• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Indian Ocean Dipole Mode

Fenomena DM pertama kali dikemukan secara bersamaan oleh Saji et al. (1999) dan Webster et al. (1999) adalah merupakan fenomena perpindahan kolam air hangat arah zonal di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia yang mirip dengan fenomena ENSO di Samudera Pasifik. Siklus yang dimiliki oleh DM hampir sama dengan siklus ENSO yaitu siklus antar tahunan sebesar 2-5 tahun (Saji et al., 1999). Fenomena ini ditemukan dari hasil analisis EOF dan analisis komposit di Samudera Hindia dengan menggunakan data SPL selama 40 tahun. Hasil dari analisis EOF didapat mode dominan pertama sebesar 30% dan kedua sebesar 12% dari total keragamannya. Mode kedua inilah oleh Saji et at. (1999) dinamakan kejadian Dipole Mode (Dipole Mode Event) karena pada Mode kedua dominan ini terdapat perbedaan secara spasial dimana SPL di sebelah barat ekuatorial

Samudera Hindia tinggi, sedangkan di perairan timur Samudera Hindia tepatnya di sebelah selatan perairan barat Sumatera ditemukan SPL yang rendah.

Pola ini sesuai dengan pola angin yang bergerak dari arah tenggara menuju barat laut di perairan timur Samudera Hindia, kemudian ketika sampai di ekuator angin tersebut berbelok ke arah barat. Angin tersebut mendorong massa air hangat ke arah barat ekuatorial Samudera Hindia sampai ke perairan sebelah timur benua Afrika. Pada kondisi normal kolam air hangat ini berada di sebelah timur Samudera Hindia, akibat adanya anomali angin timur mendorong massa air hangat ini ke arah barat seiring dengan peningkatan zona konveksi dengan membawa uap air di atasnya yang berpotensi terjadinya hujan selama bergeraknya massa air hangat tersebut (Gambar 2).

Gambar 2 Evolusi DM dari hasil analisis komposit SPL di Samudera Hindia (Saji et al., 1999). (a), (b), (c) dan (d) berturut-turut komposit SPL (°C) pada bulan Mei-Juni, Juli-Augustus, September-Oktober dan November-Desember.

Pola spasial dari hasil analisis EOF dengan menggunakan data SPL sangat jelas berbeda di perairan barat dan timur ekuatorial Samudera Hindia, sehingga Saji et al. (1999) dengan mudah mendefinisikan sebuah indeks dari selisih anomali SPL di perairan barat Samudera Hindia (50°BT-70°BT, 10°LS-10°LU) dengan anomali SPL di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia (90°BT-

110°BT, 10°LS-ekuator). Indeks ini akan bernilai positif jika massa air hangat bergerak ke arah barat Samudera Hindia dan fase ini dinamakan fase positif dimana sedang berlangsung DM, sedangkan apabila indeks ini bernilai negatif jika massa air hangat terdorong ke arah tenggara Samudera Hindia dan fase ini dinamakan fase negatif DM. Indeks ini kemudian diberi nama Dipole Mode Index (DMI).

Gambar 3 Pola perambatan anomali (a) SPL (°C) pada 5°LU-5°LS, (b) angin zonal (m/s) pada 5°LU-5°LS dan (c) TML (cm) pada 1°LU-1°LS dari bulan Januari 1997-Juli 1998 (Webster et al., 1999).

Pada media publikasi yang sama, Webster et al. (1999) mengemukakan bahwa terjadi anomali pada dinamika laut di Samudera Hindia yang mirip dengan ENSO di Samudera Pasifik. Kesimpulan ini didapat dari hasil penelitian dengan menggunakan data SPL, tinggi muka laut (TML), curah hujan dan angin. Webster et al. (1999) memperlihatkan pergerakan rambatan SPL, TML dan angin zonal dari perairan timur Samudera Hindia sampai ke perairan barat Samudera Hindia (Gambar 3). Pola rambatan SPL ini terlihat dengan jelas selaras dengan angin zonal dan TML yang menunjukkan bahwa dinamika di Samudera Hindia ini merupakan suatu fenomena tersendiri yang berinteraksi antara laut dan atmosfer. Ketika massa air hangat ini mencapai perairan di sebelah barat Samudera Hindia, terlihat pola SPL, OLR, angin zonal dan TML yang sama seperti yang ditemukan oleh Saji et al. (1999) sehingga memperkuat bahwa dinamika ini merupakan suatu fenomena tersendiri yang mirip dengan ENSO di Samudera Pasifik (Gambar 4).

Gambar 4 Pola sebaran horizontal (a) anomali SPL (°C), (b) anomali OLR (W m-2), (c) anomali angin zonal (m/s) dan (d) anomali TML (cm) pada bulan November 1997 (Webster et al., 1999).

Proses dinamika interaksi laut-atmosfer di Samudera Hindia dari fenomena ini menurut Webster et al. (1999) dimulai dengan adanya anomali angin di atas perairan sebelah tenggara Samudera Hindia yang mendorong massa air hangat ke perairan sebelah barat Samudera Hindia sehingga mengakibatkan terjadi anomali upwelling di perairan barat Sumatera dan downwelling di perairan timur Afrika. Sirkulasi Walker terjadi anomali dimana pada lapisan bawah angin bergerak ke arah barat dan pada lapisan atas atmosfer angin bergerak ke arah timur. Proses ini diikuti pula dengan meningkatkan zona konveksi yang memicu terjadinya penguapan dari massa air hangat yang dapat meningkatkan curah hujan di perairan sebelah barat Samudera Hindia. Sementara itu di perairan pantai barat Sumatera, terjadi zona divergen dengan udara kering di atasnya akibat dari bergeraknya massa air hangat ke arah barat Samudera Hindia.

Webster et al. (1999) menyampaikan bahwa anomali angin timur ini terus mendorong massa air hangat sehingga kedalaman lapisan termoklin mendalam di perairan sebelah barat Samudera Hindia dan mendangkal di pantai barat Sumatera. Pola angin ini mengakibatkan terjadinya formasi Ekman di tengah Samudera Hindia yang bergerak menuju ekuator diikuti dengan terjadinya downwelling Gelombang Rossby. Seiring dengan aktifitas Muson panas, massa air hangat ini kembali ke arah timur ekuatorial Samudera Hindia oleh dorongan transpor Ekman yang dibangkitkan oleh angin di sepanjang pesisir timur benua Afrika. Ketika

massa air hangat ini sampai di perairan sebelah timur Samudera Hindia, terjadi downwelling Gelombang Kelvin dan diikuti dengan perubahan sirkulasi Walker, peningkatan SPL dan kedalaman lapisan termoklin, downwelling di sepanjang pantai barat Sumatera dan peningkatan zona konveksi, penguapan dan curah hujan. Secara skematis proses dinamika laut-atmosfer di Samudera Hindia ini dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Proses dinamika laut-atmosfer di Samudera Hindia pada tahun 1997, diadaptasi dari Webster et al. (1999). (a) sampai (d) berturut- turut adalah peralihan antar musim. Keterangan secara rinci terdapat di dalam tulisan.

Fenomena di Samudera Hindia yang dikemukan secara bersamaan oleh Saji et al. (1999) dan Webster et al. (1999) oleh peneliti lain selanjutnya disebut Dipole Mode (DM), sesuai dengan penamaan yang diberikan oleh Saji et al. (1999). Fenomena ini kemudian mulai dikaji lebih lanjut oleh peneliti lainnya berkaitan dengan mekanisme proses dinamika DM, dampak DM terhadap cuaca dan iklim, pemicu terjadinya DM, variabilitas siklus DM, peranan Tropical

Biennial Oscillation (TBO) terhadap DM dan interaksinya dengan Muson dan ENSO. Sampai dengan saat ini, pemicu terjadinya DM masih menjadi perdebatan diantara para peneliti. Pemicu dan mekanisme kerja proses dinamika DM belum seutuhnya terungkap dengan jelas dan dapat diterima oleh para peneliti.

Fischer et al. (2005) mengemukakan bahwa pada musim semi terdapat dua pemicu DM yang berbeda. Pertama adalah anomali sirkulasi Hadley di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan di atas perairan Asia Tenggara dimana Angin Pasat Tenggara masuk dari BBS sebelum waktunya. Kondisi ini mengakibatkan penurunan SPL dengan cepat di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia dan menyebabkan keterlambatan datangnya angin musim panas Australia. Pemicu kedua adalah pergeseran zona konveksi arah zonal dari sirkulasi Walker pada saat terjadi El Nino. Pemicu pertama terjadi pada fase positif DM tahun 1994, dimana tidak terjadi El Nino di Samudera Pasifik. Pemicu pertama terjadi tanpa melibatkan ENSO dan pemicu kedua merupakan fase DM yang berinteraksi dengan ENSO di Samudera Hindia. Hasil penelitian ini diperoleh dari analisis luaran model gabungan iklim yang dijalankan untuk mensimulasikan kondisi Samudera Hindia dan Pasifik selama 200 tahun untuk mengetahui interelasi antara DM dan ENSO.

Sedikit berbeda dengan Fischer et al. (2005), Francis et al. (2007) menemukan bahwa pemicu terjadinya DM karena adanya siklon kecil di Teluk Bengal antara bulan April-Mei. Semua fase positif DM selama periode 1958- 2003, minimal terdapat satu siklon kecil di Teluk Bengal. Siklon ini akan memperkuat gradien tekanan meridional di sebelah timur Samudera Hindia, sehingga angin dari tenggara Samudera Hindia berhembus ke arah Teluk Bengal seiring dengan peningkatan upwelling di sepanjang pesisir barat Sumatera. Angin di Teluk Bengal kemudian naik ke lapisan atas dan bergerak kembali menuju pantai barat Sumatera dan turun menekan zona konveksi dan uap air menjadi daerah divergen di atas permukaan laut. Francis et al. (2007) berpendapat bahwa kondisi ini mengakibatkan suhu udara dan SPL di pesisir barat Sumatera menjadi turun dengan cepat dan semakin turun akibat dari hembusan angin dingin dari tenggara Samudera Hindia, sehingga daerah ini memiliki tekanan udara tinggi. Tekanan udara tinggi ini mengakibatkan angin berhembus ke arah barat di

sepanjang ekuator Samudera Hindia dan mengakibatkan angin baratan dari Afrika melemah. Kekuatan angin timur semakin meningkat dan mendorong massa air hangat di sepanjang ekuator bergerak ke arah barat. Massa air hangat ini kemudian menumpuk di sebelah barat ekuatorial Samudera Hindia dan membentuk daerah convergen kuat dan memicu terjadinya zona konveksi yang meningkatkan kandungan uap air di atasnya, sehingga anomali curah hujan terjadi di sepanjang pantai timur Afrika.

Penelitian mengenai pemicu terjadinya DM, sampai dengan saat ini masih terus dilakukan. Masih terdapat perdebatan mengenai teori pemicu DM dan proses dinamika interaksi laut-atmosfer yang menyertainya. Jika dikelompokan, teori pemicu DM yang berkembang dibagi menjadi dua yaitu pertama, DM dipicu dari anomali yang berada di Samudera Hindia dan yang kedua, pemicunya berasal dari sistem di luar Samudera Hindia seperti ENSO, MJO dan TBO. Wilayah Asia Tenggara memiliki keunikan tersendiri (Webster, 1987; Fein dan Stephens, 1987; Mori et al., 2004; Chang, 2005; Neelin, 2007), dimana interaksi yang terjadi tidak hanya laut-atmosfer saja, tapi perlu mempertimbangkan interaksi antara darat, laut dan atmosfer. Karakter daratan yang lebih mudah menyerap bahang dan melepas bahang berinteraksi dengan karakter lautan yang lambat menyerap bahang dan lama menyimpan bahang, memiliki dinamika tersendiri jika berinteraksi dengan atmosfer di atasnya (Chang, 2005). Variabilitas keseimbangan bahang antara darat-laut-atmosfer yang besar akan berakibat pola sirkulasi udara horizontal maupun vertikal pada arah zonal maupun meridional di atas perairan Asia Tenggara menjadi lebih kompleks. Daerah konvergen dan divergen maupun konveksi di perairan Asia Tenggara selalu berubah setiap saat akibat dari perbedaan pemanasan di lautan yang dikelilingi oleh pulau-pulau maupun perbedaan pemanasan antara lautan dan daratan dengan pola topografi yang beragam (Mori et al., 2004). Seperti halnya Muson di wilayah Asia Tenggara yang berada di ekuator dimana Indonesia menjadi zona transisi pembelokan arah angin dan pemicu DM yang dimulai dengan adanya anomali angin timur di perairan sebelah selatan pantai barat Sumatera (Webster et al., 1999), maka sangat memungkinkan sekali pemicu awal terjadinya DM bersumber dari perairan Indonesia yang memiliki dinamika darat-laut-atmosfer yang besar dan kuat

(Chang, 2005). Begitu pula ENSO, dimana diketahui sebelumnya bahwa terdapat anomali angin baratan di atas perairan sebelah timur perairan Indonesia sebelum terjadinya ENSO (Philander, 1990) membuka kemungkinan bahwa pemicu ENSO juga bersumber dari dinamika darat-laut-atmosfer di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya.