BAB II LANDASAN TEORI
B. Differential Item Functioning (DIF)
1. Defenisi
Differential Item Functioning (DIF) merupakan istilah teknis dalam pengukuran ilmiah. DIF mendeskripsikan keadaan dimana fakta-fakta empiris, yang telah dianalisis menggunakan sebuah metodologi dengan dasar kriteria, menunjukkan bahwa sebuah aitem tes bekerja secara berbeda pada dua kelompok atau lebih. Semua prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi DIF perlu mempertimbangkan variasi kemampuan kelompok. DIF juga menjelaskan performansi aitem secara individual dan tidak dihubungkan dengan tes secara keseluruhan (Osterlind, 2010).
Suatu aitem dikatakan mengandung DIF menurut Anastasi dan Urbina (1997), apabila aitem tersebut diberikan kepada dua kelompok atau lebih yang memiliki kemampuan sama, tetapi menunjukkan probabilitas sukses yang berbeda dalam menjawab butir aitem tersebut.
DIF atau yang disebut juga keberfungsian aitem diferensial dalam analisis Rasch model menampilkan deteksi bias pada aitem. Hal ini diperlukan untuk
40
mengetahui apakah aitem-aitem yang diberikan mempunyai bias dalam kategori responden tertentu atau tidak. Butir maupun instrumen pengukuran dapat bersifat bias, yaitu ketika sebuah butir lebih memihak pada salah satu individu dengan karakteristik tertentu. Sementara itu individu dengan karakteristik oposisinya justru dirugikan. Misalnya, butir sebuah tes kecerdasan anak melibatkan gambar berupa salju untuk dikenali kejanggalannya. Bagi anak-anak yang pernah berinteraksi dengan salju, soal ini cukup mudah dipahami. Sebaliknya bagi anak-anak yang tidak berinteraksi dengan salju, soal ini sulit dipahami. Butir ini cenderung bias dalam mengukur, yang dalam psikometri dinamakan dengan butir yang terjangkit keberfungsian butir diferensial (DIF/differential item functioning).
Pemodelan Rasch menyediakan menu untuk memfasilitasi peneliti yang hendak mendeteksi adanya butir-butir yang yang terjangkit DIF (Sumintono & Widhiarso, 2014).
Butir yang dapat terjangkit DIF tidak hanya butir tes kemampuan, namun butir di dalam kuesioner juga dapat terjangkit. Contohnya butir pengukuran depresi dengan pernyataan “Saya mudah menangis”. Butir ini menguntungkan laki-laki dibandingkan wanita. Hal ini disebabkan laki-laki jarang mengekspresikan depresinya melalui tangisan. Meskipun si A (laki-laki) dan si B (perempuan) memiliki tingkat depresi yang sama, si B cenderung menyetujui butir tersebut sehingga cenderung menghasilkan skor depresi yang tinggi. Adanya butir bias dapat mengganggu validitas skor pengukuran yang didapatkan (Sumintono &
Widhiarso, 2014).
41 2. Jenis-jenis DIF
Penelitian tentang DIF menguji dua kelompok, yaitu kelompok Referensi (Reference Group) dan kelompok Fokal (Focal Group), atau yang biasa dikenal juga dengan sebutan kelompok mayoritas dan kelompok minoritas.
Bagaimanapun, ada banyak kelompok referensi dan kelompok fokal. Seorang individu dapat termasuk ke dalam kelompok referensi, dan sebaliknya dapat pula termasuk dalam kelompok fokal untuk penelitian lain. Sebagai contoh, wanita kulit putih mungkin termasuk kedalam kelompok Referensi untuk satu penelitian dan masuk kedalam kelompok Fokal untuk penelitian yang lain (Camilli & Shepard, 1994).
DIF terbagi atas dua kategori berdasarkan teori respon aitem (Item Response Theory), yaitu Uniform DIF dan Non-uniform DIF. Uniform DIF terjadi ketika satu kelompok relatif diuntungkan untuk keseluruhan aitem skala kemampuan, sedangkan kelompok lain dirugikan. Non-uniform DIF terjadi ketika satu kelompok relatif diuntungkan untuk beberapa aitem skala kemampuan, sedangkan kelompok lain dirugikan (Camilli & Shepard, 1994).
3. Metode Analisis DIF
Sumintono dan Widhiarso (2013) mengemukakan ada berbagai metode yang digunakan untuk mengidentifikasi DIF. Salah satu metode berkaitan dengan Item Response Theory (IRT). IRT merupakan kerangka umum dari fungsi matematika yang khusus menjelaskan interaksi antara orang (person) dan butir soal/aitem (item test). Tidak seperti halnya CTT yang berfokus pada hasil skor yang didapat, IRT tidak bergantung pada sampel butir soal tertentu atau orang
42
yang dipilih dalam suatu ujian (biasa disebut item free dan person free). Pola ini menyebabkan pengukuran yang dilakukan lebih tepat dan butir soal pun dilakukan kalibrasi. Pemodelan Rasch (Rasch Model) yang diperkenakan oleh Georg Rasch pada 1960-an yang merupakan salah satu model IRT yang paling popular (Sumintono & Widhiarso, 2014).
Analisis DIF dapat dilakukan dengan bantuan program Winstep for Windows. Pada program ini, informasi mengenai bias butir dapat dilihat melalui nilai probabilitas item pada Item: DIF, between/within. Butir-butir yang memiliki nilai probabilitas yang berada di bawah 5% (0,05) menunjukkan bahwa butir tersebut terjangkit DIF (Sumintono & Widhiarso, 2014).
4. Sumber Differential Item Functioning (DIF)
Sumintono & Widhiarso (2014) mengemukakan bahwa bias individu disebabkan oleh performa individu yang berbeda pada butir yang berbeda, misalnya peneliti memiliki dua tes yang sama, tetapi diadminstrasikan dengan cara yang berbeda (paper-pencil versus komputer. Selain itu DIF dapat terjadi ketika sebuah butir (aitem) lebih memihak pada salah satu individu dengan karakteristik tertentu, sedangkan individu dengan karakteristik lainnya justru dirugikan.
C. Edwards Personal Preference Schedule (EPPS) 1. Sejarah EPPS
EPPS dikonstrak pada tahun 1958 dan direvisi pada tahun 1959. EPPS dikonstrak untuk mengukur manifestasi kebutuhan yang dibuat oleh Murray
43
(Edwards; Helms; dalam Gregory, 2004). Murray (dalam Schultz, 2005) menjelaskan kepribadian manusia dengan memaparkan konsep needs (kebutuhan) sebagai sesuatu yang menggerakkan dan memotivasi perilaku manusia. Ketika kebutuhan-kebutuhan ini aktif dalam diri individu, maka individu akan memunculkan perilaku-perilaku yang diarahkan untuk mencapai kebutuhan tersebut dan pada akhirnya akan menggambarkan karakterisitik individu tersebut.
Murray sendiri bersama sejumlah kolega awalnya mencoba mengukur aneka kebutuhan tersebut dengan menggunakan Thematic Apperception Test, sebuah test proyektif terdiri dari serangkaian gambar melukiskan aneka tema-peristiwa kehidupan sehari-hari. Kendati menerapkan sistem penskoran, namun karena mengandalkan interpretasi yang bersifat kualitatif-subjektif, maka kualitas psikometrik tes proyektif oleh sementara pihak dianggap kurang memuaskan.
Untuk mengatasinya, seorang psikolog lain bernama Allen L. Edwards menyusun tes serupa namun dengan menggunakan teknik inventori yang lebih terstruktur dan objektif (Supratiknya, 2014).
2. Pengertian EPPS
Edwards Personal Preference Schedule (EPPS) terdiri dari 225 aitem yang masing-masing aitem terdiri dari dua pernyataan (A dan B). Dalam setiap aitem pernyataan yang mengukur salah satu kebutuhan dipasangkan dengan pernyataan yang mengukur 14 kebutuhan lainnya sehingga diperoleh 210 pasang pernyataan.
Untuk melihat konsistensi jawaban-jawaban subyek, kemudian ditambahkan lagi 15 pasang pernyataan sebagai pengulangan dari pernyataan-pernyataan yang ada (Supratiknya, 2014).
44
Aitem dalam EPPS berformat forced-choice,dimana testee diminta untuk memilih salah satu pernyataan yang dirasakan paling sesuai dengan keadaan dirinya pada setiap aitem. Hasilnya akan berupa profil skor yang menunjukkan kekuatan relatif dari masing-masing kebutuhan dibandingkan aneka kebutuhan lainnya. Jelas kiranya, mustahil seorang testee mencapai skor tinggi pada seluruh kebutuhan, atau sebaliknya mencapai skor rendah pada seluruh kebutuhan. Secara terstruktur, jika seseorang mencapai skor tinggi pada kebutuhan tertentu pasti akan mencapai skor rendah pada kebutuhan lain, sehingga terbentuk profil kebutuhan yang mencerminkan keunikan atau kecenderungan individu dalam bertingkah laku (Supratiknya, 2014).
Edwards memasangkan kalimat yang tidak berhubungan sama sekali antar aitem karena adanya masalah social desirability. Sehingga, testee dapat merasa tidak nyaman ketika mengerjakan EPPS (Gregory, 2004). EPPS adalah tes ipsative. Dalam tes ipsative, skor keseluruhan tes selalu sama dalam setiap individu. Ketika ada skor yang lebih tinggi pada satu sub tes, sub tes yang lain akan memiliki skor yang lebih rendah. Selain itu, dalam tes ipsative, skor tinggi merupakan skor yang relatif, bukan absolut. Maksudnya, skor yang tinggi tercapai pada satu sub tes dikarenakan skor lain dari sub tes lain.
3. Manisfestasi Kebutuhan EPPS
Manifestasi kebutuhan yang diungkap Murray (dalam Kaplan & Saccuzzo, 2005) adalah sebagai berikut:
45 1. Abasement
Abasement adalah kebutuhan individu untuk menerima tekanan dari luar, untuk merasa bersalah apabila orang lain berbuat kesalahn, untuk menyerah pada takdir, untuk mengakui inferioritas, kesalahan, atau kekalahan, dan kebutuhan untuk menyalahkan diri sendiri.
2. Achievement
Achievement adalah kebutuhan atau dorongan untuk menyelesaikan sesuatu yang sulit, kebutuhan untuk menguasai, memanipulasi, atau mengorganisasi objek, manusia, atau ide. Achievement juga merupakan kebutuhan untuk mengatasi hambatan dan mencapai tujuan, mencapai hasil kerja atau belajar sebaik mungkin, mengerjakan tugas yang sangat berarti, menjadi unggul, dan melampaui orang lain.
3. Affiliation
Affiliation adalah kebutuhan untuk berpartisipasi dalam kelompok, untuk membentuk hubungan pertemanan, untuk menyapa, mengikuti, dan tinggal dengan yang lain, untuk mengerjakan pekerjaan bersama-sama dan berkomunikasi dengan yang lain, kebutuhan untuk mencintai dan masuk dalam kelompok.
4. Aggression
Aggression adalah kebutuhan untuk menyerang pendapat orang yang berbeda, melukai perasaan orang lain atau mengecam yang lain, kebutuhan untuk menghukum dan melawan pertentangan.
46 5. Autonomy
Autonomy adalah kebutuhan untuk mendapatkan kebebasan dalam berbuat apapun, kebebasan mengambil keputusan, melakukan sesuatu yang tidak biasa dilakukan oleh orang lain, menghindari pengekangan dan menjadi mandiri serta bebas dalam melakukan apapun.
6. Blamavoidance
Blamavoidance adalah kebutuhan untuk menghindari disalahkan, dikucilkan, atau diberi hukuman dengan mencegah melakukan perilaku tidak baik. Blamavoidance juga berarti kebutuhan untuk berperilaku baik dan mematuhi hukum.
7. Counteraction
Counteraction adalah kebutuhan menolak kekalahan dengan berjuang kembali dan membalas, kebutuhan untuk memilih tugas tersulit untuk melindungi harga diri sendiri.
8. Defendance
Defendance adalah kebutuhan untuk melindungi diri sendiri dari disalahkan atau dilecehkan, kebutuhan untuk memberikan penjelasan, alasan dan kebutuhan untuk menghindari pertanyaan terus menerus.
9. Deference
Deference adalah kebutuhan atau dorongan untuk mendapatkan pengaruh dari orang lain, mengikuti perintah dan apa yang diharapkan orang lain, mengagumi dan mendukung atasan, memuji dan menghormati hasil pekerjaan orang lain, serta kebutuhan untuk menerima kepemimpinan dari orang lain.
47 10. Dominance
Dominance adalah kebutuhan untuk mempengaruhi, mengontrol, melarang, dan mengarahkan orang lain. Dominance juga berarti membantah pendapat orang lain, mengorganisasikan, mengawasi dan mengarahkan perilaku kelompok.
11. Exhibition
Exhibition adalah kebutuhan untuk memperlihatkan diri agar menjadi pusat perhatian orang, menceritakan keberhasilan diri untuk membuat kesan, untuk dilihat dan didengar, untuk menghibur dan mengejutkan orang lain.
12. Harmavoidance
Harmavoidance adalah kebutuhan untuk menghindari rasa sakit, luka fisik, penyakit, kematian, dan untuk menghindari situasi berbahaya.
13. Infavoidance
Infavoidance adalah kebutuhan untuk menghindari penghinaan, untuk tidak melecehkan dan dilecehkan, untuk tidak bertindak karena takut akan kesalahan.
14. Nurturance
Nurturance adalah kebutuhan untuk membantu atau melindungi orang yang membutuhkan bantuan atau kesulitan, memperlakukan orang dengan baik dan mengekspresikan simpati, memaafkan orang lain, dan memperlihatkan kasih sayang kepada orang lain.
15. Order
Order adalah kebutuhan untuk memiliki pekerjaan tetap, rapi dan teratur, membuat rencana sebelum membuat tugas, menyusun sesuatu dalam urutan, untuk mencapai kerapian, keseimbangan, kebersihan, dan ketelitian.
48 16. Play
Play adalah kebutuhan untuk mencari kesenangan, membahagiakan diri, untuk bermain, untuk tertawa dan bercanda, dan untuk menghindari tekanan.
17. Rejection
Rejection adalah kebutuhan untuk mendiskriminasi, untuk menjauh dan tidak peduli terhadap sesuatu.
18. Sentience
Sentience adalah kebutuhan untuk mendapatkan kesan sensual.
19. Heterosexuality
Heterosexuality adalah kebutuhan untuk bergaul bebas dengan lawan jenis, berpergian dengan yang berlawanan jenis, melibatkan diri dalam kegiatan sosial yang melibatkan lawan jenis. Heterosexuality juga kebutuhan untuk ikut aktif dalam pertemuan dimana orang dari lawan jenis lain hadir.
20. Succorance
Succorance adalah kebutuhan untuk mengharapkan bantuan orang lain apabila mendapat kesulitan, bergantung dengan orang lain, mencari perlindungan dari orang lain, atau mengharapkan simpati dari orang lain.
21. Understanding
Understanding adalah kebutuhan untuk menganalisis pengalaman, untuk berpikir abstrak, untuk menggabungkan ide, dan untuk mendefinisikan hubungan.
Menurut Edwards, needs seseorang dapat diklasifikasikan ke dalam 15 golongan yang dibuat berdasarkan daftar kebutuhan pokok manusia yang disusun oleh Henry Murray dan kawan-kawan. Edwards hanya mengambil dan
49
mengembangkan 15 kebutuhan, yaitu Achievement, Deference, Order, Exhibition, Autonomy, Affection, Intraception, Succorance, Dominance, Abasement, Nurturance, Change, Endurance, Heterosexual, dan Aggression (Anastasi &
Urbina, 1997).
D. Remaja
1. Pengertian Remaja
Perjalanan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa ditandai oleh periode transisional panjang yang dikenal dengan masa remaja pada masyarakat modern. Masa remaja dimulai pada usia 11 atau 12 sampai awal usia dua puluhan (Jahja, 2012).
Masa remaja merupakan transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun, ditandai dengan perubahan besar fisik, kognitif dan psikososial (Diane E. Papalia, 2008).
Hurlock (dalam Jahja, 2012) membagi masa remaja menjadi masa remaja awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan masa remaja akhir (16 atau 17 tahun hingga 18 tahun). Hurlock membedakan masa remaja awal dan akhir karena pada masa remaja akhir indivu telah mencapai transisi yang lebih mendekati dewasa.
Laura Berk (2007) membagi usia remaja dalam tiga tahapan, yaitu remaja awal, remaja pertengahan dan remaja akhir. Remaja awal berada pada rentang usia 11-12 sampai usia 14 tahun, pada tahap ini remaja berada pada periode perubahan pubertas yang cepat. Remaja pertengahan dimulai dari usia 14 sampai 16 tahun, dimana remaja sudah hampir selesai dengan masa pubertas. Remaja akhir berada
50
pada rentang usia 16-18 tahun, dimana remaja sudah mencapai peran mendekati masa dewasa.
Anna Freud (dalam Jahja, 2012) berpendapat bahwa pada masa remaja terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi perubahan dalam hubungan dengan orangtua dan cita-cita, dimana pembentukan cita-cita merupakan orientasi masa depan.
Pengertian remaja dari pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang dibagi dalam tiga tahap yakni remaja awal (11 sampai 14 tahun), remaja pertengahan (14 sampai 16 tahun), dan remaja akhir (16-18 tahun).
2. Tugas Perkembangan Remaja
Tugas perkembangan remaja menurut pendapat Luella Cole (dalam Jahja, 2012) diklasifikasikan ke dalam sembilan kategori, yaitu:
a) Kematangan emosional.
b) Pemantapan minat-minat heteroseksual.
c) Kematangan sosial.
d) Emansipasi dari kontrol keluarga.
e) Kematangan intelektual.
f) Memilih pekerjaan.
g) Menggunakan waktu senggang secara tepat.
h) Memiliki filsafat hidup.
51 i) Identifikasi diri.
Sementara tugas perkembangan remaja menurut Kanopka (dalam Jahja, 2012) adalah sebagai berikut:
a) Berkembangnya sikap dependen kepada orangtua ke arah independen.
b) Minat seksualitas.
c) Kecenderungan untuk merenung atau memerhatikan diri sendiri, nilai-nilai etika, dan isu-isu moral.
3. Tahap Perkembangan Seksual Remaja
Pada awal usia remaja, keterlibatan remaja dalam kelompok teman sebaya ditandai dengan persahabatan dengan teman, utamanya teman sejenis; hubungan mereka begitu akrab karena melibatkan emosi yang cukup kuat. Hubungan dengan teman lawan jenis biasanya terjadi dalam kelompok yang lebih besar. Pada usia remaja pertengahan keterlibatan remaja dalam kelompok makin besar, ditandai dengan terjadinya perilaku konformitas terhadap kelompok. Remaja mulai bergabung dengan kelompok-kelompok minat tertentu seperti olahraga, musik, geng dan kelompok-kelompok lainnya. Pada usia ini remaja juga sudah mulai menjalin hubungan-hubungan khusus dengan lawan jenisnya yang dapat diwujudkan dengan kencan dan berpacaran. Pada akhir usia remaja, ikatan dengan kelompok teman sebaya menjadi berkurang, dan nilai-nilai dalam kelompok menjadi kurang begitu penting karena pada umumnya remaja lebih merasa senang dengan nilai-nilai dan identitas dirinya (Soetjiningsih, 2004).
Tugas perkembangan yang pertama berhubungan dengan seks yang harus dikuasai oleh remaja adalah pembentukan hubungan baru dan yang lebih matang
52
dengan lawan jenis. Pada masa kanak-kanak, tahap perkembangan seksual berada pada keinginan untuk memperoleh dukungan dari anggota-anggota sejenis. Akan tetapi pada tahap perkembangan seksual remaja, laki-laki maupun perempuan mulai mengembangkan sikap yang baru terhadap lawan jenisnya. Selain mengembangkan sikap terhadap lawan jenis juga mengembangkan minat terhadap berbagai kegiatan yang melibatkan laki-laki dan perempuan. Minat yang baru ini, bersifat romantis dan disertai dengan keinginan yang kuat untuk memperoleh dukungan bagi lawan jenis (Hurlock, 1980).
Menurut Santrock (2002), remaja meluangkan banyak waktu untuk berkencan atau memikirkan tentang kencan, sebagai suatu bentuk untuk rekreasi sumber status sosial dan prestasi, sebagai bagian dari proses sosialisasi, serta sebagai suatu cara untuk belajar tentang relasi yang akrab, menyediakan situasi untuk kontak seksual, dan menyediakan kebersamaan. Namun salah satu fungsi berkencan, tetap merupakan penyeleksian pasangan. Berkencan bagi remaja merupakan suatu konteks dimana harapan-harapan peran yang berhubungan dengan gender meningkat. Laki-laki merasakan tekanan untuk tampil secara maskulin dan perempuan merasakan tekanan untuk tampil secara feminim.
Kebanyakan remaja perempuan berkencan pertama kali, rata-rata pada usia 14 tahun dan para remaja laki-laki antara usia 14 dan 15 tahun. Berpacaran menjadi hal yang serius pada masa remaja akhir.
Remaja yang ingin menikah setelah tamat sekolah menengah atas dan tidak mempunyai rencana untuk mengikuti pendidikan lebih tinggi menganggap berkencan sebagai kesempatan untuk menjajagi beberapa pasangan kencan apakah
53
ada diantara mereka yang mempunyai sifat-sifat yang diinginkan sebagai teman hidup di masa depan. Terutama ditekankan pada minat, tempramen, dan cara-cara mengungkapkan kasih sayang. Remaja masa kini menganggap bahwa ungkapan-ungkapan cinta, apa pun bentuknya, adalah baik sejauh kedua pasangan remaja saling tertarik (Hurlock, 1980).
Pada tahap perkembangan remaja, rasa ingin tahu seksual dan coba-coba adalah hal yang normal dan sehat. Perilaku tertarik pada seks sendiri juga merupakan cirri yang normal pada perkembangan masa remaja. Rasa ingin tahu seksual dan berahi jelas menimbulkan bentuk-bentuk perilaku seksual (Jahja, 2012). Seiring meningkatnya minat pada seks, remaja cenderung berusaha mencari lebih banyak informasi mengenai seks, tetapi terkadang mereka tidak memperoleh informasi yang benar dari orang yang berkompeten terhadap masalah ini sehingga remaja cenderung akan bertanya pada teman sebayanya, membaca buku tentang seks atau ingin mencoba dengan jalan masturbasi, bercumbu, atau bersenggama (Hurlock, 1999).
Perkembangan heteroseksual remaja menurut Jahja (2012) adalah dari yang sebelumnya belum memiliki kesadaran tentang perubahan seksualnya menuju ke arah menerima identitas seksualnya sebagai pria atau wanita. Pada masa kanak-kanak mereka mengidentifikasi orang yang sama jenis kelaminnya, sedangkan setelah remaja sudah mempunyai perhatian terhadap jenis kelamin yang berbeda dan bergaul dengannya. Mereka yang dulu bergaul dengan banyak teman, setelah remaja sudah memilih teman-teman tertentu.
54
Berdasarkan tahap perkembangan seksual remaja yang telah dikemukakan oleh para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa remaja sudah mempunyai perhatian terhadap jenis kelamin yang berbeda dan bergaul dengannya. Selain mengembangkan sikap terhadap lawan jenis, remaja juga mengembangkan minat terhadap berbagai kegiatan yang melibatkan laki-laki dan perempuan. Kemudian pada tahap usia remaja pertengahan, hubungan-hubungan khusus dengan lawan jenis sudah mulai terjalin yang dapat diwujudkan dengan kencan dan berpacaran.
Kebanyakan remaja perempuan berkencan pertama kali, rata-rata pada usia 14 tahun dan para remaja laki-laki antara usia 14 dan 15 tahun. Kemudian berpacaran menjadi hal yang serius pada masa remaja akhir.
E. Analisis Keberfungsian Aitem Heteroseksual EPPS
EPPS merupakan tes kepribadian yang mengukur manifestasi kebutuhan yang dikemukakan oleh Murray. EPPS saat ini telah banyak digunakan di Indonesia untuk berbagai keperluan, baik dalam bidang psikologi industri dan organisasi, klinis, maupun pendidikan. Oleh karena penggunakan EPPS yang banyak di Indonesia tersebut, EPPS harus memiliki kualitas yang baik. Apabila EPPS tidak memiliki kualitas yang baik, tentu saja tujuan digunakannya dalam berbagai bidang tersebut menjadi kurang tepat atau bahkan salah.
Kualitas suatu alat tes dapat dilihat dari banyak hal. Reliabilitas, validitas (dalam hal ini adalah struktur internal) hasil alat tes, dan DIF adalah beberapa dari banyak hal tersebut. Struktur internal suatu alat ukur sangat penting, karena struktur internal menentukan alat tes memang mengukur atribut yang hendak diukur. Struktur internal EPPS dapat dikatakan baik jika hasil yang diperoleh dari
55
EPPS memang menunjukkan manifestasi kebutuhan Murray. Salah satu manifestasi kebutuhan Murray yang akan dilihat kualitasnya adalah kebutuhan heteroseksual pada remaja.
Analisis validitas berdasarkan struktur internal menggunakan Rasch model dapat diukur dengan ketepatan pengukuran, yaitu apakah aitem dimengerti dengan baik oleh responden. Hal ini dapat diukur melalui outfit MNSQ (Mean-Square), outfit ZSTD (Z-Standard), dan Pt Mean Corr (Point Measure Correlation). Nilai MNSQ yang diharapkan adalah antara 0,5 – 1,5. Rentang nilai z yang baik adalah -2,0 < ZSTD < +2,0. Sedangkan nilai Point Measure Correlation (Pt Mean Corr) yang digunakan adalah 0,4 < Pt Measure Corr < 0,85.
Reliabilitas pada penelitian ini terbagi menjadi tiga, yaitu reliabilitas alat ukur, reliabilitas aitem, dan reliabilitas person. Menurut Sumintono dan Widhiarso (2014), koefisien Alpha yang berada dalam rentang 0,7 hingga 0,8 mengimplikasikan reliabilitas alat ukur yang bagus. Koefisien Alpha yang bernilai lebih besar dari 0,8 mengimplikasikan reliabilitas alat ukur yang bagus sekali.
Koefisien reliabilitas aitem dan person yang berada dalam kisaran 0,81-0,90 masuk dalam kategori bagus. Koefisien reliabilitas aitem dan person yang berada dalam rentang 0,91 sampai 0,94 mengimplikasikan reliabilitas aitem dan person yang bagus sekali, dan lebih besar dari 0,94 mengimplikasikan reliabilitas aitem dan person yang istimewa (Sumintono dan Widhiarso, 2014).
DIF dalam penelitian ini dilakukan dengan bantuan program Winstep for Windows. Pada program ini, informasi mengenai bias butir dapat dilihat melalui nilai probabilitas item pada Item: DIF, between/within. Butir-butir yang memiliki
56
nilai probabilitas yang berada di bawah 5% (0,05) menunjukkan bahwa butir tersebut terjangkit DIF (Sumintono & Widhiarso, 2014).
Ketika aitem heteroseksual EPPS memiliki reliabilitas yang baik dan didukung bukti validitas berdasarkan struktur internal, serta tidak terkontaminasi bias aitem, maka hasil pengukuran EPPS dapat digunakan untuk bahan
Ketika aitem heteroseksual EPPS memiliki reliabilitas yang baik dan didukung bukti validitas berdasarkan struktur internal, serta tidak terkontaminasi bias aitem, maka hasil pengukuran EPPS dapat digunakan untuk bahan