• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

F. DINAMIKA

Presentasi diri seksual online merupakan perilaku foto diri berkonten seksual yang kemudian diunggah di situs jejaring sosial (Baumgartner et al., 2015). Konten seksual yang dimaksud dapat berupa postur atau pose tubuh yang seksi, berpakaian seksi, menampilkan tatapan atau ekspresi yang seksi, dan menampilkan bagian-bagian tubuh sehingga terlihat seksi (Van Oosten & Vandenbosch, 2017).

Penelitian-penelitian sebelumnya telah menemukan beberapa faktor yang berkaitan dengan perilaku presentasi diri seksual online. Pada aspek kepribadian terdapat kecenderungan histrionic, neuroticism yang tinggi, dan agreeableness yang rendah, extraversion sebagai moderator, dan kecenderungan impulsivitas. Pada aspek emosi terdapat need for popularity dan sensation seeking. Selain itu, terdapat pula faktor intensi, norma subjektif, media, dan relasi dengan teman sebaya.

Presentasi diri seksual online sebagai salah satu bentuk presentasi diri erat kaitannya dengan self-esteem yangmerupakan salah satu motivasi utama seseorang melakukan presentasi diri (Leary & Kowalski, 1990). Namun demikian, penelitian yang mempelajari kaitan self-esteem dan presentasi diri seksual online memberikan hasil yang berbeda-beda. Beberapa penelitian menemukan bahwa self-esteem

berkaitan dengan presentasi diri seksual online (Scholes-Balog et al, 2016; Ybarra & Mitchell, 2014). Bahkan penelitian tersebut menyebutkan bahwa self-esteem

berpotensi menjadi faktor protektif perilaku presentasi diri seksual online. Dengan demikian, memiliki self-esteem yang tinggi akan mengurangi probabilitas seseorang melakukan presentasi diri seksual online. Namun, penelitian lain menyebutkan bahwa self-esteem tidak ada kaitannya dengan presentasi diri online

(Gordon-Messer et al., 2013; Hudson & Fetro, 2015).

Jika ditelisik lebih lanjut, penelitian-penelitian yang mempelajari keterkaitan antara self-esteem dengan presentasi diri seksual online juga menggunakan pemahaman self-esteem yang dicetuskan oleh Rosenberg. Hal ini tampak dari alat ukur yang digunakan pada penelitian tersebut. Rosenberg

memahami self-esteem sebagai harga diri. Kelemahan dari pendekatan ini adalah adanya sifat heterogenitas pada self-esteem yang tinggi. Konsekuensi dari heterogenitas ini adalah self-esteem kurang mampu membedakan individu yang juga memiliki karakter-karakter seperti narsisistik, egoisme, defensivitas, dan permusuhan. Di sisi lain, presentasi diri seksual online (Walrave et al., 2013; Walrave et al., 2015)dan perilaku selfie secara umum (Kim et al., 2016) berkitan dengan narsisistik. Berdasarkan hal tersebut, peneliti berasumsi bahwa penelitian sebelumnya bersifat inkonklusif karena pemahaman self-esteem yang digunakan belum cukup akurat dalam memprediksi perilaku presentasi diri seksual online. Dengan demikian, dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan pendekatan lain yang lebih sesuai dengan konteks presentasi diri seksual online pada remaja yang telah ditemukan pada penelitian-penelitian sebelumnya.

Konsep self-esteem yang diduga memiliki hubungan yang lebih erat dengan kemunculan perilaku presentasi diri seksual online adalah contingent self-esteem

(Deci & Ryan, 1995). Contingent self-esteem merupakan salah satu tipe global self-esteem. Contingent self-esteem merujuk pada self-esteem yang bergantung pada sejauh mana seseorang dapat memenuhi standar atau harapan-harapan yang diberikan padanya. Dengan menggunakan konsep contingent self-esteem dapat diketahui seberapa jauh perasaan berharga seseorang bergantung pada hasil dari dari tindakan-tindakan yang bertujuan untuk memenuhi standar dan harapan-harapan orang lain yang diberikan padanya. Contingent self-esteem juga sangat berkaitan dengan kebutuhan akan penerimaan sosial. Seseorang dengan contingent

self-esteem yang tinggi menganggap bahwa penerimaan sosial bergantung pada sejauh mana mereka dapat memenuhi standar-standar yang diberikan padanya.

Pemilihan contingent self-esteem dalam penelitian ini juga didasarkan pada penelitian-penelitian sebelumnya tentang presentasi diri seksual online. Pertama, eksplorasi seksual dan penerimaan sosial merupakan motif utama presentasi diri seksual online. Dari segi perkembangan, salah satu indikator perhatian remaja pada aspek seksualnya adalah keinginan untuk tampil menarik (Shafer et al., 2013). Dalam prosesnya, remaja berusaha mencari informasi tentang apa yang pantas, tidak pantas, diharapkan, dan yang tidak diharapkan terkait identitas seksualnya. Sementara itu, kehidupan remaja saat ini juga sangat dekat dengan internet (Ahn, 2011) sehingga internet digunakan untuk mencari informasi tentang hal-hal yang terkait dengan seksualitas. Di sisi lain, internet, khususnya situs jejaring sosial, memfasilitasi remaja untuk menjadi “produsen” konten seksual dengan

mempresentasikan diri mereka secara seksual (Subrahmanyam & Smahel, 2010). Dengan demikian, presentasi diri seksual online merupakan usaha remaja untuk berkonformitas terhadap standar-standar sexual attractiveness yang berlaku. Ekplorasi seksual ini semakin intensif terjadi pada remaja yang usianya mendekati dewasa terkait dengan kebutuhan mereka untuk menarik sehingga diterima oleh lawan jenisnya (Van Oosten & Vandenbosch, 2017).

Kedua, bentuk presentasi diri yang diberikan seseorang juga bergantung pada karakteristik audiens (Baumgartner et al., 2015). Dengan demikian, untuk memahami presentasi diri seksual online perlu untuk membertimbangkan

audiensnya. Audiens utama remaja pada situs jejaring sosialnya adalah teman sebayanya. Penelitian terdahulu menemukan bahwa teman sebaya, termasuk pasangan, memiliki peran yang penting dalam presentasi diri seksual online

(Baumgartner et al., 2015; Cooper et al., 2016). Peranan teman sebaya berasal dari tekanan yang bersumber dari teman sebaya (peer pressure) dan norma teman sebaya (peer norms). Kedua hal tersebutterbukti mendorong seseorang melakukan presentasi diri seksual online. Dengan demikian, seseorang merasa perlu untuk melakukan presentasi diri seksual online karena adanya tekanan dari teman sebaya untuk melakukan hal tersebut.

Penelitian lain juga menunjukkan bahwa norma subjektif merupakan prediktor terkuat dari intensi untuk melakukan presentasi diri seksual online

(Walrave et al., 2013; Walrave, et al., 2015). Artinya, keinginan untuk melakukan presentasi diri seksual online muncul karena adanya ekspektasi-ekspektasi orang lain agar individu melakukan presentasi diri seksual online.

Melihat peran dari eksplorasi seksual, tekanan, dan norma yang teman sebaya yang penting, serta norma subjektif yang ditemukan sebagai prediktor, peneliti menduga bahwa contingent self-esteem juga berkaitan dengan perilaku presentasi diri seksual online. Penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa perilaku presentasi diri seksual online didorong oleh keinginan untuk memenuhi standar, ekspektasi, atau harapan orang lain (teman sebaya atau pasangan) yang diberikan padanya sehingga individu dapat mengalami penerimaan dan merasa menjadi bagian dari suatu kelompok (belongingness) (Baumgartner et al., 2015;

Cooper et al., 2016). Hal ini sejalan dengan konsep contingent self-esteem yang juga mensyaratkan penerimaan dari orang lain agar individu merasa dirinya berharga. Dengan demikian, konsep contingent self-esteem juga dapat menjelaskan perilaku presentasi diri seksual online. Secara spesifik, peneliti berasumsi bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara presentasi diri seksual online dan

contingent self-esteem.

Dokumen terkait