• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.3 Dimensi-dimensi Pendidikan Karakter

Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter di Indonesia diidentifikasi berasal dari empat sumber (Zubaedi, 2011: 73). Pertama, agama. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang beragama oleh karenanya nila- nilai pendidikan karakter harus didasarkan pada nila-nilai dan kaidah yang berasal dari agama. Kedua, Pancasila. Pancasila terdapat pada pembukaan UUD 1945 yang dijabarkan lebih lanjut ke dalam pasal-pasal. Artinya, nila-nilai yang terkandung dalam pancasila menjadi nila-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya dan seni. Oleh karena itu demi mewujudkan peserta didik yang menjadi warga negara yang baik yang sesuai dengan karakter budaya Indonesia, maka pendidikan karakter harus didasari oleh Pancasila.

Ketiga, budaya. Tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari nila-nilai budaya yang diakui masyarakat. Nilai budaya ini dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antar anggota masayarakat tersebut. Sehingga mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa. Keempat, tujuan pendidikan nasional. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan

tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab”.

Berdasarkan keempat sumber nilai tersebut, teridentifikasi sejumlah nilai untuk pendidikan karakter menurut Zubaedi (2011: 73) beserta deskripsinya sebagai berikut.

1. Religius

Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain dan hidup rukun dengn pemeluk agama lain.

2. Jujur

Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.

3. Toleransi

Sikap dan tindakan yang menghargai perbedan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.

4. Disiplin

Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan

Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik- baiknya.

6. Kreatif

Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.

7. Mandiri

Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.

8. Demokratis

Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain

9. Rasa Ingin Tahu

Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.

10. Semangat Kebangsaan

Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.

11. Cinta Tahan Air

Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.

Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.

13. Bersahabat atau komunikatif

Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.

14. Cinta Damai

Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.

15. Gemar Membaca

Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.

16. Peduli Lingkungan

Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam disekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

17. Peduli Sosial

Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

18. Tanggung jawab

Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dilakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

Nilai karakter yang dirumuskan berdasarkan empat sumber yang merupakan karakter yang harus dimiliki oleh masyarakat Indonesia yaitu

berdasarkan Agama yang dianut oleh masyarakat, ideologi yang dimiliki masyarakat yaitu Pancasila, kemudian budaya masyarakat Indonesia yang sangat beragam, dan berdasarkan Tujuan Pendidikan Nasional yang mengatur mengenai pendidikan beserta pengembangannya, maka nilai-nilai karakter tersebut merupakan rangkuman dari berbagai karakter yang harus dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu nilai-nilai karakter tersebut harus diterapkan pada pendidikan anak sejak dini agar karakter tersebut dapat melekat dikehidupan anak dikemudian hari.

2.4 Tahapan-tahapan Pendidikan Karakter

Pengembangan karakter sebagai proses yang tiada henti, terbagi menjadi empat tahapan: pertama, pada usia dini, disebut sebagai tahap pembentukan karakter; kedua, pada usia remaja, disebut sebagai tahap pengembangan; ketiga, pada usia dewasa, disebut sebagai tahap pemantapan dan keempat, pada usia tua, disebut sebagai tahap pembijaksana.

Untuk membentuk karakter anak diperlukan syarat-syarat mendasar bagi terbentuknya kepribadian yang baik. Menurut Megawangi dalam Zubaedi (2011: 111) ada tiga kebutuhan dasar anak yang harus dipenuhi, yaitu maternal bonding, rasa aman, dan stimulasi fisik dan mental. Maternal bonding (kelekatan psikologis dengan ibunya) merupakan dasar penting dalam pembentukan karakter anak karena aspek ini berperan dalam pembentukan dasar kepercayaan (trust) orang lain pada anak. Kelekatan ini membuat anak merasa diperhatikan dan menumbuhkan rasa aman sehingga menumbuhkan rasa percaya. Menurut Erikson

dalam Zubaedi (2011: 11) dasar kepercayaan yang ditumbuhkan melalui hubungan ibu-anak pada tahun pertama kehidupan anak akan memberi bekal bagi kesuksesan anak dalam kehidupan sosialnya ketika ia dewasa. Dengan kata lain, ikatan emosional yang erat antara ibu-anak di usia awal dapat membentuk kepribadian yang baik pada anak.

2.5

Pengertian Sentra

Sentra merupakan sebagai suatu wadah yang disiapkan guru bagi kegiatan bermain anak. Melalui serangkaian kegiatan bermain tersebut, guru mengalirkan materi pembelajaran yang telah disusun dalam bentuk lesson-plan. Rangakain kegiatan itu harus saling berkaitan dan saling mendukung untuk mencapai tujuan belajar harian, dan tujuan belajar pada semua sentra pada satu hari tersebut harus sama. Setiap sentra memiliki center point dan semua mengacu pada tujuan pembelajaran yang telah direncanakan tim guru. Sehingga dalam setiap sentra memiliki tema yang sama, berbeda dalam pembelajarannya namun tetap mangacu pada tujuan belajar pada pembelajaran hari itu (Arriyani, 2010:1). Sentra dikenal juga dengan sebutan Beyond Centers and Circle Time (BCCT)

adalah pendekatan penyelenggaraan pendidikan anak usia dini yang berfokus pada anak, yang dalam proses pembelajarannya berpusat di sentra main dan saat anak dalam lingkaran, dengan menggunakan 4 jenis pijakan untuk mendukung perkembangan anak. Sentra juga dapat diartikan sebagai zona atau area main anak yang dilangkapi dengan seperangkat alat main yang berfungsi sebagai pijakan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung perkembangan anak dalam 3 jenis

main, yaitu sensorimotor atau main fungsional, main peran, dan main pembangunan (Depdiknas, 2006).

Menurut Gilley dalam Asmawati (2008: 8.3) sentra sering juga disebut area, sudut kegiatan (activity centre), sudut belajar (learning centre) atau sudut minat (interest centre). Sentra dapat diartikan sebagai permainan dan kegiatan yang disusun sedemikian rupa untuk memberikan semangat pada kegiatan- kegiatan pembelajaran secara khusus, yaitu yang berhubungan dengan kehidupan keluarga, musik, seni, sains, balok bangunan, dan seni berbahasa. Dalam pendekatan sentra, anak dirangsang untuk aktif belajar melalui kegiatan bermain. Seluruh kegiatan pembelajran berfokus pada anak sebagai subjek pembelajar, sedangkan pendidik lebih banyak berperan sebagai motivator dan fasilitator dengan memberikan pijakan-pijakan (scaffolding). Pendidik mendampingi anak untuk memberikan motivasi dan anak dapat percaya diri untuk dapat aktif bermain (Arriyani, 2010: 5).

2.6

Manfaat Sentra

Banyak manfaat menurut Mayesky dalam Asmawati (2008: 8.5) yang akan diperoleh melalui pendekatan sentra, khususnya bagi anak diantaranya sebagai berikut.

1. Meningkatkan kreativitas anak dengan

memberikan kesempatan padanya untuk bermain, bereksplorasi, dan menemukan bahwa kegiatannya akan membantunya dalam memecahkan masalah, mempelajari keahlian-keahlian dasar dan memahami konsep- konsep baru.

2. Melalui sentra, anak dapat memanipulasi objek

bermain peran serta belajar sesuai tingkatan dan langkah-langkah yang dia inginkan.

3. Mengembangkan keahlian belajar yang mandiri

karena adanya prinsip kehendak sendiri (self derecting) dan koreksi diri

(self correcting) yang alamiah terhadap berbagai alat di sentra kegiatan. Sentra membuat anak belajar dengan gembira dan senang. Suasana nyaman dan menyenangkan sangat disarankan. Karena, jika anak dalam kondisi tertekan, kecewa, sedih atau marah (emosi negatif), maka ia tidak akan dapat belajar. Elemen penting lain dalam pendekatan sentra adalah perhatian intensif pada evaluasi perkembangan kemampuan anak secara individual. Elemen ini mengharuskan adanya aktivitas perekaman perkembangan anak secara individual setiap hari. Secara berkelanjutan hasil perekaman itu menjadi bahan untuk memberikan respon atau stimulasi selanjutnya. Sehingga anak memiliki catatan perkembangan sebelumnya dan akan terus berkembang seiring kemampuan yang dimiliki (Arriyani, 2010: 5).

2.7

Konsep Bermain Peran

Bermain peran atau role play dikenal juga dengan sebutan bermain pura- pura, khayalan, fantasi, make belive, atau simbolik. Menurut Piaget dalam Siska (2011: 33) awal main peran dapat menjadi bukti perilaku anak. Ia menyatakan bahwa main peran ditandai oleh penerapan cerita pada objek dan mengulang perilaku menyenangkan yang diingatnya. Piaget menyatakan bahwa keterlibatan anak dalam main peran dan upaya anak mencapai tahap yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak lainnya disebut sebagai collective symbolism. Ia juga

menerangkan percakapan lisan yang anak lakukan dengan diri sendiri sebagai

idiosyncratic soliloquies.

Main peran disebut juga main pura-pura, main khayalan atau main fantasi. Ketika anak sedang bermain peran, ia berpura-pura menjadi seseorang atau sesuatu yang berbeda dari dirinya. Misalkan anak memakai sepatu ibunya karena ia sedang berpura-pura menjadi ibunya atau ia sedang sedang berpura-pura menjadi seorang anak laki-laki memakai kemeja ayahnya, maka sebenarnya ia sedang bermain peran. Dalam bermain peran, anak dapat berperan melewati batas usia yang sebenarnya, misalnya anak berperan sebagai ayah, ibu, dokter atau guru. Melalui bermain peran, anak belajar memahami dunia sekitarnya dan belajar mempraktekkan kegiatan yang ada dalam kehidupan yang sebenarnya. Sehingga anak mempunyai kesepatan untuk mengeksplor idenya untuk memerankan peran yang pernah ia lihat dikehidupan sebenarnya (Wijana dkk, 2008: 8.31).

Bermain peran merupakan salah satu kegiatan bermain aktif yang menyenangkan, dengan bermain peran anak diberi kesempatan untuk mengeksplorasi apa yang ada di lingkungan sekitarnya. Menurut Abidin dalam Maima dkk (2013) bermain peran merupakan salah satu bentuk bermain aktif yang penting bagi perkembangan anak, karena anak-anak menggunakan daya khayal atau imajinasinya dalam kegiatan bermain peran. Main peran juga disebut sebagai main simbolik, main pura-pura, fantasi, imajinasi atau main drama. Anak usia dini suka bermain peran dengan melakukan percobaan melalui berbagai bahan dan peran. Kegiatan bermain peran ini penting karena manusia perlu membangun kemampuan untuk menghadapi suatu keadaan dan meguasai

kenyataan tertentu dengan terlebih dahulu melakuan uji coba ini melalui kegiatan bermain (Asmawati, 2008: 8.10).

Menurut Ostrovsky dalam Yawkey (1977: 4) bermain peran, anak-anak menciptakan karakter seperti „hembusan udara tipis‟ dan menggunakan benda- benda seolah-olah benda tersebut nyata. Ketika bermain peran anak-anak berpikir, melakukan, dan merasa, menjadi atau seperti yang mereka khayalkan. Sejalan dengan pendapat di atas Supriyati (dalam Gunarti dkk, 2008: 10) bahwa bermain peran adalah permainan yang memerankan tokoh-tokoh atau benda sekitar anak sehingga dapat mengembangkan daya khayal (imajinasi) dan penghayatan terhadap bahan kegiatan yang dilaksanakan.

Santrock (2007: 219) pun menambahkan bahwa permainan pura-pura merupakan permainan yang terjadi ketika anak mengubah lingkungan fisik menjadi sebuah simbol. Pada usia antara 9 dan 30 bulan, anak-anak semakin banyak menggunakan objek dalam permainan simbol. Mereka belajar mentransformasikan objek, menganggap satu objek sebagai objek lain dan berlakon seolah-olah mereka sedang bermain dengan objek lain tersebut. Tipe permainan ini sering kali muncul pada usia 18 bulan dan mencapai puncaknya pada usia 4 hingga 5 tahun, lalu perlahan-lahan menurun. Sedangkan bermain peran menurut Montolalu (2005: 5.19) anak-anak berperan sebagai salah satu karakter dan terlibat dengan perilaku menirukan peran orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini juga memupuk adanya pemahaman peran sosial dan melibatkan interaksi verbal paling tidak dengan dengan satu orang.

Menurut Erickson dalam Asmawati (2008: 8.10) anak melakukan uji coba ini melalui kegiatan bermain. Dengan bermain peran, anak membuat keadaan yang ia ciptakan sendiri sambil memperbaiki kesalahan-kesalahan dan memperkuat harapan-harapannya. Erickson membagi main peran menjadi 2 jenis, yaitu bermain peran mikro dan main peran makro. Main peran mikro adalah bermain peran dengan bahan-bahan berukuran kecil seperti rumah rumah boneka dan perabotannya, kereta dan relnya, pesawat udara, dan lain sebagainya. Sedangkan main peran makro adalah bermain peran dengan alat-alat berukuran sesungguhnya yang dapat digunakan anak untuk memainkan peran yang dipilihnya. Misalnya anak berperan menjadi profesi dokter, guru, polisi dan lain sebagainya dengan menggunakan peralatan sebenarnya atau tiruan.

Dikutip dari Nugraha (2004: 8.14) bermain peran menurut Harley dalam memahami drama anak-anak ia mendefinisikan bermain peran sebagai berikut.

“Bermain peran adalah bentuk perminan bebas dari anak-anak yang masih muda. Adalah salah satu cara bagi mereka untuk menelusuri dunianya, dengan meniru tindakan dan karakter dari orang-orang yang berada disekitarnya. Ini adalah ekspresi paling awal dari bentuk drama, namun tidak boleh disamakan dengan drama atau ditafsirkan sebagai penampilan. Drama peran adalah sangat sementara, hanya berlaku sesaat. Bisa berlangsung selama beberapa menit atau terus berlangsung untuk beberapa waktu. Bisa juga dimainkan berulang kali bila keterkaitan si anak cukup kuat, tetapi bila ini terjadi maka pengulangan tersebut bukanlah sebagai bentuk latihan. Melainkan adalah pengulangan pengalaman yang memiliki awalan

dan akhiran dan tidak memiliki perkembangan dalam arti drama”.

Menurut Suparman dalam Azizah (2013:19) mengungkapkan bermain peran berarti memainkan satu peran tertentu sehingga yang bermain bermain tersebut mampu berbuat (bertindak dan berbicara) seperti peran yang dimainkannya. Jadi, melalui bermain peran anak dapat berbicara secara spontan dan dapat meniru bahasa seperti tokoh yang diperankannya.

Anak senang bermain “khayalan” berakting sebagai orang tua, meniru tokoh kartun atau menjadi bayi. Kegiatan bermain peran merupakan kegiatan bermain tahap selanjutnya setelah bermain fungsional. Main peran melibatkan interaksi secara verbal atau bercakap-cakap, dan interaksi dengan orang lain. Bermain peran adalah kegiatan bermain di mana anak melakukan kegiatan meniru perilaku. Perilaku ini dapat berupa perilaku manusia, hewan, tanaman, dan kejadian (Asmawati dkk, 2012: 10.3).

Bedasarkan beberapa uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa bermain peran merupakan bermain aktif dan menyenngkan yang menggunakan daya pikir dan imajinasinya dimana anak memainkan peran dari tokoh yang dimainkan serta menggunakan benda-benda yang ada disekitarnya.

2.8

Manfaat Bermain Peran

Melalui pengalaman bermain peran yang kaya dan bermutu, anak akan mendapatkan manfaat bagi perkembangannya antara lain menurut Arriyani (2011: 43) pada kemampuan sosial dan emosi yaitu bermain dengan teman sebaya lebih banyak, kerjasama dengan teman lebih baik, egoisme menurun, lebih sabar dan dapat mengontrol diri, serta empati lebih banyak. Selanjutnya Vygotsky dalam Arriyani (2011: 46) main peran mendukung munculnya dua kemampuan penting yaitu kemampuan untuk memisahkan pikiran dari kegiatan dan benda dan kemampuan menahan dorongan hati menyusun tindakan yang diarahkan sendiri dengan sengaja dan fleksibel.

Menurut Yawkey (1977: 7) bermain peran memerlukan upaya kelompok, dimana anak dapat memutuskan siapa yang akan memerankan karakter tertentu dan menetapkan peran untuk diri mereka sendiri. Ini berarti dalam bermain peran dapat membangun tujuan bersama melalui keterlibatan rekan. Dalam mendefinisikan, memutuskan, dan menetapakan peran, anak harus belajar untuk mengendalikan tindakan individunya dan mendukung pembahasan kelompok yang di dalamnya terdapat tindakan dan keputusan. Anak belajar untuk mengontrol tindakan individu dalam bermain peran, anak-anak belajar mendisiplinkan dirinya dari keinginan pribadi. Melalui disiplin diri dalam bermain peran interaksi dan kerjasama lebih sering muncul sehingga kemampuan sosialnya akan berkembang.

Menurut Gunarti dkk dalam Azizah (2013: 24) secara eksplisit bila ditinjau dari tujuan pendidikan, metode bermain peran diharapkan anak dapat: (a)

mengeksplorasi perasaan-perasaan; (b) memperoleh wawasan; (c)

mengembangkan keterampilan dan sikap dalam memecahkan masalah yang dihadapi; (d) mengembangkan kreativitas dengan membuat jalan cerita atas inisiatif anak; (I) melatih daya tangkap; (f) melatih daya konsentrasi; (g) melatih membuat kesimpulan; (h) membantu perkembangan kognitif; (i) membantu perkembangan fantasi; (j) menciptakan suasana yang menyenangkan; (k) mencapai kemampuan komunikasi secara spontan/berbicara lancar; (l) membangun pemikiran yang analitis dan kritis (m) membangun sikap positif dalam diri anak; (n) menumbuhkan aspek afektif melalui penghayatan isi cerita; (o) untuk membawa situasi yang sebenarnya ke dalam bentuk simulasi miniature

kehidupan; (p) untuk membuat variasi yang menarik dalam kegiatan pengembangan.

Sedangkan menurut Montolalu (2005: 5.19) bermain peran mempunyai manfaat yaitu membantu anak untuk mempelajari lebih dalam mengenai dirinya sendiri, keluarganya, dan masyarakat sekitarnya. Anak-anak menjalankan perannya berdasarkan pengalaman yang terdahulu. Mereka belajar memutuskan dan memilih berbagai informasi yang relevan. Hal ini sangat membantu mereka dalam mengembangkan kemampuan intelektualnya. Mereka juga banyak belajar dari temannya tentang cara-cara berinteraksi dalam kondisi sosio dramatik. Selain itu mereka juga belajar berkonsentrasi dalam satu tema drama untuk waktu tertentu. Bermain peran juga memberikan kesempatan pada anak untuk mengembangkan kemampuan sosial dan emosionalnya, seperti mengatasi rasa takut dengan memerankan berbagai tokoh yang sebenarnya bagi mereka menakutkan. Misalkan seorang anak yang takut disuntik memerankan tokoh sebagai pasien.

Saat anak bermain peran di sentra main peran, anak dapat belajar berbagai menurut Wijana (2008:8.34) sebagai berikut:

1. Munculnya keaksaraan

Kemampuan untuk meningkatkan kosakata dan bahasa anak dapat dibangun saat guru membacakan cerita yang berhubungan dengan naskah cerita yang akan diperankan oleh anak.

2. Konsep matematika

Konsep jumlah dapat dibangun ketika guru bertanya pada anak, misalnya, “Berapa banyak dus susu yang perlu diletakkan di rak ini?”

3. Sains atau ilmu pengetahuan

Pada setra main peran anak dapat menggali ilmu pengetahuannya melalui alat-alat main yang mendukung pengetahuan alam, misalnya, kerang-kerangan, biji-bijian, tanaman dan lain sebagainya.

4. Pengetahuan sosial

Untuk membangun pengetahuan sosialnya, guru dapat menempatkan foto-foto keluarga, namun sebenarnya ketika guru mengajak untuk bermain peran tentang kehidupan keluarga, maka anak telah belajar tentang manusia dan bagaimana cara mereka hidup.

5. Seni

Pendidik dapat mengajak anak untuk menggali seni peran dengan mengajarkan anak keterampilan yang dibutuhkan untuk main peran. Misalnya, dengan membacakan cerita-cerita yang sudah dikenal anak untuk naskah main peran, atau menyediakan boneka tangan dan mengajak anak bermin boneka tangan pada layar pertunjukan mini.

Kegiatan bermain peran memberikan kesempatan pada anak untuk mengembangakan berbagi keterampilan. Manfaat bermain peran menurut Asmawati dkk (2008: 104) sebagai berikut.

1. Anak belajar untuk mengolah informasi tentang peran yang

memplajari diri sendiri, keluarganya, dan lingkungan sekitarnya.

2. Belajar untuk menilai dan memilih berbagai informasi,

dilihat dan diamati dari kehidupan sehari-hari dan mencoba untuk membuat hubungan dan memunculkan kembali dalam kegiatan main peran.

3. Belajar untuk saling berinteraksi dengan orang lain.

4. Belajar menjawab dan memberikan pertayaan.

6. Membangun kemampuan berkonsentrasi.

7. Mempelajari keterampilan hidup (life skill).

8. Belajar untuk mengatasi rasa takut.

9. Membantu anak mengembangkan berbagai macam aspek

perkembangannya.

Berdasarkan uraian di atas bermain peran memiliki manfaat yang sangat baik bagi perkembangan anak. Banyak stimulasi yang diperoleh ketika anak bermain, yaitu anak belajar bagaimana memainkan peran yang pernah ia lihat, rasakan dan alami dikehidupan nyata yang kemudian ia ulangi dalam betuk peran. Anak mengkombinasi daya pikir dan imajinasinya untuk dapat memerankan peran dalam permainan tersebut.

2.9

Tahapan dan Jenis Bermain Peran

Tahapan main peran menurut Asmawati dkk (2008: 10.6) dapat menunjukkan kemajuan anak tentang macam aspek yang digunakan dan keterampilan yang telah dikuasai. Terdapat tiga tahapan main peran yaitu sebagai berikut.

1. Permainan peran meniru

Tahap pemula, pada usia tahun, anak-anak mencoba untuk bertingkah laku, berbicara, dan berpakaian seperti orang yang mereka kenal. Anak-anak menggunakan benda-benda yang ditemui sehari-hari sebagai perlengkapan bermain.

2. Permainan peran khayal

Pada tahap kedua, perminan anak-anak meluas dipengaruhi oleh imajinasi anak. Kemampuan untuk berkhayal lebih meningkat sehingga anak dapat menggunakan benda lain untuk mengumpamakan sesuatu, bukan sebagai

fungsi aslinya. Anak-anak juga belajar menggunakan imajinasi mereka untuk menciptakan aksi dan situasi yang berbeda.

3. Bermain sosio-drama

Pada tahap ini anak mulai membangun hubungan dengan sesama. Permainan anak semakin kaya dengan peniruan dan khayalan. Anak juga mulai

Dokumen terkait