• Tidak ada hasil yang ditemukan

Para Difabel yang Terabaikan

Oleh: Nor Hidayah

Alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Peneliti Hukum Center for Democratization Studies

Judul buku :

POTRET DIFABEL BERHADAPAN DENGAN HUKUM NEGARA

Penulis : M. SYAFI’IE-PURWANTI- MAHRUS ALI

Penerbit : PENERBIT SIGAB (SASANA INTEGRASI dan ADVOKASI DIFABEL)

Tahun : 2014 Tebal : 181 halaman

tindak pidana. Dengan adanya konteks ini maka diperlukannya peran hukumnya untuk menjadi sarana pemenuhan hak- hak mereka.

Dalam sisitem p eradilan pidana pun posisi para difabel kerap tak lebih dan tak kurang hanya sebatas saksi. Selain itu untuk para penegak hukum seperti penyidik, penuntut hukum dan hakim tidak banyak yang mempunyai kemampuan dan paham betul tentang apa itu difabel, kategorisasi dan kebutuhan dasar mereka ketika menjadi korban suatu tindak pidana. Khusus dalam bab in juga menerangkan tentang hak-hak difabel, korban kejahatan dan sistem peradilan pidana.

Pada bagian kedua adalah studi kasus mengenai realitas penyidikan, penuntutan dan persidangan Perkara “Bunga” dan “Intan” yang dijadikan contoh kasus yang benar-benar terjadi dan bagaimana p eny i ka p a n t er ha d a p ke d ua ka s u s tersebut. Untuk bagian selanjutnya yaitu bagian ketiga lebih menjelaskan tentang p emenuha n ha k da n t a nggung jawab negara seperti pemenuhan dalam hak untuk mendapatkan pendamping hukum, penerjemah, ahli, bebas dari pertanyaan menjerat dan merendahkan, diperiksa penyidik, jaksa dan hakim yang paham difabel, mendapatkan informasi tentang perkembangan kasus dan yang terakhir tentang putusan pengadilannya.

Untuk bagian ini bisa dilihat beberapa hak-hak yang dilanggar dari kasus bunga dan intan. Dilanjut dengan bagian yang keempat yang membahas tentang peran lembaga bantuan hukum atau organisasi difabel dalam advokasi kasus bunga dan kasus. Bagian ini bisa dilihat bagaimana peranannya dalam menangani kasus Bunga dan Intan dalam memperjuangkan hak-hak kedua difabel tersebut.

P a d a b a g i a n y a n g k e l i m a menerangkan bahwa dalam penyidikan

sangat terbantu dengan adanya lembaga bantuan hukum dan organisasi difabel. Bisa dilihat dari kasus Bunga dan Intan yang mengandung harapan agar pendamping hukum dan penerjemah yang memahami dan berspektif difabel wajib dihadirkan pada tiap proses penanganan perkara. Dan untuk bagian terakhir yaitu epilog dari Prof. Dr. Endang Ekowati mengenai p erempua n difa b el kema na mencari perlindungan hukum.

Bu k u i n i cu k u p m em b er i ka n p e n g e t a h u a n t e n t a n g p e n t i n g n y a p e m a h a m a n t e n t a n g d i fa b e l d a n pemenuhan hak-hak para difabel ketika menjadi korban tindak perkara pidana. Penjelasan tentang hak-hak para difabel membuka wawasan bagaimana seharusnya difabel diperlakukan ketika menjadi korban dan harus mendapatkan hak-hak mereka. Terlebih dengan adanya perkara Bunga dan Intan yang dijadikan kajian dalam buku ini membuat kita sadar tentang pemenuhan hak-hak mereka yang wajib dilakukan dan

P

ada saat Indonesia memerdekan diri dari belenggu penjajahan, untuk waktu yang bersamaan segala p erat uran p er undang- undangan yang berlaku pada zaman kolonial tida k langsung diganti. Sebagaimana lazimnya dalam masa transisi, Indonesia menerapkan aturan transisional dalam konstitusinya. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum tertinggi mengatur masa transisi agar tidak terjadi kekosongan hukum yang menyatakan, “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.”

Dengan ketentuan tersebut, berbagai macam aturan yang berlaku pada masa sebelum kemerdekaan langsung berlaku dan diguanakan sebagai acuan. Termasuk dalam hal ini terkait hukum acara yang berlaku di pengadilan yang berlaku semasa penjajahan dib erla kukan bagi semua p enduduk di Indonesia.

Untuk beberapa hal terjadi perubahan secara radikal menyangkut aturan susunan dan sistem p emerintahan, serta sistem perundang-undangan, tetapi hukum yang b erla k u s ema s a ma s a kolon ia l unt u k s eb ag ia n b es ar ma si h b erla k u unt u k ba ngsa indonesia, ter ma suk mengena i hukum acara di pengadilan yang semula berlaku bagi Landraad, yaitu Herziene Inlandsch Reglement (HIR) atau yang sering diterjemahkan dengan Reglemen Indonesia yang Diperbarui (RIJB).

Masalahnya adalah, HIR tersebut adalah berbahasa Belanda, sehingga tidak semua penduduk di mana menjadi subjek aturan dan pejabat yang menyelenggarakan peradilan di Indonesia menguasai bahasa

dengan judul RIB (H.I.R.) ini merupakan usaha yang dilakukan oleh seorang dengan ja bat a n Kom is aris Mud a Polisi unt u k melakukan penerjemahan terhadap hukum acara yang mengatur mengenai hukum acara perdata dan pidana untuk pengadilan negeri di Indonesia setelah kemerdekaan.

S eb a ga i m a na p er na h d i kat a ka n oleh, Tresna dalam bukunya Komentar atas Reglemen Hukum Atjara di Dalam Pemeriksaan di Muka Pengadilan Negeri atau HIR (1959), salah sat u ahli yang melakukan usaha memberikan anotasi atas HIR, ia mengatakan bahwa keberadaan HIR memiliki arti penting sebagai pedoman pengadilan negeri. Bagi pengadilan negeri, H I R b erla k u p enu h s eb aga i und a ng- undang sebagai hukum acara, baik dalam perkara pidana maupun perdata, kecuali hal-hal pembatasan yang telah diatur oleh Undang-Undang Dasar Sementara dan UU Mahkamah Agung.

Riwayat HIR

Dalam bagian awal buku terdapat inventarisir beberapa peraturan perundang- undangan yang mengatur pemberlakuan HIR sejak 1848. Saat 1848, Reglemen tentang mengerjakan kepolisian, acara pengadilan p erd at a d a n pid a na t er had a p ba ngs a Indonesia dan orang-orang yang disamakan dengan mereka di Jawa dan Madura berlaku yaitu sejak 1 Mei 1848.

Riwayat HIR yang ditulis dalam buku ini terakhir sampai Indonesia merdeka dengan berlaku UU No. 1 Tahun 1950 yang mengatur mengenai susunan, kekuasaan dan jalannya pengadilan Mahkamah Agung Indonesia, beberapa pasal dan istilah dari Reglemen Indonesia ya ng dihapuska n.

mengatur penyelenggaraan kesatuan susunan, kekuasaan, acara pengadilan sipil di Indonesia dan menetapkan beberapa kalimat dari Reglemen Indonesia yang tida k sesuai dihapus dan diubah. Karena buku ini ditulis pertengahan 1950-an sehingga riwayat HIR perlu disesuaikan perkembangan hukum nasional saa ini.

Sebagaimana dikemukakan Tresna, HIR memang tidak bisa dilepaskan dari perundang-undangan baru yang diberlakukan di Belanda. Perubahan ini disebabkan pada 1838, Belanda menghapus hukum kerajaan Perancis setelah Belanda mendapat kan kembali kemerdekaannnya. Pada 1 Mei 1848, dihapuslah kekuatan hukum Belanda- kuno dan hukum Roma. Dimulainya 1 Mei 1848 sebagai riwayat awal dalam bukunya Karyadi memang sangat tepat.

D e n g a n a s a s p e n y e s u a i a n (c o n c o rd a n t i e - b eg i n s e l) , p e r a t u r a n p er unda ng-unda nga n bar u di Bela nda juga berlaku di Indonesia. Berawal saat B ela n d a m em b ent u k s eb ua h ko m i s i beranggotakan tiga orang yang ditugaskan unt uk mengada ka n renca na p erat ura n untuk memberlakukan aturan baru untuk Hindia Belanda dan mengajukan usul-usul sehubungan dengan maksud itu. Setelah bekerja enam tahun, komisi ini dibubarkan karena sakitnya salah satu anggotanya, Mr. Scholten van Oud-Harleem.

Kemudian pada 15 Desember 1845, ditetapkanlah anggota Dewan Pertimbangan Negara Mr. H.L. Wichers, seorang yang tercat at s ebaga i a nggot a s eb elum nya. Ia diut us ke Indonesia unt uk menjadi ketua Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung Tentara. Seb elum b erangkat ke Hindia Belanda, ia diwajibkan bersama-

Terjemahan Hukum Acara

Dokumen terkait