• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab I. Yudaisme dalam Konteks Studi Agama

F. Dimensi Institusional-Sosial

Ninian Smart memberikan definisi dimensi institusional dengan menjelaskan bahwa kebanyakan agama menciptakan pranata-pranata khusus dengan maksud melangsungkan praktek dan pesan agama. Pranata ini dapat saja berbentuk dalam pelbagai gereja, maupun dalam konteks sosial yang lebih luas, terdapat lembaga pemuka agama seperti para Rabbi dalam Yahudi dan para Mullah dalam Islam. Terlebih lagi, dalam hubungannya dengan konteks sosial pula, setiap agama melakukan penetrasi dalam beberapa tingkat atau tahapan di dalam masyarakat itu sendiri. Sifat bentuk-bentuk penetrasi sosial pada agama itu, tentu memberikan pengaruh-pengaruh pada kelompok yang beragam.103 Aspek ini menandai perspektif sosiologi beragama dalam kajian religi.

Pandangan Sosiologis dalam kerangka studi agama menyebut beberapa ciri perspektif tentang masyarakat ini. Studi tentang kolektifitas manusia dalam kelompok- kelompok ini mengarah pula pada perhatian dan ketertarikan pada pranata religi. Apabila pengkaji studi agama cermati dari karya-karya Comte, Durkheim, Marx dan Weber, kerapkali muncul referensi wacanaa teologis maupun perilaku keagamaan dan sistem kepercayaan.104 Dalam konteks perkembangan studi masyarakat oleh para Sosiolog, terdapat kecenderungan mereka untuk memandang agama sebagai pokok bahasan sosiologi

103 Ninian Smart, Worldviews: cross-cultural explorations of human beliefs (New Jersey: Prentice Hall, 2000), hlm. 10.

104 Peter Connolly, Approaches to the Study of Religion (London:

Cassell, 1999), hlm 195.

yang marjinal khususnya di Kawasan Eropa dan Amerika Utara pada pertengahan abad 20. Studi sosial pada agama dengan demikian berada di wilayah pinggir dalam konteks kajian. Namun gejala dan kecenderungan marjinalitas studi kemasyarakatan ini berbalik sama sekali dengan sebelumnya tatkala telah datang era akhir modernitas atau sering disebut sebagai pascamodernitas. Fokus agama menjadi isu sosiologi yang signfikan kembali utamanya berdasar pada pengamatan masa kebangkitan kembali atau resurgence dengan tingkat yang berbeda-beda pada fenomena agama di konteks global. Yang terjadi kemudian adalah topik-topik sosiologi berwujud pada ketertarikan pokok bahasan ekologi, penubuhan, gerakan sosial, globalisasi, nasionalisme dan pascamodernitas.

Konsep-konsep Teologi dalam sudut pandang Durkheim, Marx dan Weber telah berlalu sebagaimana Comte berpendirian kukuh bahwa sosiologi telah me-nempati posisi teologi pada masyarakat modern. Baik Durkheim dan Marx misalnya, lebih mendasarkan argumen mereka tentang agama pada produk sosial itu sendiri.

Namun Antonio Gramsci sebagai penerus langkah Marxis menggunakan argumen agama sebagai aspek interaksionis.

Gramsci melihat agama sebagai sumber daya budaya yang seringkali dibutuhkan oleh kelompok revolusioner, kaum reformis maupun pendukung status quo. Agama dengan demikian menjadi sumber pembangkit perubahan sosial sebagaimana pula sebagai sumber kelekatan sosial.

Pranata kepemimpinan dalam Yudaisme, seperti riset Perlman, merupakan contoh justifikasi aspektual

agama sebagai aspek yang dipinjam untuk reformasi sosial keagamaan di antara aliran Yudaisme. Perjuangan emansipasi perempuan adalah perspektif Marxis yang kemudian dikembangkan oleh Gramsci untuk menyuarakan aspirasi yang terpendam. Agama dalam hal ini adalah progenitor yang berkesesuaian dengan visi kaum reformis yang memperjuangkan keadilan dan kesetaraan.

Pandangan Weberian lebih menguatkan dinamika agama dengan pointer ekonomi sebagai pokok per-masalahan masyarakat modern. Masyarakat Yudaisme menurut sudut pandang Weber, tidak akan terlalu banyak mendapatkan generator atau dorongan motivasi ekonomi, apabila mengikuti jalan mistisisme seperti Kabbalah. Namun akses langsung kepada yang Transenden sebagai klaim kaum Kabbalah adalah bentuk penggunaan agama sebagai bentuk penjelasan yang lain atas ortodoksi Yudaisme.

Perkara Nubuat menjadi relatif di antara kaum Yahudi mengingat klaim keberlangsungan wahyu dipercaya oleh kaum Kabbalistik ini. Pandangan pada pranata kelompok keagamaan seperti Kabbalah adalah model penjelasan konsep keagamaan Yudaisme dikaitkan dengan penjabaran teori-teori sosial yang relevan.

Selain teoretikus Durkheim, Marx dan Weber dan ke-ber langsungan Marxis dengan Gramsci, pendekatan sosial pada agama juga berhutang budi pada kategori Bryan Wilson pada fungsionalisme agama. Wilson membagi dua kategori fungsi manifes dan laten. Aspek manifes agama terletak salah satunya pada konsep keselamatan/

salvation. Takdir keselamatan ini berupa peribadatan dan

ketundukan kepada yang Transenden. Pada masyarakat industri dan latar perkotaan, fungsi manifes agama menurut Wilson ini kerapkali tampak nyata. Pengalaman Pantekosta yang diamati Wilson, mengandung partikularitas. Namun esensi manifes dalam agama-agama adalah sumbangan berharga Wilson pada studi agama. Selain keselamatan, konsep manifes agama dapat terjumpai pada yang tak ter jelaskan/the unexplained. Kuatnya rasionalisme dan ilmu pengetahuan menyisakan pertanyaan tentang kekuatan supranatural termasuk makhluk tak kasat mata.

Pengalaman keagamaan kelompok Yudaisme menunjukkan manifestasi agama untuk kelangsungan hidup keagamaan dengan penekanan keselamatan pada mitos penderitaan dan bangsa pilihan Tuhan. Kejadian supraempirik kelompok Kabbalah adalah contoh bagaimana agama bersifat fungsional. Fungsionalisme Yudaisme cukup menarik untuk eksplorasi konsep dan penjelasan teoretisasi studi agama dan sosial keagamaan.

Sebagai contoh pranata selanjutnya adalah tentang keluarga. Masyarakat Yahudi dirumuskan dalam pondasi dasar berupa dua unit utama, yakni keluarga dan komunitas atau masyarakat. Walaupun dalam konteks kekinian, konsep keluarga bagi Yahudi mengalami pergeseran-pergeseran pada tingkat interpretasi individual, namun pranata keluarga, menurut penganut Yahudi, merupakan aspek vital dalam perayaan Passover, misalnya. Tengoklah jikalau umat Yahudi memperhatikan hierarki keluarga secara fungsional. Anggota keluarga inti yaitu ayah, ibu dan putra-putri Yahudi mengemban tugas terkait ritual Yahudi tertentu. Pada petang hari Sabbat, misalnya, perempuanlah

yang menyalakan pelita, sedangkan suaminya membaca kidung doa Sabbat (Kiddush). Pada momen lain seperti perayaan perjamuan Passover, putra atau putri terkecil usianya yang hadir, didaulat untuk membaca doa the Four Questions (mah nishtanah).105 Hal ini yang kemudian disebut-disebut sebagai paralelisme pranata keluarga ini dengan konsep pembagian kerja Durkheim. Di sisi lain, cara pandang fungsionalisme menurut Malinowski juga penting karena ia mencoba menjelaskan stereotyping Barat pada praktek keagamaan.106 Kenyamanan dalam ritual Yudaisme yang mampu menyatukan nilai keluarga menurut Malinowski bertemu dengan prinsip Durkheim tentang ikatan religi sebagai perekat kelompok beragama.

Dalam pandangan teroritis, masyarakat beragama secara umum, tak dapat melepaskan diri dari aspek kelompok, karena kejanggalan menjadi muncul tatkala individu “per se” mengekspesikan keagamaannya. Sekali-pun mungkin pada awalnya agama merupakan urusan perseorangan, namun dalam setiap agama dapat dipastikan terdapat adanya kebersamaan dalam beragama. Dalam tiap persekutuan agama, terdapat dua macam hubungan, yakni, pertama, hubungan vertikal yang merupakan hubungan kolektif dan individual para anggotanya dengan Tuhan, dan, kedua, hubungan horizontal antar para anggota persekutuan satu dengan lainnya. Hubungan yang

105 Tentang pranata lain seperti konsep ruang dan waktu menurut Yahudi, dapat dilihat dalam Nicholas De Lange, An Introduction of Judaism (Cambridge: Cambridge Univ.

Press, 2002), hlm. 89 - 94.

106 Peter Connolly, Approaches to the Study of Religion (London:

Cassell, 1999), hlm. 17.

pertama paling utama, sedangkan hubungan kedua bersifat sekunder. 107 Dalam konteks pranata politis-sosial, pelbagai organisasi masonry dan perkumpulan rotary, disebut-sebut dalam kerangka Yahudi, telah lama mengadakan hubungan kolektif antar anggota komunitas Yahudi untuk tujuan-tujuan tertentu.108 Selanjutnya pranata Yudaisme membahas deskripsi konsep keluarga dan rites of passage (ritus kehidupan).

Konsep keluarga Yudaisme dapat terlihat tatkala pasca perayaan Hanukkah (dedikasi). Mereka menandai ritus Shevat atau Tu Bi-Shevat dengan menanam te-tum bu han dan memakan buah-buahan.109 Konsep peraya an keluarga Yudaisme ini utamanya berlaku bagi mereka yang berasal dari tanah Israel. Perayaan lainnya walaupun termasuk kategori tidak utama, namun Purim di bulan Februari atau Maret setiap tahunnya ini adalah tema perayaannya menjadi satu perhatian utama.

Ritual keluarga Purim ini menegaskan pengingat pada persekusi. Ia bermula dengan puasa kemudian berbuka sembari memberikan hadiah dan persembahan melalui

107 Kajian lebih lanjut tentang aspek-aspek penting masyarakat agama, pemahaman diri, hubungan antar anggota, ukuran masyarakat agama, integrasi dalam masyarakat agama, struktur masyarakat agama, otoritas, serta semangat masya-rakat agama, hubungana dengan dunia luar dan solidaritas keagamaan, selanjutnya dapat dilihat dalam Djam’annuri, Ilmu Perbandingan Agama: Pengertian dan Objek Kajian (Yogyakarta: Kurnia Alam Semesta, 1998), hlm. 81- 96.

108 Telaah dan penjabaran lebih lanjut, dapat dilihat dalam Burhanuddin Daya, Agama Yahudi (Yogyakarta: Bagus Arafah, 1982), hlm. 240-241.

109 Nicholas De Lange, An Introduction of Judaism (Cambridge:

Cambridge Univ. Press, 2002), hlm.107.

penghaturan makanan kepada teman dan tetangga. Namun fokus tradisi keluarga ini adalah kebolehan minum-minum kemudian berparade dalam karnaval. Sepintas lalu seperti kontras bahwa sukacita perayaan adalah peringatan atas persekusi. Kontras berikutnya adalah pembolehan keluar dari ajaran agama untuk tidak memakai baju yang tidak peruntukan gendernya. Topeng wajah berwarna-warni menandai semaraknya peringatan konsep penderitaan itu dengan ciri mengudap ‘Haman’s pockets’, kue pastri yang diisi dengan pelbagai macam biji-bijian.

Konsep keluarga dan perayaan yang menyertainya dapat menjadi deskripsi konsep societalisasi. Bryan Wilson menjelaskan konsep dengan menekankan pada pergeseran cara pandang dengan latar masyarakat beragama di era modern dan sebelumnya.110 Tidak hanya konsep keluarga dan ritus, namun pandangan pada liturgi serta ortopraksis berupa keadilan dan kesetaraan gender, adalah objek studi yang dapat dijelaskan dengan tesis Wilson. Penanda perubahan masyarakat beragama sebelum era modern biasanya terdiri dari sekumpulan kecil masyarakat yang dapat berjumpa sehari-hari, sama sekali berbeda dengan perilaku anonim masyarakat modern. Proses sosial dan pranata sosial masyarakat modern berskala bukan lagi lokal dan personal, namun merambah pranata en masse.

Fakta sosial ini berujung pada perubahan mendasar pada problem identitas individu maupun kelompok keagamaan khususnya pada titik fokus bentuk- bentuk kehidupan yang

110 Michael S. Northcott, “Sociological Approaches” dalam Peter Connolly, Approaches to the Study of Religion (London:

Cassell, 1999), hlm. 216.

terkait dengan agama dan religi. Sama seperti masyarakat sebelum modernitas, Wilson mencatat aspek dapat dipercaya atau trust dan fidelity/kesetiaan sebagai aspek penting dalam tatanan sosial dan pemaknannya. Loyalitas pada kebajikan religious bukan perkara yang dianggap sambil lalu belaka atau dikesampingkan. Relasi dan peran di dalam pranata keluarga misalnya mendasarkan pondasi nilai-nilai lebih kepada aspektual religi.

Tesis Wilson melanjutkan diskontinuitas nilai.

Masyakat modern tidak lagi merujuk sepenuhnya pada nilai primordial dan personal yang membutuhkan seperangkat penyerta dan justifikasi agama, namun cenderung mempercayai bagaimana peran-peran sosial bersumber pada asumsi sekuleristik, berisi penawaran – permintaan, regulasi birokratis, kontrak serta teknis. Dengan penuh kehati-hatian, masyarakat modern dalam kacamata Wilson lebih terpaku pada wilayah non agama serta tidak terlalu menganggap penting tata peran sosial yang rumit.

Nilai yang muncul dari proses societalisasi adalah individuasi. Aspek berbasis individualisme ini kemudian mendorong arah pemisahan urusan agama dengan urusan profan. Pijakan rasionalitas manusia modern membuka arah cara-cara dan strategi pencapaian manusia yang kuasa menentukan arah berpikir untuk pemenuhan aspektual ekonomi sosialnya. Determinasi manusia rasional men-ciptakan celah kesenjangan antara justifikasi agama yang dianggap sebagai ancaman otonomi manusia modern.

Perspektif manusia dengan cara pandang Eropa sentris ini bukan tanpa kritisisme.

Manusia modern berada pada persimpangan jalan ketika berhadapan dengan asas religi dan di sisi lainnya dengan ekspresi otonomi. Jalan individuasi, seperti tesis Wilson mungkin berlaku pada eksposisi cara pandang Eropa. Namun menjelang dan setelah pergantian millennium memasuki abad ke-21, pandangan manusia otonom kemudian bertemu dengan konsep alienasi Marx dan Durkheim. Keterpinggiran kebutuhan religi sebagai ekses upaya individuasi manusia modern menuju capaian otonomi kemudian merebak dan menguatkan kembali kebutuhan dan persoalan atas agama. Demikian pula pranata keluarga tidak lagi menghadapi tesis Wilson yang mencatat relasi hitam-putih atas nilai- nilai tradisional dibandingkan dengan modernitas. Penganut Yudaisme menginsyafi bentuk reformasi agama sebagai salah satu solusi. Agama kemudian berubah fungsi dasar menjadi komoditas dan dekat dengan ekonomi-politik agama.

Pranata keluarga Yudaisme bukan lagi merasakan ekses proses modern dan pengelolaan manusia yang menjalankan ideologi otonomnya, namun lebih jauh dari itu dapat menjelaskan konsep kesadaran diri dengan memulai lentur pada perbedaan praktik agama dan kepercayaan atas tradisi-tradisi agama. Ekstensi momen Sabbath sekarang menjadi justifikasi kebaruan dengan memberikan tafsir lebih luas tidak hanya terkungkung dalam pranata agama. Masyarakat Yudaisme sebagai bagian arus modernitas meyakini aspek Pendidikan secara serius dengan mendirikan kelompok diskusi dan ilmu pengetahuan, sebagian lagi memulai asrama Pendidikan khusus untuk memperkuat nilai yang tetap dan

nilai-nilai yang bergeser. Sejumlah literatur menyebutkan era kebangkitan intelektual Yahudi di mana para generasi penerus tidak secara sadar menjalankan perintah agama dengan cara-cara ejawantah profan seperti keseriusan dalam dunia Pustaka, pengembangan pengetahuan dan penemuan ilmu-ilmu serta inovasi teknologi. Sebagian fakta pengetahuan di era milenial ini merupakan sumbangsih pranata Pendidikan Yudaisme, dalam terapan teknologi digital dan media sosial misalnya.

Institusi paling kentara berupa keluarga ini kemudian melakukan pelbagai pilihan sebagaimana tawaran gagasan Yudaisme pada Sekte Ortodoks, Konservatif dan Liberal-Reformatif. Sebagian menjadi tidak terlalu terikat pada aspek doktrin dan ritual tradisional, namun yang lain justru melalukan adaptasi, akulturasi dan inkulturasi dengan aspek kontinuitas jaman dan ruang ekspresi keagamaan.

Tesis Turner dapat dipinjam sebagai penjelas mengapa kemudian agama dan dinamika penafsirannya menjadi menguat. Turner menyebutnya sebagai resakralisasi.111 Ia adalah bentuk negosiasi dengan pranata kewargaan sebagai bagian dari kaum beriman yang tinggal di bawah otoritas negara dan dalam kaitannya dengan posisi umat beragama sebagai komunitas minoritas beragama.

Rites of Passage Yudaisme berkisar pada momen sukacita dan perkabungan. Lokus sebenarnya perayaan ritus kehidupan ini adalah di tempat ibadah seperti Sinagog dan melibatkan komunitas luas, namun fokus

111 Bryan S. Turner, Religion and Modern Society Citizenship, Secularisation and the State (New York: Cambridge, 2011), hlm. 5 & 178.

utamanya berada di tingkat keluarga. Penggambaran ini terlihat pada konsep rumah bagi Yudaisme sebagai aspek vital terkait bagian dari ritus kehidupan perkawinan.

Rumah dan keluarga adalah amanat wajib berdasarkan kitab suci Yudaisme seperti dalam Genesis 1: 28, yang mengisyaratkan pentingnya keluarga untuk membina hubungan positif dan meneruskan keturunan. Namun pranata ini juga menawarkan konsep kebahagiaan, kasih sayang dan harmoni.

Kecenderungan pertemuan praktek Yudaisme dengan dunia modern dan Kristen kemudian membentuk prosesi pernikahan dalam rangka membina keluarga di dalam lingkungan Sinagog. Di hadapan para Rabbi, kedua pasangan terberkati oleh pemuka agama dengan persaksian pranata keluarga, tetangga dan teman.

Dibandingkan dengan praktek sebelumnya dalam tradisi Yudaisme, pernikahan tidak harus secara resmi di hadapan para pemuka agama seperti di Sinagog, namun dapat secara luas di tempat-tempat di luar ruang ibadah. Rumah adalah lokus prosesi pernikahan sebelum kemudian belakangan perkembangan dengan pengaruh kekristenan menggeser pernikahan di altar tempat peribadatan. Terdapat huppah, semacam kanopi sekaligus kata huppa berarti pernikahan yang berdiri di rumah mempelai penganut Yudaisme.

Pranata pernikahan Yudaisme bagi kalangan Ortodoks berarti kesediaan untuk bersaksi di hadapan pemuka agama untuk ketubah, semacam dokumen pernikahan.

Selain kesediaan persaksian pernikahan dengan tempat dan tanggal nikah, dokumen berisi jumlah uang yang wajib

terbayar apabila terjadi perceraian. Kesanggupan ini tentu untuk menandai kesakralan pernikahan dan prakteknya dalam pembentukan pranata keluarga. Kata-kata verbatim dalam dokumen ketubah berisi janji suci “Saya berjanji sepenuhnya dengan dasar iman bahwa saya akan menjadi suami yang menghargai dan membahagianmu. Akan selalu upaya bersungguh-sungguh bekerja untuk menjaga dan mendukungmu. Sesuai kemampuan akan berjanji memenuhi apa yang menjadi kebutuhanmu sebagaimana seorang suami Yahudi wajib laksanakan.” Dalam praktek keagamaan di era modern, kalangan liberal-reformasi lebih memilih kesepakatan resiprokal yang menandai kesetaraan gender. Kelak dalam praktek-praktek religi, cara pandang dan perspektif, kaum Reformis berciri khas kelenturan atas doktrin, tradisi dan ritual tradisional Yudaisme.

Tanpa ketubah, secara legal formal pasangan Yudaisme tidak mendapatkan syarat penting untuk hidup bersama pasangannya membina mahlihai perkawinan.

Pranata pernikahan Yudiasme memberikan pen-jelasan kepada pengkaji agama tentang relasi pernikahan dengan praktek-ritual yang menyertainya. Bagi kedua mempelai, berpuasa sampai berakhirnya prosesi nikah merupakan anjuran ajaran agama. Terlebih ketika momen doa-doa, secara khusyuk pengantin menyampaikan pengakuan atas dosa-dosa yang telah dilakukan. Sebentuk kittel berupa tali-temali yang kelak akan dipakai saat tradisi Passover sampai kemudian menyertai saat kematian tiba menjadi persembahan pengantin. Ia menjadi tanda mengingat ritus kehidupan yang berakhir pada kematian.

Adapun Joachim Wach menyebut dua hal penting dalam hubungan individu-persekutuan agama ini. Pertama, pada dasarnya hakekat, kedalaman, ketahanan dan bentuk persekutuan keagamaan akan banyak bergantung pada cara para anggotanya menghayati hubungan mereka dengan Realitas Mutlak serta pada cara mereka mengalami persekutuan, membayangkan dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, dalam tiap-tiap persekutuan keagamaan, akan memperlihatkan diri sebagai sebuah mikrokosmos yang memiliki hukum, pandangan, sikap dan suasana kehidupan tersendiri. Djam’annuri menuliskan sifat-sifat agamis persekutuan keagamaan yang terlihat dalam berbagai kelompok kultus seperti “kahal”

dalam agama Yahudi, ummah dalam Islam maupun samgha dalam Buddha.112

Pranata, sebagaimana ditemukan dalam agama Yahudi dalam paparan di atas, ditegaskan aspek definifnya sebagai suatu sistem norma khusus. Deksripsi pranata dalam wilayah pendekatan sosiologis lebih menekankan pada bagaimana pengaruh pranata agama pada masyarakat.

Dengan mengamati pranata, maka kecenderungan penurunan relasional pranata atau sebaliknya peningkatan afinitas pranata dengan masyarakat beragama dapat teramati.113 Tata kelola yang ada dalam pranata dapat berupa serangkaian tindakan berpola dengan tujuan memenuhi

112 Djam’annuri, Ilmu Perbandingan Agama: Pengertian dan Objek Kajian (Yogyakarta: Kurnia Alam Semesta, 1998), hlm. 82-83.

113 Michael Northcott, “Sociological Approaches” dalam Peter Connolly, Approaches to the Study of Religion (London:

Cassell, 1999).

suatu keperluan khusus dari manusia dalam kehidupan masyarakat.114 Dalam dataran yang lebih kongkrit, pranata diuraikan dalam berbagai organisasi sosial yang memenuhi kebutuhan manusia. Menurut Dadang Kahmad, setiap hari manusia selalu melaksanakan interaksi antar sesama dalam rangka hidup bermasyarakat. Hubungan antara individu itu adakalanya berpedoman pada pola-pola hubungan yang resmi dan ada kalanya juga berpedoman pada pola-pola yang tidak resmi. Sistem wahana yang memungkinkan warga masyarakat itu melakukan interaksi dengan pola-pola resmi, dalam bahasa ilmu sosial disebut pranata (institution).

Kahmad selanjutnya mencatat bahwa pranata sosial yang berhubungan dengan kehidupan beragama dari suatu masyarakat tertentu meliputi segala pemenuhan kebutuhan anggota masyarakat tersebut dalam mengabdi kepada Tuhan. Dalam konteks kajian studi agama, bentuk-bentuk pranata dalam hubungannya dengan kehidupan beragama masyarakat dapat berupa ibadah, pendidikan agama, hukum agama, partai, ekonomi berbasis agama, keluarga, kehidupan sosial, pertahanan, ilmu pengetahuan, kesusastraan serta kesenian terkait agama tertentu.115 Dalam dimensi pengalaman keagamaan Yahudi, seperti telah dikemukakan terdahulu dalam bagian dimensi eksperiensial tentang pelbagai golongan dalam Yahudi,

114 Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama: Perspektif Ilmu Perbandingan Agama (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hlm.

61.

115 Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama: Perspektif Ilmu Perbandingan Agama (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hlm.

61-65.

maka dalam dimensi institusional, penggolongan pelbagai dimensi keagamaan menjadi terkait satu dimensi dengan lainnya, seperti halnya dengan ditemukan golongan Yahudi Parisi, yang menurut sebagian pengamat, lebih merupakan partai politik, ketimbang golongan atau mazhab.116 Dalam lintasan sejarah Yudaisme, kelembagaan Yahudi dapat dipastikan merujuk pada definisi ‘communitas’ menurut Victor Turner. Kelompok agama Parisi sebagai contoh adalah klaim relasional pemeluk Yudaisme yang berada di antara definisi ‘infinite’ dan ‘finite’ dalam pengalaman umat beragama. Komunitas pada definisi di luar Turner bukan lah definisi ‘communitas’. Ia lebih kepada margin yang memisahkan kelompok agama Parisi dari sekte atau golongan Yudaisme lainnya. Penanda atas Yudaisme menurut Parisi dengan demikian menghubungkan realitas sosial dan politik dengan aspektual klaim agama, sehingga persoalan politik dalam konteks Parisi sebenarnya bukan saja menunjukkan partisipasi dan aktivisme politik semata, namun terkait pula dengan atau dekat dengan klaim religi.

Namun pandangan yang lebih umum pada Parisi lebih menunjukkan afiliasi kepartaian yang kentara.

Dengan melihat dimensi pranata (institusional) serta sosial yang cukup luas cakupannya, maka beberapa aspek dari agama Yahudi yang dipraktekkan dan dianggap sebagai bentuk pranata dalam kehidupan masyarakat Yahudi dapat dikembangkan kemungkinan riset keagamaannya. Maksud utama dari ikhtisar studi agama Yahudi ini, adalah dapat sedekat-dekatnya menyediakan wahana referensi yang

116 Ahmad Shalaby, Agama Yahudi, terj. A. Wijaya (Jakarta:

Bumi Aksara, 1991), hlm. 224.

berfungsi sebagai stimulasi gagasan riset dengan berpijak pada peta konten agama Yahudi berupa konsep-konsep melalui pemakaian perspektif tipologi dimensi-dimensi agama.

Dimensi ritual-praktek, emosional, etis, doktrinal, filosofis, hukum, material dan sosial bukan bertujuan untuk mengkaji semua aspek dimensi secara bersamaan.

Dimensi ritual-praktek, emosional, etis, doktrinal, filosofis, hukum, material dan sosial bukan bertujuan untuk mengkaji semua aspek dimensi secara bersamaan.

Dokumen terkait