• Tidak ada hasil yang ditemukan

Data yang digunakan pada analisis sosial ekonomi penduduk di koridor TNGHS adalah data sekunder yang di dapat dari hasil penelitian terdahulu dan

3.3.3. Tekanan terhadap Owa Jawa

Kelestarian owa jawa di koridor TNGHS, sangat ditentukan oleh kuantitas

dan kualitas habitatnya. Kuantitas dan kualitas habitat ini, sangat dipengaruhi oleh

aktifitas penduduk di koridor TNGHS. Untuk ini di lakukan analisis sosial

ekonomi penduduk yang ada di koridor TNGHS, untuk mengetahui dan

merencanakan upaya-upaya konservasi owa jawa di koridor TNGHS. Hal ini

bertujuan sebagai saran pengelolaan koridor TNGHS, untuk habitat owa jawa.

Data yang digunakan pada analisis sosial ekonomi penduduk di koridor

TNGHS adalah data sekunder yang di dapat dari hasil penelitian terdahulu dan

dari Balai TNGHS. Data sosial ekonomi penduduk di koridor TNGHS diperoleh

dari data sekunder, sehingga datanya relatif lama dan ini merupakan kelemahan

dari data ini.

4.1. Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) 4.1.1. Sejarah Kawasan TNGHS

Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) merupakan taman nasional terluas di Pulau Jawa yang kaya akan keanekaragaman hayati, keindahan bentang alam dan beragam budaya tradisional. Ketiganya membentuk suatu karakter ekosistem yang sangat unik sebagai gudang ilmu pengetahuan, penelitian, sekaligus sebagai objek wisata alam. TNGHS juga merupakan salah satu taman nasional yang memiliki ekosistem hutan hujan tropis pegunungan terluas di Pulau Jawa (GHSNPMP-JICA. 2007b).

Secara Geografis TNGHS terletak pada 106°12’58” BT – 106°45’50” BT dan 06°32’14” LS – 06°55’12” LS. Secara administrasi wilayah kerja TNGHS terletak di Propinsi Jawa Barat (Kabupaten Sukabumi dan Bogor) dan Propinsi Banten (Kabupaten Lebak). Pada tingkat kecamatan dan desa, terdapat 26 kecamatan (9 kecamatan bagian dari Kabupaten Bogor, 8 kecamatan bagian dari Kabupaten Sukabumi, dan 9 kecamatan bagian dari Kabupaten Lebak), dengan 108 desa yang sebagian atau seluruh wilayahnya berada di dalam atau berbatasan langsung dengan wilayah TNGHS.

Sejak tahun 1935 berawal dari penetapan Cagar Alam Gunung Halimun (CAGH) seluas 40.000 ha, merupakan awal ditetapkan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) menjadi salah satu taman nasional. Penetapan ini sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992 tanggal 28 Pebruari 1992 dengan luas 40.000 ha, di bawah pengelolaan sementara oleh Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Pada tanggal 23 Maret 1997 pengelolaan kawasan TNGH resmi dipisah dari TNGP, yaitu dikelola langsung oleh Unit Pelaksana Teknis Balai TNGH dibawah Ditjen PHKA Departemen Kehutanan RI.

Atas dasar perkembangan kondisi kawasan disekitarnya terutama kawasan hutan lindung Gunung Salak dan Gunung Endut yang terus terdesak akibat berbagai kepentingan masyarakat dan pembangunan sarana dan prasarana, serta adanya desakan dan harapan berbagai pihak untuk melakukan penyelamatan kawasan konservasi Halimun Salak yang lebih luas. Ditetapkan SK Menteri

Perhutani atau bekas hutan lindung dan hutan produksi terbatas di sekitar TNGH menjadi satu kesatuan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dengan luas 113.357 ha.

Penunjukan Gunung Halimun, Gunung Salak, Gunung Endut dan kawasan hutan di sekitarnya sebagai salah satu taman nasional di Indonesia, karena kawasan ini mempunyai karakteristik kawasan pegunungan yang masih memiliki ekosistem hutan hujan tropis di Pulau Jawa. Kawasan ini selain berfungsi sebagai kawasan tangkapan air juga merupakan habitat satwa yang unik seperti owa jawa, elang jawa, dan macan tutul.

Deforestasi menyebabkan kerusakan habitat dan ekosistem secara signifikan di kawasan hutan lindung dan hutan produksi di wilayah Gunung Salak dan sekitarnya, sehingga pemerintah memutuskan untuk melakukan alih fungsi hutan menjadi bagian dari kawasan TNGHS pada tahun 2003. Secara kumulatif, kerusakan habitat dan ekosistem di kawasan TNGHS disebabkan oleh berbagai kegiatan yaitu: penebangan di hutan produksi, kegiatan penebangan liar, dan bencana alam. Kegiatan illegal yang terjadi antara lain: penambangan (emas, panas bumi, dan galena), penebangan liar, perburuan satwa, dan eksploitasi flora yang bernilai ekonomi tinggi, serta perambahan untuk perluasan pemanfaatan lahan yang dijadikan permukiman, lahan pertanian, pembangunan infrastruktur (SUTET, jalan kabupaten dan propinsi, desa), pemanfaatan hasil hutan di dalam kawasan TNGHS dan kebutuhan lainnya (GHSNPMP-JICA 2008).

Tahun 1995 sampai 2003 kawasan TNGH dipilih sebagai lokasi Proyek Konservasi Keanekaragaman Hayati dan dilanjutkan pada tahun 2004 sampai 2009 oleh Proyek Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia. Proyek ini merupakan proyek kerjasama antara pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA).

Secara historis TNGHS sudah menjadi kawasan lindung dalam tradisi budaya masyarakat lokal, sedangkan secara administratif sama halnya dengan taman nasional lainnya di Indonesia TNGHS lahir dari perkembangan perubahan status dan bentuk pengelolaan beberapa kawasan hutan sebelumnya, seperti terlihat pada Tabel 3.

Tahun Status

1924-1934 Status sebagai hutan lindung di bawah pemerintahan Belanda dengan Luas mencakup 39,941 hektar.

1935-1961 Status cagar alam di bawah pengelolaan pemerintah Belanda dan Republik Indonesia/ Djawatan Kehutanan Jawa Barat.

1961-1978 Status cagar alam di bawah pengelolaan Perum Perhutani Jawa Barat.

1979-1990 Status cagar alam di bawah pengelolaan Balai Konservasi Sumberdaya Alam III, yaitu Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat I.

1990-1992 Status cagar alam dikelola oleh Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

1992-1997 Status taman nasional di bawah pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango.

1997-2003 Status taman nasional di bawah pengelolaan Balai Taman Nasional Gunung Halimun setingkat Eselon III.

2003 Status penunjukan kawasan menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak seluas 113.357 hektar (merupakan penggabungan kawasan lama TNGH dengan eks hutan lindung Perum Perhutani Gunung Salak, Gunung Endut dan hutan produksi di sekitarnya). Beroperasi 2 perusahaan pertambangan dalam kawasan TNGHS, yaitu PT. Aneka Tambang dan PT. Chevron Geothermal Salak. PT. Aneka Tambang melakukan penambangan emas di Cikidang (Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak) dan Gunung Pongkor (Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor), sedangkan PT. Chevron Geothermal Salak melakukan penambangan panas bumi di kawasan Gunung Salak. Kedua perusahaan pertambangan tersebut mendapatkan izin pinjam pakai kawasan hutan, sebelum alih fungsi hutan lindung dan hutan produksi menjadi hutan konservasi (TNGHS). Kawasan TNGHS dikelilingi pula oleh perusahaan perkebunan teh yaitu PT. Nirmala Agung, PTPN. VIII Cianten, PTPN. VIII Cisalak Baru, PT. Jayanegara, PT. Intan Hepta, PT. Yanita Indonesia, PT. Salak Utama, PT. Baros Cicareuh, PT. Hevea Indonesia (HEVINDO), dan PT Pasir Madang. Sekitar kawasan TNGHS juga terdapat banyak perusahaan yaitu: industri air minum dalam kemasan, PDAM, industri makanan, pertambangan, perkebunan, peternakan, industri garmen, industri elektronika dan lain-lain, yang sumber mata airnya sangat dipengaruhi oleh keadaan ekosistem di dalam kawasan TNGHS (GHSNPMP-JICA 2008).

permasalahan, mulai dari kebijakan penetapannya, ketidakpastian hukum, dan tumpang tindih aturan, sampai pada masalah sosial budaya. Sejak taman nasional pertama ditetapkan, salah satu permasalahan adalah proses penetapannya yang jarang melibatkan semua pemangku kepentingan. Kawasan taman nasional ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah nasional dan dikelola langsung oleh Kementerian Kehutanan/melalui Balai Taman Nasional. Penetapan kawasan konservasi umumnya dan taman nasional khususnya tidak memperhatikan hak-hak adat/tradisional masyarakat setempat. Cara penetapan bertabrakan dan menafikan pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat yang telah ada sejak lama (Moeliono et al. 2010).

4.1.2. Penelitian

Banyak peneliti yang melakukan penelitian di TNGHS karena beberapa alasan yaitu:

- Lokasinya relatif dekat dari kota-kota besar seperti Jakarta, Bogor, dan Bandung.

- TNGHS merupakan kawasan hutan pegunungan terluas yang tersisa dan relatif terjaga di Pulau Jawa.

- Terdapat sarana dan prasarana khusus untuk kegiatan penelitian seperti stasiun penelitian, jembatan tajuk (canopy), dan plot permanen.

Stasiun penelitian yang terletak di Cikaniki juga menyediakan fasilitas untuk akomodasi para peneliti, di stasiun ini juga tersedia laboratorium yang memiliki peralatan standar seperti kulkas, lemari pembeku, oven pengering, mikroskop, timbangan elektronik dan lain-lain. Sarana dan prasarana ini sangat berguna bagi kegiatan penelitian hutan hujan tropis.

Selain peneliti dari luar TNGHS, staf Balai TNGHS juga melakukan kegiatan pemantauan untuk jenis-jenis satwa dan tumbuhan yang dilindungi dan terancam punah di TNGHS. Jenis-jenis ini seperti owa jawa, elang jawa, macan tutul, dan beberapa jenis tumbuhan. Beberapa hasil kegiatan penelitian telah dibukukan dan terkumpul dalam kumpulan publikasi penelitian. Saat ini TNGHS menjadi salah satu taman nasional di Indonesia yang memiliki data yang cukup lengkap, seperti data flora dan fauna.

Kantor Balai TNGHS dapat dijangkau dengan menggunakan kendaraan melalui jalan darat. Perjalanan dari Jakarta memerlukan waktu sekitar 3 jam dengan jarak 125 km, melalui rute perjalanan Jakarta menuju Bogor terus ke Parungkuda dan Kabandungan. Sedangkan dari Bandung memerlukan waktu sekitar 4 jam dengan jarak 152 km dengan rute Bandung ke Sukabumi terus ke Parungkuda dan Kabandungan.

Lokasi-lokasi lainnya di kawasan TNGHS seperti: Cikaniki, Citalahab, hutan koridor TNGHS, Ciptagelar atau lokasi-lokasi lainnya, untuk mencapainya lebih baik mempelajari terlebih dahulu peta jalur lokasi yang dituju, karena jalan masuk ke dalam kawasan TNGHS umumnya masih jalan berbatu yang akan lebih aman apabila ditempuh dengan menggunakan mobil khusus, sepeda motor, atau mungkin harus berjalan kaki.

4.2. Koridor TNGHS

Koridor TNGHS merupakan areal memanjang dari Barat ke arah Timur yang menghubungkan Gunung Halimun dengan Gunung Salak. Wilayah koridor menjadi sangat penting karena berfungsi sebagai penghubung dua ekosistem utama di TNGHS yaitu ekosistem Gunung Halimun dengan Gunung Salak, sehingga berfungsi sebagai tempat terjadinya aliran genetik dalam pelestarian keanekaragaman hayati maupun fungsinya sebagai sistem penyangga kehidupan (Rinaldi et al. 2008).

Sekarang koridor TNGHS telah terdegradasi, karena berbagai aktifitas pembangunan dan kegiatan masyarakat. Kegiatan masyarakat berupa adanya infrastruktur bangunan dan prasarana jalan, lahan pertanian, perladangan dan kegiatan-kegiatan lainnya yang bersifat alih penggunaan lahan hutan, serta masih dijumpai terjadinya kegiatan penebangan liar, pertambangan, dan pembukaan lahan (Rinaldi et al. 2008).

Kondisi koridor TNGHS saat ini mengalami tekanan akibat tingginya aktifitas penduduk, maka upaya-upaya pengelolaan untuk mengembalikan fungsi koridor TNGHS menjadi sangat penting dilakukan. Fungsi koridor TNGHS yang dimaksud adalah sebagai penghubung dua ekosistem utama di TNGHS, yaitu antara ekosistem Gunung Halimun dengan ekosistem Gunung Salak. Diharapkan

bagi flora dan fauna, terutama yang terancam punah dan dilindungi, serta menjamin terjadinya aliran genetik dalam upaya pelestarian alam dan lingkungan di TNGHS (GHSNPMP-JICA 2009).

4.2.1. Kemiringan Lereng

Kemiringan lereng di kawasan koridor TNGHS sangat bervariasi dari datar sampai sangat curam. Kelas kemiringan lereng yang dominan di kawasan koridor TNGHS adalah kelas kemiringan lereng 15 sampai 25% dengan kondisi topografi landai, luasnya sekitar 1.292,89 hektar. Sepanjang lereng koridor TNGHS bagian Utara yang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Bogor keadaan topografinya sangat curam, dengan kemiringan lereng besar dari 40%. Kawasan koridor TNGHS bagian ke Gunung Salak atau bagian Timur kemiringan lerengnya relatif lebih datar, dibandingkan dengan kawasan koridor bagian Gunung Halimun atau bagian Barat (GHSNPMP-JICA 2009). Lansekap Gunung Halimun selain mempunyai gunung-gunung yang tinggi (1.400-1.929 m dpl), juga memiliki lembah ngarai dan patahan kulit bumi (Suryanti 2007).

4.2.2. Jenis Tanah

Jenis tanah di kawasan koridor TNGHS didominasi oleh jenis Latosol Coklat Kemerahan dan Latosol coklat, dengan luas sekitar 1.811,78 hektar. Jenis ini termasuk ke dalam tipe tanah Mediteran, jenis ini termasuk ke dalam jenis tanah yang kepekaannya sedang terhadap erosi (GHSNPMP-JICA 2009).

4.2.3. Intensitas Hujan

Wilayah koridor TNGHS terbagi menjadi dua wilayah intensitas hujan tahunan rata-rata, yaitu sedang (dengan curah hujan 4.000-4.500 mm/tahun) dan tinggi (dengan curah hujan 4.500-5.000 mm/tahun). Kawasan koridor TNGHS dengan intensitas hujan yang tinggi terdapat di bagian Utara yang sebagian besar wilayahnya termasuk ke dalam Kabupaten Bogor, sedangkan kawasan koridor TNGHS dengan intensitas hujan tahunan yang sedang terdapat di bagian Selatan yang sebagian besar wilayahnya termasuk ke dalam Kabupaten Sukabumi (GHSNPMP-JICA 2009).

Kawasan koridor TNGHS mempunyai peran yang sangat penting dalam pengaturan tata air bagi daerah-daerah di sekitarnya. Kawasan koridor TNGHS bagian Timur atau yang mengarah ke Bogor dan Tangerang, sungai terbesarnya adalah sungai Cianten. Sungai Cianten ini memiliki empat anak sungai yaitu anak sungai Cianten, Cimapag, Cigarehong, dan Cisurupa. Sungai besar yang mengalir dari koridor TNGHS menuju Sukabumi atau Samudera Hindia adalah sungai Citarik. Sungai ini berasal dari 7 buah anak sungai yaitu anak sungai Cisalimar, Ciawitali, Cipanas, Cisarua, Cipicung, Ciherang, dan Cipeuteuy (GHSNPMP-JICA 2009).

4.2.5. Penutupan Lahan

Interpretasi citra Ikonos (tanggal aquisisi 24 Agustus 2004) di wilayah koridor TNGHS menghasilkan 19 tipe penutupan lahan yang terdiri dari 5 kategori besar, yaitu: Natural Vegetation, Secondary Vegetation, Artificial

Vegetation, Natural non Vegetation, dan Artificial non Vegetation. Tipe

penutupan lahan terluas di kawasan koridor TNGHS adalah semak belukar yaitu sekitar 1.484,53 hektar dengan persentase 35,29%, berikutnya hutan sekunder dengan luas sekitar 759,06 hektar atau 18,05%.

Koridor TNGHS dengan luas 4.206,18 hektar dan memiliki lebar rata-rata kurang dari 1,69 km, hanya mempunyai sekitar 216 hektar saja hutan alam primer, selebihnya didominasi oleh hutan sekunder dan semak belukar (GHSNPMP-JICA 2009). Hutan sekunder di kawasan koridor TNGHS terputus oleh semak belukar dan tumbuhan kaliandra, yang memanjang dari Utara ke Selatan. Beberapa spot-spot areal merupakan semak belukar pegunungan dan padang paku andam. Bagian Utara koridor TNGHS (Kabupaten Bogor), berupa perkampungan Purwabakti dan Purasari, serta sebagian besar wilayahnya merupakan perkebunan teh PT. Cianten. Bagian Selatan koridor TNGHS (Kabupaten Sukabumi) merupakan perkampungan Cisarua dan Cipeuteuy, yang sebagian besar wilayahnya merupakan wilayah koridor TNGHS yang sudah dikelola oleh masyarakat sebelum koridor TNGHS ditetapkan. Tipe dan kategori penutupan lahan dengan luas masing-masing dan persentasenya di koridor TNGHS dapat dilihat pada Tabel 4.

Tipe Kategori Luas Persentase

penutupan lahan (ha) (%)

Hutan primer Natural vegetation 216,00 6,38 Hutan sekunder Secondary vegetation 759,06 18,05 Kebun campuran Artificial vegetation 185,13 4,40 Hutan tanaman Artificial vegetation 42,05 1,00 Agathis Artificial vegetation 0,19 0,00 Pinus Artificial vegetation 28,30 0,67 Pertanian lahan kering Artificial vegetation 512,48 12,18 Perkebunan teh Artificial vegetation 514,63 12,24 Perkampungan Artificial non vegetation 24,90 0,59 Padang paku Natural vegetation 10,12 0,24 Padang rumput Natural vegetation 8,73 0,21 Jalan Artificial non vegetation 29,64 0,70 Sawah Artificial vegetation 234,13 5,57 Kolam Natural non vegetation 1,45 0,03 Sungai Natural non vegetation 13,76 0,33 Lahan terbuka Artificial non vegetation 54,96 0,31 Semak belukar Artificial vegetation 1.484,53 35,29 Semak belukar Natural vegetation 32,14 0,76 Pertabangan Artificial non vegetation 1,43 0,03 Sumber: GHSNP MP-JICA Interpretasi Citra Ikonos 24 Agustus 2004 (GHSNPMP-JICA 2009).

Tutupan lahan di koridor TNGHS selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu, akibat aktifitas manusia. Perubahan tutupan lahan ini mengakibatkan berkurangnya luasan hutan dan bertambahnya luasan non hutan. Perubahan tutupan lahan di koridor TNGHS dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2001, dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Perubahan tutupan lahan di koridor TNGHS tahun 1990 sampai 2001

Tipe Vegetasi Tahun Perubahan

1990 2001 (ha)

Hutan Sekunder (ha) 666,508 318,985 -347,523 Semak belukar (ha) 269,360 526,819 257,459 Areal Pertanian (ha) 1.355,649 1.475,835 120,186 Kaliandra (ha) 0,0 33,796 33,796

Puspa (ha) 0,0 17,586 17,586

Perkebunan Teh (ha) 300,789 452,409 151,620 Sumber: Cahyadi (2003)

Flora yang ditemukan di koridor TNGHS sekitar 280 jenis, yang terdiri dari 197 genus dan 80 famili. Rincian flora yang terdapat di koridor TNGHS adalah: Pohon sebanyak 123 jenis (44%), pohon kecil sebanyak 61 jenis (21,8%), perdu, terna, dan epifit sebanyak 97 jenis (34,6%). Sebagian besar dari koridor TNGHS banyak ditumbuhi semak belukar, seperti paku andam (Dicranopteris linearis), tepus (Etlingera punicea), nampong (Clibadium surinamensis), dan jenis sekunder mendominasi koridor TNGHS sebanyak 70% (GHSNPMP-JICA 2009).

Pada hutan yang agak utuh/sedikit terganggu yang terdapat di sekitar lereng gunung/bukit di koridor TNGHS, masih dijumpai jenis primer yang menjulang tinggi seperti: kihujan (Engelhardtia serrata), Castanopsis spp., Quercus sp.,

Lithocarpus spp., Litsea spp., serta beberapa jenis jambu-jambuan (famili

Myrtaceae). Jenis-jenis tingkat pohon yang sudah jarang dijumpai dan termasuk flora langka yaitu palahlar (Dipterocarpus hasseltii), dan awi sengkol (Schizostachyum sp.), jenis lain seperti paku tiang (Cyatheacontaminans),

Cinnamomum spp., dan rasamala (Altingia excelsa). Banyak jenis-jenis lainnya di

hutan alam, yang kini keberadaannya semakin kritis (Rinaldi et al. 2008).

Pada tingkat kerusakan yang lebih berat (hampir 80%) areal koridor TNGHS ditumbuhi oleh rerumputan seperti alang-alang (Imperata cylindrica) dan kirenyuh (Eupatorium inulifolium). Selanjutnya agak ke dalam terjadi perubahan komposisi tumbuhan, dan disini banyak dijumpai Macaranga spp. dan Ficus spp. Sedangkan tumbuhan bawahnya seperti cangkore (Dinochloa scandens), Calamus

manan, Begonia sp., dan Cyrtandra sp. (Endangered Species Team 2008).

Jenis-jenis tumbuhan hutan primer yang masih tersisa dan banyak dijumpai di Gunung Halimun dan Gunung Salak adalah puspa (Schima wallichii), kimerak (Weinmannia blumei), paku siuer (Cyathea junghuniana), dan beberapa jenis dari famili Fagaceae seperti: Quercus gemelliflora, Castanopsis argentea serta dari famili Lauraceae (Cryptocarya mentek dan Litsea robusta). Jarang dijumpai diameter pohon yang mencapai diatas 50 cm, kondisi seperti ini mencerminkan bahwa tingkat kerusakan hutan cukup tinggi. Tingkat kerusakan hutan yang tinggi ini, mengakibatkan pohon-pohon yang dijumpai merupakan pohon-pohon hasil regenerasi (Rinaldi et al. 2008).

TNGHS diperlihatkan oleh komposisi jenis pohon-pohon yang sebagian besar berupa jenis-jenis tumbuhan sekunder seperti yang diperlihatkan oleh beberapa jenis utama dari suku Euphorbiaceae dan Moraceae. Jenis paling umum yang mewakili suku Euphorbiaceae adalah Macaranga triloba, M. tanarius, Aporosa

frutescens, Mallotus paniculatus, dan Homolanthus pupulneus, sedangkan dari

suku Moraceae diwakili oleh berbagai jenis Ficus seperti Ficus grossuloides, F.

sinuata, F. fistulosa, F. hirta, dan F. padana. Jenis-jenis tersebut merupakan

jenis-jenis hutan sekunder yang banyak tumbuh pada kawasan hutan terganggu yang telah mengalami kerusakan (Rinaldi et al. 2008).

Cerminan hutan terganggu di koridor TNGHS, dapat dilihat dari kelas tinggi pohon yang sebagian besar terdapat pada kisaran 10 sampai 15 meter. Jenis-jenis yang banyak mengisi kelas diameter dan kelas tinggi yang kecil ini antara lain adalah dari famili Euphorbiaceae, Symplocaceae, Melastomataceae, dan Cyatheaceae. Sedangkan kelompok famili Fagaceae, Juglandaceaea, Lauraceae, dan Theaceae umumnya berada pada kelas diameter diatas 30 cm. Jenis-jenis yang berada pada kelas diameter dan kelas tinggi yang relatif besar diperlihatkan oleh

Lithocarpus sp., Quercus gemelliflora, Egelhardia serreta, Schima wallichii, dan Altingia excelsa. Jika dilihat dari tinggi pohon, maka sebahagian besar pohon

tidak mencapai lapisan A (tinggi > 30 m), akan tetapi banyak terdapat pada lapisan B (tinggi 20 – 30 m), dan lapisan C (tinggi < 20 m). Untuk proses regenerasi pohon-pohon hutan yang tercatat dari anakan pohon, ternyata ada beberapa jenis pohon primer yang siap menggantikan jenis sekunder seperti jenis dari Lauraceae, Fagaceae, Cyatheaceae, Myrtaceae, dan Elaeocarpaceae (Endangered Species Team 2008).

Adanya rumpang (gap) pada tajuk pohon akibat kerusakan hutan, mengakibatkan terangsangnya pertumbuhan jenis tumbuhan lantai hutan di koridor TNGHS seperti jenis herba kirenyuh (Eupatorium inulifolium), nampong (Clibadium surinamensis), dan nunut (Clidemia hirta). Berbagai jenis bambu juga banyak tumbuh, akibat terbukanya kanopi hutan. Lokasi yang kanopi hutannya agak tertutup seperti di lereng-lereng yang terjal, jenis yang banyak tumbuh yaitu jenis Begonia spp., dan keladi hutan (Colocasia esculenta) (Rinaldi et al. 2008).

(Calamus manan), akibat terbukanya kanopi hutan maka rotan manau ini dapat tumbuh dengan subur. Potensi lain di kawasan hutan koridor TNGHS juga diperuntukkan sebagai sumber pakan hewan seperti kelelawar, dan mamalia kecil lainnya, serta beberapa jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai tanaman hias. Terdapat beberapa jenis penting yang perlu diperhatikan terutama palahlar (Dipterocarpus hasselthi) dan beberapa jenis dari famili Fagaceae seperti saninten (Castanopsis javanica) dan pasang (Quercus oldocarpa), serta dari famili Lauraceae seperti kilimo (Litsea cubeba) dan kimanis (Cinnamomum sp.) (Endangered Species Team 2008).

Vegetasi tingkat belta di koridor TNGHS ada sebanyak 110 jenis, yang termasuk ke dalam 81 genus dan 41 famili. Jenis-jenis belta yang dijumpai di koridor TNGHS, antara lain Ficus sp., Prunus arborea, Psychotria viridiflora, dan Symplocos sp. (GHSNPMP-JICA 2009).

4.2.7. Keanekaragaman Fauna

Jenis-jenis primata yang ditemui di koridor TNGHS yaitu owa jawa (Hylobates moloch) yang mempunyai peranan penting sebagai penyebar bibit pohon, surili (Presbytis commata), lutung jawa (Trachypithecus auratus), dan monyet (Macaca fascicularis). Sebahagian besar sebaran primata khususnya owa jawa dan lutung dijumpai di wilayah Gunung Halimun, sedangkan di wilayah Gunung Salak tidak banyak dijumpai primata. Walaupun ada informasi mengenai keberadaan primata yang diperoleh melalui wawancara dengan masyarakat, kurangnya keberadaan primata di koridor TNGHS wilayah Gunung Salak, diduga karena tingginya aktifitas manusia di wilayah ini (GHSNPMP-JICA 2009).

Terdapat 56 jenis burung di koridor TNGHS, 16 jenis diantaranya dilindungi menurut PP No. 7/ tahun 1999, bahkan 6 jenis diantaranya termasuk Lampiran 2 CITES yang dilindungi perdagangannya, serta elang jawa termasuk jenis yang terancam punah menurut buku daftar merah IUCN. Selain itu juga terdapat empat jenis burung pemangsa, yaitu: elang ular bido (Spilornis cheela), elang hitam (Ictinaetus malayensis), elang jawa (Spizaetus bartelsi), dan alap-alap capung (Microchierax fringilarius). Keberadaan burung pemangsa ini menandakan bahwa, kawasan koridor TNGHS memiliki sumberdaya yang cukup untuk

dijadikan indikator untuk menilai kondisi hutan primer yang menjadi habitatnya (GHSNPMP-JICA 2009).

Jenis-jenis burung yang umum di jumpai pada hutan terganggu di koridor TNGHS yaitu srigunting kelabu (Dicrurus leocophaeus), pelanduk semak (Malacocincla sepiarium), tepus pipi perak (Stachyris melanothorax), dan pijantung kecil (Arachnothera longirostra). Penggunaan habitat oleh burung-burung tersebut tidak terbatas pada satu tipe saja, akan tetapi beberapa jenis burung dapat menggunakan lebih dari satu tipe habitat. Jenis burung yang menggunakan dua tipe habitat yaitu habitat hutan alam dan habitat hutan terganggu ada 10 jenis, burung yang menggunakan seluruh tipe habitat ada 6 jenis yaitu Cacomantis merulinus, Dicrurus leucophaeus, Alophoixus bres, Orthotomus

sepium, Dicaeum trigonostigma, dan Arachnothera longirostra (Endangered

Species Team 2008).

Tercatat dan teridentifikasi 9 jenis mamalia yang termasuk ke dalam 7 famili di koridor TNGHS. Jenis-jenis tersebut yaitu musang (Paradoxurus

hermaproditus) dari famili Viverridae, babi hutan (Sus scrofa) dari famili Suidae,

tupai (Tupai sp.) dari famili Tupaidae, Sigung (Mydaus javanensis) dan sero ambrang (Amblonyx cinereus) dari famili Mustelidae, trenggiling (Manis

javanica) dari famili Manidae, kucing hutan (Prionailurus bengalensis) dan

macan tutul (Panthera pardus melas) dari famili Felidae, dan muncak (Muntiacus

muntjak) dari famili Cervidae (Endangered Species Team 2008).

4.3. Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk di Koridor TNGHS

Koridor TNGHS berada pada dua kabupaten yaitu Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor. Kabupaten Sukabumi berada pada Kecamatan Kabandungan, dengan desa Cihamerang, Cipeuteuy, dan Kabandungan. Kabupaten Bogor

Dokumen terkait