• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Dinamika Interaksi Muson, DM dan ENSO

4.2.1 Variabilitas Mode ke-1 EOF

4.2.1.2 Dinamika Laut-Atmosfer Fase Negatif

Variabilitas laut-atmosfer yang terjadi pada fase negatif Mode ke-1 EOF hampir sama dengan kebalikan dari fase positif Mode ke-1 EOF. Periode puncak

fase negatif Mode ke-1 EOF ini terjadi pada Januari. Pola anomali angin di BBU dominan berupa Angin Timur Laut dengan kecepatan tertinggi terjadi di atas perairan Teluk Bengal dan Laut Cina Selatan sebesar 7.0 m/s. Setelah melewati ekuator anomali angin ini berbelok ke arah tenggara sehingga terbentuk Angin Barat Laut dengan kecepatan tertinggi terjadi di sekitar Laut Banda dengan kecepatan 7.5 m/s (Gambar 35a). Pola anomali arus permukaan laut di Laut Cina Selatan, Selat Karimata, Laut Jawa, Laut Banda, perairan selatan Jawa dan Arus Pantai New Guinea secara umum cenderung mengikuti pola anomali angin dengan kecepatan yang tinggi berkisar 0.3 m/s terjadi di Laut Cina Selatan, Selat Karimata, perairan utara NTB dan NTT, selatan Jawa, perairan sebelah tenggara India dan Arus Ekuatorial Selatan di Samudera Pasifik (Gambar 35b).

Anomali angin melintang terhadap ketinggian di lapisan troposfer pada 5°LS-5°LU terdapat pola yang tidak teratur, banyak terjadi zona turbulen dengan kecepatan yang sangat bervariasi dimana pola ini menunjukkan kondisi atmosfer di sepanjang ekuator mengalami ketidakstabilan yang mengindikasikan terjadi zona divergen di lapisan permukaan (Gambar 36a). Anomali angin zonal baratan terbentuk dari lapisan atas troposfer di sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dengan kecepatan mencapai 3.0 m/s sampai di lapisan permukaan di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dengan kecepatan sekitar 1.0 m/s, sedangkan angin timuran terbentuk kuat di sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia di lapisan tengah troposfer sebesar -4.0 m/s dan di lapisan atas torposfer di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik (Gambar 36b). Oleh karena itu, diduga masukan uap air dominan berasal dari perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dan naik ke lapisan atas troposfer sampai di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia sehingga berpotensi untuk terjadi proses kondensasi di tengah ekuatorial perairan Asia Tenggara.

Gambar 35 Sebaran horizontal (a) rata-rata anomali angin ketinggian 10 m (m/s) dan (b) rata-rata anomali arus kedalaman 5 m (m/s) pada fase negatif Mode ke-1 EOF.

Potensi terjadinya proses kondensasi semakin besar karena anomali suhu udara vertikal dominan di bawah normal dengan nilai minimum anomali suhu udara sebesar -0.6°C (Gambar 36c). Anomali kelembapan udara relatif dengan nilai tinggi di lapisan atas troposfer sampai permukaan di tengah ekuatorial Asia Tenggara sebesar 4.0-10% yang berasal dari perairan sebelah barat laut Samudera Pasifik semakin memperkuat potensi terjadinya proses kondensasi dengan masuknya kandungan uap air yang tinggi, sehingga berpotensi terjadinya proses presipitasi (Gambar 36d).

Gambar 36 Sebaran melintang terhadap ketinggian atmosfer (mBar) pada 5°LS-5°LU dari (a) pola rata-rata anomali angin (arah zonal dalam m/s dan omega dalam cPa/s), (b) rata-rata anomali angin zonal (m/s), (c) rata-rata anomali suhu udara (°C) dan (d) rata-rata anomali RH (%) pada fase negatif Mode ke-1 EOF.

Gambar 37 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali suhu potensial (°C) kedalaman 5 meter dan (b) rata-rata anomali kedalaman lapisan tercampur (m) pada fase negatif Mode ke-1 EOF.

Pada fase negatif Mode ke-1 EOF, pola sebaran anomali SPL hampir sama dengan fase kebalikan dari fase positif Mode ke-1 EOF dimana anomali positif SPL dominan berada di BBS dan negatif di BBU. Pada kenyataanya, nilai anomali positif SPL maksimum pada fase negatif ini sebesar 2.0°C lebih rendah 1.0°C daripada fase positif dan anomali negatif SPL minimum sebesar -3.5°C lebih rendah 0.5°C daripada fase positif (Gambar 37a). Selain itu, ternyata pada arah meridional antara luasan area anomali positif SPL pada fase positif dan negatif berbeda atau dengan kata lain nilai anomali 0°C antara fase positif dan negatif tidak sama. Oleh karena itu, aktifitas Muson di wilayah Benua Martim terdapat ketidakseimbangan kandungan bahang di laut baik secara temporal antara maupun spasial, sehingga pada Mode ke-1 EOF ini terdapat kondisi asimetris kandungan bahang di laut yang akan mengakibatkan terjadinya pergeseran awal dan panjang musim dimana sinyal ini diyakini akan terdeteksi pada Mode EOF berikutnya. Fase ini diberi nama “Asimetris Muson perairan Asia Tenggara (AMAT) negatif” atau disebut juga fase AMAT negatif dimana pada fase ini keseimbangan

kandungan bahang dari hasil interaksi darat-laut-atmosfer, peranan laut berfungsi sebagai penyumbang bahang utama ke atmosfer (pelepasan bahang) dari sistem keseimbangan kandungan bahang di darat, laut dan atmosfer.

Hasil analisis pola sebaran anomali kedalaman lapisan tercampur memperlihatkan pula bahwa anomali kedalaman lapisan tercampur tidak berfungsi sebagai penyimpan bahang di laut dari umpan balik hasil interaksi laut-atmosfer karena meskipun nilai maksimum anomali kedalaman lapisan tercampur mencapai 50 m tetapi terpusat di BBU dan nilai anomali 0 m berada lebih ke arah utara dibandingkan dengan nilai anomali 0°C dari SPL (Gambar 37b). Selain itu, nilai anomali minimum kedalaman lapisan tercampur dominan terpusat di BBS dengan nilai minimumnya sebesar -25 m dimana kondisi ini memperkuat bahwa kandungan bahang di laut sebelumnya telah dilepaskan ke atmosfer sehingga adveksi vertikal suhu laut mulai melemah yang mengakibatkan kedalaman lapisan tercampur semakin dangkal. Oleh karena itu, dinamika kedalaman lapisan tercampur di wilayah Asia Tenggara dan interaksinya dengan aktifitas Muson menjadi sangat penting dalam mengontrol keseimbangan bahang di darat, laut dan atmosfer yang berperan besar dalam variabilitas iklim di Asia Tenggara dan sekitarnya.

Hasil analisis pola sebaran anomali QS+QL pada fase negatif Mode ke-1 EOF dengan jelas memperlihatkan bahwa dominan di perairan Asia Tenggara dan sekitarnya kandungan bahang di laut dilepaskan ke atmosfer dengan nilai anomali negatif QS+QL minimum sebesar -40 W/m2 yang terpusat di sebelah tenggara Samudera Hindia, Teluk Bengal, Laut Cina Selatan, Laut Sulawesi dan perairan sebelah barat daya Samudera Pasifik, sedangkan anomali positif QS+QL dominan terpusat di perairan sebelah barat laut Samudera Pasifik dan di daratan yaitu Pulau Papua, Sumatera, Kalimantan dan Benua Australia dengan anomali positifnya berkisar antara 10-40 W/m2 (Gambar 38a). Kondisi ini memperlihat secara spasial terjadi pola asimetris kandungan bahang di laut dan darat pada arah meridional antara BBU dan BBS. Jika dibandingkan antara fase positif dan negatif Mode ke-1 EOF, terlihat sepintas berupa fase kebalikannya, tetapi pada kenyataannya terdapat selisih anomali kandungan bahang di laut dan darat antara fase positif dan negatif dimana pada fase positif anomali positif kandungan bahang yang

tersimpan di laut dan darat (Gambar 33a) lebih besar daripada anomali negatif kandungan bahang yang dilepaskan dari laut dan darat ke atmosfer pada fase negatif. Selain itu, pada fase positif luasan area anomali positif kedalaman lapisan tercampur lebih besar daripada pada fase negatif. Pada fase positif anomali positif kedalaman lapisan tercampur dominan menyebar dari BBS sampai BBU pada 10°LU (Gambar 32b), sedangkan pada fase negatif dominan hanya menyebar dari BBU sampai di 10°LU (Gambar 37b). Oleh karena itu, pada Mode ke-1 EOF ini terjadi asimetri anomali kandungan bahang di laut dan darat, sehingga memperkuat keberadaan AMAT baik secara temporal maupun spasial dimana pada fase AMAT positif terjadi penyimpanan kandungan bahang di laut yang lebih besar daripada pelepasan kandungan bahang dari laut ke atmosfer pada AMAT negatif.

Gambar 38 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali QS+QL (W/m2) dan (b) rata-rata anomali P–E (mm/hari) pada fase negatif Mode ke-1 EOF. Pada fase negatif Mode ke-1 EOF, pola sebaran anomali positif P–E dominan berada di BBS yang terpusat di sekitar 15°LS dengan nilai anomali

berkisar antara 2.0-2.5 mm/hari, sedangkan anomali negatif dominan berada di BBU yang terpusat di sekitar 12°LU dengan kisaran yang sama tetapi dengan nilai anomali yang negatif (Gambar 38b). Kondisi ini memperlihatkan posisi asimetris Muson secara spasial pada periode waktu yang sama meskipun nilai anomali 0 mm/hari berada di sekitar ekuatorial, sedangkan pada fase positif terlihat nilai anomali 0 mm/hari tidak berada di sekitar ekuatorial, tetapi bergeser ke arah utara di sekitar 10°LU (Gambar 33b). Kondisi ini memperlihatkan posisi asimetris Muson secara temporal antara puncak fase negatif pada bulan Januari dengan puncak fase positif pada bulan Juli. Oleh karena itu, pengaruh AMAT terhadap variabilitas iklim dan interaksinya dengan Muson di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya berkontribusi cukup besar dimana pada Lampiran 5 disajikan pula hasil analisis pola sebaran anomali OLR dan curah hujan pada fase negatif Mode ke-1 EOF sehingga lebih mempertegas lagi peran dari penting AMAT dalam mengatur variabilitas iklim dan interaksinya dengan Muson di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya. Penyebab terjadinya AMAT adalah ketidakseimbangan bahang di lautan baik secara spasial maupun temporal dimana perairan Teluk Bengal, Laut Cina Selatan, Laut Jawa, Laut Banda dan Laut Sulawesi berperan sebagai kapasitor bahang di laut dan pulau-pulau besar serta ribuan pulau kecil di Indonesia berfungsi sebagai stabilisator kandungan bahang di atmosfer. Ketidakseimbangan sistem ini akan mempengaruhi pergeseran awal dan panjang musim pada periode siklus Muson berikutnya dimana sinyalnya diduga akan terdeteksi pada Mode EOF berikutnya.

Skematika interaksi laut-atmosfer pada fase negatif Mode ke-1 EOF cukup sederhana karena merupakan kebalikan dari fase positif Mode ke-1 EOF dimana peranan interaksi Muson, DM dan ENSO terhadap variabilitas iklim di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya, lebih besar didominasi oleh aktifitas Muson (Gambar 39). Pada puncak fase negatif Mode ke-1 EOF yang terjadi pada bulan Januari, posisi semu matahari berada di BBS pada 23.5°LS sehingga tekanan udara di BBS lebih rendah daripada di BBU. Oleh karena itu, angin bergerak dari BBU ke BBS dimana parameter Coriolis berperan dalam pembelokan arah angin. Angin Timur Laut di BBU terbentuk dengan membawa kandungan uap air yang tinggi karena di BBU dominan merupakan lautan. Ketika massa udara dengan

kandungan uap air tinggi yang terbawa oleh Angin Timur Laut mencapai ekuatorial proses kondensasi mulai terjadi di seluruh lapisan troposfer karena suhu udara di lapisan troposfer memiliki anomali negatif. Setelah melewati ekuator, Angin Timur Laut dibelokkan karena adanya parameter Coriolis sehingga terbentuk Angin Barat Laut dengan tetap membawa massa udara dengan kandungan uap air yang tinggi. Proses kondensasi berlangsung semakin efektif, sehingga intensitas curah hujan semakin bertambah besar yang terpusat disekitar 15°LS.

Gambar 39 Skematika pola Sirkulasi Walker (biru) dan dinamika suhu massa air pada fase negatif Mode ke-1 EOF. Keterangan tanda gambar sama seperti pada Gambar 34.