• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.6 Fotobioreaktor

2.6.2 Dinamika Fluida dalam FBR

Menurut Merchuk et al. (2002), terdapat beberapa parameter desain dan operasi yang mempengaruhi pola aliran liquid, solid dan gas dalam air lift reaktor (ALR), antara lain :

1. Gas input : input kecepatan gas yang diinjeksikan ke dalam reaktor.

2. Top clearance (CL) : jarak antara upper part draft tube (flens atas) dengan

3. Area ratio (Ad/Ar) : merupakan perbandingan antara luas permukaan

downcomer dengan riser.

4. Tinggi reaktor.

5. Bottom clearance : jarak antara dasar reaktor dengan tube gas input 6. Disain separator.

Parameter-parameter diatas merupakan variabel independen yang dapat diatur dalam rancangan awal reaktor. Variabel disain merupakan parameter awal yang dapat ditentukan dalam disain ALR, sedangkan variabel operasi merupakan rancangan awal kondisi percobaan yang akan dilakukan. Ilustrasi parameter desain dan proses diperlihatkan pada Gambar 9.

Bottom Clearance (Cb) Gas input Top Clearance (Cl) Tinggi Reaktor Ar Ad Ad Desain separator

Gambar 9 Komponen – komponen airlift fotobioreaktor (Merchuk et al. 2002) Hubungan antara variabel disain, variabel operasi dan variable hidrodinamik dapat digambarkan secara lengkap oleh Merchuk et al. 2002 pada Gambar 10.

Top Pressure Drop Bottom Pressure Drop Separator design Riser Hold Up Area Ratio Top Clearance Gas Input Reactor Height Separator Hold Up Liquid Velocity Friction Pressure Drop Viscosity Bottom Clearance Down Comer Hold Up Opeartion Variable Design Variable

Gambar 10 Hubungan antara variabel disain, variabel operasi dan variable hidrodinamik

Viskositas merupakan salah satu variabel penting dalam dinamika fluida dalam ARL, akan tetapi skema diatas menunjukkan bahwa viskositas bukan variabel independen yang dapat diatur, karena merupakan fungsi yang dipengaruhi gas hold-up

dan kecepatan cairan (liquid) dalam keadaan fluida non-newtonian. Pada saat proses reaktor berjalan viskositas juga akan berubah seiring berubahnya komposisi cairan Konfigurasi aliran:

Pada riser, gas dan liquid mengalir ke atas. Kecepatan gas pada umumnya lebih tinggi daripada kecepatan liquid, kecuali pada keadaan homogenous flow dimana gas dan liquid mengalir dalam kecepatan yang sama. Hal ini terjadi bila gelembung (bubble) yang sangat kecil terbentuk.

Pada downcomer, liquid mengalir dan membawa bubble kebawah. Agar ini terjadi, kecepatan liquid harus lebih besar dari kecepatan mengambang (free rise velocity) dari bubble. Jika kecepatan gas input kecil; drag force yang dihasilkan akan tidak mencukupi untuk melawan buoyancy, akibatnya terjadi feed back loop dalam

downcomer dan terjadi stratifikasi bubble. Diperlukan gas input dan rasio Ar/Ad yang tepat untuk membentuk aliran yang uniform dan tipe aliran yang diinginkan.

Gas separator. Disain geometris dari separator akan mempengaruhi banyaknya

bubble yang lepas dari riser. Disain gas separator yang diperlebar bertujuan untuk mengurangi kecepatan liquid dan menampung bubble yang terlepas.

Gas holdup. Gas holdup merupakan fraksi volumetrik gas dalam total dispersi

liquid, gas dan solid. Persamaannya ditunjukan oleh persamaan dibawah ini oleh Merchuk et al. (2002). [1]: Vl Vg Vs Vg i    (1)

Subindeks menunjukkan liquid, gas dan solid; sedangkan i menunjukkan area yang diamati. Gas holdup merupakan parameter penting karena (1) nilai gas holdup

menunjukkan indikasi potensi dari transfer massa, semakin besar nilai gas hold up

menunjukkan semakin besarnya area interfacial liquid-gas, (2) perbedaan nilai gas

holdup, riser dan downcomer menghasilkan driving force untuk sirkulasi liquid. Persamaan gas hold up dalam internal ALR ditunjukkan oleh persamaan 2 :

(

)

(

)

Ar

Ad

Jc

a

r

(2)

Dengan memasukkan persamaan untuk menghitung kecepatan superficial Jc, maka didapat persamaan 3 :

(

)

(

)

Ar

Ad

Ar

Q

a

r

(3) , , , a

merupakan konstanta yang disesuaikan disain geometri reaktor. Dengan menaikkan kecepatan superficial, nilai gas hold up juga akan meningkat, akan tetapi perlu diperhatikan bahwa konstanta

,

bernilai negatif, sehingga untuk menaikkan gas hold up, diperlukan perbadingan (Ad/Ar) yang semakin kecil. Persamaan di atas juga dapat menjelaskan pengaruh viskositas dari liquid, semakin besar nilai viskositas, nilai gas hold up akan semakin kecil.

Pengaruh Viskositas. Semakin rendah viskositas liquid, akan mempengaruhi nilai gas hold up yang cenderung semakin tinggi. Hal ini dapat disebabkan karena free rise velocity yang semakin meningkatkan nilai residence time.

Pengaruh top clearance. Percobaan yang dilakukan Merchuk et al. (2002) menunjukkan hasil, semakin rendah nilai top clearance, nilai gas hold up akan cenderung semakin meningkat.

Berdasarkan rangkungan studi pustaka tentang kreteria dan dinamika fluida di atas, beberapa referensi di bawah ini diharapkan dapat membantu kegiatan perakitan dan kegiatan operasional FBR.

1. Untuk membentuk homogenous bubbly flow, Inlet superficial gas velocity

pada riser sebaiknya dibawah 0.05 m/s, karena dengan menaikkan gas flow rate dapat merubah aliran menjadi slug flow, dimana buble yang cukup besar dan kapasitas mass transfer yang kecil akan terbentuk (Merchuk et al. 2000). 2. Superficial gas velocity (riser based) JG ) adalah 0.334 cm/s

3. Intensitas cahaya pada dinding reaktor adalah 250 íE/m2âs 4. Tinggi kolom adalah 1 m.

5. Rasio riser dan downcomer (Ar/Ad ) adalah 0.5

Adapun penelitian-penelitian yang berkaitan dengan topik penelitian yang telah dilaksanakan dan keluaran yang dihasilkan disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Penelitian dan metode serta hasil penelitian terkait novelty

No Peneliti Metode Hasil Penelitian

1. Molina et al.

(2001)

Membuat disain tubular photobioreactor untuk

mengkultur alga.

Volumenya 0,2 m3

dengan jenis mikroalga

phaeodactylum

tricornutum. Disain lebih

ditekankan kepada

mekanisme aliran,

percampuran massa gas dan tingkat radiasi sinar matahari

Dengan tubular photobioreaktor

dan jenis mikroalga

phaeodactylum tricornutum

mempunyai produktifitas 1,90 gram/liter/hari dengan dilution rate 0,04/hari. Kecepatan linier aliran 0,35 – 0,50 m/detik akan

meningkatkan produktifitas,

sedangkan kecepatan aliran

kurang dari nilai tersebut akan menyebabkan kematian mikroalga yang ada.

2 Yanlie et al.

(2006)

Memanfaatkan CO2 hasil

power plant batubara

dengan tipe

fotobioreaktor salah

satunya berbentuk L-

shaped glass plate

dengan luas area 2,16 m2,

memakai cahaya

matahari dan injeksi flue gas 11% CO2. Jenis

mikroalga yang dipakai chlorococcum, chlorella dan galdieria sp.

Dengan bentuk fotobioreaktor L- shaped glass plate, injeksi CO2

11% dan jenis mikroalga

chlorococcum mempunyai kemampuan terhadap temperatur 15-27oC, pH 4-5 dan toleransi CO2 > 70%, sedangkan chlorella

toleransi temperatur 15-45 oC, pH >7, CO2 > 60% (toleransi

temperatur tinggi), sedangkan galdieria mempunyai toleransi temperatur 50oC, ph 1-4 dan CO2

100% (toleransi suhu dan CO2

tinggi)

3 Chrismadha dkk

(2007)

Penelitian dengan

pemanfaatan fenomena

flashing light effect

untuk meningkatkan

efisiensi fotosintesis dalam kultur alga di fotobioreaktor tubular tegak . Jenis mikroalga

Ankistrodesmus

convulutus ditumbuhkan secara batch di dalam fotobioreaktor.

Uji coba dilakukan dengan

perlakuan variasi intensitas cahaya yang berbeda, yaitu sekitar 1200 luks, 2500 luks, dan 5500 luks, yang berasal dari sumber cahaya lampu TL 2 X 40 watt, 4 x 40 watt, dan 6 x 40 watt. Hasil percobaan memperlihatkan respon peningkatan produksi biomassa dan kandungan klorofil yang Iebih tinggi pada kultur alga dalam

reaktor sejalan dengan

meningkatnya intensitas cahaya.

4. Rahmania (2008) Melakukan uji coba

kultur mikroalga pada

fotobioreaktor untuk

menyerap CO2, baik

pada spesies air tawar

Konsentrasi CO2 sekitar 12%

dapat diturunkan dalam waktu sekitar 7 hari oleh spesies

maupun air laut dalam skala batch. Sumber gas input dari CO2 murni.

oleh spesies Chaetoceros sp

5. Sheng et al.

(2008)

Penelitian menggunakan

strain chlorella sp yang

cukup kental dengan

beberapa variasi CO2

pada semicontinuous

photobioreactor.

Selama 8 hari cultivation terjadi peningkatan biomass Chlorella

secara signifikan dengan berbagai variasi injeksi CO2. Konsentrasi

CO2 sebesar 2%, 5%, 10% dan 15% akan menurunkan CO2 sebesar 0,261, 0,316, 0,466 dan 0,573 gram/hari 6 REW’s Power Plant, di Bergheim- Niederaussem Jerman. (2008)

Penelitian ini baru

dimulai tahun 2008 dan berskala cukup besar.

Input yang dipakai

berasal dari REW’s

Power menggunakan

mikroalga di dalam upaya untuk mereduksi CO2. Fotobioreaktornya

menggunakan bahan

berdasar plastik yang bening dan kuat, tetapi tetap lentur, berbentuk V

Hasil penelitian menunjukkan

bahwa mikroalga dapat

mengurangi konsentrasi

CO2 yang diemisikan dari PLTU

E.On Ruhrgas 350 MW sebesar 1%.

7. Program Insentif

Dikti (2009)

Melakukan kultur

mikroalga dengan botol duran melalui spesies air laut yaitu Tetraselmis sp. dan Skeletonema sp.

yang dikultur dalam

skala batch,. Untuk gas input menggunakan CO2

murni.

Dalam waktu kultur selama 5 hari dengan skala batch, Tetraselmis

sp. mampu menurunkan

konsentrasi gas CO2 sebesar 8-9%

setara dengan 2.22 gr CO2..

Sedangkan Skeletonema sp. dalam mereduksi CO2 dengan pasokan

konsentrasi gas 10%, 8% dan 4%

CO2 telah mengakibatkan

kematian mikroalga setelah 2-3

hari masa kultur, yang

ditunjukkan oleh semakin

3

KARAKTERISTIK LOKASI DAN PERALATAN YANG

DIGUNAKAN UNTUK PENELITIAN

Dokumen terkait