• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Dinamika Interaksi Muson, DM dan ENSO

4.2.1 Variabilitas Mode ke-1 EOF

4.2.1.1 Dinamika Laut-Atmosfer Fase Positif

Variabilitas laut-atmosfer pada fase positif Mode ke-1 EOF dari hasil interaksi antara Muson, DM dan ENSO sangat kuat didominasi oleh Muson. Sirkulasi Walker di Samudera Hindia dan Pasifik cenderung dalam kondisi normal. Aktifitas Muson diperankan oleh Angin Muson Tenggara di BBS dan Angin Muson Timur Laut di BBU (Gambar 30a) dengan kecepatan yang tinggi berada di BBU maksimum sebesar 8 m/s. Puncak fase positif terjadi pada bulan Juli yang cenderung ditentukan oleh posisi semu matahari. Pola anomali arus

permukaan laut cenderung mengikuti pola anomali angin di atas permukaan laut di perairan selatan Jawa, barat Sumatera, Laut Jawa, Selat Karimata dan Laut Cina Selatan, sedangkan di sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia arus kuat dari Arus Ekuatorial Utara mendominasi dengan kecepatan mencapai 0.4 m/s dan di Samudera Pasifik didominasi dengan masuknya Arus Balik New Guinea dan Arus Balik Ekuatorial Utara dengan kecepatan berkisar antara 0.1-0.2 m/s (Gambar 30b).

Gambar 30 Sebaran horizontal (a) rata-rata anomali angin ketinggian 10 m (m/s) dan (b) rata-rata anomali arus kedalaman 5 m (m/s) pada fase positif Mode ke-1 EOF.

Gambar 31 Sebaran melintang terhadap ketinggian atmosfer (mBar) pada 5°LS-5°LU dari (a) pola rata-rata anomali angin (arah zonal dalam m/s dan omega dalam cPa/s), (b) rata-rata anomali angin zonal (m/s), (c) rata-rata anomali suhu udara (°C) dan (d) rata-rata anomali RH (%) pada fase positif Mode ke-1 EOF.

Pola anomali angin melintang terhadap ketinggian di lapisan troposfer pada 5°LS-5°LU didominasi oleh anomali angin timuran yang menunjukkan aktifitas Sirkulasi Walker di Samudera Pasifik mencapai perairan dalam Indonesia di

sekitar 120°BT dengan kecepatan sekitar 3 m/s (Gambar 31a) dan sangat kuat terlihat dari sebaran melintang anomali angin zonal (Gambar 31b), sedangkan aktifitas Sirkulasi Walker di Samudera Hindia memicu terjadinya zona konvergen kecil di lapisan permukaan dengan menguatnya anomali angin vertikal sebesar 1.5 m/s dan diikuti dengan melemahnya anomali angin zonal dari arah barat. Anomali komponen angin vertikal (omega) memiliki satuan cPa/s karena jika satuannya adalah m/s maka nilainya akan kecil sekali. Oleh karena itu, anomali kecepatan angin adalah tidak benar-benar nilai skalar dari vektor angin dengan tujuan agar vektor angin dari komponen angin vertikal terlihat secara visual. Anomali suhu udara vertikal cenderung dingin di lapisan bawah dan hangat di lapisan atas yang menunjukkan bahwa kecil sekali kemungkinan terjadi kondensasi dari kandungan uap air di udara (Gambar 31c). Masukan uap air dominan berasal dari Samudera Hindia dan Pasifik pada lapisan atas atmosfer dengan anomalinya berkisar antara 3.0-5.0% dan tidak memungkinkan untuk terjadi kondensasi di wilayah Asia Tenggara (Gambar 31d).

Gambar 32 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali suhu potensial (°C) kedalaman 5 meter dan (b) rata-rata anomali kedalaman lapisan tercampur (m) pada fase positif Mode ke-1 EOF.

Pada fase positif Mode ke-1 EOF, anomali SPL memperlihatkan pola sebaran yang sama dengan dekomposisi spasial hasil analisis EOF dimana anomali SPL yang tinggi berada di BBU dengan nilai maksimumnya sebesar 3.0°C berada di Laut Cina Selatan (Gambar 32a) yang diikuti dengan meningkatnya anomali kedalaman lapisan tercampur di BBS dengan nilai maksimum sebesar 35 m dan di BBU mengalami penaikkan kedalaman lapisan tercampur mencapai sekitar -20 m. Kedalaman lapisan tercampur di Teluk Bengal, Laut Cina Selatan dan perairan utara Papua memiliki anomali positif yang lebih tinggi mencapai sekitar 20 m, berbeda dibandingkan dengan umumnya di BBU dimana hal ini memperlihatkan bahwa Teluk Bengal memiliki fungsi untuk menjebak bahang, Laut Cina Selatan berfungsi sebagai pengisian/pelepasan bahang dan perairan utara berfungsi sebagai pengisian bahang di perairan dalam Indonesia melalui jalur ARLINDO (Gambar 32b). Kondisi ini akan mengakumulasikan ketidakseimbangan kandungan bahang di darat-laut-atmosfer.

Ketidakseimbangan kandungan bahang di laut ini terlihat dari pola sebaran horizontal anomali fluks bahang secara konduksi (sensible heat/QS) yang ditambahkan dengan fluks bahang melalui evaporasi (latent heat/QL), untuk selanjutnya akan disebut QS+QL. Fluks bahang secara konduksi di laut (QS) adalah besarnya energi panas pada luasan tertentu yang masuk atau keluar dari laut ke atmosfer melalui proses konduksi panas, sedangkan fluks bahang melalui evaporasi di laut (QL) adalah besarnya energi pada luasan tertentu yang keluar dari laut ke atmosfer melaui prosse evaporasi, sehingga QS+QL memberikan arti banyaknya bahang yang keluar dan masuk antara laut dan atmosfer melalui permukaan laut yang menentukan keseimbangan kandungan bahang antara laut dan atmosfer. Nilai anomali QS+QL positif berarti banyaknya bahang pada luasan tertentu yang masuk dan tersimpan di laut, sedangkan nilai negatif berarti banyaknya bahang pada luasan tertentu dari laut yang dilepaskan ke atmosfer. Data QS dan QL yang digunakan pada penelitian ini juga memiliki data didarat dengan anologi yang sama dengan di laut, sehingga dapat diketahui pula keseimbangan kandungan bahang antara darat, laut dan atmosfer.

Gambar 33 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali QS+QL (W/m2) dan (b) rata-rata anomali P–E (mm/hari) pada fase positif Mode ke-1 EOF. Pada Gambar 33a memperlihatkan ketidakseimbangan kandungan bahang di laut dan atmosfer dimana terlihat di Teluk Bengal, Laut Cina Selatan, Laut Jawa, Laut Banda dan Laut Sulawesi memiliki anomali QS+QL positif berkisar antara 20-40 W/m2 dimana seharusnya pada fase positif Mode ke-1 EOF ini di perairan Teluk Bengal, Laut Cina Selatan dan Laut Sulawesi sudah mulai melepaskan bahang ke atmosfer karena kandungan bahang di laut sudah mencapai kondisi maksimum akibat dari intensitas matahari dengan posisi semunya yang berada di BBU pada bulan Juli. Oleh karena itu Teluk Bengal, Laut Cina Selatan dan Laut Sulawesi berperan besar dalam proses penyimpanan bahang di laut dan terlihat dengan jelas dari peningkatan anomali kedalaman lapisan tercampur di perairan ini (Gambar 32b). Sumber bahang terbesar yang dilepaskan ke atmosfer berasal dari perairan sebelah barat laut Samudera Pasifik dengan anomali maksimumnya sebesar -30 W/m2 (Gambar 33a). Ketidakseimbangan sistem bahang di laut akan memberikan peranan yang besar terhadap pergeseran awal dan panjang musim pada beberapa siklus periode berikutnya dimana akan terdeteksi pola spasial dan

temporalnya pada beberapa Mode EOF berikutnya. Kondisi ketidakseimbangan bahang di lautan secara meridional di perairan Asia Tenggara diberi nama fase “Asimetris Muson perairan Asia Tenggara (AMAT) positif” atau disebut juga fase AMAT positif dimana pada fase ini keseimbangan kandungan bahang dari hasil interaksi darat-laut-atmosfer, peranan laut berfungsi sebagai penyimpanan bahang utama dari sistem keseimbangan kandungan bahang di darat, laut dan atmosfer.

Ketidakseimbangan kandungan bahang di darat, laut dan atmosfer berperan besar dalam mengatur pola sirkulasi atmosfer dan kondisi iklim di suatu wilayah. Salah satu parameter untuk melihat pengaruh ketidakseimbangan bahang terhadap variabilitas iklim adalah anomali dari selisih antara presipitasi dengan evaporasi (P–E) yang menunjukan anomali laju kandungan air bersih yang keluar atau masuk ke lautan dan daratan. Presipitasi (P) memperlihatkan banyaknya kandungan air terhadap waktu yang masuk ke lautan dan daratan, sedangkan evaporasi (E) memperlihatkan banyaknya kandungan air terhadap waktu yang dilepaskan ke atmosfer dari lautan dan daratan, sehingga P–E menunjukkan banyaknya kandungan air bersih yang keluar atau masuk ke lautan dan daratan. Berbeda halnya dengan nilai positif atau negatif kandungan bahang di lautan dan daratan, dimana di lautan dan daratan dianggap sebagai sistem sehingga nilai QS+QL positif artinya bahwa kandungan bahang berada di dalam sistem yaitu lautan dan daratan, sedangkan untuk parameter P dan E keduanya dianggap sebagai parameter dari sistem di atmosfer sehingga nilai keduanya selalu positif. Oleh karena itu, untuk mengetahui seberapa banyak kandungan air bersih yang masuk ke sistem lautan dan daratan perlu dihitung selisih antara kandungan air yang masuk (P) dengan kandungan air yang keluar (E), sehingga nilai P–E positif memiliki arti kandungan air lebih banyak yang masuk ke lautan dan daratan, sedangkan P–E bernilai negatif berarti kandungan air lebih banyak berada di atmosfer dengan nilai P lebih kecil dari E.

Pada Gambar 33b memperlihatkan pola sebaran anomali P–E mengikuti pola aktifitas Muson dimana puncaknya terjadi di bulan Juli pada fase positif Mode ke-1 ini. Anomali P–E terbesar terjadi di BBU dengan nilai maksimum sebesar 2.5 mm/hari dan nilai minimumnya terjadi di BBS sebesar -2.5 mm/hari yang terpusat di sekitar 10°LS. Ketidakseimbangan bahang di laut tidak terlalu

mempengaruhi variabilitas iklim di Asia Tenggara dan sekitarnya. Kemungkinan besar kandungan air di atmosfer lebih besar dikontrol oleh sistem angin Muson, sedangkan ketidakseimbangan bahang di laut masih dapat dikontrol melalui umpan balik ke kolom kedalaman dengan meningkatnya anomali kedalaman lapisan tercampur di perairan Teluk Bengal, Laut Cina Selatan dan Laut Sulawesi, sehingga kandungan bahang di lautan tetap tersimpan di perairan ini (Gambar 32b). Pada Lampiran 5 disajikan pula hasil analisis pola sebaran anomali OLR dan curah hujan pada fase positif Mode ke-1 EOF sehingga lebih mempertegas lagi keterkaitan antar parameter, proses umpan balik interaksi laut-atmosfer dan peranannya dalam mengatur variabilitas iklim di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya.

Gambar 34 Skematika pola Sirkulasi Walker (biru) dan dinamika suhu massa air pada fase positif Mode ke-1 EOF. Huruf (P) menunjukkan massa air hangat dan (D) massa air dingin dengan banyaknya tanda (+) menunjukkan semakin hangat dan tanda (-) semakin dingin. Panah hijau tua menunjukkan pengaruh angin Muson Tenggara dan hijau muda angin Muson Timur Laut dengan panjang panah menunjukkan kekuatannya. Panah merah menunjukkan arah pergeseran Sirkulasi Walker dengan panjang panah menunjukkan besar pergeserannya. Banyaknya tanda (>) menunjukkan kekuatan Sirkulasi Walker. Panah oranye menunjukkan arah arus dan biru muda menunjukkan transpor massa air dengan panjang panah menunjukkan kekuatannya.

Skematika interaksi laut-atmosfer pada fase positif Mode ke-1 EOF cukup sederhana karena peranan interaksi Muson, DM dan ENSO terhadap variabilitas iklim di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya, lebih besar didominasi oleh aktifitas Muson (Gambar 34). Posisi semu Matahari berada di BBU pada 24.5°LU sesuai puncak fase positif Mode ke-1 EOF yaitu pada bulan Juli, sehingga suhu

udara maupun laut di BBU lebih tinggi dan di BBS lebih rendah. Suhu udara yang tinggi akan mengakibatkan tekanan udara rendah, begitu pula sebaliknya, sehingga tekanan udara di BBS tinggi dan di BBU rendah. Massa udara bergerak (angin) dari tekanan tinggi di BBS ke tekanan rendah di BBU. Di sepanjang pergerakan angin di BBS sampai ke ekuatorial, arah angin dibelokan ke kiri karena adanya parameter Coriolis, sehingga angin bergerak dari tenggara ke arah barat laut di BBS sampai ke ekuator. Setelah melewati ekuator, angin yang seharusnya bergerak ke arah utara dibelokan oleh parameter Coriolis ke kanan sehingga angin dari ekuator ke BBU bergerak dari barat daya ke arah timur laut.

Sirkulasi Walker di Samudera Pasifik dalam kondisi normal sehingga massa air hangat terkumpul di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik, sedangkan Sirkulasi Walker di Samudera Hindia juga dalam kondisi normal tetapi sedikit melemah karena di Samudera Hindia Sirkulasi Walker besar sekali dipengaruhi oleh aktifitas Muson. Melemahnya Sirkulasi Walker ini disebabkan oleh Angin Muson Tenggara yang sedang berada pada fase puncaknya pada bulan Juli, sehingga massa air hangat cenderung tidak terkumpul di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia, tetapi terdorong ke arah perairan Teluk Bengal.

Angin Muson Tenggara di sepanjang perjalanan membawa massa udara kering yang berasal dari Benua Australia, sehingga di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya tidak berpotensi terjadi hujan. Sementara itu, masukan uap air dari massa air hangat yang terkumpul di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik terdorong ke arah BBU karena Angin Pasat Tenggara dan Timur Laut tidak cukup kuat untuk mendorong massa udara dengan uap air yang tinggi masuk ke wilayah Indonesia, sedangkan di Samudera Hindia massa air hangat sebagai sumber uap air tidak terkumpul di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia karena melemahnya Sirkulasi Walker di Samudera Hindia pada bulan Juli. Oleh karena itu, curah hujan yang tinggi cenderung terjadi di BBU.