v
HUBUNGAN ANTARA PRESENTASI DIRI SEKSUAL
ONLINE
DAN
CONTINGENT SELF-ESTEEM
PADA REMAJA
Monica Jenifer SianditaABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah contingent self-esteem berlaku pula pada perilaku presentasi diri seksual online pada remaja. Hal ini dilakukan dengan metode kuantitatif dengan analisis statistik korelasi untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara presentasi diri seksual online dan contingent self-esteem pada remaja. Hipotesis utama dari penelitian ini adalah terdapat hubungan yang signifikan antara presentasi diri seksual online dan contingent self-esteem pada remaja. Responden dalam penelitian ini adalah remaja dengan rentang usia 14 hingga 25 tahun sebanyak 181 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara presentasi diri seksual online dengan contingent self-esteem (p<0,05).
vi
CORRELATION BETWEEN ONLINE SEXUAL
SELF-PRESENTATION AND CONTINGENT SELF-ESTEEM AMONG
ADOLESCENTS
Monica Jenifer Siandita ABSTRACT
The purpose of this study is to see whether contingent self-esteem also apply or not to online sexual self-presentation behavior in adolescent. This is done by quantitative method with correlational analysis to investigate whether there is significant correlation between online sexual self-presentation and contingent self-esteem among adolescents. The main hypothesis of this study is that there is a significant correlation between online sexual self-presentation and contingent self-esteem. Respondents are 181 teenagers between 14 to 25 years old. Results showed that there was significant correlation between online sexual self-presentation and contingent self-esteem (p<0,05).
HUBUNGAN ANTARA PRESENTASI DIRI SEKSUAL ONLINE DAN
CONTINGENT SELF-ESTEEM PADA REMAJA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Monica Jenifer Siandita
139114120
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
HALAMAN MOTTO
Nothing is more practical than
finding God, than
falling in Love
in a quite absolute, final way.
What you are in love with,
what seizes your imagination will affect
everything.
It will decide
what will get you out of bed in the
morning,
what you do with your evenings,
how you spend your weekends,
what you read, whom you know,
what breaks your heart,
and what amazes you with joy and
gratitude.
Fall in Love, stay in love,
and it will decide everything.
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya ini untuk yang tercinta
…
Papi,
Mami,
dan adikku Arvandita
serta malaikat-
malaikat kami…
Gias, Yohanes, Yakobus, dan Gemma
vii
HUBUNGAN ANTARA PRESENTASI DIRI SEKSUAL
ONLINE
DAN
CONTINGENT SELF-ESTEEM
PADA REMAJA
Monica Jenifer Siandita
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat contingent self-esteem berlaku pula pada perilaku presentasi diri seksual online pada remaja. Hal ini dilakukan dengan metode kuantitatif dengan analisis statistik korelasi untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara presentasi diri seksual online dan contingent self-esteem pada remaja. Hipotesis utama dari penelitian ini adalah terdapat hubungan yang signifikan antara presentasi diri seksual online dan contingent self-esteem pada remaja. Responden dalam penelitian ini adalah remaja dengan rentang usia 14 hingga 25 tahun berjumlah 181 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara presentasi diri seksual online dengan contingent self-esteem (p<0,05).
Kata kunci: contingent self-esteem, presentasi diri seksual online, remaja, self-esteem
viii
CORRELATION BETWEEN ONLINE SEXUAL
SELF-PRESENTATION AND CONTINGENT SELF-ESTEEM
AMONG ADOLESCENTS
Monica Jenifer Siandita
ABSTRACT
The purpose of this study is to see whether contingent self-esteem also apply or not to online sexual self-presentation behavior in adolescent. This is done by quantitative method with correlational analysis to investigate whether there is significant correlation between online sexual self-presentation and contingent self-esteem among adolescents. The main hypothesis of this study is that there is a significant correlation between online sexual self-presentation and contingent self-esteem. Respondents are 181 teenagers between 14 to 25 years old. Results showed that there was significant correlation between online sexual self-presentation and contingent self-esteem (p<0,05).
x
KATA PENGANTAR
Syukur dan terima kasih kepada Tuhan, Sang Penyelenggara Ilahi. Berkat kasih
dan penyertaan-Nya di setiap waktu sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan baik. Deus Meus Omnia Mea!
Tak lupa, penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Papi dan Mami, atas cinta tanpa syarat dan dukungan yang tak pernah putus hingga
saat ini. Menjadi anak Papi dan Mami adalah berkat yang luar biasa bagiku.
2. Adikku Arvandita, atas semangat yang luar biasa, waktu-waktu menyenangkan
penghilang penat, dan atas cerita serta mimpi dibagikan. Terima kasih sudah
melengkapiku Untuk malaikat-malaikat kami, Gias, Yakobus, Yohanes, dan
Gemma, terima kasih karena selalu berada di sisiku dan menjadi pendoa yang setia
bagi kami.
3. Beribu terima kasih untuk Mama Marcia dan Nenek yang memberikan semangat
dan dukungan bagiku untuk terus berkarya.
4. Dekan Fakultas Psikologi, Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si.
5. Bapak T. M. Raditya Hernawa, M. Psi selaku Dosen Pembimbing Akademik.
6. Pak C. Siswa Widyatmoko selaku dosen pembimbing skripsi dan istri Mbak Haksi
Mayawati sebagai supervisi, atas segala bimbingan dan pendampingannya selama
xi
7. Teman-temanku, Made Dewinta, Theresia Wira, Ladya Hapsari, dan I Gede Arya.
Terima kasih atas warna-warna yang kalian berikan selama masa perkuliahan ini.
See you on top! – Terima kasih yang spesial untuk Karunia Kusumojati yang selalu
bertanya kapan sidang dan untuk segala cara unik yang dilakukan untuk
memberikan semangat dan dorongan agar terus menulis.
8. Teman-teman Karya Tasih, Mbak Martha, Mbak Citra, Nana, Maria, Keket, Ana,
dan Dessy, atas sharing dan diskusi kita yang membantuku untuk semakin
mengenal dan menyayangi diriku seutuhnya. – Teman seperjuanganku, Kasita,
terima kasih sudah saling menguatkan selama tiga semester terakhir ini! God bless
you, Tita!
9. Teman-teman Psikologi USD 2013, terima kasih atas pengalaman dan
kebersamaannya selama kurang lebih 4 tahun ini. Keep fighting, guys! See you on
top!
10.Semua pihak yang bersedia membantu saya menyebarkan link kuesioner penelitian
skripsi ini dan untuk translator skala penelitian ini. Tanpa kalian semua, saya tidak
mungkin berada di titik ini. Terima kasih banyak!
11.Kalian yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu yang telah membantu dan
mendukung saya sepanjang perjalanan ini, terima kasih banyak. Berkat Tuhan
xii
Penulis sadar akan kekurangan-kekurangan yang ada dalam skripsi ini. Dengan
segala kerendahan hati, penulis terbuka akan segala kritik serta saran yang membuat
skripsi ini semakin bermanfaat bagi pembaca. Sekian dan terima kasih.
Yogyakarta, 21 Mei 2017
Penulis,
xiii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR SKEMA ... xviii
DAFTAR TABEL ... xix
DAFTAR LAMPIRAN ... xx
BAB I PENDAHULUAN ... 1
xiv
B. TUJUAN PENELITIAN ... 9
C. MANFAAT PENELITIAN ... 10
1. Manfaat Praktis ... 10
2. Manfaat Teoritis ... 10
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 11
A. SELF ... 11
B. SELF-ESTEEM ... 12
1. Definisi Self-Esteem ... 12
2. Dampak Self-Esteem ... 13
3. Keterbatasan Self-Esteem ... 15
C. CONTINGENT SELF-ESTEEM ... 17
1. Pemahaman Tentang Self ... 17
2. Definisi Contingent Self-Esteem ... 18
3. Perkembangan Contingent Self-Esteem ... 19
4. Dampak Contingent Self-Esteem ... 21
D. PRESENTASI DIRI SEKSUAL ONLINE ... 22
1. Definisi Presentasi Diri Seksual Online ... 22
2. Motif Presentasi Diri Seksual Online ... 23
3. Faktor Presentasi Diri Seksual Online ... 24
4. Konsekuensi Presentasi Diri Seksual Online ... 27
xv
1. Definisi Remaja ... 28
2. Tugas Perkembangan ... 29
F. DINAMIKA ... 30
G. SKEMA DINAMIKA VARIABEL ... 35
H. HIPOTESIS ... 37
BAB III METODE PENELITIAN ... 38
A. JENIS PENELITIAN ... 38
B. IDENTIFIKASI VARIABEL ... 38
C. DEFINISI OPERASIONAL ... 39
1. Presentasi Diri Seksual Online ... 39
2. Contingent Self-Esteem ... 40
3. Self-Estem ... 40
D. RESPONDEN PENELITIAN ... 41
E. PROSEDUR PENELITIAN... 42
F. METODE DAN ALAT PENGUMPUL DATA ... 43
1. Skala Sexy Online Self-Presentation ... 44
2. Skala Contingent Self-Esteem ... 46
3. Skala Single-Item Self-Esteem... 46
G. VALIDITAS DAN RELIABILITAS ALAT PENGUMPUL DATA .... 47
1. Validitas Alat Ukur ... 47
xvi
a. Skala Sexy Online Self-Presentation ... 48
b. Skala Contingent Self-Esteem ... 48
c. Skala Single-Item Self-Esteem... 49
H. METODE ANALISIS DATA ... 49
1. Uji Asumsi ... 49
2. Uji Hipotesis ... 50
3. Analisis Tambahan ... 50
BAB IV PEMBAHASAN ... 51
A. PELAKSANAAN PENELITIAN ... 51
B. DESKRIPSI HASIL PENELITIAN ... 51
1. Data Demografik ... 51
2. Presentasi Diri Seksual Online ... 53
3. Contingent Self-Esteem ... 54
4. Self-Esteem ... 54
C. ANALISIS DATA ... 55
1. Uji Asumsi ... 55
a. Normalitas ... 55
b. Linearitas ... 56
2. Uji Hipotesis ... 57
D. PEMBAHASAN ... 58
xvii
2. Keterbatasan Penelitian ... 63
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 64
A. KESIMPULAN ... 64
B. SARAN ... 64
xviii
DAFTAR SKEMA
Skema 1. Temuan penelitian sebelumnya ... 35
xix
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Skala dan Hasil Angket Terbuka ... 44
Tabel 2. Uji Reliabilitas Skala Sexy Online Self-Presentation ... 48
Tabel 3. Uji Reliabilitas Skala Contingent Self-Esteem ... 48
Tabel 4. Uji Reliabilitas Skala Single-Item Self-Esteem ... 49
Tabel 5. Deskripsi Usia Responden ... 51
Tabel 6. Deskripsi Jenis Kelamin, Suku, Agama, Tingkat Pendidikan, Lingkungan Tempat Dibesarkan, dan Ketertarikan Seksual Responden ... 52
Tabel 7. Deskripsi Tingkat Presentasi Diri Seksual Online Responden ... 53
Tabel 8. Deskripsi Karakteristik Presentasi Diri Seksual Online Responden ... 53
Tabel 9. Deskripsi Contingent Self-Esteem Responden ... 54
Tabel 10. Deskripsi Self-Esteem Responden ... 55
Tabel 11. Hasil Uji Normalitas ... 55
Tabel 12. Hasil Uji Linearitas antara Presentasi Diri Seksual Online, Contingent Self-Esteem, dan Self-Esteem ... 56
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Skala Penelitian ... 73
Lampiran 2.1. Uji Reliabilitas Skala Sexy Online Self-Presentation ... 80
Lampiran 2.2. Uji Reliabilitas Skala Contingent Self-Esteem ... 80
Lampiran 2.3. Uji Reliabilitas Skala Single-Item Self-Esteem ... 81
Lampiran 3. Uji Normalitas Tingkat Presentasi Diri Seksual Online, Contingent
Self-Esteem, dan Self-Esteem... 81
Lampiran 4.1. Uji Linearitas Tingkat Presentasi Diri Seksual Online dan Contingent
Self-Esteem ... 83
Lampiran 4.2. Uji Linearitas Tingkat Presentasi Diri Seksual Online dan Self-Esteem
... 84
Lampiran 5. Uji Spearman’s Rho Presentasi Diri Seksual Online dan Contingen
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Fenomena selfie, yaitu salah satu bentuk presentasi diri online berupa
perilaku mengunggah foto diri di media sosial, sudah marak sejak tahun 2013
(Rahmawati, Yusaini, & Nurwanti, 2014). Belakangan, muncul bentuk baru
perilaku selfie, yaitu selfie yang berkonten seksual. Secara spesifik, perilaku
mengunggah foto diri berkonten seksual di media sosial dapat disebut presentasi
diri seksual online (Baumgartner, Sumter, Peter, & Valkenburg, 2015). Konten
seksual tersebut dapat disajikan secara eksplisit maupun secara implisit, misalnya
melalui pose tubuh, ekspresi wajah, pakaian yang dikenakan, dan musik atau merek
yang digunakan (Bobkowsi, Shafer, & Ortiz, 2016).
Eksistensi fenomena ini terbukti dari studi-studi prevalensi tentang
presentasi diri seksual online sudah banyak dilakukan. Di Amerika terdapat 30,2%
remaja tahun yang melakukan presentasi diri seksual online (Gordon-Messer,
Bauermeister, Grodzinski, & Zimmerman, 2013). Studi pada 14.946 remaja tahun
di 20 negara Eropa menemukan bahwa secara umum 1%-5% remaja melakukan
presentasi diri seksual online (Baumgartner et al., 2014). Di Australia, survei
nasional yang dilakukan oleh Understanding Teenagers pada tahun 2010
menemukan bahwa 59% remaja Australia melakukan presentasi diri seksual online.
perempuan, terutama remaja dengan rentang usia 12 hingga 25 tahun (Klettke,
Hallford, & Mellor, 2014).
Di Indonesia, fenomena presentasi diri seksual online belum pernah diteliti
secara spesifik. Di sisi lain, peneliti sering kali menemukan foto diri bernuansa
seksual di situs jejaring sosial seperti Facebook dan Instagram. Berdasarkan
amatan peneliti, kebanyakan foto diri seksi tersebut diunggah oleh pengguna situs
jejaring sosial yang berusia remaja hingga dewasa awal. Meski belum teruji secara
ilmiah, hal ini menandakan bahwa perilaku presentasi diri seksual online mulai
menjadi hal populer yang dilakukan oleh remaja Indonesia. Beberapa majalah
populer remaja seperti ELLE Indonesia (2016) dan Kawanku Magazine (2015) juga
pernah melansir pose-pose presentasi diri seksual online. Pose-pose yang menjadi
trend antara lain, foto dengan pinggul yang sedikit menungging (Pramudita, 2016),
meletakkan jari di samping mulut dengan ekspresi seksi (fingermouthing)
(Shidqiyyah, 2016), berpose sambil memajukan bibir (duck face), menampakkan
ekspresi seksi dengan sedikit membuka mulut (fish gape) (Silaban, 2015; Setyanti,
2015) dan sambil melebarkan mata (sparrow face) (Soeparyono, 2015). Melihat
kesenjangan antara fenomena yang tertangkap oleh peneliti di lapangan dan kajian
ilmiah terkait presentasi diri seksual online di Indonesia, maka peneliti terdorong
untuk mempelajari lebih lanjut mengenai perilaku presentasi diri seksual online
yang dilakukan oleh remaja Indonesia.
Sama halnya dengan perilaku selfie, presentasi diri seksual online juga telah
diri seksual online dapat menimbulkan perilaku meminta, memohon, atau
memengaruhi orang lain untuk melakukan tindakan seksual dengan iming-iming
dan tujuan tertentu, atau disebut sexual solicitations (Mitchell, Filkenhor, & Wolak,
2007) dan perilaku seksual yang lebih beresiko (Bobkowski, Brown, & Neffa,
2012), seperti melakukan hubungan seksual tanpa pengaman (Benotsch, Snipes,
Martin, & Bull, 2013; Crimmins & Seigfried-Spellar, 2014; Dake, Price, Marziarz,
& Ward, 2012) dan melakukan hubungan seksual dengan beberapa pasangan
(Benotsch et al., 2013). Hal ini didorong oleh presentasi diri seksual online yang
kerap dianggap sebagai bentuk menggoda (flirting) (Benotsch et al., 2013). Selain
itu, presentasi diri seksual online juga terkait dengan perilaku beresiko lain, seperti
mengkonsumsi narkoba (Benotsch et al., 2014; Ybarra & Mitchell, 2014), alkohol,
dan obat-obat terlarang (Dake et al., 2012). Resiko lain yang bisa muncul adalah
menjadi sasaran empuk bagi predator seksual (Sarabia & Estevez, 2016). Selain itu,
semakin sering remaja melakukan presentasi diri seksual online, maka konsep diri
seksual cenderung mendominasi keseluruhan identitasnya (Shafer, Bobkowski, &
Brown, 2013; Van Oosten & Vandenbosch, 2017). Tak hanya bagi pelaku, individu
yang kerap melihat foto diri yang seksi juga terkena dampak yang serupa.
Menyadari berbagai konsekuensi negatif ini, maka penting untuk mengetahui
faktor-faktor lain yang berhubungan dengan perilaku presentasi diri seksual online.
Sejauh ini, penelitian sebelumnya telah mempelajari tentang motivasi
seseorang melakukan presentasi diri seksual online (Englander, 2012; Henderson
motif utama seseorang melakukan presentasi diri seksual online, yaitu keinginan
untuk tampil menarik dan mendapatkan penerimaan sosial. Selain itu, banyak pula
penelitian yang berfokus pada anteseden perilaku. Variabel anteseden yang pernah
diteliti berkisar pada faktor demografis (Benotsch et al., 2013; Gordon-Messer et
al., 2013), kepribadian (Baumgartner et al., 2015; Baumgartner et al., 2014;
Crimmins & Seigfried-Spellar, 2014; Delevi & Weisskirch, 2013; Kerstens &
Stool, 2014), tekanan sosial dan faktor teman sebaya (Baumgartner et al., 2015;
Kim, Lee, Sung, & Choi, 2016; Walrave et al., 2015), serta depresi (Dake et al.,
2012; Gordon-Messer et al., 2013).
Variabel prediktor lain yang pernah diteliti adalah self-esteem
(Gordon-Messer et al., 2013; Hudson & Fetro, 2015; Scholes-Balog, Francke, & Hemphill,
2016; Ybarra & Mitchell, 2014). Hasilnya, pada beberapa penelitian tidak
ditemukan hubungan antara presentasi diri seksual online dengan self-esteem
(Gordon-Messer et al., 2013; Hudson & Fetro, 2015), namun pada penelitian lain
ditemukan bahwa self-esteem yang rendah merupakan prediktor dari presentasi diri
seksual online (Scholes-Balog et al., 2016; Ybarra & Mitchell, 2014). Tampak
bahwa hasil penelitian yang mempelajari kaitan antara presentasi diri seksual
online dengan self-esteem masih bervariasi. Dengan demikian, hubungan antara
presentasi diri seksual online dan self-esteem belum dapat disimpulkan.
Peneliti berasumsi bahwa variasi hasil yang terjadi antara presentasi diri
seksual online dan self-esteem terjadi salah satunya disebabkan oleh pendekatan
hubungan antara self-esteem dengan presentasi diri seksual online menggunakan
skala Rosenberg Self-Esteem (RSE) (Gordon-Messer et al., 2013; Hudson & Fetro,
2015; Scholes-Balog et al., 2016; Ybarra & Mitchell, 2014) yang dikembangkan
oleh Morris Rosenberg pada tahun 1965. Hal ini tidak mengherankan mengingat
RSE memang menjadi skala self-esteem yang paling banyak digunakan (Campbell
& Foddis, 2003). Mengacu pada skala yang dipakai, maka konsep self-esteem yang
digunakan dalam penelitian sebelumnya merujuk pada perasaan positif atau negatif
seseorang terhadap dirinya (Rosenberg, 1965). Self-esteem dipahami sebagai
perasaan seseorang tentang seberapa berharga (worth) dirinya. Berdasakan hal ini,
self-esteem menurut Rosenberg menekankan pada aspek harga diri. Mruk (2006)
mengungkapkan bahwa memahami self-esteem sebagai harga diri akan membawa
kita pada kesimpulan bahwa self-esteem bukanlah atribut psikologis yang
signifikan pada suatu perilaku. Jika didapatkan hasil yang signifikan pun, akan sulit
mengurai self-esteem untuk mendapatkan hasil yang jelas mengenai hubungan
antara self-esteem dengan suatu perilaku. Hal ini salah satunya disebabkan oleh
sifat heterogenitas dalam self-esteem. Self-esteem rendah berkaitan dengan perilaku
negatif, sedangkan self-esteem yang tinggi berkaitan dengan konsekuensi perilaku
yang negatif maupun positif. Dengan demikian, untuk perilaku-perilaku yang
cenderung bersifat negatif, sulit mendapatkan gambaran self-esteem yang
konklusif.
Dampak ini tampak pula pada penelitian antara self-esteem dengan
kelemahan dari definisi yang diungkapkan oleh Rosenberg, banyak peneliti yang
kemudian mengembangkan konsep self-esteem. Dengan demikian, muncul
berbagai skala yang dianggap mampu mengukur self-esteem dengan lebih baik.
Pada penelitian ini, peneliti mempertimbangkan pula temuan-temuan sebelumnya
tentang presentasi diri seksual online untuk menentukan konsep self-esteem mana
yang akan digunakan.
Brown dan Marshall (2013, dalam Racy, 2015) dan Mruk (2006)
merekomendasikan pendekatan tipe-tipe self-esteem. Berdasarkan pendekatan ini,
self-esteem dianggap sudah mulai terbentuk sejak awal dan selanjutnya akan
memengaruhi evaluasi diri dan perasaan harga diri yang dimiliki oleh individu.
Salah satu konsep self-esteem yang bertolak dari pendekatan ini dikemukakan oleh
Deci dan Ryan (1995). Menurut Deci dan Ryan (1995), self-esteem yang terbentuk
merupakan respon atas pengasuhan dari significant others. Jika seorang anak
dibesarkan dengan cinta tak bersyarat, maka ia akan cenderung mengembangkan
self-esteem yang sehat atau true self-esteem (Deci & Ryan, 1995). Sebaliknya, jika
sejak kecil orangtua dan significant others lainnya menitikberatkan pada
pencapaian hasil-hasil tertentu pada anak atau memberikan cinta dengan syarat
tertentu, maka anak akan menangkap bahwa kasih sayang, perhatian, dan dukungan
akan ia dapatkan jika dirinya berhasil mencapai hasil-hasil tertentu yang diinginkan
orang lain terhadapnya. Dengan demikian, self-esteem yang dimiliki akan
self-esteem). Dengan kata lain, seseorang akan merasa berharga apabila dirinya mampu
memenuhi syarat atau standar tertentu yang dikenakan padanya.
Secara lebih rinci, contingent self-esteem didefinisikan sebagai perasaan
keberhargaan diri yang didapatkan, atau bahkan bergantung pada keberhasilan
mencapai standar tertentu, atau dengan menjalani kehidupan sesuai dengan harapan
orang lain yang ditetapkan bagi dirinya (Deci & Ryan,1995). Berdasarkan definisi
tersebut, penilaian orang lain terhadap individu ikut memengaruhi self-esteem yang
ia miliki. Oleh karena itu, seseorang dengan contingent self-esteem akan terus
menerus menampakkan perilaku yang kiranya sesuai dengan harapan orang lain
dalam rangka melakukan validasi terhadap perasaan keberhargaan dirinya. Dengan
demikian, dalam konteks contingent self-esteem, penerimaan sosial menjadi
penting untuk meningkatkan atau mempertahankan self-esteem.
Berdasarkan definisi yang telah dipaparkan sebelumnya, contingent
self-esteem kiranya merupakan konsep self-esteem yang lebih cocok pada perilaku
presentasi diri seksual online. Hal ini didukung dengan temuan-temuan berikut.
Pertama, presentasi diri seksual online muncul karena adanya eksplorasi seksualitas
sebagai salah satu tugas perkembangan pada remaja. Hal ini termanifestasi dalam
berbagai aktivitas seksual, termasuk terlibat dalam relasi romantis. Dalam
eksplorasinya, remaja mengacu pada standar sexual attractiveness. Hal ini
dilakukan karena remaja ingin mendapatkan penerimaan, baik dari teman sebaya,
atau dari lawan jenis yang berpotensi menjadi pasangan mereka. Jika penerimaan
Kedua, penelitian yang menggunakan Theory of Planned Behavior (TPB)
menemukan bahwa intensitas atau keinginan untuk melakukan suatu perilaku
merupakan prediktor yang kuat pada presentasi diri seksual online (Kim et al.,
2016; Walrave et al., 2015). Dari ketiga komponen anteseden intensitas, norma
subjektifditemukan sebagai prediktor terkuat dari keinginan melakukan presentasi
diri seksual online. Ajzen (2011) menjelaskan norma subjektif sebagai tekanan
sosial yang dirasakan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku.
Norma subjektif berawal dari normative beliefs yang merujuk pada anggapan
individu tentang perilaku yang diharapkan padanya untuk dilakukan. Dalam hal ini,
normative beliefs bisa muncul dari orangtua, teman, pasangan, atau orang lain yang
dianggap penting bagi individu. Kekuatan dari normative beliefs ditentukan oleh
seberapa besar motivasi individu untuk mematuhi norma-norma tersebut. Interaksi
antara normative beliefs dan motivasi untuk mematuhi (motivation to comply)
inilah yang kemudian memunculkan norma subjektif. Jika dikaitkan dengan
contingent self-esteem, keduanya sama-sama terkait dengan pencapaian individu
pada standar atau norma yang ditetapkan oleh orang lain pada dirinya. Peneliti
berasumsi bahwa individu melakukan presentasi diri seksual online karena adanya
tekanan dari orang lain untuk melakukan hal tersebut yang sekaligus sebagai cara
untuk meningkatkan atau mempertahankan self-esteem yang dimilikinya karena
dengan cara tersebut individu mendapatkan penerimaan sosial.
Ketiga, penelitian lain menunjukkan bahwa norma teman sebaya, termasuk
presentasi diri seksual online (Baumgartner et al., 2015; Englander, 2012;
Henderson & Morgan, 2011; Jewell & Brown, 2013; Welrave et al. 2013). Perilaku
remaja sangat dipengaruhi oleh norma teman sebaya sebab teman sebaya
merupakan kelompok referensi terpenting bagi remaja. Dengan demikian, jika
teman sebaya melakukan suatu perilaku tertentu, maka remaja akan merasa bahwa
dirinya juga perlu untuk melakukan perilaku tersebut. Hal ini juga terkait dengan
penerimaan sosial, di mana remaja memiliki kebutuhan untuk diterima di dalam
kelompok sebayanya (Santrock, 2011). Penerimaan sosial juga menjadi bagian
penting dalam konsep contingent self-esteem. Oleh karena itu, contingent
self-esteem tampaknya lebih tepat digunakan mengingat sifat remaja yang perilakunya
banyak dipengaruhi oleh norma teman sebaya agar mendapatkan penerimaan
sosial.
Berdasarkan temuan-temuan yang telah dipaparkan, peneliti berasumsi
bahwa contingent self-esteem juga berhubungan dengan presentasi diri seksual.
Dengan kata lain, hipotesis dari penelitian ini adalah terdapat hubungan yang
signifikan antar tingkat presentasi diri seksual online dengan contingent
self-esteem. Berlandaskan pada data prevalensi sebelumnya, maka responden yang akan
digunakan adalah remaja dengan rentang usia 12 sampai 25 tahun.
B. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara
C. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoretis
Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
tentang presentasi diri seksual online. Melihat hasil penelitian sebelumnya
tentang presentasi diri seksual online dan self-esteem yangmasih memberikan
hasil yang inkonklusif, maka diharapkan hasil penelitian ini dapat diketahui
apakah tingkat contingent self-esteem dapat berlaku pada perilaku presentasi
diri seksual online.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan masukan
bagi para orangtua, guru, psikolog, dan pemerhati remaja dalam menanggapi
perilaku presentasi diri seksual online yang mulai tumbuh di Indonesia. Secara
lebih spesifik, hasil penelitian ini dapat memberikan ide intervensi dengan
melibatkan self-esteem bagi individu yang melakukan presentasi diri seksual
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. SELF
Self adalah hasil interaksi antara persepsi dan pengalaman yang membentuk
keseluruhan properti yang dimiliki individu (Novak, Vallacher, Tesser, &
Borkowski, 2000). Seiring dengan interaksi individu dengan lingkungan yang
terjadi sepanjang hidupnya, self juga merupakan proses yang terjadi terus menerus
(Deci & Ryan, 1995). Self memiliki keterkaitan dengan identitas sebagai nilai-nilai
mendasar yang dimiliki seseorang yang mengarahkan pilihan-pilihan yang diambil
olehnya (Leary & Tangney, 2012). Individu dapat memilih sendiri identitasnya,
misalnya mengadopsi identitas yang dimiliki orangtua atau budaya dan
kebiasaan-kebiasaan yang dominan di lingkungannya. Sayangnya, terkadang
identitas-identitas ini tidak sejalan dengan true self individu. Sebaliknya, individu yang
memiliki identitas-identitas yang sejalan dengan true self-nya mampu menghidupi
nilai yang sungguh-sungguh diyakininya sehingga dapat mencapai tujuan yang
bermakna bagi dirinya.
Studi dalam psikologi membagi self dalam tiga aspek besar yang saling
berinteraksi, yaitu: (1) cognitive self, (2) affective self, dan (3) executive self
(Sedikes & Spencer, 2011). Cognitive self atau sering disebut sebagai self-concept
terdiri atas segala sesuatu yang diketahui individu tentang dirinya, seperti nama,
berkaitan dengan emosi, yaitu berupa afek dan evaluasi seseorang yang
memunculkan reaksi emosi dan memengaruhi pikiran dan perilakunya. Perbedaan
individual terkait afek yang muncul atas evaluasi dirinya disebut self-esteem.
Executive self adalah aspek self yang berupa kemampuan untuk meregulasi dan
mengontrol pikiran dan tindakannya. Executive self seringkali dipahami pula
sebagai regulasi diri. Meskipun tampaknya self hanya terdiri atas tiga aspek besar,
pada kenyataannya self memiliki mekanisme yang sangat kompleks dan saling
berkaitan satu dengan yang lainnya (Myers & Twenge, 2010).
B. SELF-ESTEEM
1. Definisi Self-Esteem
Self-esteem merupakan atribut psikologi yang kompleks dan
kontroversial (Mruk, 2006; Racy, 2015). Selain kompleks, konsep ini juga
cukup kontroversial karena belum ada persetujuan antarpeneliti tentang
definisinya (Mruk, 2013). Munculnya berbagai pandangan terhadap self-esteem
tak lain karena perbedaan aspek yang dilihat oleh peneliti dalam mempelajari
self-esteem (Bosson & Swan, 2009).
Menurut Rosenberg (1965), self-esteem adalah perasaan positif atau
negatif seseorang terhadap dirinya secara keseluruhan. Selanjutnya,
Coopersmith (dalam Emler, 2001) mendefinisikan self-esteem sebagai evaluasi
diri individu. Evaluasi tersebut akan menggambarkan sikap positif atau negatif
bahwa dirinya memiliki kemampuan, sukses, dan berharga. Secara singkat,
self-esteem merupakan evaluasi individu mengenai harga dirinya yang tercermin
lewat sikap individu tersebut terhadap dirinya. Self-esteem juga dipandang
sebagai penilaian individu terhadap dirinya (Baumeister, Campbell, Krueger,
& Vohs, 2003).
Berdasarkan pengertian di atas, Rosenberg mendefinisikan self-esteem
sebagai aspek afektif, sedangkan Coopersmith (dalam Emler, 2001) dan
Baumeister dan kawan-kawan (2003) memahami self-esteem sebagai aspek
kognitif yaitu berupa evaluasi diri. Mengacu pada pemahaman self-esteem yang
digunakan pada penelitian presentasi diri seksual online yang ada, maka
penelitian ini menggunakan definisi self-esteem yang diungkapkan oleh
Rosenberg. Jadi, self-esteem adalah perasaan positif atau negatif seseorang
terhadap dirinya secara keseluruhan. Makin tinggi self-esteem seseorang maka
semakin positif perasaannya terhadap dirinya, semakin ia merasa bahwa dirinya
berharga, dan sebaliknya.
2. Dampak Self-Esteem
Memiliki self-esteem yang rendah merupakan prediktor dari perilaku
seksual beresiko, penggunaan narkoba, pengangguran, prestasi akademik yang
buruk, dan tindakan kekerasan (Leary, 1999). Self-esteem yang rendah sebagai
indikator kesehatan mental yang buruk semakin diperteguh dengan
dijadikannya sebagai salah satu kriteria untuk diagnosis klinis Bipolar pada
Rosenberg dan Owens (2001, dalam Mruk, 2006) menemukan bahwa
individu dengan self-esteem rendah cenderung hipersensitif, kurang stabil,
kurang percaya diri, lebih fokus untuk menghindari ancaman dibandingkan
melakukan aktualisasi diri dan menikmati hidup, serta cenderung mengambil
tindakan yang kurang beresiko.
Sebaliknya, self-esteem yang tinggi merupakan salah satu indikator
kesehatan mental (Brown, 2010). Self-esteem mampu bertindak sebagai
penyanggah (Mruk, 2006). Artinya, self-esteem yang tinggi membantu
seseorang untuk menghadapi masalah dan terus berfungsi dan bertumbuh
meskipun sedang cemas atau stres. Selain itu, self-esteem yang tinggi juga
terkait dengan kebahagiaan dan dapat membantu memecahkan masalah
pekerjaan yang membutuhkan inisiatif dan ketekunan. Self-esteem yang tinggi
juga terkait dengan perilaku-perilaku prososial dan kepuasan relasi.
Namun demikian, penelitian-penelitian selanjutnya mendapati bahwa
memiliki self-esteem yang tinggi, artinya merasa bahwa dirinya berharga, juga
terkait dan konsekuensi negatif, seperti tindak kekerasan, kecenderungan
narsisistik, depresi terutama pada anak-anak, kecenderungan meletakkan
keyakinan pada sesuatu yang kurang nyata, sering terpengaruh pada social
desireability, rasionalisasi, egoistis, dan defensif (Mruk, 2006; Racy, 2015).
Selain itu, self-esteem yang tinggi juga tumpang tindih dengan sifat kepribadian
3. Keterbatasan Self-Esteem
Temuan dua kutub yang dipaparkan sebelumnya disebut sifat
heterogenitas dalam self-esteem yang juga dipercaya menimbulkan banyak
kebingungan dalam mempelajari self-esteem dan kaitannya dengan perilaku
tertentu. Sifat heterogenitas tersebut juga ditemukan pada subjek remaja
(Kwan, Kuang, & Hui, 2009) telah membuktikan bahwa self-esteem yang
bersifat heterogen juga terjadi pada remaja. Penelitian lain yang membuktikan
adanya sifat heterogenitas dari self-esteem pernah dilakukan oleh Schneider dan
Turkat (1975, dalam Baumeister et al., 2003) yang menemukan bahwa individu
dengan self-esteem tinggi disertai skor yang tinggi pada skala self-deception
cenderung bersifat defensif. Hal ini disebabkan karena individu tersebut
berusaha menyesuaikan dirinya dengan social desireability masyarakat.
Penelitian Kernis dan Waschull (1995, dalam Baumeister et al., 2003)
menemukan bahwa individu dengan tingkat self-esteem yang tinggi namun
tidak stabil juga memperoleh skor hostility yang cenderung tinggi. Sebaliknya,
individu yang memiliki self-esteem yang tinggi dan stabil memperoleh skor
hostility yang cenderung rendah. Selanjutnya, sebagian individu yang memiliki
self-esteem tinggi juga memiliki tingkat narsisistik yang tinggi, sedangkan
sebagian lainnya tidak. Hal ini disebabkan karena mereka memiliki
kecenderungan self-positivity bias. Artinya, individu tersebut memiliki
penilaian yang cenderung sangat positif terhadap dirinya. Hal ini berdampak
Berdasarkan temuan-temuan tersebut, Baumeister dan kawan-kawan
(2003) menyimpulkan bahwa di satu sisi, memiliki self-esteem yang tinggi
terkait dengan atribut yang positif, seperti martabat, kehormatan, dan
conscientiousness, namun di sisi lain juga terkait dengan atribut yang negatif,
seperti permusuhan, narsisisme, dan agresi. Dengan demikian, pandangan
self-esteem sebagai harga diri kurang dapat membedakan individu dengan atribut
psikologis seperti permusuhan, narsisisme, dan agresi, dengan individu yang
tidak atau kurang memiliki atribut psikologis tersebut (Mruk, 2006; Campbell
& Foddis, 2003). Akibatnya, penelitian yang bertujuan untuk mempelajari arah
dan hubungan antara self-esteem dengan perilaku tertentu yang tidak konklusif
masih didapati hingga kini. Hal ini diperkuat oleh temuan Niel Smelser (1989,
dalam Mruk, 2006) yang melakukan review literatur dan mendapati bahwa
keterkaitan antara self-esteem dengan konsekuensi yang diharapkan dalam
suatu penelitian bersifat tidak signifikan, membingungkan, atau bahkan tidak
ada keterkaitan sama sekali. Nicholas Emler juga melakukan hal yang sama
pada tahun 2001 di Inggris dan mendapati hal yang serupa tentang self-esteem
dan kaitannya dengan perilaku tertentu.
Selain itu, konsep self-esteem sebagai harga diri juga bermasalah pada
tataran praktis. Baumeister, Smart, dan Boden (1996, dalam Mruk, 2006)
mengungkapkan bahwa implikasi praktis dari konsep self-esteem sebagai harga
diri adalah individu dapat mencapai self-esteem yang tinggi dengan cara yang
Nyatanya, beberapa penelitian yang bertujuan meningkatkan self-esteem
dengan cara memberikan pujian sehingga individu merasa berharga tidak
memberikan konsekuensi perilaku yang diharapkan (Mruk, 2006).
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
memandang self-esteem sebagai harga diri memiliki masalah teoretis dan
praktis sehinggakurang akurat dalam memprediksi suatu perilaku. Ferris, Lian,
Brown, dan Keeping (2009) menyimpulkan bahwa bukti-bukti empiris yang
membingungkan terkait self-esteem dan perilaku tertentu mengindikasikan
kebutuhan untuk memahami self-esteem dengan lebih luas, salah satunya
adalah dengan melihat sifat kontingensi dari self-esteem.
C. CONTINGENT SELF-ESTEEM
1. Pemahaman tentang Self
Deci dan Ryan (1995) memandang self dengan menekankan pada aspek
proses. Self dipandang sebagai suatu proses integrasi identitas yang dilakukan
individu secara terus menerus. Selain itu, proses terbentuknya self didorong
oleh kebutuhan akan otonomi, kompetensi, dan keterikatan. Kebutuhan akan
otonomi adalah kebutuhan untuk memiliki kehendak bebas untuk mengikuti
nilai dan ketertarikannya dalam berperilaku. Otonomi membuat seseorang
memiliki kontrol terhadap dirinya. Kebutuhan akan kompetensi berkaitan
akan keterikatan berkaitan dengan keinginan seseorang untuk berinteraksi,
memiliki hubungan, dan memberikan perhatian pada orang lain.
Proses integrasi ini juga dipengaruhi oleh interaksi individu dengan
lingkungannya. Lingkungan sosial yang mendukung akan memfasilitasi
perkembangan self seseorang. Sebaliknya, lingkungan sosial yang tidak
mendukung akan mengganggu proses terbentuknya self sehingga menghambat
seseorang dalam memenuhi kebutuhan otonomi, kompetensi, dan keterikatan.
Dengan kata lain, true self akan terbentuk apabila individu berhasil
mengintegrasikan perilakunya dengan kebutuhan otonomi, kompetensi, dan
keterikatannya.
2. Definisi Contingent Self-Esteem
Deci dan Ryan (1995) menegaskan bahwa memiliki tingkat self-esteem
(sebagai worthiness) yang tinggi tidak selalu menunjukkan kesehatan
psikologis yang baik. Motivasi seseorang melakukan perilaku yang beresiko
dan tidak sehat dapat dipahami dengan lebih baik dengan memandang
self-esteem sebagai atribut psikologis yang stabil atau tidak stabil. Self-esteem yang
bersifat stabil disebut dengan istilah true self-esteem, dan self-esteem yang
kurang stabil disebut dengan istilah contingent self-esteem.
Konsep contingent self-esteem berakar dari konsep self, terutama
self-determination atau determinasi diri. Determinasi diri terkait dengan motivasi
seseorang dalam melakukan suatu perilaku. Seseorang dengan determinasi diri
keingintahuan, aspirasi, dan passion. Seseorang yang memiliki determinasi diri
juga merasa bahwa dirinya berharga. Self-esteem sudah melekat padanya tanpa
harus memenuhi harapan-harapan yang berasal dari luar dirinya. Oleh karena
itu, individu dengan true self-esteem tidak mendasarkan self-esteem-nya pada
faktor-faktor eksternal, kesuksesan material, dan penerimaan orang lain.
Tidak semua perilaku yang didasarkan pada keinginan seseorang
(intensi) merupakan cerminan dari determinasi diri. Banyak pula intensi yang
muncul karena adanya tekanan, paksaan, atau kontrol yang bersumber dari
faktor-faktor di luar diri individu. Individu yang perilakunya cenderung
digerakkan oleh faktor-faktor eksternal inilah yang disebut memiliki contingent
self-esteem. Contingent self-esteem merujuk pada self-esteem yang bergantung
pada sejauh mana seseorang dapat memenuhi standar atau harapan-harapan
yang diberikan padanya. Dengan demikian, self-esteem merupakan fungsi dari
pencapaian faktor-faktor ekstrinsik, misalnya penerimaan dari orang lain,
popularitas, tampilan diri yang menarik, atau uang.
3. Perkembangan Contingent Self-Esteem
Munculnya self-esteem yang cenderung bersifat kontingen dapat
bermula sejak masa kanak-kanak (Deci & Ryan, 1995). Jika sejak kecil
orangtua, guru, dan significant others lainnya sudah menitikberatkan pada
pencapaian hasil-hasil tertentu pada anak, maka ia akan menangkap bahwa
kasih sayang, perhatian, dan dukungan akan didapatkan jika berhasil mencapai
akan merasa disayangi ketika ia pintar, cerdas, atau menarik. Hal ini sejalan
dengan penelitian yang membuktikan bahwa anak dengan contingent
self-esteem merasa bahwa ketika dirinya gagal, orangtuanya tidak menyanginya,
dan jika mereka berhasil mencapai sesuatu, orangtuanya kembali
menyayanginya (Assor et al., 2004, dalam Kernis, 2006).
Sebaliknya, true self-esteem akan berkembang jika anak mendapatkan
dukungan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar psikologisnya. Hal ini
dilakukan dengan cara memberikan perhatian tanpa syarat kepada anak,
mendukung kemandirian anak, dan memfasilitasi pengembangan kompetensi
anak. Penelitian yang dilakukan oleh Kasser, Ryan, Zax, dan Sameroff (1995,
dalam Kernis 2006) juga menunjukkan hal yang sama. Mereka menemukan
bahwa anak yang ibunya selalu memberikan perhatian tanpa syarat dan
mendukung kemandiriannya akan tumbuh menjadi remaja yang kurang
materialistik dan memiliki kemampuan adaptasi yang lebih baik.
Deci dan Ryan (1995) menyimpulkan bahwa sejauh mana seseorang
mengembangkan true self-esteem atau contingent self-esteem bergantung pada
dua hal. Pertama, keinginan dalam diri seseorang untuk memenuhi kebutuhan
psikologisnya berupa otonomi, kompetensi, dan keterikatan. Jika individu sejak
kecil mampu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar psikologisnya,
maka ia akan cenderung merasa aman dengan dirinya dan merasa bahwa dirinya
memang berharga, sehingga self-esteem-nya cenderung stabil. Kedua, sejauh
kebutuhan psikologisnya. Apabila sejak kecil lingkungan sosial anak
mendukungnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar psikologisnya,
maka anak cenderung akan memiliki self-esteem yang stabil dan dapat
berfungsi secara otentik dan memiliki kesehatan psikologis yang baik. Dengan
demikian, jika kedua hal ini dapat berinteraksi dengan baik dan saling
mendukung, maka seseorang akan cenderung untuk mengembangkan true
self-esteem.
4. Dampak Contingent Self-Esteem
Semakin tinggi tingkat contingent self-esteem, maka harga diri individu
akan semakin tergantung pada pencapaiannya dan bagaimana orang lain
memandang dirinya. Mereka berusaha secara terus menerus untuk mencapai
suatu standar tertentu untuk memvalidasi keberhargaan dirinya. Bagi individu
yang memiliki true self-esteem, uang dan popularitas tidak begitu penting dan
bukan merupakan sumber self-esteem-nya. Mereka memiliki aspirasi dan
tujuan, serta bekerja keras untuk mencapai aspirasi dan tujuan yang dimiliki.
Jika tujuannya tercapai, maka mereka akan merasa senang. Sebaliknya, jika
gagal mencapai tujuan, maka mereka juga akan merasa sedih dan kecewa.
Perbedaannya, individu dengan true self-esteem tetap merasa dirinya berharga
meskipun mengalami kegagalan dan tidak menjadi pribadi yang cenderung
D. PRESENTASI DIRI SEKSUAL ONLINE
1. Definisi Presentasi Diri Seksual Online
Presentasi diri seksual secara online didefinisikan sebagai perilaku foto
diri berkonten seksual yang kemudian dikirim melalui handphone, e-mail, dan
alat-alat teknologi lain (Crimmins & Seigfried-Spellar, 2014) atau diunggah ke
media sosial (Baumgartner et al., 2015). Konten seksual dalam foto diri tersebut
bisa ditampilkan secara eksplisit (foto telanjang atau hampir telanjang) maupun
secara implisit (pose tubuh seksi, pakaian yang seksi, ekspresi yang seksi)
(Bobkowski et al., 2016).
Presentasi diri seksual secara online juga sering disebut sebagai sexting
(Bobkowski et al., 2016; Baumgartner et al., 2015; Dake et al., 2012; Klettke
et al., 2014). Namun, dari review penelitian yang dilakukan oleh Gomez dan
Ayala (2014), definisi sexting masih sangat bervariasi dan tumpang tindih
dengan pengertian presentasi diri seksual online sehingga perlu adanya kajian
lebih lanjut mengenai definisi presentasi diri seksual online. Selain itu,
penelitian yang dilakukan oleh Lenhart pada tahun 2009 melibatkan penerima
konten seksual dalam definisinya. Sedangkan, penelitian ini berfokus pada
individu yang melakukan foto diri berkonten seksual, bukan penerima dari foto
diri tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini akan menggunakan istilah
2. Motif Presentasi Diri Seksual secara Online
Cooper, Quayle, Jonsson, dan Svedin (2016) melakukan review
penelitian tentang presentasi diri seksual online. Terdapat dua motif utama
seseorang melakukan presentasi diri seksual online yang saling berkaitan, yaitu:
a. Eksplorasi seksual. Layaknya identitas, aspek seksual juga diekplorasi oleh
remaja. Hal ini berujung pada keinginan untuk mendapatkan penerimaan,
perhatian, dan umpan balik yang positif dari teman sebayanya. Hal ini
berguna untuk pembentukan identitas seksualnya. Khususnya bagi individu
pada usia akhir remaja, peluang untuk melakukan presentasi diri seksual
semakin besar. Presentasi diri seksual online merupakan tanda kesiapan
seseorang untuk melakukan aktivitas seksual dan menjalin hubungan yang
intim.
b. Mendapatkan penerimaan sosial dari teman sebaya. Presentasi diri seksual
online dianggap sebagai salah satu norma atau standar untuk mencapai
popularitas dan penerimaan. Secara spesifik, individu ingin mencapai
sexual attractiveness sehingga ia berusaha terlihat seksi dan menggoda.
Presentasi diri seksual online juga ditujukan pada individu lain yang
berpotensi menjadi pasangannya. Hal ini sekaligus menjadi salah satu
strategi remaja perempuan untuk mencapai popularitas di antara remaja
3. Faktor Presentasi Diri Seksual Online
Peneliti telah merangkum hasil dari beberapa penelitian tentang
faktor-faktor yang terkait dengan presentasi diri seksual secara online. Secara umum,
terdapat dua faktor, yaitu faktor intrapersonal dan faktor interpersonal.
a. Faktor intrapersonal
o Kepribadian
Individu yang melakukan presentasi diri seksual secara online
memiliki kepribadian yang cenderung histrionik (Ferguson, 2011).
Faktor kepribadian lain berupa kombinasi antara kecenderungan
neoriticism yang tinggi dan agreeableness yang rendah (Benotsch et al.,
2013; Delevi & Weisskirch, 2013). Sedangkan Bobkowski dan
kawan-kawan (2016) menemukan extraversion sebagai moderator perilaku
presentasi diri seksual secara online. Selain itu, penelitian yang
dilakukan oleh Dir, Cyder, dan Coskunpinar (2014) menunjukkan
adanya kecenderungan impulsivitas pada individu yang melakukan
presentasi diri seksual secara online.
o Emosi
Secara emosi, perilaku presentasi diri seksual secara online
terkait dengan kebutuhan akan popularitas (Baumgartner et al., 2015).
Presentasi diri seksual secara online merupakan salah satu cara remaja
untuk mendapatkan popularitas di antara teman sebayanya. Faktor
dimediasi oleh dorongan seksual yang mulai dialami dan dieksplor oleh
remaja. Selain itu, depresi juga terkait dengan presentasi diri seksual
secara online. Remaja yang mengalami depresi merasa dicintai atau
diperhatikan ketika ia melakukan presentasi diri seksual secara online.
o Self-esteem
Beberapa penelitian menemukan bahwa self-esteem merupakan
prediktor dari presentasi diri seksual online (Scholes-Balog et al., 2016;
Ybarra & Mitchell, 2014). Bahkan penelitian tersebut menyebutkan
bahwa self-esteem berpotensi menjadi faktor protektif perilaku
presentasi diri seksual online. Dengan demikian, memiliki self-esteem
yang tinggi akan mengurangi probabilitas seseorang melakukan
presentasi diri seksual online. Namun, penelitian lain menyebutkan
bahwa self-esteem tidak ada kaitannya dengan presentasi diri online
(Gordon-Messer et al., 2013; Hudson & Fetro, 2015).
o Norma subjektif
Penelitian yang menggunakan TPB sebagai kerangka teori
mengungkapkan bahwa intensi merupakan prediktor yang kuat pada
individu yang melakukan presentasi diri seksual secara online (Kim et
al., 2016; Walrave et al., 2013; Walrave et al., 2015). Intensi itu sendiri
muncul karena adanya sikap yang positif terhadap perilaku presentasi
diri seksual secara online, memiliki sumber daya yang mendukung
hal tersebut, norma subjektif merupakan prediktor terkuat dari intensi
untuk melakukan presentasi diri seksual secara online. Norma subjektif
merujuk pada tekanan sosial yang dirasakan seseorang untuk
melakukan suatu perilaku. Pada konteks ini, tekanan sosial biasanya
muncul dari teman sebaya dan pasangan.
b. Faktor interpersonal
o Relasi
Sejauh ini, penelitian banyak berfokus pada relasi dengan teman
sebaya. Hal ini terkait dengan norma yang dimiliki oleh teman sebaya
(Baumgartner et al., 2015; Jewell & Brown, 2013). Selain itu, gaya
kelekatan dengan teman sebaya yang ambivalen juga terkait dengan
perilaku presentasi diri seksual secara online (Crimmins &
Seigfried-Spellar, 2014).
o Media
Penelitian yang dilakukan oleh Bobkowski dan kawan-kawan
(2016) menemukan bahwa media dengan konten seksual berperan
sebagai mediator munculnya perilaku presentasi diri seksual secara
online. Selain itu, media sosial yang memungkinkan seseorang
melakukan interaksi dengan orang asing, misalnya Tinder, juga
memiliki keterkaitan dengan munculnya presentasi diri seksual secara
4. Konsekuensi Presentasi Diri Seksual Online
Peneliti melakukan review terhadap beberapa penelitian dan
menemukan tiga masalah yang berpotensi timbul dari perilaku presentasi diri
seksual online.
a. Perilaku beresiko
Presentasi diri seksual online dapat menimbulkan konsekuensi perilaku
seksual beresiko seperti sexual solicitations (Mitchell et al., 2007),
berhubungan seksual tanpa pengaman dan berganti pasangan (Benotsch et
al., 2013; Crimmins & Siegfried-Spellar, 2014; Dake et al., 2012), dan
berganti-ganti pasangan (Bobkowski et al., 2012). Perilaku lain adalah
penggunaan narkoba (Benotsch et al., 2013; Ybarra & Mitchell, 2014),
alkohol, dan obat-obat terlarang (Dake et al., 2012).
b. Individu yang melakukan perilaku presentasi diri seksual online rentan
menjadi sasaran bagi para predator seksual (Sarabia & Estevez, 2016) dan
rentan menjadi korban cyberbullying (Livingstone & Smith, 2014).
c. Memengaruhi konsep diri.
Semakin sering remaja melakukan presentasi diri seksual secara online,
maka identitasnya akan didominasi oleh konsep diri seksual. Tak hanya
bagi pelaku, individu yang kerap melihat foto diri yang seksi juga
cenderung akan mengalami perubahan sikap terhadap seksualitas dan
perubahan konsep diri yang didominasi oleh aspek seksualitas (Van Oosten,
E. REMAJA
Penelitian-penelitian sebelumnya menemukan bahwa presentasi diri
seksual online dilakukan baik oleh remaja awal maupun remaja akhir menjelang
dewasa awal. Dir dan kawan-kawan (2012), Lenhart (2009), serta Mitchell dan
kawan-kawan (2012) melakukan penelitian presentasi diri seksual online pada
remaja dengan rentang usia 12 hingga 18 tahun.
Di sisi lain, penelitian yang dilakukan oleh Benotsch dan kawan-kawan
(2013), Gordon-Messer dan kawan-kawan (2012), serta Hudson (2011)
menemukan bahwa presentasi diri seksual online dilakukan oleh remaja dengan
rentang usia 18-25 tahun yang hampir seluruhnya adalah mahasiswa. Penelitian
oleh Englander (2012) hanya menggunakan sampel dengan usia 18 tahun.
1. Definisi Remaja
Curtis (2015) menelisik kembali penelitian-penelitian tentang rentang
usia remaja yang ditemukan berbeda-beda dan menyusunnya kembali
disesuaikan dengan temuan penelitian dan teori perkembangan. Tahapan
remaja yang disebut sebagai masa transisi dependensi anak-anak menuju
independensi kedewasaan dimulai pada usia 11 tahun hingga 25 tahun.
Terdapat dua subtahap remaja, yaitu remaja awal dan dewasa muda.
Subtahap remaja awal dimulai pada usia 11 tahun hingga 13 tahun. Salah satu
tanda awal seseorang memasuki usia remaja adalah pubertas yang biasanya
terjadi kurang lebih di umur 11 tahun. Usia 13 tahun merupakan akhir dari
yang lebih tinggi sehingga dianggap akan memasuki tahapan remaja. Tahap
remaja dimulai pada umur 14 tahun hingga 17 tahun. Di usia ini seseorang
memasuki jenjang pendidikan SMA dan mengalami perubahan psikososial
yang signifikan. Individu mulai memiliki pola penalaran yang dewasa.
Meskipun demikian, mekanisme penalaran mereka bersifat fluktuatif sebagai
akibat dari pengaruh faktor-faktor eksternal, seperti teman sebaya.
Subtahap selanjutnya adalah dewasa muda dengan rentang usia 18
hingga 25 tahun. Di usia ini seseorang telah lulus SMA dan di akhir usia ini
rata-rata individu telah lulus dari universitas. Individu juga mulai mendapat
berbagai otoritas yang legal di mata hukum dan mulai dituntut untuk mandiri
secara sosial dan ekonomi.
2. Tugas Perkembangan
Secara umum, terdapat tiga aspek besar tugas-tugas perkembangan
remaja (Subrahmanyam & Smahel, 2010). Pertama terkait aspek seksualitas.
Remaja perlu menyesuaikan diri dengan perkembangan seksualitasnya, baik
secara biologis maupun secara psikologis. Hal ini lazim disebut dengan
eksplorasi seksualitas. Semakin bertambahnya usia remaja, maka semakin
besar peluang baginya untuk melakukan berbagai eksplorasi seksual. Remaja
memiliki ketertarikan dan dorongan seksual yang lebih besar dibandingkan
dengan tahun perkembangan sebelumnya. Sebagai akibatnya, muncul berbagai
aktivitas seksual yang dilakukan termasuk mencari pasangan dan terlibat dalam
mendapatkan perhatian yang cukup besar dan melalui relasi ini remaja merasa
terdukung.
Kedua, pembentukan identitas. Dalam hal ini, eksplorasi dan komitmen
sangatlah penting untuk membentuk identitas yang sehat. Identitas yang sehat
hendaknya stabil dan koheren sehingga membuat individu merasa nyaman dan
aman dengan identitasnya tersebut. Pada masa remaja, individu masih
melakukan berbagai eksplorasi identitas. Identitas yang stabil dan koheren
biasanya akan terbentuk pada usia akhir dewasa muda.
Ketiga, membangun keterhubungan dan keintiman. Remaja
menghabiskan banyak waktunya dengan teman sebaya dan pasangannya.
Seiring seorang remaja makin mandiri dan jauh dari orangtua, ia membutuhkan
kedekatan dengan teman sebaya dan menginginkan hubungan yang intim
dengan teman dan pasangannya. Hal ini diikuti dengan kecenderungan remaja
untuk membuka dirinya sehingga sering kali ditemui remaja yang lebih terbuka
pada teman atau pasangannya dibandingkan dengan orangtuanya.
F. DINAMIKA
Presentasi diri seksual online merupakan perilaku foto diri berkonten
seksual yang kemudian diunggah di situs jejaring sosial (Baumgartner et al., 2015).
Konten seksual yang dimaksud dapat berupa postur atau pose tubuh yang seksi,
berpakaian seksi, menampilkan tatapan atau ekspresi yang seksi, dan menampilkan
Penelitian-penelitian sebelumnya telah menemukan beberapa faktor yang berkaitan
dengan perilaku presentasi diri seksual online. Pada aspek kepribadian terdapat
kecenderungan histrionic, neuroticism yang tinggi, dan agreeableness yang
rendah, extraversion sebagai moderator, dan kecenderungan impulsivitas. Pada
aspek emosi terdapat need for popularity dan sensation seeking. Selain itu, terdapat
pula faktor intensi, norma subjektif, media, dan relasi dengan teman sebaya.
Presentasi diri seksual online sebagai salah satu bentuk presentasi diri erat
kaitannya dengan self-esteem yangmerupakan salah satu motivasi utama seseorang
melakukan presentasi diri (Leary & Kowalski, 1990). Namun demikian, penelitian
yang mempelajari kaitan self-esteem dan presentasi diri seksual online memberikan
hasil yang berbeda-beda. Beberapa penelitian menemukan bahwa self-esteem
berkaitan dengan presentasi diri seksual online (Scholes-Balog et al, 2016; Ybarra
& Mitchell, 2014). Bahkan penelitian tersebut menyebutkan bahwa self-esteem
berpotensi menjadi faktor protektif perilaku presentasi diri seksual online. Dengan
demikian, memiliki self-esteem yang tinggi akan mengurangi probabilitas
seseorang melakukan presentasi diri seksual online. Namun, penelitian lain
menyebutkan bahwa self-esteem tidak ada kaitannya dengan presentasi diri online
(Gordon-Messer et al., 2013; Hudson & Fetro, 2015).
Jika ditelisik lebih lanjut, penelitian-penelitian yang mempelajari
keterkaitan antara self-esteem dengan presentasi diri seksual online juga
menggunakan pemahaman self-esteem yang dicetuskan oleh Rosenberg. Hal ini
memahami self-esteem sebagai harga diri. Kelemahan dari pendekatan ini adalah
adanya sifat heterogenitas pada self-esteem yang tinggi. Konsekuensi dari
heterogenitas ini adalah self-esteem kurang mampu membedakan individu yang
juga memiliki karakter-karakter seperti narsisistik, egoisme, defensivitas, dan
permusuhan. Di sisi lain, presentasi diri seksual online (Walrave et al., 2013;
Walrave et al., 2015)dan perilaku selfie secara umum (Kim et al., 2016) berkitan
dengan narsisistik. Berdasarkan hal tersebut, peneliti berasumsi bahwa penelitian
sebelumnya bersifat inkonklusif karena pemahaman self-esteem yang digunakan
belum cukup akurat dalam memprediksi perilaku presentasi diri seksual online.
Dengan demikian, dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan pendekatan lain
yang lebih sesuai dengan konteks presentasi diri seksual online pada remaja yang
telah ditemukan pada penelitian-penelitian sebelumnya.
Konsep self-esteem yang diduga memiliki hubungan yang lebih erat dengan
kemunculan perilaku presentasi diri seksual online adalah contingent self-esteem
(Deci & Ryan, 1995). Contingent self-esteem merupakan salah satu tipe global
self-esteem. Contingent self-esteem merujuk pada self-esteem yang bergantung pada
sejauh mana seseorang dapat memenuhi standar atau harapan-harapan yang
diberikan padanya. Dengan menggunakan konsep contingent self-esteem dapat
diketahui seberapa jauh perasaan berharga seseorang bergantung pada hasil dari
dari tindakan-tindakan yang bertujuan untuk memenuhi standar dan
harapan-harapan orang lain yang diberikan padanya. Contingent self-esteem juga sangat
self-esteem yang tinggi menganggap bahwa penerimaan sosial bergantung pada
sejauh mana mereka dapat memenuhi standar-standar yang diberikan padanya.
Pemilihan contingent self-esteem dalam penelitian ini juga didasarkan pada
penelitian-penelitian sebelumnya tentang presentasi diri seksual online. Pertama,
eksplorasi seksual dan penerimaan sosial merupakan motif utama presentasi diri
seksual online. Dari segi perkembangan, salah satu indikator perhatian remaja pada
aspek seksualnya adalah keinginan untuk tampil menarik (Shafer et al., 2013).
Dalam prosesnya, remaja berusaha mencari informasi tentang apa yang pantas,
tidak pantas, diharapkan, dan yang tidak diharapkan terkait identitas seksualnya.
Sementara itu, kehidupan remaja saat ini juga sangat dekat dengan internet (Ahn,
2011) sehingga internet digunakan untuk mencari informasi tentang hal-hal yang
terkait dengan seksualitas. Di sisi lain, internet, khususnya situs jejaring sosial,
memfasilitasi remaja untuk menjadi “produsen” konten seksual dengan mempresentasikan diri mereka secara seksual (Subrahmanyam & Smahel, 2010).
Dengan demikian, presentasi diri seksual online merupakan usaha remaja untuk
berkonformitas terhadap standar-standar sexual attractiveness yang berlaku.
Ekplorasi seksual ini semakin intensif terjadi pada remaja yang usianya mendekati
dewasa terkait dengan kebutuhan mereka untuk menarik sehingga diterima oleh
lawan jenisnya (Van Oosten & Vandenbosch, 2017).
Kedua, bentuk presentasi diri yang diberikan seseorang juga bergantung
pada karakteristik audiens (Baumgartner et al., 2015). Dengan demikian, untuk
audiensnya. Audiens utama remaja pada situs jejaring sosialnya adalah teman
sebayanya. Penelitian terdahulu menemukan bahwa teman sebaya, termasuk
pasangan, memiliki peran yang penting dalam presentasi diri seksual online
(Baumgartner et al., 2015; Cooper et al., 2016). Peranan teman sebaya berasal dari
tekanan yang bersumber dari teman sebaya (peer pressure) dan norma teman
sebaya (peer norms). Kedua hal tersebutterbukti mendorong seseorang melakukan
presentasi diri seksual online. Dengan demikian, seseorang merasa perlu untuk
melakukan presentasi diri seksual online karena adanya tekanan dari teman sebaya
untuk melakukan hal tersebut.
Penelitian lain juga menunjukkan bahwa norma subjektif merupakan
prediktor terkuat dari intensi untuk melakukan presentasi diri seksual online
(Walrave et al., 2013; Walrave, et al., 2015). Artinya, keinginan untuk melakukan
presentasi diri seksual online muncul karena adanya ekspektasi-ekspektasi orang
lain agar individu melakukan presentasi diri seksual online.
Melihat peran dari eksplorasi seksual, tekanan, dan norma yang teman
sebaya yang penting, serta norma subjektif yang ditemukan sebagai prediktor,
peneliti menduga bahwa contingent self-esteem juga berkaitan dengan perilaku
presentasi diri seksual online. Penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa
perilaku presentasi diri seksual online didorong oleh keinginan untuk memenuhi
standar, ekspektasi, atau harapan orang lain (teman sebaya atau pasangan) yang
diberikan padanya sehingga individu dapat mengalami penerimaan dan merasa
Cooper et al., 2016). Hal ini sejalan dengan konsep contingent self-esteem yang
juga mensyaratkan penerimaan dari orang lain agar individu merasa dirinya
berharga. Dengan demikian, konsep contingent self-esteem juga dapat menjelaskan
perilaku presentasi diri seksual online. Secara spesifik, peneliti berasumsi bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara presentasi diri seksual online dan
contingent self-esteem.
G. SKEMA DINAMIKA VARIABEL
Skema 1. Temuan penelitian sebelumnya
REMAJA
Mencapai standar