• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Pencegahan Berbasis Lingkungan terhadap Penyebaran Penyakit Demam Berdarah Dengue di Propinsi DKI Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Pencegahan Berbasis Lingkungan terhadap Penyebaran Penyakit Demam Berdarah Dengue di Propinsi DKI Jakarta"

Copied!
182
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

ARIF SUMANTRI. Environmental Based Prevention on The Haemorhagic Fever Dissemination in The DKI Jakarta Province. Under the Direction of HASIM, BAMBANG PRAMUDYA, and SRI BUDIARTI.

Dengue Haemorhagic Fever (DHF) is one of the national problem which not yet overcome till in this time. The root cause the increasing of cases amount of DBD in Indonesia for example because; high resident mobility and densit, good progressively interregional transportation, and also the existence of new settlement. Other factor which influence the happening of KLB is deviation of rain pattern, season factor, society behavioral of irrigate traditionally, lack of society participation in eradication of mosquito den (PSN), lack of knowledge of society concerning symptom of DBD and delay bring to service of health. Other cause is the lack of coordination pass by quickly sector, spread over mosquito vektor of Aedes aegypti in all fatherland, existence of four virus serotype which is rotating during the year and also delay of prevention of KLB.

Pursuant to global average value of AHP priority from target alternative in stakeholder level, principal and factor from highest to lowest is Law enforcement (P) equal to 0.48, Monitoring and Enableness of society (N) equal to 0.227, Development of crop conducting anti mosquito (M) equal to 0.152, Socializing culture of PHBS (O) equal to 0.104, and Precaution (L) equal to 0.043, with index inconsistency equal to 0.055.

Supporting preventive program of DBD at optimis-moderat scenario hence recommended by society participation entangling followed by the efforts socialization, campaign, movement cymbal and counselling to society, make-up of role of housewife with improvement of knowledge concerning preventive efforts of DBD through cadres of PKK, officer of PSN and officer of other volunteer, development of crop conducting anti mosquito and gift of reward for everybody which is movement activity of development of crop conducting anti mosquito for the prevention of DBD.

(2)

PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE DI

PROVINSI DKI JAKARTA

ARIF SUMANTRI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam d i s e r t a s i s a y a y a n g b e r j u d u l " M O D E L P E N C E G A H A N B E R B A S I S L I N G K U N G A N T E R H A D A P P E N Y E B A R A N P E N Y A K I T D E M A M B E R D A R A H D E N G U E D I P R O V I N S I D K I J A K A R T A " merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.

Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Juni 2008

(4)

Penuyakit Demam Berdaraah Dengue di Provinsi DKI Jakarta. Dibimbing oleh HASIM sebagai ketua, BAMBANG PRAMUDYA, dan SRI BUDIARTI sebagai anggota.

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah nasional yang belum teratasi hingga saat ini. Penyebab utama meningkatnya jumlah kasus DBD di Indonesia antara lain karena; kepadatan dan mobilitas penduduk yang tinggi. Selain itu semakin baiknya transportasi antar daerah, serta adanya pemukiman-pemukiman baru. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya KLB adalah penyimpangan pola hujan, faktor musim, perilaku masyarakat menyimpan air secara tradisional, kurangnya partisipasi masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk (PSN), kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gejala DBD dan keterlambatan membawa ke tempat pelayanan kesehatan. Penyebab lainnya adalah kurangnya koordinasi lintas sektor, tersebarnya vektor nyamuk Aedes aegypti di seluruh tanah air, adanya empat serotype virus yang bersirkulasi sepanjang tahun serta keterlambatan penanggulangan kasus di lapangan turut berperan pada KLB.

Metode yang digunakan untuk menentukan skala prioritas dan faktor penting dalam pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Provinsi DKI Jakarta adalah metode AHP, ISM dan Pendekatan Sistem. Berdasarkan nilai rataan global priority AHP pada alternative tujuan yang merupakan rata-rata dari level stakeholder, prinsip dan faktor dari yang paling tinggi ke paling rendah berturut-turut adalah Law enforcement (P) sebesar 0.480, Monitoring dan Pemberdayaan masyarakat (N) sebesar 0.227, Pengembangan budidaya tanaman anti nyamuk (M) sebesar 0.152, Memasyarakatkan budaya PHBS (O) sebesar 0.104, dan Tindakan pencegahan (L) sebesar 0.043, dengan inconsistency index sebesar 0.055.

Sementara itu, untuk mendukung program pencegahan penyakit DBD pada skenario optimis-moderat maka direkomendasikan pelibatan partisipasi masyarakat yang diikuti usaha-usaha sosialisasi, kampanye, pencanangan gerakan-gerakan maupun penyuluhan kepada masyarakat, peningkatan peran ibu rumah tangga dengan peningkatan pengetahuan tentang usaha-usaha pencegahan penyakit DBD melalui kader-kader PKK, petugas PSN maupun petugas sukarelawan lainnya, pengembangan budidaya tanaman anti nyamuk dan pemberian reward bagi pihak yang menggerakan kegiatan pengembangan budidaya tanaman anti nyamuk untuk pencegahan penyakit DBD.

(5)

ABSTRACT

ARIF SUMANTRI. Environmental Based Prevention on The Haemorhagic Fever Dissemination in The DKI Jakarta Province. Under the Direction of HASIM, BAMBANG PRAMUDYA, and SRI BUDIARTI.

Dengue Haemorhagic Fever (DHF) is one of the national problem which not yet overcome till in this time. The root cause the increasing of cases amount of DBD in Indonesia for example because; high resident mobility and densit, good progressively interregional transportation, and also the existence of new settlement. Other factor which influence the happening of KLB is deviation of rain pattern, season factor, society behavioral of irrigate traditionally, lack of society participation in eradication of mosquito den (PSN), lack of knowledge of society concerning symptom of DBD and delay bring to service of health. Other cause is the lack of coordination pass by quickly sector, spread over mosquito vektor of Aedes aegypti in all fatherland, existence of four virus serotype which is rotating during the year and also delay of prevention of KLB.

Pursuant to global average value of AHP priority from target alternative in stakeholder level, principal and factor from highest to lowest is Law enforcement (P) equal to 0.48, Monitoring and Enableness of society (N) equal to 0.227, Development of crop conducting anti mosquito (M) equal to 0.152, Socializing culture of PHBS (O) equal to 0.104, and Precaution (L) equal to 0.043, with index inconsistency equal to 0.055.

Supporting preventive program of DBD at optimis-moderat scenario hence recommended by society participation entangling followed by the efforts socialization, campaign, movement cymbal and counselling to society, make-up of role of housewife with improvement of knowledge concerning preventive efforts of DBD through cadres of PKK, officer of PSN and officer of other volunteer, development of crop conducting anti mosquito and gift of reward for everybody which is movement activity of development of crop conducting anti mosquito for the prevention of DBD.

(6)

Di Indonesia DBD pertama kali terjadi di Surabaya pada tahun 1968, jumlah penderita yang dilaporkan pada waktu itu adalah 58 penderita, 24 (41,3%) diantaranya meninggal. Dalam tahun 1988 DBD berjangkit di 156 daerah tingkat II (di 23 Provinsi) dengan jumlah penderita 15.340 orang, 549 (3,6%) diantaranya meninggal. Meskipun angka kematian DBD cenderung menurun, yaitu dari 41,3% (1968) menjadi 3,6% (1988) penyebarannya semakin luas. Sampai tahun 2002, semua Provinsi telah melaporkan kasus DBD. Selama 36 tahun sejak ditemukannya kasus DBD hingga bulan Maret 2004, sudah 12 Provinsi yang dinyatakan sebagai daerah kejadian luar biasa (KLB).

Upaya pencegahan penyebaran penyakit DBD dapat dilakukan dengan memanfaatkan potensi sumber daya yang ada di Provinsi DKI Jakarta. Ada beberapa potensi sumber daya yang dapat dikelola dalam melakukan pencegahan penyebaran penyakit DBD; (1) Potensi memanfaatkan sumber daya alam sebagai upaya budidaya tanaman anti nyamuk. (2) Potensi pemanfaatan program PHBS sebagai perwujudan paradigma sehat dalam membentuk perilaku hidup bersih sehat, dan (3) Pemanfaatan pengelolaan lingkungan yang simetris pada lingkungan seranga penular nyamuk Aedes aegypti dan lingkungan aktivitas manusia sebagai potensi yang dijadikan untuk pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit.

Tujuan Penelitian ; Membangun Model Pencegahan Berbasis Lingkungan terhadap Penyebaran Penyakit Demam Berdarah Dengue di Provinsi DKI Jakarta. Tujuan Antara dari Penelitian ini ; (1) Mengidentifikasi pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Provinsi DKI Jakarta berdasarkan faktor-faktor yang berperan dalam penyebaran penyakit DBD. (2) Menstrukturkan faktor-faktor penting yang potensial dan dapat digunakan untuk menentukan pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Provinsi DKI Jakarta.(3) Merumuskan skenario rekomendasi kebijakan yang diperlukan untuk upaya pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Provinsi DKI Jakarta.

(7)

tanpa harus menunggu adanya kejadian kasus DBD, dan (3) menghasilkan model pencegahan yang berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD.

Lokasi penelitian diwilayah Provinsi DKI Jakarta. Waktu penelitian pada bulan November 2006 – Juni 2007. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara kepada pakar dan masyarakat. Wawancara dan penyebaran kuesioner kepada pakar untuk menetapkan kriteria dan penyusunan model, sedangkan pembagian kuesioner dan wawancara pada stakeholder serta focus group discussion (FGD) untuk mendapatkan respon keinginan masyarakat terhadap kebijakan dan strategi pencegahan. Data sekunder meliputi data statistik, data vektor dan penyakit DBD, hasil-hasil penelitian, potensi pemanfaatan vegetasi anti nyamuk dan data hasil olahan lainnya

Pada tahapan pertama dilakukan analisis keempat komponen sebagai faktor yang berperan pada pencegahan dengan menggunakan AHP, tahapan kedua dilakukan analisis keterkaitan antara faktor secara sistem dengan menggunanakan ISM untuk menganalisis keterkaitan keempat kelompok dan menilai faktor potensial penyebaran penyakit DBD yang dihasilkan untuk analisis tahap kedua. Pembuktian keterkaitan ini akan dikaji melalui analisis kesisteman, yaitu model sistem dinamis.dengan Powersim Constructor.

Alternative tujuan yang merupakan rata-rata dari level stakeholder, prinsip dan faktor dari yang paling tinggi ke paling rendah berturut-turut adalah Law enforcement (P) sebesar 0.480, Monitoring dan Pemberdayaan masyarakat (N) sebesar 0.227, Pengembangan budidaya tanaman anti nyamuk (M) sebesar 0.152, Memasyarakatkan budaya PHBS (O) sebesar 0.104, dan Tindakan pencegahan (L) sebesar 0.043, dengan inconsistency index sebesar 0.055.

(8)

@ Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan yang wajar bagi IPB

(9)

PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE DI

PROVINSI DKI JAKARTA

ARIF SUMANTRI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Nama : ARIF SUMANTRI Nomor pokok : P062040374

Disetujui : Komisi Pembimbing

Dr. drh. Hasim, DEA Ketua

Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya, M.Eng Dr. dr. Sri Budiarti

Anggota Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya

Alam dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Surjono Sutjahjo, M.S Prof. Dr. Ir. Khairil A.Notodiputro, M.S

(11)

Puji syukur penulis munajatkan kehadiran Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayahNya disertasi dengan judul “Model Pencegahan Berbasis Lingkungan Terhadap Penyebaran Penyakit Demam Berdarah Dengue” telah dapat disusun dan diselesaikan dengan baik.

Dengan selesainya penyusunan disertasi ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Dr. drh, Hasim, DEA, Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya, M.Eng, dan Ibu Dr. dr. Sri Budiarti, Selaku Komisi Pembimbing yang telah memberikan motivasi, bimbingan dan arahan kepada penulis.

Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS. Selaku Ketua Program Studi PSL-IPB, Ibu Dr. Ir. Etty Riani, Selaku Sekretaris Eksekutif PS PSL serta para dosen di lingkungan Program Studi PSL dan Sekolah Pasca Saarjana IPB atas bekal ilmu, arahan dan segala masukan yang diberikan guna penyusunan disertasi ini. Tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. drh, Bibiana, W Lay selaku penguji Ujian Pra Kualifikasi. Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc selaku penguji Ujian Tertutup, atas kritik dan saran perbaikan sehingga disertasi ini menjadi lebih sempurna.

(12)

Isteriku tercinta Jamilla Upik (Upik), kedua putriku; Syifa dan Tasya yang dengan penuh kasih sayang dan pengertian, selalu sabar, setia mendampingi dan menghibur serta memberikan dukungan moril dan spirit, penulis sampaikan pula rasa terima kasih yang sangat mendalam.

Tak lupa ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Machfuddin Zuhri, Rizkiana, Ratna, Tuti, Ibnu, Mandala, InIpy, Nanny, Joko, Nuri, dan rekan-rekan PSL-IV 2005; Budi Situmorang, Sanusi Sitorus, HM Nurdin, Sapto Supono, Timbul Panjaitan, Mardi Santoso, Yulianto, Arif Budiono, Besweni, Syamsul Hadi, Alan Purbawiyatna, Hasudungan, Hardi Simamora, Joko Karsono, Bambang Yudoyono, Ridwan yang telah memberikan dukungan, meluangkan waktu dan pikiran serta memberikan berbagai input yang berharga guna mendukung penyelesaian disertasi ini.

Akhirnya kepada semua pihak yang telah begitu banyak memberikan dukungan dan kontribusi, baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Atas segala sesuatu yang terbaik yang telah diberikan kepada penulis, tiada balasan yang dapat disampaikan melainkan doa tulus semoga Allah SWT membalas amal dan budi baik yang telah diberikan agar semuanya senantiasa berada dalam lindunganNya. Amin.

Tiada kesempurnaan melainkan kesempurnaan-Nya, demikian halnya dengan disertasi ini. Penulis mengharapkan saran dan koreksi yang kiranya dapat menjadi masukan untuk penyempurnaan disertasi ini.

Bogor, Juni 2008

Arif Sumantri

(13)

Penyakit DBD (demam berdarah dengue) telah menyebar pada seluruh wilayah di Indonesia, demikian pula perubahan pola sebar DBD juga terjadi pada variabel orang, tempat dan waktu. Hal ini terjadi akibat ketidakseimbangan tindakan pencegahan dengan insektisida dan non insektisida, sehingga terjadi perubahan perilaku serangga penular dan pencemaran lingkungan pada faktor lingkungan secara menyeluruh. Berbagai upaya pencegahan sudah dilakukan, akan tetapi dalam implementasinya sering terjadi ketidak sesuaian dalam realitas sosial. Hal ini terjadi karena belum diketahui secara optimal potensi lingkungan dan masyarakat yang dapat dijadikan sebagai kekuatan utama dalam melakukan pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD. Oleh sebab itu agar pencegahan terhadap penyebaran DBD dapat diimplementasikan dengan baik dan efektif, maka dibutuhkan suatu Model Pencegahan Berbasis Lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD.

Disertasi ini mencoba untuk menganalisis tentang tindakan pencegahan yang telah dilakukan dan peningkatan kejadian kasus DBD di Provinsi DKI Jakarta. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan estimasi melalui Model dan Simulasi tentang pencegahan dan faktor lingkungan sehingga dapat diketahui potensi ekonomi, lingkungan dan sosial dari perubahan pola sebar DBD secara Efektif, Akuntabel dan Amanah. Terima kasih pada Dr. drh. Hasyim, DEA., Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya M.Eng, dan Dr. dr. Sri Budiarti yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan Disertasi ini. Juga kepada Prof. Dr. Ir. Surjono HS, MS dan Dr. Ir. Etty Riani, MS yang telah memberikan dukungan dalam penelitian dan penyusunan penulisan desertasi ini.

Tidak ada kesempurnaan yang abadi, yang ada hanyalah keinginan sejati. Oleh sebab itu kritik dan saran dalam meningkatkan kualitas penyusunan Disertasi ini sangat diperlukan dari segenap pihak.

Jakarta, April 2008

Arif Sumantri

(14)
(15)

Arif Sumantri dilahirkan di Jakarta Tanggal 8 Agustus 1965 sebagai putra kedua dari enam bersaudara dari pasangan H. Sukardjo W.S (Alm) dan Hj. Satiti Atmowirjo. Penulis mengikuti Pendidikan SD, SMP, SMA di Jakarta. Selanjutnya mengikuti Pendidikan S1 pada jurusan Epidemiologi Lingkungan FKM Universitas Indonesia (1991), Pendidikan S2 pada program Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM-Universitas Indonesia (1999) dan Pendidikan S3 pada Program Studi Sumber Daya Alam dan Lingkungan di IPB (2004 – Sekarang). Selain itu Penulis telah mengikuti Pendidikan informal/Diklat antara lain : Kursus Entomologi Vektor (Malaysia, 1999), Vector Control Field Station (Manila, 2003), Auditor Lingkungan (2001).

Pengalaman Penulis sebagai pengajar/Dosen dan Instruktur : Asisten Dossen Pengendalian Vektor di FKM-UI (1990), Dosen Pengendalian Vektor di FKM-UI (1998-2001), Dosen Pengendalian Vektor dan Penyakit Menular di FKM UPN Jakarta (2003 – Sekarang), Dosen Pengendalian Vektor di FKM UHAMKA (2006 – Sekarang), Dosen Epidemiologi Lingkungan dan Pengendalian Vektor di Poltekkes Depkes (2005 – Sekarang). Saat ini Penulis diamanahkan menjadi Ketua Program Studi Diploma IV Kesehatan Lingkungan di Poltekkes Depkes Jakarta.

Karya Ilmiah yang dipublikasikan adalah kontribusi beberapa tulisan yang dimuat dalam buku-buku : Pengendalian Vektor dan Binatang Pengganggu (1998), Klinik Sanitasi dalam Managemen Mutu ISO 9004-2 (2001), Model Pelayanan Kesehatan Inovatif Posyandu Plus (2006), Keintiman Spiritual (2004), Model Pencegahan Berbasis Lingkungan terhadap Penyebaran DBD (Jurnal Kesmas UI, 2008). Tanda Kehormatan yang diperoleh adalah : Satya Lancana Karya Satya 10 Tahun (2004), Bhakti Karya Husada (2006).

Penulis menikah dengan Jamillah Upik tanggal 7 Juli 1991 dan dikaruniai dua orang Puteri yaitu : Arifah Shabrina Sumantri (lahir di Jakarta, 11 Maret 1993) dan Raissya Armilla Sumantri (lahir di Jakarta, 9 Januari 1997).

Jakarta, 12 Juni 2008

Arif Sumantri

(16)
(17)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

RIWAYAT HIDUP ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Kerangka Pemikiran ... 4

1.3. Perumusan Masalah ... 6

1.4. Tujuan Penelitian ... 10

1.5. Manfaat Penelitian ... 10

1.6. Novelty (Kebaruan)... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Sejarah Epidemi Dengue ... 13

2.2. Bioekologi Aedes Aegypti ... 15

2.3. Penularan Demam Berdarah Dengue ... 16

2.4. Manifestasi Klinis Demam Berdarah Dengue ... 18

2.4.1 Demam Dengue (DD) ... 18

2.4.2. Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Dengue Shock Syndrome (DSS)... 19

2.5. Perubahan Iklim Global terhadap Kesehatan ... 20

2.6. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit DBD ... 24

2.7. Nilai Manfaat Pengelolaan Lingkungan ... 26

2.8. Penilaian Ekonomi Sumberdaya Alam ... 27

2.9. Tanaman Anti Nyamuk ... 29

2.10. Sistem dan Model ... 30

(18)

III. METODE PENELITIAN ... 32

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 32

3.2. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data ... 32

3.3. Teknik Pengambilan Contoh ... 33

3.4. Pendekatan Penelitian yang digunakan ... 34

3.4.1. Pendekatan hirarki dan strukturisasi faktor ... 34

3.4.2. Pendekatan sistem ... 38

3.5. Tahapan Penelitian ... 41

IV. GAMBARAN UMUM PROPINSI DKI JAKARTA ... 44

4.1. Letak Geografi DKI Jakarta ... 44

4.2. Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk ... 45

4.2.1. Sebaran dan kepadatan penduduk ... 45

V. HASIL PEMBAHASAN ... 49

5.1. Faktor-faktor yang Berperan dalam Pencegahan Berbasis Lingkungan terhadap Penyebaran Penyakit DBD di Provinsi DKI Jakarta ... 49

5.1.1. Kasus DBD di Provinsi DKI Jakarta ... 49

5.1.2. Peran Faktor Potensial pada Pencegahan Berbasis Lingkungan terhadap Penyebaran Penyakit DBD di Provinsi DKI Jakarta.... 53

. 5.1.2.1. Faktor Iklim ... 53

5.1.3. Peran Faktor Potensial pada Pemanfaatan Tanaman Anti Nyamuk ... 61

5.1.4. Kualitas Sanitasi Lingkungan ... 62

5.1.5. Nilai Kerugian Akibat Kejadian Kasus DBD ... 69

5.2. Faktor-faktor yang Potensial untuk Pencegahan Berbasis Lingkungan terhadap Penyebaran Penyakit DBD ... 73

5.2.1. Analisis Prioritas Berdasarkan Level Hirarki ... 73

5.2.1.1 Matriks Perbandingan Lokal dan Global pada Level II dan level III ... 76

5.2.1.2. Matriks Perbandingan Lokal dan Global pada Level IV Berdasarkan Level II dan Level III ... 85

(19)

5.2.1.3. Matrik Perbandingan Lokal dan Global pada Level V

berdasarkan Level II, Level III dan Level IV ... 91

5.2.2. Analisis Prioritas berdasarkan Struktur Modeling ... 99

5.2.2.1. Struktur Elemen Kunci dalam Model Pencegahan Berbasis Lingkungan terhadap Penyebaran Penyakit DBD ... 99

5.2.2.2. Struktur Prioritas Elemen Kunci pada Prinsip, Tujuan dan Faktor dalam Model Pencegahan Berbasis Lingkungan terhadap Penyebaran Penyakit DBD di Provinsi DKI Jakarta ... 113

5.2.3. Sistem Dinamik Pencegahan Berbasis Lingkungan terhadap Penyebaran Penyakit DBD di Provinsi DKI Jakarta... 118

5.2.3.1. Analisis Kebutuhan ... 118

5.2.3.2. Formulasi Masalah ... 121

5.2.3.3. Identifikasi Sistem ... 122

5.2.3.4. Simulasi Model ... 125

5.2.3.4.1. Sub Model Lingkungan... 126

5.2.3.4.2 Sub Model Sosial ... 129

5.2.3.4.3 Sub Model Ekonomi ... 131

5.3. Skenario dan Rekomendasi Kebijakan Pencegahan Berbasis Lingkungan Terhadap Penyebaran Penyakit DBD di Provinsi DKI Jakarta... 132

5.3.1. Penyusunan Skenario ... 132

5.3.2. Simulasi Kondisi Skenario ... 134

5.3.2.1. Skenario Moderat Pesimis ... 137

5.3.2.2. Skenario Optimis Moderat ... 138

5.3.3. Validitas Model... 141

5.4. Skenario Rekomendasi Kebijakan ... 145

5.5. Kebijakan Dalam Pengendalian Kasus DBD... 148

5.5.1. Kebijakan Pengembangan dalam Penegakan Hukum... 148

5.5.2. Kebijakan dalam Monitoring dan Pemberdayaan Masyarakat .... 149 5.5.3. Kebijakan dalam Pengembangan Budidaya Tanaman Anti

(20)

Nyamuk ... 149

5.5.4. Strategi Pengendalian Penyebaran Penyakit DBD... 149

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 154

DAFTAR PUSTAKA ... 158

LAMPIRAN ... 163

(21)

1.1. Latar Belakang

Salah satu masalah pencegahan dan pemberantasan penyakit menular yang sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat adalah penyakit Dengue Haemorhagic Fever atau yang lebih dikenal dengan nama Demam Berdarah Dengue (DBD). Vektor penyakit DBD ini adalah nyamuk Aedes aegypti melalui gigitan yang berulang-ulang kepada orang yang susceptible (rentan). Malaysia dan Singapura telah berhasil mencanangkan bebas demam berdarah karena adanya perhatian Pemerintah terhadap masalah Kesehatan Lingkungan, dengan melegitimasi persoalan kesehatan lingkungan dalam bentuk peraturan dan sangsi bagi rumah yang terdapat jentik nyamuk. Sementara Indonesia sejak tahun 1968 penyebaran penyakit DBD semakin meluas keseluruh wilayah Indonesia dan beberapa wilayah yang setiap tahunnya selalu ditemukan kasus sebagai daerah endemis.

Upaya pencegahan penyebaran penyakit DBD melalui pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dan pengendalian kasus belum berjalan secara optimal, karena didalam pemberantasan penyakit DBD tidak hanya memberantas nyamuk Aedes aegypti saja, tetapi juga memberantas virus dengue yang dibawa oleh nyamuk tersebut. Dengan demikian penekanan pemberantasan juga diarahkan pada upaya pengurangan jumlah nyamuk yang dapat membawa virus dengue dengan cara membunuh jentiknya. Sementara itu untuk menghilangkan jentik (larva) kurang mendapat perhatian dari masyarakat karena dianggap merupakan upaya yang tidak jelas hasilnya dibandingkan dengan pengasapan.

(22)

penularan nyamuk Aedes aegypti sebagai penyebab DBD dapat diputus sehingga tidak sampai menyebar luas.

Faktor lingkungan berpengaruh besar pada terjadinya wabah (epidemi). Indikasi ini ditandai dengan peningkatan kejadian kasus yang melebihi dari keadaan biasa. Pada tanggal 16 Februari 2004 Pemerintah Pusat melalui Departemen Kesehatan menyatakan telah terjadi KLB DBD Nasional. Pada skala Nasional sepanjang tahun 2005 telah terjadi empat puncak peningkatan kasus, yaitu pada bulan Januari, Maret, Agustus dan Desember. Tahun 2006 terjadi peningkatan pada bulan Januari sampai dengan bulan Mei. Jumlah kasus sampai dengan Oktober 2006 sebanyak 72.812 kasus, 753 diantaranya meninggal case fatality rate (CFR) sebesar 1,03%.

Di Indonesia DBD pertama kali terjadi di Surabaya pada tahun 1968, jumlah penderita yang dilaporkan pada waktu itu adalah 58 penderita, 24 (41,3%) diantaranya meninggal. Dalam tahun 1988 DBD berjangkit di 156 daerah tingkat II (di 23 propinsi) dengan jumlah penderita 15.340 orang, 549 (3,6%) diantaranya meninggal. Meskipun angka kematian DBD cenderung menurun, yaitu dari 41,3% (1968) menjadi 3,6% (1988) penyebarannya semakin luas. Sampai tahun 2002, semua propinsi telah melaporkan kasus DBD. Selama 36 tahun sejak ditemukannya kasus DBD hingga bulan Maret 2004, sudah 12 propinsi yang dinyatakan sebagai daerah kejadian luar biasa (KLB). Keadaan ini erat kaitannya dengan meningkatnya mobilitas penduduk dan semakin lancarnya hubungan transportasi.

Di DKI Jakarta kejadian luar biasa tahun 2004 bulan Januari sampai dengan April tercatat incidence rate (IR) DBD sebesar 15,07 per 100.000 penduduk dan CFR 0,04. Tahun 2007 hingga bulan April tercatat IR 14,61 per 100.000 penduduk dan CFR 0,38. Keadaan tersebut telah menyebabkan DKI Jakarta pada status kejadian luar biasa (KLB).

(23)

Kesehatan Lingkungan (DPKL), Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), pemanfaatan potensi sumber daya alam dan sumber daya buatan.

Salah satu pemanfaatan sumber daya alam adalah dengan memanfaatkan tanaman yang bersifat repellent (penolak) dan attractant (penarik) pada serangga penular. Pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit Demam Berdarah Dengue akan lebih efektif jika dilakukan pada tahap dini dengan memanfaatkan kondisi lingkungan serangga penular melalui tanaman anti nyamuk yang dapat menghalau nyamuk karena aroma yang khas. Jenis tanaman yang dapat digunakan untuk pencegahan dini terhadap penyebaran penyakit DBD antara lain; 1) Akar wangi (Vertiverzi zonoides), 2) Suren (Toona sureni, Merr), 3) Zodia (Evodia sudveolens, Scheff), (4) Geranium (Geranium homeanum, Turez), 5) Selasih (Ocimum, Sp) dan 6) Lavender (Lavandula latifolia, Chalix).

Banyak faktor yang harus dipertimbangkan secara terpadu dan sinergik dalam pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit Demam Berdarah Dengue di wilayah propinsi DKI Jakarta antara lain sumber daya alam, sumber daya buatan, lingkungan hidup dan komponen-komponen penunjang untuk keberhasilan pencegahan. Bahkan sumber daya alam dan sumber daya buatan serta lingkungan hidup lainnya juga mempunyai turunan (derivative) komponen yang banyak pula. Oleh karenanya dalam membuat model pencegahan pemberantasan penyakit DBD harus didekati dengan konsep berpikir kesisteman yaitu menyeluruh (holistik) dan integral (saling berkaitan). Berpikir kesisteman diharapkan dapat memecahkan berbagai persoalan yang menyangkut masalah saling berkaitan dan selalu berkembang serta berubah, yang sebelumnya sulit diselesaikan satu persatu.

(24)

analisis terhadap struktur dan perilaku yang rumit, berubah cepat dan yang mengandung ketidakpastian dengan menyederhanakan persoalan memilih komponen yang dominan. Diharapkan Model Pencegahan Berbasis Lingkungan dapat mengurangi penyebaran penyakit Demam Berdarah Dengue di Propinsi DKI Jakarta.

1.2 Kerangka Pemikiran

(25)

Analisis Kebutuhan

Isu Pencegahan Penyebaran DBD

• Perubahan Iklim Global

• Perubahan Kualitas Sanitasi Pemukiman

• Pencemaran Lingkungan

Evaluasi Pencegahan Penyebaran Penyakit DBD

Aspek Ekologi Aspek Sosial Aspek Ekonomi - Kesesuaian pencegahan

dengan pengelolaan

• Potensi Budidaya Tanaman anti nyamuk

• Potensi konservasi

• Efisiensi pencegahan penyebaran DBD

Analisis valuasi ekonomi

Pemodelan Sistem Dinamik

Model Pencegahan Berbasis Lingkungan terhadap Penyebaran Penyakit DBD

Lingkungan

• Derajat kesehatan masyarakat meningkat

• Angka kasus (Incidence rate) & Angka kematian (case fatality rate) penyakit DBD turun.

• Adanya kemampuan masyarakat untuk melakukan pencegahan penyebaran penyakit DBD yang berbasis lingkungan

• Memberikan perlindungan kepada masyarakat dan lingkungan.

• Pemanfaatan sumberdaya lingkungan secara optimal.

• Kesejahteraan masyarakat

• Lingkungan tidak rusak sehingga aman bagi mahluk hidup lainnya.

• Mendapatkan manfaat dari pengelolaan lingkungan

• Dapat mewujudkan PHBS

• Terjaganya kondisi kesehatan masyarakat

• Kondisi sanitasi lingkungan yang baik

• Ketersediaan hunian yang layak

Masyarakat

(26)

1.3 Perumusan Masalah

Penyebab meningkatnya jumlah kasus DBD dan semakin bertambahnya wilayah yang terjangkit antara lain karena; semakin padatnya penduduk dan tingginya mobilitas penduduk. Selain itu semakin baiknya transportasi dari suatu daerah ke daerah lain serta adanya pemukiman baru yang dapat menjadi penyebab meningkatnya kasus DBD. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya KLB adalah penyimpangan pola hujan dan faktor musim (Sintorini, 2006), perilaku masyarakat menyimpan air secara tradisional, kurangnya partisipasi masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk (PSN) (Fikri, 2006), kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gejala DBD dan keterlambatan membawa ketempat pelayanan kesehatan (Departemen Kesehatan, 2006). Penyebab lain adalah kurangnya koordinasi lintas sektor, tersebarnya vektor nyamuk Aedes aegypti di seluruh wilayah, adanya empat serotype virus yang bersirkulasi sepanjang tahun serta keterlambatan penanggulangan kasus di lapangan turut berperan pada KLB (Suhardiono, 2002).

Upaya pencegahan penyebaran penyakit DBD dapat dilakukan dengan memanfaatkan potensi sumber daya yang ada di propinsi DKI Jakarta. Ada beberapa potensi sumber daya yang dapat dikelola dalam melakukan pencegahan penyebaran penyakit DBD; (1) Potensi memanfaatkan sumber daya alam sebagai upaya budidaya tanaman anti nyamuk. (2) Potensi pemanfaatan program PHBS sebagai perwujudan paradigma sehat dalam membentuk perilaku hidup bersih sehat, dan (3) Pemanfaatan pengelolaan lingkungan yang simetris pada lingkungan seranga penular nyamuk Aedes aegypti dan lingkungan aktivitas manusia sebagai potensi yang dijadikan untuk pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit.

Berdasarkan potensi dan permasalahan kondisi sumber daya alam, sosial dan lingkungan, pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Propinsi DKI Jakarta dapat diidentifikasikan pada hal-hal sebagai berikut : a. Terbatasnya lahan pemukiman di wilayah DKI Jakarta dapat dikembangkan

(27)

pembatas lingkungan. Untuk pemanfaatan budidaya tanaman anti nyamuk diperlukan kebijakan penanaman tanaman anti nyamuk pada lahan yang terbatas (pot, vas bunga) serta pada lahan yang optimal (cukup luas).

b. Peran aktif masyarakat dalam memelihara dan menjaga kesehatannya dapat dilihat melalui upaya kesehatan bersumber daya masyarakat (KBDM); seperti Posyandu, Dana Sehat, Daerah Percontohan Kesehatan Lingkungan & PHBS. Upaya tersebut merupakan fasilitasi agar masyarakat mengenal masalah yang dihadapi, merencanakan dan melakukan upaya pemecahannya dengan memanfaatkan potensi spesifik di wilayah DKI Jakarta sehingga masyarakat dapat mendorong keberhasilan suatu program pencegahan penyakit melalui tiga cara yaitu: 1) menyediakan informasi, 2) menyediakan dukungan politik, dan 3) menyumbangkan sumber daya.

c. Propinsi DKI Jakarta, sebagai megametropolitan mempunyai persoalan yang terkait dengan Urbanisasi dan persoalan yang muncul seperti pemukiman kumuh, ketersediaan air bersih, manajemen pengelolaan kota yang terkait dengan RTRW, manajemen lingkungan yang dilakukan secara parsial. Kondisi tersebut menimbulkan bertambahnya tempat-tempat yang dapat dipakai bersarang dan berkembang biaknya nyamuk Aedes aegypti. Demikian pula dengan pertumbuhan penduduk yang meningkat tidak disertai dengan pengembangan kemitraan antara pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan pada pencegahan penyebaran penyakit DBD.

d. Degradasi kualitas lingkungan diantaranya ditandai pertumbuhan wilayah pemukiman yang tidak terencana dengan baik, hal ini akan berpengaruh pada ketersediaan air bersih dan kualitas sanitasi lingkungan pemukiman yang menjadi salah satu Factor Breeding Habit (tempat perkembang biakkan) nyamuk Aedes aegypti, peningkatan jumlah transportasi kendaraan bermotor selain menimbulkan pencemaran udara juga menjadi mediator pergerakan nyamuk Aedes aegypti dari satu wilayah ke wilayah lain.

(28)

DBD di Propinsi DKI Jakarta masih belum optimal karena ada diantara empat komponen subsistem terkait yang masih belum saling sinergis dalam upaya pencegahan penyebaran penyakit DBD antara lain:

Pertama, Sistem Manajemen Pencegahan Penyakit DBD. Kegagalan pencegahan penyebaran penyakit DBD akibat kesalahan manajemen karena dipengaruhi oleh banyak faktor manajemen antara lain: keterbatasan kemampuan kualitas SDM baik jumlah dan keahlian, dana dan penganggaran, lemahnya koordinasi dan konsistensi pemantauan dan penilaian pencegahan penyebaran penyakit DBD melalui PHBS. Untuk kasus lemahnya manajemen tidak akan dibahas dalam penelitian ini karena berada di luar batas lingkup penelitian. Kedua, terkait dengan aspek teknis dalam pencegahan penyebaran penyakit DBD. Aspek yang kedua ini terkait aspek teknis yang berdasarkan empirikal menunjukkan adanya kesulitan teknis dalam melaksanakan pencegahan penyebaran penyakit DBD. Kesulitan teknis tersebut antara lain: (a) Perubahan kondisi iklim berpengaruh pada bionomik vektor Aedes aegypti dan memberikan perubahan pada aktivitas hinggap serta berkembang biak nyamuk Aedes aegypti seperti curah hujan, temperatur, dan kelembaban. (b) Ketersediaan air bersih dan tempat penampungan sampah yang tidak memadai menyebabkan kualitas lingkungan pemukiman menjadi rendah. Keadaan tersebut menjadi kondusif untuk peningkatan populasi Aedes aegypti (c) Budaya untuk mewujudkan PHBS pada pencegahan penyebaran penyakit DBD sangat berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Aspek yang kedua ini merupakan tema penelitian dengan fokus pada kajian membuat disain atau model pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Propinsi DKI Jakarta.

(29)

terjadi tindakan pengendalian kasus. Tindakan preventif masih belum dapat dilakukan secara optimal sebagai kegiatan pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Propinsi DKI Jakarta karena adanya kendala dalam mengelola kondisi yang tidak homeostatis (seimbang) pada masing-masing subsistem lingkungan, vektor, manusia dan penyakit DBD. (2) Banyaknya faktor yang berperan dalam subsistem pencegahan penyakit DBD, sehingga sulit dalam mengidentifikasi keterkaitan faktor tersebut secara potensial pada dinamika penyebaran penyakit DBD. (3) Strategi pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD masih belum bisa menurunkan populasi nyamuk Aedes aegypti dan kasus DBD diwilayah DKI Jakarta pada batas yang tidak menimbulkan gangguan masalah pada manusia. (4) Adanya perubahan kualitas lingkungan seperti: iklim, temperatur, kelembaban yang berpengaruh pada lingkungan vektor dan lingkungan manusia. (5) Partisipasi masyarakat secara mandiri dalam pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Propinsi DKI Jakarta masih bersifat kasuistik dan belum menjadi budaya PHBS karena belum dimanfaatkan secara optimal kelembagaan swadaya masyarakat, seperti Posyandu sebagai agen penggerak kegiatan pencegahan penyebaran penyakit DBD secara berkelanjutan. Posyandu yang rutin melakukan kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai sarana penyuluhan agar dapat tumbuh kesadaran pada masyarakat untuk berperan aktif dalam pencegahan penyebaran penyakit di lingkungan sekitarnya.

Untuk menyusun dan menghasilkan model pencegahan penyebaran penyakit DBD dalam implementasinya diperlukan beberapa analisis kebutuhan (need analysis) atau kajian mendalam agar dapat menjawab permasalahan (gap) pada pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Propinsi DKI Jakarta dan sekaligus mengurai masing-masing subsistem yang terkait pada pencegahan penyakit DBD, unsur-unsur yang dibutuhkan untuk dianalisis adalah: 1. Bagaimana peran faktor potensial dalam pengelolaan lingkungan yang terkait

(30)

pencegahan penyebaran penyakit DBD? dan sejauh mana upaya peningkatan kualitas sanitasi lingkungan berpengaruh pada pencegahan penyebaran penyakit DBD?

2. Bagaimana keterkaitan fungsional faktor potensial tersebut secara kesisteman dapat meningkatkan upaya pencegahan penyebaran penyakit DBD? Skenario apa yang terjadi secara dinamis yang bermanfaat pada upaya pencegahan penyebaran penyakit DBD?

3. Bagaimana menyusun urutan prioritas dalam mendisain model pencegahan penyebaran penyakit DBD yang berbasis lingkungan?

1.4 Tujuan Penelitian

Membangun Model Pencegahan Berbasis Lingkungan terhadap Penyebaran Penyakit Demam Berdarah Dengue di Propinsi DKI Jakarta.

Tujuan Antara :

1. Mengidentifikasi pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Propinsi DKI Jakarta berdasarkan faktor-faktor yang berperan dalam penyebaran penyakit DBD.

2. Menstrukturkan faktor-faktor penting yang potensial dan dapat digunakan untuk menentukan pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Propinsi DKI Jakarta.

3. Merumuskan skenario rekomendasi kebijakan yang diperlukan untuk upaya pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Propinsi DKI Jakarta.

1.5 Manfaat Penelitian :

a. Sebagai masukan kebijakan pemerintah pusat (lintas sektor) terutama Departemen Kesehatan (DEPKES) dalam menyusun kebijakan pencegahan DBD, khususnya dalam menyusun rencana strategi pengendalian terpadu. b. Sebagai alat bantu untuk mengatasi peningkatan kasus DBD yang melebihi

(31)

Model ini dapat direplikasikan di wilayah atau propinsi lainnya dengan penyesuaian variabel-variabel yang sesuai dengan kondisi setempat.

c. Sebagai acuan bersama penyusunan program pemberantasan penyakit DBD di propinsi DKI Jakarta dalam mendisain bentuk pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Propinsi DKI Jakarta. d. Sebagai Leverage untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam

pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Propinsi DKI Jakarta, khususnya untuk meningkatkan potensi ekonomi masyarakat melalui pengelolaan lingkungan dengan pemanfaatan tanaman anti nyamuk.

e. Sebagai acuan kegiatan pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Propinsi DKI Jakarta untuk mengurangi kerusakan lingkungan.

f. Sebagai umpan balik (feed back) untuk peninjauan strategi pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Propinsi DKI Jakarta.

1.6 Novelty (Kebaruan)

Pada saat ditetapkan KLB pada tahun 2004 jumlah kasus semakin turun, tetapi setiap waktu selalu ditemukan penderita DBD, meskipun angka kematian kasus DBD telah menurun, upaya pencegahan penyebaran penyakit DBD yang berbasis lingkungan sangat diperlukan. Untuk memperoleh hasil yang efektif dari pencegahan pemberantasan penyakit DBD diperlukan suatu model yang dapat mengidentifikasi dan menganalisis penyebaran penyakit DBD berdasarkan strategi pencegahan yang memperhatikan pada pengelolaan lingkungan sebagai suatu potensi secara ekonomi, ekologi dan sosial.

Dalam kaitan operasional pecegahan penyebaran penyakit DBD, belum pernah ada penelitian ataupun upaya mendisain suatu kebijakan dan strategi dalam pencegahan penyebaran penyakit DBD, khususnya dalam lingkup yang sifatnya komprehensif dan holistik.

(32)
(33)

2.1. Sejarah Epidemi Dengue

Penyakit Dengue merupakan salah satu penyakit menular yang berbahaya dapat menimbulkan kematian dalam waktu singkat dan sering menimbulkan wabah (Siregar, 2004). Penyakit tersebut pertama kali ditemukan pada tahun 1801 di Spanyol, tetapi istilah dengue pertama kali menjadi popular sejak terjadinya epidemik di Kuba tahun 1828. Kata dengue yang dalam bahasa Spanyol berarti sopan santun karena sikap membungkuk, mencerminkan cara berjalan penderita akibat rasa nyeri pada tulang dan sendi serta gangguan motorik pada lutut dan mata kaki.

Virus dengue termasuk virus RNA, kelompok Arthropod Borne Virus (Arbovirus), genus Flavivirus familia Falviviridae, bentuk batang, berukuran 50 mm, bersifat termolabil, stabil pada suhu penyimpanan – 70o C. Virus ini diisolasi pada tahun 1944 oleh Sabin dan kawan-kawan dari US Army di India, Papua New Guenea, dan Hawaii (Sabin 1952 dalam Gubler et al, 1979). Kelompok ini juga mengembangkan uji haemaglutination inhibition test (Hi test) untuk uji serologis. Virus yang ditemukan dari Hawaii disebut dengue – 1 (DEN-1) dan dari Papua New Guenea disebutnya DEN-2 dan hasil dari isolasi dari pasien DBD pada epidemik di Manila tahun 1956 disebut DEN-3 dan DEN-4 (Gubler, 1979). Untuk membedakan jenis virus, Poorwosoedarmo (1988) menggunakan istilah tipe dengue 1, 2, 3, dan 4. Keempat serotipe virus dengue tersebut ditemukan di berbagai daerah, tetapi yang dominan di Indonesia adalah serotipe DEN 3.

(34)

Di Asia Tenggara pertama kali terjadi di Manila Filipina pada tahun 1953 – 1954 dan kemudian tahun 1956 terulang kembali. Wabah demam yang

terjadi di Filipina pada tahun 1953 menyerang anak-anak disertai manifestasi perdarahan dan renjatan, dengan angka kematian hingga 6 % (Gubler et al, 1979). Untuk membedakan dengan wabah DBD yang sedang diteliti di Korea saat itu, maka wabah tersebut diberi nama Philippine Haemorhagic Fever. Epidemi di Bangkok, tahun 1958 mencapai angka kematian 10 %. Saat itu di Hanoi, Vietnam Utara juga mengalami kejadian sama. Wabah juga terjadi di Singapura pada tahun 1960, Malaysia antara tahun 1962–1964 dan di Calcutta, India pada tahun 1963. (Poorwosoedarmo, 1988). Penyakit demam berdarah dengue (DBD) pertama kali ditemukan di Kota Manila (Philipina) pada tahun 1953 kemudian menyebar ke berbagai negara. Penyakit ini sering menimbulkan wabah dan menyebabkan kematian pada banyak orang terutama anak-anak. Berikutnya wabah muncul berulang setiap tiga hingga lima tahun di banyak negara Asia Tenggara.

Di Indonesia penyakit ini ditemukan pada tahun 1968 di Surabaya tetapi konfirmasi virologist baru diperoleh pada tahun 1970 dan DKI Jakarta pertama kali dilaporkan (Kho, 1969 dalam Poorwosoedarmo, 1988) dan mulai menjadi wabah pada tahun 1973 kemudian menyebar ke berbagai wilayah. Kini semua propinsi yang ada di Indonesia sudah terjangkit penyakit DBD di berbagai kota maupun desa terutama yang padat penduduknya dan arus transportasinya lancar.

(35)

2.2. Bioekologi Aedes aegypti

Menurut Harrington et al. (2001) Aedes merupakan nyamuk paling efektif untuk menularkan penyakit. Siklus hidup yang singkat, kebutuhan makanan yang sedikit dan kemampuan untuk bertahan dalam kondisi kering dan suhu rendah pada stadium telur, memungkinkannya bertahan hidup untuk jangka waktu lama di lingkungan yang tidak menguntungkan. Menurut Carcavallo (1995) siklus satu generasi Aedes aegypti adalah 15 hari pada suhu 270C dan sembilan hari pada 280C. Lebih lanjut menurut Taboada (1967) dan Oda et al. (1982) kemampuan bertelur dan penetesan tanpa mengenal musim menyebabkan nyamuk ini ada setiap tahun di daerah tropis.

Nyamuk Aedes aegypti bersifat antropofilik, mendatangi daerah perumahan untuk berkembang biak di berbagai genangan sekitar rumah dan memasuki rumah untuk makan atau istirahat. Aedes aegypti termasuk jenis Artropoda dari kelas insecta, ordo Diptera, famili culicidae dan genus Aedes. Frekuensi curah hujan yang moderat dan penyinaran yang relatif panjang akan menambah kesempatan terciptanya habitat perkembangbiakan bagi nyamuk vektor (Christophers, 1960).

Jarak terbang Aedes aegypti pada lingkungan urban hanya 25 - 100 m dan tidak melebihi jarak 500 m, tidak jauh dari tempat bertelur dan sumber makanannya, yaitu keberadaan manusia. Seekor nyamuk betina rata-rata hanya mengunjungi satu atau dua rumah, dan hanya 0,7% yang mengunjungi lima rumah. Nyamuk tertarik cahaya terang (siang hari), pakaian berwarna gelap, adanya manusia serta hewan. Daya tarik yang menyebabkan nyamuk mendekat ke manusia adalah CO2 yang keluar dari tubuh manusia, asam amino, suhu lingkungan hangat dan kelembaban (Gubler et al, 1979).

(36)

kemudian bertelur dalam waktu 20 - 36 jam (Lardeux et al., 2002) atau dua hingga tiga hari kemudian (Cristophers, 1960). Telur diletakkan satu per satu dalam kelompok, berbentuk seperti sarang tawon dalam jumlah antara 100 - 300 butir untuk satu kali bertelur (Christophers 1960). Masa hidup nyamuk Aedes rata-rata sekitar satu bulan dengan kemungkinan 15 kali bertelur sepanjang hidupnya .

Menurut Lok (1985) pemantauan kepadatan populasi Aedes aegypti dapat dilakukan dengan memeriksa 100 rumah di suatu daerah untuk menghitung indeks jentik yang meliputi: house index (persentase rumah ditemukannya jentik Aedes aegypti), container index (persentase wadah positif terdapat jentik Aedes aegypti) dan breteau index (jumlah wadah positif jentik Aedes aegypti per 100 rumah). Dalam suatu studi di Taiwan selama terjadi ledakan ditemukan rata-rata hanya satu nyamuk dewasa betina per rumah. Angka ini dapat menjadi indikator batas minimal jumlah nyamuk Aedes aegypti untuk kasus ledakan. Faktor penting yang mempengaruhi transmisi adalah perbandingan antara nyamuk betina infektif dan tidak infektif. Di Singapura rasio infeksi minimal pada Aedes aegypti 0,51 per 1000 dan pada Aedes albopictus 0,59 per 1000 nyamuk. Rasio ini dapat digunakan sebagai indeks untuk arboviral disease dalam kontak antara vektor infektif dan kejadian pada manusia di luar rumah. Selain itu juga digunakan indeks jumlah nyamuk infektif per rumah. Indeks ini sering digunakan karena hubungan yang erat antara rumah dan vektor. Jumlah virus yang menginfeksi betina per total jumlah betina yang ditangkap per jumlah rumah yang dikunjungi di tiga perkampungan di India selama epidemik adalah 1/15/20, 1/18/25 dan 1/18/32 (Chan, 1971; Chen, 1995 dalam Gubler et al, 1979).

2.3. Penularan Demam Berdarah Dengue

(37)

tidak membeku. Bersama sekresi saliva inilah virus dengue dipindahkan dari nyamuk antar manusia (Gubler et al, 1979).

Infeksi salah satu serotipe virus dengue akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak terhadap serotipe yang lain. Banyaknya serotipe dengue dan perbedaan antibodi menjadi salah satu penyebab kasus penyakit DBD sulit dikendalikan. Infeksi oleh satu serotipe virus dengue, hanya akan menimbulkan DD tanpa disertai perdarahan (Chungue et al, 1990; Jennings et al, 1990). Seorang yang digigit nyamuk Aedes infektif akan melewati masa inkubasi selama empat sampai enam hari, kemudian terjadi viremi selama lima sampai enam hari.

Virus dengue tipe 3 dipercaya menjadi penyebab terjadinya wabah di banyak tempat. Sejak tahun 1960 virus dengue tipe 2 dianggap sebagai penyebab utama kasus berat yang menyebabkan kematian di Thailand, tetapi pada waktu terjadi epidemi di Filipina dan Thailand tahun 1966–1967 diketahui disebabkan oleh virus dengue tipe 3 dan 4 (Gubler et al., 1979). Di Indonesia sebagian besar penderita DBD berat maupun yang meninggal diakibatkan oleh virus dengue tipe 3. Kejadian yang sama adalah wabah di Bantul Jawa Tengah, pada semua penderita DBD yang meninggal berhasil diisolasi virus dengue tipe 3, sedangkan pada waktu terjadi wabah di Pontianak, virus dengue tipe 3 tidak hanya merupakan tipe virus utama, tetapi juga merupakan tipe yang paling virulen (Poorwosoedarmo, 1988).

Karena banyaknya kasus dan terutama seringnya muncul KLB, Departemen Kesehatan (2003) menyebutkan faktor-faktor yang terkait dengan penularan DBD adalah:

1. Kepadatan penduduk, semakin padat akan semakin mudah terjadi penularan karena jarak terbang nyamuk Aedes berkisar 50 m.

2. Mobilitas penduduk, memudahkan penularan dari satu tempat ke tempat lain. 3. Kualitas perumahan, jarak antara rumah, pencahayaan, bentuk rumah, bahan

(38)

4. Pendidikan, akan mempengaruhi cara berpikir dalam penerimaan penyuluhan dan cara pemberantasan yang dilakukan.

5. Penghasilan, akan mempengaruhi kunjungan untuk berobat

6. Sikap hidup, jika senang kebersihan maka akan mempengaruhi risiko tertular DBD.

7. Golongan umur, kurang dari umur 15 tahun berpeluang lebih besar untuk terkena DBD.

8. Kerentanan tiap individu terhadap penyakit berbeda-beda.

2.4. Manifestasi Klinis Demam Berdarah Dengue

Infeksi virus dengue dapat bergejala (simptomatis) atau tidak bergejala (asimptomatis) sehingga sering terjadi kesalahan diagnosis karena hanya dianggap sebagai penyakit flu atau tipus. Penderita DBD sering menunjukkan gejala batuk, pilek, muntah, mual, bahkan diare. Untuk itu dibutuhkan ketajaman pengamatan klinis berdasarkan analisis laboratorium. Infeksi virus dengue simptomatis mungkin sebagai sindrom penyakit DD, DBD atau DSS. Infeksi dari satu serotipe dengue hanya memberikan kekebalan seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan, tetapi tidak terbukti adanya proteksi silang terhadap serotipe lainnya. Hemostasis abnormal, kebocoran plasma yang diperlihatkan sebagai trombositopenia, dan peningkatan hematokrit hanya ada pada DBD bukan DD (Departemen Kesehatan, 2003).

2.4.1. Demam Dengue (DD)

(39)

390C – 400C selama 5 – 7 hari. Petechia yang tampak disertai rasa gatal. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan :

1. Jumlah leukosit normal pada awal demam selanjutnya terjadi leukopenia selama fase demam.

2. Sering dijumpai trombositopenia saat terjadi KLB

3. Pemeriksaan kimia darah dan enzim normal tetapi enzim hati meningkat

2.4.2. Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Dengue Shock Syndrome (DSS) Kasus DBD ditandai dengan adanya demam tinggi, fenomena perdarahan hepatomegali dan sering ditandai dengan kegagalan sirkulasi. Adanya hemostasis yang abnormal dan kebocoran plasma yang diperlihatkan sebagai trombositopenia serta meningkatnya hematokrit menjadi penanda yang membedakannya dari DD.

Menurut Hadinegoro dan Satari (2002) gejala DBD diawali dengan meningkatnya suhu badan secara mendadak, disertai memerahnya kulit muka dan gejala klinik tidak khas seperti tidak ada nafsu makan, muntah, nyeri otot dan nyeri tenggorokan. Selain itu juga mengeluhkan rasa tidak enak pada epigastrium dan nyeri perut yang menyeluruh. Suhu badan tinggi selama 2 – 7 hari, kadang mencapai 400C dan disertai kejang. Fenomena perdarahan yang biasa terjadi adalah uji torniquet positif (bila terjadi 10 atau lebih petechia per 2,5 cm2). Uji tourniquet positif kuat jika dijumpai lebih dari 20 petechia. Pada kasus ringan atau sedang seluruh gejala mulai berkurang setelah suhu tubuh menurun, anggota badan terasa dingin yang menandai berkurangnya gangguan sirkulasi darah secara perlahan akibat bocornya plasma. Penderita akan sembuh sempurna segera setelah mendapat pengobatan cairan atau terapi elektrolit.

(40)

Derajat penyakit DBD dapat dikelompokkan dalam empat derajat (Departemen Kesehatan, 2003) :

1. Derajat I : Demam yang disertai dengan gejala klinis tidak khas, satu-satunya gejala perdarahan adalah hasil uji tourniquet posititf.

2. Derajat II : Gejala yang timbul pada DBD derajat I ditambah terjadinya perdarahan spontan

3. Derajat III : Kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan denyut nadi cepat dan lemah, menyempitnya tekanan nadi (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, ditandai kulit dingin dan lembab serta pasien gelisah. 4. Derajat IV : Syok berat, denyut nadi dan tekanan darah tidak teraba.

Hasil pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis DBD (Gatot, dalam Hadinegoro dan Satari, 2002; Departemen Kesehatan, 2003) adalah:

1. Jumlah leukosit data normal, namun leokopenia biasa dijumpai pada awal penyakit dengan dominasi neutropil. Mendekati fase akhir demam terdapat penurunan jumlah leukosit total. Tampak limfosit atipik ditemukan menjelang fase akhir demam dan awal terjadinya syok.

2. Penurunan jumlah trombosit di bawah 100.000/mm3 biasanya ditemukan antara hari sakit 3 – 8 hari. Naiknya hematokrit juga tampak di semua kasus DBD, terutama pada stadium syok. Peningkatan hematokrit sampai 20% atau lebih merupakan bukti adanya peningkatan permeabilitas kapiler dan bocornya plasma.

3. Kadang dijumpai albuminuria ringan yang bersifat sementara 4. Sering dijumpai adanya darah dalam tinja

5. Uji Koagulasi dan fibrinolitik menunjukkan adanya penurunan kadar fibrinogen, protrombin, faktor VIII, XII dan antitrombin III.

2.5. Perubahan Iklim Global terhadap Kesehatan

(41)

1 - 3,50C dalam dekade terakhir yang mempengaruhi pola curah hujan dan variasi iklim. Secara umum, konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer secara global meningkat dengan mulainya industrialisasi (sekitar tahun 1750 – 1800), terutama dari aktifitas manusia seperti pembakaran bahan bakar minyak. Greenhouse gasses (CO2, CH4, NO, O3) terakumulasi di atmosfer karena perbedaan antara

emisi tahunan dan kapasitas bumi, kecepatan pergerakan di udara dan kecepatan emisi yang berbeda (Maskell, et al, 1993 dalam McMichael et al, 1996).

Gambar 2. Hubungan perubahan iklim dan komponen yang mempengaruhinya terhadap kesehatan (Mustafa, AJ., 2005)

Mustafa (2005) mengemukakan pada Gambar 2 bahwa perubahan perubahan lingkungan secara langsung maupun tidak bertanggungjawab atas faktor-faktor penyangga utama kesehatan dan kehidupan manusia seperti produksi bahan makanan, air bersih, kondisi iklim, keamanan fisik, kesejahteraan manusia dan jaminan keselamatan dan kualitas sosial manusia. Perubahan makro dan mikro iklim akibat kenaikan konsentrase gas rumah kaca-terutama CO2, CH4,

CF4, NOx, CFC-11 dari bahan bakar minyak dan penggundulan hutan –

(42)

(PIE) atau masa inkubasi virus dalam tubuh nyamuk, jangka hidup nyamuk dewasa dan siklus gonotrofik nyamuk (Cristhoper, 1960).

Kebanyakan Aedes aegypti lebih menyukai daerah tropik dan subtropik (McMichael et al, 1996). Aedes aegypti tidak hanya hidup di daratan rendah melainkan juga pada ketinggian 1500 atau 2000 m di atas permukaan laut di Kolumbia dan di daerah subtropik Mexico 1700 m (Gubler et al, 1979). Sedangkan periode inkubasi ekstrinsik (PIE) bergantung pada suhu, kelembaban dan tingkat viremia pada inang dan galur virus. Alto dan Juliano (2001) menunjukkan bahwa reproduktifitas dan angka kematian akibat DBD menjadi lebih tinggi pada suhu di atas 300C dengan simulasi curah hujan 25% dan 90%.

Pada studi epidemiologi yang dilakukan Koopman (1991) dalam McMichael et al. (1996) menunjukkan bahwa pada suhu terutama suhu median musim hujan 170 – 300C, infeksi dengue dapat mencapai empat kali lipat. PIE untuk dengue tipe 2 pada suhu 300C adalah 12 hari dan pada suhu 320 – 350C hanya tujuh hari. Periode inkubasi yang lima hari lebih pendek, berpotensi mempercepat reproduksi hingga tiga kali lipat. Berdasarkan penelitian Koopman (1991) dalam McMichael et al. (1996), kenaikan suhu lingkungan rata-rata 30 – 40C, dapat menaikkan reproduksi virus dengue dua kali lipat (McMichael et al., 1996). Lonjakan tiga kali lipat kasus DBD di Indonesia tahun 2070 dapat diprediksi dengan model matematika sederhana (McMichael et al., 1996). Untuk melanjutkan transmisi, jangka hidup nyamuk betina harus lebih panjang dari periode tidak makan setelah keluar dari pupa dan PIE. Dilaporkan bahwa umumnya PIE antara 10 sampai 14 hari. Peningkatan suhu menyebabkan penurunan PIE, penurunan suhu menyebabkan penurunan transmisi (Watts, 1987 dalam Gubler et al., 1979).

(43)

tahun 1986 – 1987, kekeringan terjadi di Pulau Jawa dan Kalimantan Selatan. Pada saat itu terjadi dua kali puncak kenaikan suhu permukaan air laut yang memicu El Nino : pada bulan Desember 1986 – Januari 1987 dan Juli – Agustus tahun 1987. Hal ini menyebabkan anomali curah hujan (curah hujan rata-rata rendah) di beberapa wilayah Indonesia. Pada saat itu terjadi lonjakan kasus DBD di Jakarta. Data bulanan epidemiologi dan curah hujan periode 1994 – 1998 juga menunjukkan anomali iklim dan lonjakan kasus DBD di Indonesia.

Dampak kesehatan yang muncul akibat variabilitas iklim yang tinggi dalam fenomena iklim global secara umum dikelompokkan menjadi dampak kesehatan langsung dan tidak langsung pada manusia (Gambar 3). Dampak langsung adalah pada fisik dan psikis manusia, sedangkan dampak tidak langsung melalui perantara seperti bakteri, virus dan hewan vektor lainnya.

PERUBAHAN IKLIM

Peningkatan temperatur Peningkatan muka air laut

Hidrologi eksterm

(44)

2.6. Pencegahan dan Pemberantasan penyakit DBD

Pencegahan penyakit DBD didasarkan pada prinsip pemutusan rantai penularan, karena sampai saat ini belum terdapat vaksin yang efektif terhadap virus dengue. Program pemberantasan DBD di Indonesia mengadaptasi hasil Konggres WHO ke-46 tahun 1993. Strategi yang direkomendasikan adalah pemantauan vektor terus menerus sehingga dapat memutuskan rantai penularan. Gubler et al. (1979) melaporkan ada lima kemungkinan cara yang dapat dilakukan untuk memutuskan mata rantai penularan yaitu : a) Memusnahkan tempat hidup nyamuk, b) Memberikan obat anti virus, tetapi obat anti virus dengue belum ditemukan, c) Mengisolasi penderita, d) Memberantas vektor (pengasapan), e) Mencegah gigitan nyamuk, f) Memberikan imunisasi, tapi vaksin terhadap virus dengue masih dalam taraf penelitian di Bangkok.

Pemberantasan nyamuk dewasa yang menggunakan bahan kimia (thermalfooging) masih dianggap sebagai strategi penting untuk memberantas nyamuk, namun berdampak kecil pada upaya pemberantasan DBD jangka panjang. fooging dilakukan jika ditemukan sekurangnya tiga penderita panas tanpa sebab dan kepadatan jentik tinggi. Campuran bahan kimia untuk pengasapan adalah melathion atau fenitrothion dalam dosis 438 gram per hektar dilarutkan dalam 4% solar atau minyak tanah, dilakukan di dalam rumah ataupun di luar rumah. pada saat terjadi wabah penyemprotan dilakukan minimal dua kali dalam jarak 10 hari di rumah penderita dan pada jarak 100 meter di sekelilingnya (Suroso, 2001)

(45)

pengasapan. Hal lain yang mempengaruhi kegagalan program pengasapan adalah tingginya mobilitas masyarakat perkotaan, sehingga sulit melacak sumber (tempat) terjadinya penularan.

Pembasmian dengan larvisida dianggap lebih ekonomis dan lebih berkesinambungan karena memberantas jentik nyamuk. Larvisida yang digunakan adalah butir–butir abate SG 1% yang ditaburkan pada tempat penyimpanan air dengan dosis 1 ppm yaitu 10 gram untuk 100 liter air. Pengulangan dilakukan pada jarak dua atau tiga bulan kemudian (Poorwosoedarmo, 1988) .

Program pemantauan jentik berkala (PJB) dilakukan setiap tiga bulan dirumah dan tempat–tempat umum. Pemantauan jentik di rumah dilakukan sampai 100 rumah sampel untuk setiap kelurahan. Hasil PJB diinformasikan kepada kepala daerah setempat sebagai evaluasi dan dasar pengerakan masyarakat dalam PSN DBD dan diharapkan dengan dilaksanakan PJB angka bebas jentik setiap kelurahan dapat lebih besar dari 95% (Hadinegoro dan Satari, 2002).

Menurut penelitian Bohra et al. (2001), di wilayah Jalor-India terdapat delapan variabel yang efektif berkontribusi terhadap kejadian DBD, yaitu frekuensi membersihkan wadah penampung air, pola pemukiman, penggunaan pendingin air, frekuensi membersihkan pendingin air, wadah air yang tidak tertutup, penggunaan pelindung nyamuk baik berupa kawat nyamuk, penyemprotan insektisida dan penggunaan obat oles penolak nyamuk, frekuensi pengisian persediaan air dan frekuensi pembuangan sampah.

(46)

dengan kasus kejadian DBD. Rentang waktu pembuangan yang ideal adalah setiap tiga hari sekali sampah diangkut, tetapi jarak satu minggu satu kali sudah dianggap maksimum dan lebih dari 15 hari sangat berisiko. Banyaknya buangan kaleng, ban bekas, aneka bungkus dan wadah plastik bekas atau benda–benda lain yang potensi menjadi penampung dan terisi air saat hujan akan menjadi tempat bertelur nyamuk. Sehingga sampah harus segera diangkut dari pemukiman ke tempat pembuangan akhir.

Hal yang ditemui dalam penelitian Bohra et al. (2001) umumnya sampah diangkut 15 - 20 hari sekali, sehingga disimpulkan faktor pembuang sampah inilah yang mendorong tingginya kasus DBD di India, khususnya di Jalor dan Rajasthan, tempat lokasi penelitian. Dari delapan variabel penelitian Bohra di atas enam variabel sangat terkait dengan perilaku masyarakat. Hal ini menunjukan peran perilaku sangat penting dalam mengendalikan risiko terjadinya kasus DBD, dan diharapkan dapat menjadi prioritas program intervensi yang harus diupayakan maksimal pelaksanaannya.

2.7. Nilai Manfaat Pengelolaan Lingkungan

Menurut Hadinegoro dan Satari (2002), secara umum pengelolaan lingkungan serangga penular DBD sangat utama pada lingkungan air sebagai tempat perkembangbiakkan dari telur, larva sampai menjadi nyamuk yang mempunyai risiko infektif pada manusia. Hasjimi dan Adisasmito (1997) menyebutkan faktor lingkungan yang berperan pada pengelolaan lingkungan serangga penular antara lain : temperatur, kelembaban, keseimbangan asam dan basa, dan nutrisi berdasarkan kesesuaian setiap stadium. Upaya pencegahan pola sebar DBD yang efektif jika dapat dilakukan pada tempat perkembangbiakkannya yaitu di lingkungan tempat yang tergenang air, seperti pada tempat perkembang biakkan alami di kali atau sungai yang tenang dan pergerakan air rendah, celah-celah tempat yang terisi air di halaman, pohon atau pada cekukan tanah yang berisi air. Sedangkan pada tempat perkembang biakkan buatan seperti bak mandi, drum, vas bunga dan tempat minum burung.

(47)

keterkaitan sumberdaya air mengharuskan penilaian ekonomi memperhatikan berbagai komponen penyusunan yang dievaluasi. Dengan demikian, nilai ekonomi masing-masing komponen penyusun dapat dianalisis dekomposisi. Sifat tidak terpisahkan mengharuskan penilaian ekonomi menetapkan secara tepat batas analisis bagi yang menyangkut batas administrasi kewenangan (the boundary of jurisdiction) dan terlebih batas fisik dari sumberdaya air (Sanim, 2003).

Sifat terpulihkan mengharuskan prinsip penilaian ekonomi mengkaji ekosistem yang bersifat antar generasi baik dari segi manfaat yang diperoleh maupun biaya yang ditanggung. Oleh karena waktu merupakan komponen krusial dalam penilaian, maka sumberdaya dibagi dua tipe yaitu sumberdaya terpulihkan (renewable) dan sumberdaya tak terpulihkan (nonrenewable). Sumberdaya terpulihkan hanya berbeda pada waktu yang diperlukan untuk diproduksi (rotation periode). Sifat dampak eksternal mengharuskan penilaian ekonomi sumberdaya mencakup semua kegiatan yang berpengaruh keluar batas wewenang satuan pengambilan keputusan. Dampak eksternalitas ini dapat digolongkan atas dampak negatif dan dampak positif (Sanim, 2003).

2.8. Penilaian Ekonomi Sumberdaya Alam

Nilai ekonomi (economic value) merupakan komponen penting dalam pengelolaan sumberdaya alam yang mengikuti perdebatan analisis ekonomi dan lingkungan (economic-cum-environmental, ECE) dengan memperhatikan dimensi-dimensi ekonomi dan ekologi secara integratif. Nilai ekonomi terdapat pada suatu tujuan perubahan tertentu, tetapi secara kompleks nilai-nilai tersebut menyatakan pilihan-pilihan yang berkaitan dengan lingkungan. Perubahan iklim global yang berpengaruh pada kenaikan temperatur dan peningkatan curah hujan dapat memberikan peluang peningkatan tampat perkembang biakkan Aedes aegypti. Hal ini akan memberikan pilihan dan penilaian secara ekonomi tentang nilai manfaat pengelolaan lingkungan serangga penular (Sanim, 2003).

(48)

bahwa teknik penilaian ekonomi sumberdaya alam dapat dipilih dengan pertimbangan-pertimbangan berikut:

1. Banyaknya tujuan atau perkiraan yang ingin diukur. Jika yang dilakukan mempunyai tujuan ganda, maka sebaiknya menggunakan perkiraan dampak (dampak hipotetik) yang disarankan.

2. Konsep dan aspek yang ingin dinilai. Teknik penilaian ekonomi sumberdaya alam yang berbeda satu sama lain bersifat saling melengkapi dan bukan berkompetisi karena teknik-teknik tersebut mengukur aspek yang berbeda. 3. kebutuhan dan kepentingan pemakai hasil penilaian. Pemakai hasil penilaian

memiliki preferensi tersendiri terhadap suatu teknik penilaian ekonomi tergantung biaya, waktu dan tujuan.

4. Kepentingan masyarakat luas. Preferensi masyarakat luas terhadap sumberdaya alam harus dapat ditangkap maksimal dan setepat mungkin. Untuk itu perlu ditempuh jejak pendapat yang intensif dan memadai.

5. Perbandingan atau bobot antara biaya dengan nilai ekonomi dari penggunaan hasil penilaian. Perlu dipikirkan apakah keuntungan penggunaan hasil penilaian sebanding dengan biaya yang akan dikeluarkan.

Menurut Sanim (2003) dalam kaitan dengan budidaya tanaman anti nyamuk, penilaian manfaat ekonomi perlu dilakukan karena :

1. Penilaian mengingatkan bahwa pengelolaan lingkungan serangga penular melalui budidaya tanaman anti nyamuk membutuhkan biaya, tetapi mempunyai harga yang seringkali tidak ditangkap oleh mekanisme pasar. 2. Penilaian memberikan isyarat bahwa pengelolaan lingkungan melalui

budidaya tanaman anti nyamuk bersifat langka.

(49)

4. Penilaian memberikan masukan dalam pengambilan keputusan yang lebih adil karena metode ini mampu menghindari pertimbangan yang bersifat kualitatif dan tidak obyektif.

5. Penilaian mampu memberikan indikasi motivasi kepada mayarakat untuk berpartisipasi dalam mewujudkan perilaku hidup bersih dan sehat.

6. Penilaian memberikan arahan untuk kebijakan publik seperti pajak, subsidi, biaya konservasi, biaya pemulihan dan pencegahan.

2.9. Tanaman Anti Nyamuk a. Zodia (Evodia suaveolans)

Zodia merupakan tanaman asli Indonesia dari daerah Papua termasuk kedalam familli Rutaceae, oleh penduduk setempat tanaman ini biasa digunakan untuk menghalau serangga, khususnya nyamuk jika pergi ke hutan. Tinggi rata-rata tanaman Zodia 75 cm rentang ketinggian antara 50 cm – 200 cm. Zodia mengeluarkan aroma wangi jika tertiup oleh angin. Mengandung evodiamine dan rutaecarpine. Hasil analisa yang dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balitro) dengan gas kromatografi, minyak yang disuling dari daun Zodia mengandung linalool (46 %) dan A-pinine (13,26%). Linalool sudah lama dikenal sebagai repellent (pengusir) nyamuk. Kardinan (2003a) menegaskan bahwa dari hasil penelitian di Balitro daun Zodia mampu menghalau nyamuk selama enam jam dengan daya proteksi 70%. Lazimnya, tanaman ini ditanam didalam pot, dan digunakan sebagai tanaman dalam ruangan (indoor plant). b) Geranium (Pelargonium citrosa)

(50)

c) Lavender (Lavandula angustifolia)

Penampilan bunga Lavender sangat menarik, bunganya berwarna-warni dan mengeluarkan aroma wangi. Perbanyakan Lavender dengan menggunakan bijinya. Jika sudah tumbuh dipindahkan ke polybag. Tingginya mencapai 15 – 20 cm dapat dipindahkan di pot atau ditanam di halaman rumah. Dapat disuling menjadi minyak atsiri dan aroma terapi (Kardinan, 2003a).

d) Serai Wangi (Cymbopogon nardus)

Kardinan, (2003a) mengemukakan bahwa selama ini serai wangi sering dipakai untuk bumbu masak dan bahan pencampur jamu. Batangnya bisa digunakan sebagai pengusir nyamuk. Serai wangi mengandung zat-zat geraniol, metilheptenon, terpen-terpen, terpen alkil, sitronelal. zat sitronelal ini memiliki sifat racun kontak. Sebagai racun kontak dapat menyebabkan tubuh kehilangan cair yang dapat menyebabkan kematian. Ekstrak serai wangi diperoleh batang serai wangi sebanyak 1 kg dicuci dan tiriskan sampai kering. Masukkan dalam blender, lalu haluskan. Masukkan hasil blenderan kedalam 250 ml air, lalu rendam selama semalam. Untuk aplikasi, tuangkan ekstrak serai wangi kedalam alat penyemprot, lalu semprotkan ke tempat dimana ke tempat aktivitas nyamuk.

2.10. Sistem dan Model

Sistem adalah satu perangkat komponen yang saling berhubungan dan berkaitan yang diorganisir untuk mencapai suatu tujuan. Muhammadi et al (2001) menambahkan bahwa sistem merupakan interaksi antar komponen dari suatu obyek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai tujuan, sedangkan model merupakan bangunan atau struktur pemikiran yang bersifat sistematik. Secara rinci, model merupakan satu perangkat yang menggambarkan komponen yang saling berkaitan, berhubungan, dan berinteraksi dalam batasan tertentu, sehingga menghasilkan suatu perilaku dengan dinamika tertentu.

(51)

Gambar

Gambar 2. Hubungan
Gambar 3.  Efek Perubahan Iklim Terhadap Kesehatan
Gambar 4.  Diagram alir proses hierarki analitik
Gambar 5. Diagram alir deskriptif teknik ISM pada pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Provinsi DKI Jakarta
+7

Referensi

Dokumen terkait

2 Pengembangan minat dan bakat dakwah di MAN 1 dan MAN 3 Malang dilakukan dengan cara: a Memberikan rangsangan untuk mengembangkan minat dakwah siswa, b Mengapresiasi partisipasi

Menurut Rommers (2001) kelinci Zealand white dengan bobot badan lebih dari 4 kg dan kurang dari 3 kg, yang disapih pada umur 4,5 minggu serta diinseminasi pertama pada umur

operasi dan leverage keuangan terhadap laba per lembar saham memiliki nilai R-square sebesar 0,210 menunjukkan bahwa pengaruh variabel bebas (independen) terhadap

Pluralisme yang ditunjukkan pada Pura Kebo Edan dan Pura Pusering Jagat-Pusering Tasik menunjukkan fungsi infrastruktur religi dalam suatu sistem religi pada Kerajaan

Deformasi akibat perubahan temperatur yang merata dapat dihitung dengan menggunakan prosedur seperti yang dijelaskan pada pasal ini. Prosedur ini dapat digunakan untuk

Secara umum indeks saham LQ-45 di Indonesia cenderung mengalami peningkatan ( bullish market ). Keadaan tersebut tidak lepas dari kondisi ekonomi makro Indonesia

Hasil sampel menunjukkan bahwa tidak ada indikasi manajemen laba sebelum merger dan akuisisi yang dilakukan dengan income increasing accruals.. Selanjutnya kinerja keuangan

Selisih antara pola output aktual ( output yang dihasilkan) dengan pola output yang dikehendaki ( output target ) yang disebut error digunakan untuk mengoreksi