.7
Gambar 3. Predentin7
Prosessus odontoblas merupakan perpanjangan sitoplasma dari odontoblas.
Odontoblas terletak disekitar pulpa yaitu diantara batas pulpa dengan predentin dan
prosessusnya memanjang sampai tubulus dentin. Prosessus odontoblas memiliki
diameter terbesar pada daerah disekitar pulpa (3-4µm) dan meruncing kira-kira 1µm
memasuki dentin. Badan sel dari odontoblas memiliki diameter kira-kira 7µm dan
panjangnya 40 µm.7
Gambar 4. A. Peritubulus dentin; B. Intertubular dentin; C. Prosessus odontoblas; D. Predentin7
2.1.2.1 Dentin Primer
Dentin primer merupakan dentin yang pertama kali terbentuk seiring dengan
berjalannya pertumbuhan gigi. Dentin ini terbentuk dari mulai pembentukan gigi
sampai gigi tersebut erupsi sempurna dan merupakan bagian terbesar dari gigi.
Matriks dentin primer terbentuk dengan cepat pada saat perkembangan gigi. Lapisan
terluar dari dentin primer terletak tepat dibawah enamel, secara histologis dentin
primer memiliki tubulus dentin yang lebih banyak daripada dentin sekunder.15
2.1.2.2 Dentin Sekunder
Dentin sekunder merupakan dentin yang terbentuk secara terus menerus
Setelah pembentukan dentin primer selesai, odontoblas memasuki fase istirahat
barulah dentin sekunder diproduksi dan membentuk deposit dentin yang fisiologis.16 Dentin sekunder yang terbentuk lebih lambat daripada pembentukan dentin primer
dan deposit dentin yang semakin bertambah secara tidak langsung dapat memperkecil
kamar pulpa. Pembentukan deposit dentin sekunder tidak merata pada setiap tepi
kamar pulpa terutama pada gigi molar. Deposit dentin yang paling banyak terbentuk
adalah pada bagaian atap pulpa dan lantai pulpa sehingga penurunan ukuran dan
bentuk kamar pulpa menjadi tidak simetris.17 Stimulus yang ringan seperti
pengunyahan fisiologis dapat menyebabkan iritasi kronis (atrisi) dan menyebabkan
deposit dentin sekunder terbentuk oleh aktifitas odontoblas sehingga pulpa
mengalami kalsifikasi pada daerah yang searah dengan iritasi kronis yang terjadi.
Selain itu pembentukan dentin sekunder dimulai pada sisi pulpa yang berkontak
dengan gigi antagonis pada saat pengunyahan.15
Dentin sekunder regular dibentuk secara teratur dan secara fisiologis
didepositkan mengelilingi tepi pulpa selama pulpa masih vital, sehingga kamar pulpa
secara progresif akan menyempit sesuai dengan bertambahnya usia, hal ini terjadi
selama lingkungan di sekitar struktur dan jaringan gigi tetap stabil dan konstan tanpa
ada trauma ataupun rangsangan dari luar.16
Bila ada trauma dari luar yang cukup signifikan maka akan terbentuk dentin
sekunder iregular pada tepi pulpa pada tubulus yang berhubungan dengan iritan yang
diterima dari luar. Sepanjang hidup dentin akan dipengaruhi oleh perubahan
lingkungan, termasuk keausan normal, karies, prosedur operatif dan restorasi, serta
trauma. Perubahan ini menyebabkan timbulnya respon protektif melalui terbentuknya
dentin sekunder iregular. Pembentukan dentin sekunder iregular merupakan suatu
mekanisme penutupan alamiah tubulus dentin yang terpotong atau terkena penyakit di
permukaan pulpa.18 Mekanisme pembentukan ini terjadi dengan cara serabut-serabut kolagen yang mendukung tubulus-tubulus dentin mengalami kalsifikasi, dan aktifnya
odontoblas yang tersebar di dekat pulpa. Kemudian odontoblas mensintesis dan
mensekresi matriks anorganik menciptakan lingkungan yang memungkinkan
permeabilitasnya kurang lebih sama dengan dentin primer. Hal ini memungkinkan
gigi mempertahankan diri terhadap efek atrisi, karies gigi, dan bentuk lain dari
trauma. Bukti menunjukkan bahwa dentin sekunder irregular melindungi pulpa
dengan mengurangi masuknya iritan.15
Gambar 5. A. Dentin primer; B. Dentin sekunder; C. Dentin reparative15
2.1.2.3 Dentin Tertier
Dentin tertier adalah reparasi atau pemulihan setelah terjadinya injuri pada
banyak tisu pada suatu jaringan. Apabila lesi mengenai dentin, respon pulpa akan
mendeposit lapisan dentin tertier pada tubulus dentin primer atau sekunder yang
berhubungan dengan lesi tersebut. Pembentukan dentin tertier tergantung pada
odontoblas yang terlibat dalam proses injuri.8
Dentin tertier secara morfologi berbeda dengan dentin primer terhadap variasi
dalam mekanisme molekular pembentukannya. Menurut Olgart dan Bergenholtz
(2003), apabila dibandingkan dentin tertier dengan dentin primer, dentin tertier
kurang sensitif terhadap termal, osmotik, dan stimuli evaporatif. Tubulus dentin
tertier lebih irregular dengan lumina yang lebih besar. Dalam beberapa kasus, tidak
beberapa faktor seperti terjadinya inflamasi yang parah, sampai terjadinya injuri
selular, dan kadar differensiasi odontoblas pengganti. 8
Dentin tertier kurang permiebal terhadap ransangan external dibandingkan
dengan dentin primer. Sepanjang pembatasan antara dentin primer dan tertier, dinding
tubulus dentin lebih tebal dan tubulusnya berisi material yang menyerupai dentin
peritubular. Zona pembatasan kurang permeabel dari dentin pada umumnya dan
berfungsi sebagai penghalang masukannya bakteri dan produknya. Penelitian Kim S,
Trowbridge H dan Suda H (2002) menyatakan bahwa akumulasi sel dendritic pulpa
berkurang setelah pembentukan dentin tertier yang mengindikasikan berkurangnya
kemasukan antigen bakterial.8 Terdapat 2 tipe dentin tertier yang terdiri atas :
1. Dentin Reaksioner
Dentin reaksioner adalah pembentukan dentin tertier oleh odontoblas primer
setelah terjadi injuri pada gigi. Dentin ini sering dijumpai pada injuri yang
intensitasnya rendah, contohnya karies pada enamel dan lesi dentin yang berkembang
secara perlahan-lahan.8
Lesi karies yang berkembang perlahan dikategorikan sebagai peningkatan
mineralisasi awal pada dentin yang terlibat. Hiper mineralisasi ini terjadi apabila
proses karies berlangsung di enamel sebelum mengenai dentin. Sebelum karies
mengenai dentin, beberapa garam mineral yang terlarut didalam tubulus akan
berkumpul dan membentuk zona hiper mineralisasi transparan didalam dentin dan
dibawah dentin yang mengalami demineralisasi pada bagian karies.8
Secara histologi terdapat perubahan kecil pada regio odontoblas-predentin
sesuai dengan karies yang sedang berkembang, tetapi terdapat juga pembentukan
dentin reaksioner yang bertambah. Kebanyakan odontoblas aktif walaupun agak
pendek dari sebelumnya, panjang odontoblas berkurang sehingga membentuk dentin
reaktioner tidak sesuai dengan bertambahnya produksi matriks. Bertambahnya
produksi matriks akan menyebabkan bertambahnya organel intrasellular dan
membentuk sel formatif yang lebih besar. Sel subodontoblastic dan
dalam membentuk dentin, maka tubulus dentin berhubungan dengan dentin primer ke
dentin sekunder dan dentin tertier, maka jalan masuk ke pulpa masih terbuka. Regio
subodontoblastic dari morfologinya tidak terganggu dari tetapi sel bebas di zona tetap tidak ada karena ada perubahan dari area fisiologis tersebut. Komponen yang lain
sering ditemukan seperti fibroblast, sel yang tidak terdifferensiasi dan sel dendrit.8 Dentin reaksioner yang terbentuk karena lesi karies superfisial mungkin masih
menyerupai dentin primer dari segi tubulus dan derajat mineralisasinya. Secara
umum, tubulus dentin reaksioner masih bersambungan dengan dentin sekunder,
sehingga ketebalan lapisan yang baru terbentuk berdasarkan intensitas dan waktu
stimulus. Dentin reaksioner mengandungi matriks organik yang sama dengan konten
mineral yang menyerupai dentin primer dan sekunder.8
2. Dentin Reparatif
Dentin reparatif merupakan lapisan dentin yang terbentuk pada batas antara
dentin dan pulpa. Pembentukan lapisan ini hanya terjadi pada area di bawah stimulus,
struktur dentin ini bervariasi mulai dari yang regular (seperti dentin primer dan
sekunder) hingga variasi irreguleritas dapat terbentuk jaringan yang abnormal dengan
sedikit tubulus, banyak daerah interglobular, dan terdapat odontoblas.7
Gambar 6. A. Dentin reparatif; B. Dentin sklerotik8
Pembentukan dentin reparatif adalah suatu mekanisme pertahanan yang utama
secara alamiah dentin ini menutup luka atau penyakit pada tubulus dentin di
permukaan pulpa, sehingga menghilangkan efek dari atrisi, karies, dan bentuk lain
dari trauma. Dentin primer (dentin dalam perkembangan) terbentuk selama
perkembangan gigi. Sementara dentin sekunder fisiologis (dentin regular) adalah
dentin yang didepositkan disekeliling pulpa selama masih aktif dari gigi vital,
sehingga kamar pulpa akan mengecil sesuai dengan perkembangan usia. Dentin
tertier (dalam reparatif) terbentuk pada ujung pulpa dari tubulus yang berhubungan
dengan iritan seperti atrisi dan karies gigi.8 Dinding tubulus sepanjang pertautan dentin primer dan tubulus di dalam dentin tertier mengecil dan sering tertutup.
Dengan demikian, zona pertautan ini akan membatasi difusi iritan ke dalam pulpa.19 Namun dentin tertier yang kualitasnya rendah tidak bisa memberikan proteksi seperti
itu, ketika pulpa terinflamasi akibat adanya iritasi, dentin tertier yang terbentuk sering
mengandung tempat-tempat kosong (void) tempat terperangkapnya jaringan lunak
sehingga tampilan dentin terlihat seperti ‘keju swiss’. Jika dentin dipotong dengan
kecepatan tinggi tetapi disertai semprotan air sebagai pendingin maka pembentukan
dentin tertier akan menurun karena diminimalkannya trauma terhadap pulpa.19 2.b Patogenesis Terjadinya Dentin Reparatif
Dentin reparatif terjadi pada permukaan pulpa dentin primer atau sekunder
dan akan terlokal di area iritasi, dentin ini membentuk secara proposional dengan
jumlah dentin primer yang hancur. Tingkatnya berbanding terbalik dengan tingkat
serangan karies, yaitu semakin banyak dentin yang dibentuk terhadap lesi karies yang
perkembangannya lambat.8 Tubuli dalam dentin reparatif tidak beraturan atau sering tidak ada, sehingga membuatnya lebih tidak permeabel terhadap stimuli eksternal.
Sel-sel yang membentuk dentin reparatif dianggap bukan odontoblas primer tetapi
berasal dari sel yang lebih dalam di pulpa seperti fibroblast dalam zona yang kaya sel,
sel endothelial atau pericyte vaskulatur darah yang dibedakan terhadap stimulasi oleh
faktor-β perkembangan jaringan.20 Dentin reparatif, terutama di zona perbatasan antara dentin primer dengan sekunder mempunyai permeabilitas rendah dan dapat
Jika odontoblas aktif yang membentuk dentin sekunder terlibat dalam
pembentukan dentin tertier, jadi dentin tertier yang dibentuk dinamakan dentin
reaksionar. Secara umumnya pada dentin reaksionar, laju pembentukan dentinnya
bertambah, tetap tubulus dentinnya masih bersambungan dengan dentin sekunder.8
Apabila stimulus masih berterusan dapat menyebabkan hancurnya sel odontoblas
yang asli. Kemudian, odontoblast like cell yang berdiferensiasi akan membentuk
dentin tertier yang kurang tubulusnya, lebih irregular dan tubulusnya tidak lagi
bersambungan dengan tubulus dentin sekunder. Sel yang baru terbentuk itu, pada
awalnya bentuk kuboidal, tanpa adanya proses dari odontoblas yang penting dalam
pembentukan tubulus dentin. Terbentuknya sel tersebut adalah karena perlepasan host
dari growth factor yang terikat pada kolagen selama pembentukan dentin sekunder. Kehilangan lapisan kontinuous odontoblas menyebabkan terpaparnya predentin yang
tidak termineralisasi yang mengandungi kedua-dua bentuk larut dan tidak larut
transforming growth factor (TGF)-beta, insulin-like growth factor (IGF)-I and –II, bone morphogenetic proteins (BMPs), vascular endothelium growth factor (VEGF), dan growth factor lainnya yang menarik dan menyebabkan proliferasi dan
diferensiasi mesenchymal stem cells untuk pembentukan dentin reparatif dan
pembuluh darah baru.8,20
Sebagai respon dari berbagai macam stimulus eksternal seperti karies gigi,
atrisi, trauma, maka dentin akan terbentuk.15 Ketika injuri yang terjadi adalah injuri yang cukup parah sehingga menyebabkan kematian sel odontoblas maka sel yang
menyerupai sel odontoblas akan membentuk dentin tertier hanya pada daerah yang
dekat dengan injuri untuk melindungi jaringan pulpa.7 Tidak seperti dentin fisiologis, mikrostruktur dari dentin reparatif sangat bervariasi dan biasanya tidak beraturan.
Bentuk tubular-tubular dari dentin reparatif berubah-ubah dan sangat tidak teratur
mulai dari tubular yang terputus-putus sampai pada dentin reparatif yang tidak
memiliki tubular sehingga permeabilitas dari dentin reparatif menurun dan difusi dari
agen yang berbahaya dari tubulus dapat dicegah. Secara histologi dentin tertier
merupakan dentin yang paling sedikit memiliki tubulus. Terdapat 4 tipe tubulus
dentin berdasarkan distribusi tubulus dan susunannya yaitu, tipe tubulus sedikit, tipe
irregular, tipe kombinasi dan tipe osteodentin.17
Gambar 8. A. Tubulus dentin normal; B. Dentin reparatif dengan tubulus dentin yang sedikit; C. Termasuk sel didalam matrix; D. Tubulus yang tersusun secara irregular; E. Kombinasi dari beberapa tipe tubulus; Dari B ke E semuanya tipe-tipe tubulus dentin pada dentin reparatif17
Pulpa gigi merupakan jaringan ikat yang unik karena dikelilingi oleh jaringan
keras. Pulpa gigi berasal dari sel-sel ektomesenkim papila dentis. Dalam
pembentukannya, sel-sel ektomesenkim tersebut baru dapat dikatakan sebagai
jaringan pulpa gigi setelah dentin terbentuk. Fungsi utama pulpa gigi adalah fungsi
formatif, yaitu berperan dalam membentuk odontoblas yang akan membentuk
dentin.16 Fungsi lainnya adalah :
1. Induktif, menginduksi pembentukkan email dengan mengembangkan sel
odontoblas yang dapat membentuk dentin.
2. Nutritif, menyediakan nutrisi yang diperlukan bagi pembentukkan dentin.
3. Defensif, membentuk pertahanan dari invasi bakteri atau benda asing yang
masuk melalui tubuli dentin.
4. Sensatif, memberikan rasa atau sensasi sebagai respons terhadap berbagai
rangsangan.
Fungsi pulpa gigi tergantung pada jenis sel yang berperan didalamnya. Sel-sel
yang menyusun jaringan pulpa gigi yaitu:
• Odontoblas
Odontoblas merupakan sel yang paling penting dari keseluruhan jaringan
pulpa gigi, odontoblas juga merupakan sel yang paling tinggi tingkat diferensiasinya.
Odontoblas berfungsi untuk menghasilkan komponen organik matriks pre-dentin dan
dentin, seperti kolagen (khususnya tipe I) dan proteoglikan. Odontoblas merupakan
sel akhir dan tidak dapat mengalami mitosis lagi.21 • Fibroblas
Fibroblas merupakan sel yang paling banyak ditemui pada jaringan pulpa gigi,
fungsi utama dari sel ini adalah mensintesis kolagen tipe I dan III, fungsi lainnya
adalah mensintesis dan mensekresi komponen non-kolagen matriks ekstraselular.
Aktivitas mitosis fibroblas cukup lambat pada orang dewasa, namun akan bermitosis
dengan cepat bila terjadi kerusakan jaringan.21 • Sel Mesenkim yang tidak terdiferensiasi
Sel ini dapat berdiferensiasi menjadi fibroblas ataupun odontoblas tergantung
sel-sel seperti fibroblas atau odontoblas yang ada. Pada manusia lanjut usia, jumlah
sel ini sedikit sehingga kemampuan sel pulpa untuk regenerasi pun berkurang.7 • Immunocompetent
Sel yang termasuk di kategori ini merupakan sel pertahanan yang masuk
melalui aliran darah. Sel ini berfungsi saat adanya invasi bakteri atau benda asing
yang masuk. Sel imun yang banyak dijumpai pada pulpa gigi adalah limfosit,
makrofag, dan dendritik.21
Sel-sel immunocompetent dapat merespon berbagai situasi klinis yang dapat menyebabkan kehilangan integritas jaringan keras gigi. Salah satunya adalah respon
peradangan. Radang pada pulpa gigi (pulpitis) terjadi apabila terdapat invasi bakteri
ataupun produk-produknya, pulpitis juga dapat terjadi apabila terdapat iritasi kimia,
fisik, thermis, serta stimulasi elektrik. Anatomi pulpa gigi yang dikelilingi oleh
jaringan keras mengakibatkan tampilan klinis peradangan yang terjadi pada pulpa
gigi berbeda dengan di lokasi lainnya. Gejala klinis peradangan seperti panas,
bengkak, dan kemerahan tidak dapat dilihat pada pulpitis, hanya rasa nyeri saja yang
menjadi gejala klinis pada keadaan pulpitis.19
2.2 Gigi Molar Pertama Bawah Permanen
Gigi molar pertama bawah permanen merupakan gigi yang paling sering
direstorasi, dan mendapat perawatan saluran akar. Gigi ini merupakan gigi permanen
yang pertama erupsi di rongga mulut, yaitu pada usia 6-7 tahun.22
Crown dari gigi ini memiliki lima cusp fungsional; tiga cusp di bagian bukal
(mesiobukal, distobukal, dan distal) dan dua cusp di bagian lingual (mesiolingual dan
distolingual) (gambar 9). Cusp mesiobukal merupakan cusp yang memiliki ukuran
paling besar dan lebar pada gigi ini.23
Secara umum, gigi molar pertama permanen memiliki dua akar (gambar 9),
satu di bagian mesial dan satu di distal. Akar mesial pada gigi ini memiliki ukuran
yang lebih lebar dan melengkung ke arah mesial dari garis servikal hingga sepertiga
akar, kemudian melengkung ke arah distal hingga apeks gigi. Gigi molar pertama
dapat dijumpai jumlah akar lebih dari dua, seperti : akar distal yang bercabang
menjadi dua, ataupun adanya akar tambahan di bagian distolingual yang disebut radix
entomolaris.23
Gigi molar pertama permanen bawah umumnya memiliki tiga saluran akar;
dua saluran akar di akar mesial dan satu saluran akar besar berbentuk oval di bagian
distal. Pada akar mesial terdapat saluran akar mesiobukal dan mesiolingual, akan
tetapi terkadang dapat terjadi variasi dimana ditemukan saluran akar tambahan
diantaranya yang disebut saluran akar mesial tengah dengan insidensi hingga 15%.24
2.3 Atrisi Gigi
Secara umum, atrisi gigi dapat dibagi dalam dua kategori yaitu atrisi fisiologis
dan atrisi patologis.12 Atrisi fisiologis adalah hilangnya substansi gigi akibat gesekan mekanis antara gigi dengan gigi dalam pengunyahan normal. Atrisi patologis adalah
hilangnya substansi gigi akibat gesekan mekanis antara gigi dengan gigi dalam
pengunyahan yang abnormal.13 Pengunyahan yang abnormal ini dapat berupa
kebiasaan parafungsi seperti bruxism dan clenching, serta kebiasaan mengunyah sirih
atau pinang.25,26 Atrisi gigi terjadi akibat dari hasil interaksi yang kompleks antara gigi, struktur pendukungnya, serta fungsi komponen pengunyahan.14
Efek dari atrisi gigi tidak terbatas hanya pada pengurangan dimensi gigi,
tetapi juga mengakibatkan perubahan pada skeletal, morfologi lengkung gigi, dan
hubungan antara rahang atas dan bawah dengan struktur pendukungnya.27 Tingkat dan perluasan atrisi gigi ditentukan oleh faktor biologis seperti morfologis gigi dan
lengkung gigi, kekuatan dan arah gerakan pengunyahan, dan kekerasan enamel dan
dentin. Hal ini juga dipengaruhi oleh bahan abrasif yang dimasukkan ke dalam
makanan.28 Atrisi tidak hanya disebabkan karena terpaparnya gigi oleh beban
pengunyahan dalam jangka waktu yang lama, tetapi juga berkorelasi dengan
kebersihan gigi, disgnati, bruxism, dan kebiasaan diet.29 Menurut penelitian
sebelumnya, atrisi terjadi lebih banyak di gigi posterior mandibular daripada gigi
posterior maksila dan terjadi lebih banyak pada bagian bukal gigi molar dibandingkan
dengan bagian lingual gigi molar.29 ,30
2.3.1 Efek Atrisi Terhadap Pembentukan Dentin Tertier
Dalam proses mastikasi abnormal terjadi peningkatan frekuensi dan tekanan
pengunyahan. Meningkatnya frekuensi pengunyahan, menyebabkan meningkatnya
jumlah gesekan mekanis yang diterima oleh gigi. Semakin banyak gesekan mekanis
yang diterima oleh gigi, maka semakin banyak terjadi pengikisan pada permukaan
antagonisnya. Semakin besar gesekan mekanis yang diterima oleh gigi, maka
semakin mudah terjadi pengikisan pada permukaan gigi. Semakin mudah terjadi
pengikisan pada permukaan gigi, maka semakin cepat terjadi atrisi gigi yang parah.6,7 Atrisi gigi yang parah dapat menyebabkan terpaparnya lapisan dentin.14 Dentin yang terpapar, saat menerima ransangan panas, dingin, sentuhan, uap, atau kimiawi, akan
menyebabkan cairan tubulus dentin bergerak menuju reseptor syaraf perifer pada
pulpa yang kemudian melakukan pengiriman rangsangan ke otak dan akhirnya timbul
persepsi rasa sakit atau ngilu.15 Apabila kebiasaan menyirih terus berlanjut tanpa adanya perawatan, pengikisan dengan segera akan mencapai lapisan pulpa dan
menyebabkan nekrosis pulpa dan pembentukan dentin tertier.32
Dentin tertier terjadi pada permukaan pulpa dentin primer atau sekunder dan
akan terlokal di area iritasi. Dentin ini terbentuk secara proposional dengan jumlah
dentin primer yang hancur. Tingkat terbentuknya dentin tertier berbanding terbalik
dengan tingkat serangan karies, yaitu pembentukan dentin tertier besar terhadap lesi
karies yang perkembangannya lambat. Tubuli dalam dentin reparatif tidak beraturan
atau sering tidak ditemukan, sehingga membuatnya lebih tidak permeabel terhadap
stimuli eksternal. Sel-sel yang membentuk dentin reparatif dianggap bukan
odontonblas primer tetapi berasal dari sel yang lebih dalam di pulpa seperti fibroblas
dalam zona yang kaya sel, sel endothelial atau pericyte vaskulatur darah yang
dibedakan terhadap stimulasi oleh faktor-β perkembangan jaringan.8 Dentin reparatif, terutama di zona perbatasan antara dentin primer dengan sekunder mempunyai
permeabilitas rendah dan dapat menghalangi ingress irritan terhadap pulpa.16
2.4 Kebiasaan Menyirih
Menyirih adalah suatu proses mengunyah campuran bahan yang umumnya
terdiri atas daun sirih, kapur, gambir, dan pinang. Kebiasaan menyirih merupakan
praktek kuno yang umum di banyak negara Asia dan masyarakat migrasi di Afrika,
Eropah, dan Amerika Utara, yang melengkapi penerimaan sosial dibanyak
masyarakat dan juga populer di kalangan wanita. Kebiasaan mengunyah sirih telah
Thailand, Kamboja, Malaysia, Indonesia, China, Papua New Guinea, beberapa Pulau
Pasifik, dan populasi migran di tempat-tempat seperti Afrika Selatan dan Timur,
Inggris, Amerika Utara, dan Australia.1
Menyirih juga merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh berbagai suku di
Indonesia, kebiasaan ini merupakan tradisi yang dilakukan secara turun temurun yang
mulanya berkaitan erat dengan adat kebiasaan masyarakat setempat. Adat kebiasaan
ini biasanya dilakukan pada saat upacara adat atau pada acara yang sifatnya ritual
keagamaan.2 Kebiasaan menyirih juga dijumpai pada masyarakat suku Karo,
khususnya pada perempuan suku Karo di Pancur Batu Medan. Kebiasaan ini terus
berlangsung sampai saat ini, baik yang dilakukan sehari-hari maupun pada saat
upacara adat.2-3
Komposisi menyirih bervariasi dari satu daerah ke daerah lainnya dan dari
satu suku ke suku yang lainnya, pada suku karo di Pancur Batu Medan, komposisi
menyirih terdiri atas daun sirih, kapur, gambir, dan pinang. Pada suku Jawa,
komposisi menyirih terdiri atas daun sirih, kapur, gambir, dan pinang, dan kapulaga,
yang dapat ditambahi dengan cengkeh atau kayu manis. Di Nusa Tenggara Timur,
komposisi menyirih terdiri atas daun sirih, pinang, dan kapur sedangkan suku Dayak
di Kalimantan, komposisi menyirih terdiri atas daun sirih, gambir, kapur sirih, dan
buah pinang, yang sering ditambah dengan kapulaga, cengkeh, kunyit, dan daun jeruk
dan di Papua, khususnya masyarakat di wilayah pesisir pantai, komposisi menyirih
terdiri atas pinang, buah sirih, dan kapur.2,3
Menyirih memiliki efek positif dan negatif terhadap kesehatan umum maupun
rongga mulut. Efek positif kebiasaan menyirih dan terhadap kesehatan umum
diantaranya dapat menetralkan asam lambung, mengobati sakit perut, sakit kepala,
dan demam, relaksasi, meningkatkan konsentrasi, mengembalikan mood bekerja,
meningkatkan kapasitas kerja, kewaspadaan, dan stamina, menekan rasa lapar,
mengurangi gejala schizophrenia, mencegah morning sickness pada ibu hamil, dan
mencegah osteoporosis. Efek positif kebiasaan menyirih terhadap kesehatan rongga
mulut adalah dapat menyegarkan nafas dan menghambat pertumbuhan bakteri