BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.2 Hasil Analisis Data
4.2.2 Penanda Tingk at Kesantunan Tuturan di Dalam Surat Kabar
4.2.2.2 Diksi atau Pilihan Kata
Keraf dalam bukunya Diksi dan Gaya Bahasa memberikan dua definisi
tentang pilihan kata (diksi). Pertama, pilihan kata (diksi) mencakup pengertian
kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana
membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau menggunakan
ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu
situasi. Kedua, pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara
tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan
kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan
Lebih lanjut Keraf menjelaskan bahwa persoalan pemilihan atau
pendayagunaan kata pada dasarnya berkisar pada dua persoalan pokok, yakni
pertama, ketepatan memilih kata untuk mengungkapkan sebuah gagasan, hal atau
barang yang akan diamanatkan, dan kedua, kesesuaian atau kecocokan dalam
mempergunakan kata tersebut. Ketepatan pilihan kata mempersoalkan
kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada
imajinasi pembaca atau pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan
oleh penulis atau pembicara.
Persoalan ketepatan pemilihan kata akan menyangkut pula masalah makna
kata dan kosakata seseorang. Penguasaan yang banyak terhadap kosakata akan
memungkinkan penulis atau pembicara lebih bebas memilih- milih kata yang
dianggapnya paling tepat mewakili pikirannya. Ketepatan makna kata menuntut
pula kesadaran penulis atau pembicara untuk mengetahui bagaimana hubungan
antara bentuk bahasa (kata) dengan referensinya.
Di atas sudah disinggung bahwa persoalan pemilihan kata (diksi) jelas
terkait dengan masalah makna yang timbul dari penggunaan atau pemilihan kata
tersebut. Ada empat kemungkinan yang muncul ketika penutur memilih kata,
yakni: penutur memilih kata-kata yang bermakna denotasi dengan tujuan
memperhalus tuturan (menjadikan tuturannya itu lebih santun), penutur memilih
kata-kata denotatif yang memang maknanya kasar atau negatif (misalnya: karena
marah) yang mengakibatkan tuturannya terdengar kurang santun, penutur memilih
kata-kata yang bermakna konotasi dengan tujuan memperhalus tuturan, dan
sehingga tuturannya terdengar kasar (kurang santun). Keempat jenis atau gaya
pemilihan kata tersebut akan dijelaskan satu per satu di bawah ini.
1. Pemilihan kata-kata yang bermakna denotasi dengan tujuan memperhalus
tuturan (menjadikan tuturannya itu lebih santun)
Contoh:
(32) “Untuk itu kami mohon, personel kelurahan yang diterjunkan untuk pendistribusian ini benar-benar baik, sehingga penyaluran lancar” (KR, 26/3/08)
Konteks tuturannya:
Tuturan di atas diucapkan Imam Nurwahid, Kasi Pengawasan saat menyalurkan subsidi minyak goreng kepada masyarakat lewat RT/RW.
Di dalam contoh di atas kita bisa melihat bagaimana penutur memilih kata-kata
denotatif dalam mengungkapkan maksudnya. Tidak ada kata-kata yang
maknanya samar-samar (tidak sesuai dengan aslinya/leksikal) dalam contoh di
atas. Tuturan di atas dipersepsikan santun oleh pendengar karena kata-kata
yang dipilih itu merupakan kata-kata denotatif yang maknanya lebih halus
(santun) seperti: mohon, baik, lancar meskipun maksud (tindak ilokusi) yang
diharapkan adalah tindak ilokusi direktif yakni meminta (memerintah secara
halus).
Contoh lain:
(33) Presiden menaikkan harga BBM merupakan resiko politik yang harus diambil. Beliau lebih meresikokan karier dan popularitas politiknya, yang lebih penting menyelamatkan ekonomi negara
Konteks tuturannya:
Tuturan di atas diucapkan Andi Malarangeng, Jubir Presiden saat SBY (yang mewakili pemerintah) mengambil kebijakan menaikkan harga BBM yang mengundang kontra dari masyarakat dan menyatakan siap tidak populer karena ingin menjaga perekonomian negara tetap mantap.
Kata beliau pada tuturan Andi Malarangeng di atas merupakan kata ganti orang
dan kata tersebut merupakan kata yang bermakna denotatif. Kata tersebut
dipilih penutur dengan pertimbangan menghormati orang yang dibicarakan.
Hal ini juga dipengaruhi oleh status sosial orang yang dibicarakan lebih tinggi
daripada pembicara atau penutur.
2. Pemilihan kata-kata denotatif yang maknanya kasar atau negatif sehingga
tuturannya terdengar kurang santun
Contoh:
(34) “Tidak sedikit pejabat tinggi yang korup merugikan orang lain,
menyengsarakan rakyat. Moralnya rendah. Rupanya, untuk menjadi pejabat tidak perlu punya moral yang tinggi” (Jawa Pos, 18/3/2008, hal. 4)
Konteks tuturannya:
Tuturan di atas diucapkan Djohansjah Marzoeki, Guru Besar Fakultas Kedokteran Unair saat menanggapi munculnya berbagai kasus KKN di kalangan pejabat.
Kata-kata yang digunakan penutur dalam tuturan di atas adalah kata-kata yang
denotatif tetapi maknanya sangat kasar karena memojokkan pihak tertentu
yakni para pejabat. Kata-kata itu dipilih penutur bisa jadi karena penutur ingin
terkandung dalam kata-kata yang digunakan penutur itu kasar dan memojokkan
pihak tertentu, maka tuturan itu oleh mitra tutur atau pendengar dipersepsikan
sebagai tuturan yang memiliki kadar kesantunan yang rendah (tidak santun).
3. Pemilihan kata-kata konotatif dengan tujuan memperhalus tuturan
Contoh:
(35) “Saya yakin pejabat di sana kotor semua, Cuma kotornya
berbeda-beda.Tentu sih ada yang bersih atau kotornya sedikit dan mudah mencucinya. Tapi jumlahnya ya berapalah gitu”
(Republika,16/03/2008, hal. B2)
Konteks tuturannya:
Tuturan di atas diucapkan Slamet Untung saat mengetahui hasil jajak pendapat melalui Republika On Line (ROL) untuk mengetahui sejauh mana persepsi masyarakat terhadap para pejabat tinggi kejaksaan agung.
Pada contoh di atas kita dapat melihat bagaimana penutur (Slamet Untung)
memilih kata yang bermakna konotatif dalam menyatakan maksudnya. Kata
kotor, bersih, dan mencuci yang dipakai Slamat Untung bukanlah kata-kata
dalam arti yang sebenarnya. Kata-kata itu sesungguhnya mewakili maksud
penutur untuk mengatakan bahwa semua pejabat tinggi di kejaksaan agung
hampir pasti pernah melakukan KKN, hanya kadarnya berbeda-beda; ada yang
KKN-nya masih dalam skala kecil, tetapi ada juga yang skalanya sangat besar.
Dari kata-kata yang dipilih Untung untuk menyatakan maksudnya itu,
ada sesuatu yang menarik yakni bahwa Untung memilih kata-kata tersebut
sangat kasar atau dengan kata lain agar tuturannya mengandung kadar
kesantunan yang tinggi. Maka tuturan yang diungkapkan Untung ini
dipersepsikan sebagai tuturan yang santun oleh pendengar atau mitra tutur.
Dalam contoh inilah pemilihan kata-kata konotatif yang bertujuan
memperhalus tuturan terwujud.
4. Pemilihan kata-kata konotatif yang maknanya kasar atau negatif sehingga
tuturannya terdengar kasar (kurang santun)
Contoh:
(36) Mereka telah buta mata hati nuraninya. Apa mereka tidak sadar kalau BBM naik, harga barang-barang lainnya bakal
melambung. Akibatnya rakyat semakin tercekik (KR, 08/05/08, hal. 1).
Konteks tuturannya:
Tuturan di atas diucapkan Dona Budi Kharisma, BEM UNS dan KAMMI Solo ketika berunjuk rasa di Gladag Solo menentang rencana pemerintah menaikkan BBM.
Kata-kata seperti buta mata hati nurani, melambung, dan tercekik yang
dituturkan Dona Budi Kharisma di atas bukanlah kata-kata yang bermakna
sesungguhnya (sesuai dengan aslinya di dalam kamus) tetapi kata-kata itu
adalah kata-kata kiasan (konotasi). Kata-kata tersebut dipilih penutur tentunya
dengan pertimbangan bahwa kata-kata tersebut sungguh-sungguh mewakili
apa yang dirasakan oleh penutur sendiri yakni marah dan kecewa. Oleh
tuturan yang tidak santun karena kata-kata yang dipilih itu sangat kasar dan
melebih- lebihkan keadaan yang sesungguhnya.
Dari uraian tentang keempat jenis atau tipe pemilihan kata dalam
bertutur seperti yang diuraikan di atas dapatlah disimpulkan bahwa pemilihan
kata-kata denotatif atau pun konotatif yang maknanya bercita rasa positif atau
memperhalus cenderung dipersepsikan sebagai tut uran yang santun oleh
pendengar atau mitra tutur. Sebaliknya, pemilihan kata-kata denotatif atau pun
konotatif yang maknanya bercita rasa negatif atau kasar cenderung
dipersepsikan sebagai tuturan yang tidak santun oleh mitra tutur atau
pendengar.