• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PEMIKIRAN ISLAM WASAT}I<YAH KH. M. HASYIM ASY’ARI

B. Dinamika Pemikiran Islam Wasat}i>yah KH. Ahmad Dahlan

119

(H{anafi>, H{anbali>, Ma>liki>, dan Sha>fi‘i>) dan tidak terikat pada suatu golongan tarekat tertentu. Dalam pernyataannya, dia mengutip pendapat al-Suhra>wardi>:

‚Jalan kaum sufi adalah membersihkan jiwa, menjaga nafsu, dan melepaskan diri dari berbagai sifat buruk, seperti ujub, takabur, ria, dan senang dunia. Selain itu, menjalankan budi pekerti yang bersifat kerohanian, seperti ikhlas, tawaduk, tawakal, dan memperkenankan hati kepada setiap orang lain dan setiap kejadian rida, serta memperoleh makrifat dari Allah.‛203

Terkait pandangannya tersebut, Hasyim menulis:

‚Umat Islam di tanah Jawa pada zaman dahulu pada umumnya seragam dalam pendapat dan mazhab. Dalam bidang fikih, mereka semua mengikuti al-madhhab al-nafi>s, yakni mazhab Imam Muh}ammad ibn Idri>s. Dalam bidang us}u>l di>n, mereka mengikuti mazhab Imam Abu> al-H{asan al-Ash’ari>. Dan dalam bidang tasawuf, mereka mengikuti mazhab Imam al-Ghazālī dan Imam al-Junayd al-Baghda>di>.204

Tidak diragukan lagi, Hasyim merupakan gudang ilmu dari berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan, sehingga dia menjadi rujukan banyak ulama, baik ketika dia masih hidup maupun setelah meninggal sampai sekarang ini melalui karya-karyanya.

B. Dinamika Pemikiran Islam Wasat}i>yah KH. Ahmad Dahlan

KH. Ahmad Dahlan merupakan seorang tokoh purifikasi Islam di Indonesia. Dia lahir di Kauman Yogyakarta pada tahun 1869 M.205 Kauman adalah sebuah kampung di jantung kota Yogyakarta yang berusia hampir sama tuannya dengan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kampung Kauman pada

203 Amin, Ilmu Tasawuf, 371.

204 Muh}ammad Ha>shim Ash‘ari>, ‚Risa>lah Ahl al-Sunnah wa al-Jama>‘ah‛,dalam Irsha>d al-Sa>ri> fi> Jam‘ Mus}annafa>t al-Shaykh Ha>shim Asy‘ari>, Muh}ammad ‘Is}a>m H{a>dhiq (ed.) (Jombang: Maktabah al-Tura>th al-Isla>mi>, 2007), 9.

120

zaman kerajaan merupakan tempat bagi sembilan khatib atau penghulu yang ditugaskan oleh Keraton untuk membawahi urusan agama.

Dia lahir dan tumbuh dalam latar sosial Kauman. Dia merupakan putra KH. Abu Bakar Bin Kiai Sulaiman, seorang khatib tetap di Masjid Agung. Ketika lahir, Abu Bakar memberi nama Muhammad Darwis kepada putranya, yang kemudian diganti menjadi Ahmad Dahlan sepulangnya dari melaksanakan ibadah haji. Dia merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara. Ibunda Muhammad Darwis adalah Siti Aminah binti KH. Ibrahim, seorang penghulu besar di Yogyakarta. Dalam silsilahnya, Darwis merupakan keturunan ke-12 dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali terkemuka di antara Walisongo yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di tanah Jawa.

Dia mengawali pendidikannya di pangkuan ayahandanya di rumah sendiri. Dia berbudi pekerti halus, berhati lunak, dan berwatak cerdas. Sejak usia balita, dua orang tuanya mengajarinya pendidikan agama. Ketika berusia delapan tahun, dia sudah bisa membaca Alquran dengan lancar dan khatam. Menjelang dewasa, dia mulai mengaji dan menuntut ilmu fikih, nahu, dan ilmu-ilmu lainnya kepada para gurunya. Di usia 18 tahun, orang tuanya menikahkannya dengan Siti Walidah, putri seorang ulama yang disegani oleh masyarakat. Walidah merupakan sosok yang giat menuntut ilmu, terutama ilmu-ilmu keislaman. Dia selalu mendukung gerakan-gerakan yang dibawa oleh Dahlan. Bahkan dia mengikuti jejak Dahlan dalam gerakan pemurnian Islam.

121

Setelah menikah, Dahlan berangkat ke Mekah untuk melaksanakan ibadah haji dan memperdalam ilmu agama. Sekembalinya dari Mekah, dia banyak membawa hal-hal baru yang berkaitan dengan masalah akidah umat Islam. Pada tahun 1902 M., dia kembali ke Mekah untuk menuntut ilmu agama. Selama di Mekah, dia banyak berdialog dengan para tokoh pembaharu di Timur Tengah, seperti Muh}ammad Rashi>d Rid}a>. Selain itu, dia juga banyak mempelajari kitab-kitab karangan Muh}ammad ‘Abduh dan tokoh pembaharu lainnya, sehingga wajar gerakan pemurnian Islam yang digagas oleh Dahlan hampir serupa dengan gerakan pemurnian Islam yang digagas oleh ‘Abduh. Meskipun banyak gerakan Dahlan yang terinspirasi oleh gagasan ‘Abduh, tetapi bukan berarti dia menjiplak ajaran ‘Abduh.

Pada tanggal 8 Zulhijah 1330 H. yang bertepatan dengan tanggal 18 November 1912 M., Dahlan mendirikan Muhammadiyah.206 Muhammadiyah merupakan organisasi yang menjadi tempat berkumpulnya umat Islam yang secara harfiah bermakna ‚pengikut Nabi Muhammad saw.‛. Dahlan hadir sebagai sosok pembaharu dan purifikasi Islam di tanah Jawa untuk memperbaiki amalan-amalan umat Islam yang jauh dari ajaran Islam, yaitu Alquran dan sunah.

Term ‚pembaharuan‛ sama dengan term ‚tajdi>d‛. Setelah itu, berbagai istilah yang dipandang memiliki relevansi makna dengan pembaharuan muncul,

yaitu ‚modernisme, reformisme, puritanisme, revivalisme, dan

fundamentalisme‛. Di samping term ‚tajdi>d‛, ada term lain dalam kosa kata Islam tentang kebangkitan atau pembaharuan, yaitu term ‚is}la>h}‛. Term ‚tajdi>d‛

206 Achmadi, Merajut Pemikiran Cerdas Muhammadiyah Perspektif Sejarah (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2010), 15.

122

biasa diterjemahkan sebagai ‚pembaharuan‛ dan term ‚is}la>h}‛ diterjemahkan sebagai ‚perubahan‛ . Dua kata tersebut secara bersama-sama mencerminkan suatu tradisi yang berlanjut, yaitu suatu upaya menghidupkan kembali spirit Islam dan praktiknya dalam komunitas kaum Muslim.207

Dengan demikian, pembaharuan dalam Islam tidak melabrak dasar atau fundamen ajaran Islam. Artinya, pembaharuan bukan untuk mengubah, memodifikasi, atau merevisi nilai dan prisip Islam supaya sesuai dengan selera zaman,208 tetapi lebih berkaitan dengan penafsiran atau interpretasi terhadap ajaran dasar agar sesuai dengan kebutuhan perkembangan dan semangat zaman. Oleh karena itu, pembaharuan Islam dapat dipahami sebagai aktualisasi terhadap ajarannya dalam perkembangan sosial.209

Senada dengan pengertian tersebut, menurut Din Syamsuddin, pembaharuan Islam merupakan rasionalisasi pemahaman Islam dan kontekstualisasi nilainya ke dalam kehidupan. Sebagai salah satu pendekatan pembaharuan, rasionalisasi berarti upaya menemukan substansi dan penanggalan lambang-lambang, sedangkan kontekstualisasi berarti upaya pengaitan substansi tersebut dengan pelataran sosial-budaya tertentu dan penggunaan lambang-lambang tersebut untuk membungkus kembali substansi tersebut. Dengan ungkapan lain, rasionalisasi dan kontekstualisasi dapat disebut sebagai proses substansialisasi (pemaknaan secara hakiki terhadap etika dan moralitas) Islam ke

207 Jhon O. Voll, ‚Pembaharuan dan Perubahan dalam Sejarah Islam: Tajdid dan Islah‛, dalam Jhon L. Eposito (ed.), Dinamika Kebangunan Islam: Watak, Proses, dan Tantangan, terj. Bakri Siregar (Jakarta: Rajawali Press, 1987), 21-23.

208 Hamzah Ya’qub, Pemurnian Aqidah dan Syari’ah Islam (Jakarta: Pustaka Ilmu Jaya, 1988), 7.

209 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dan Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), iii.

123

dalam proses kebudayaan dengan melakukan desimbolisasi (penanggalan lambang-lambang) dan pengalokasian nilai-nilai tersebut ke dalam budaya baru (lokal). Sebagai proses substansialisasi, pembaharuan melibatkan pendekatan substantivistik, bukan pendekatan formalistik terhadap Islam.210

Setelah Islam mengalami kekalahan dalam perang Salib, umat Islam mengalami banyak kemunduran. Sementara itu, Barat mengalami perkembangan pesat dalam segala aspek, mulai dari sains hingga sistem militer. Barat dan Islam menjadi dua sisi yang berlawanan, karena masing-masing memiliki dua perbedaan mencolok. Barat mengambil komponen-komponen penting dalam Islam, tanpa meninggalkan sisa sedikit pun. Hal itu terbukti dengan pembakaran terhadap perpustakaan Islam dan perampasan terhadap buku-buku ilmu pengetahuan, sehingga Islam memasuki era kegelapan. Umat Islam sedikit demi sedikit tersingkir dari persaingan, sehingga sebagian dari mereka menyadarinya sebagai era kegelapan Islam dan harus diakhiri.

Umat Islam pun melakukan renaissance. Hanya saja, umat Islam tidak cukup hanya mengembangkan sains, tetapi mereka juga harus mengembangkan pemahaman keagamaan yang kini dicampakkan di Barat. Umat Islam secara perlahan mulai meneliti faktor-faktor kemunduran dan komponen-komponen yang harus diperbaiki agar bisa bangkit dan maju. Para tokoh Islam yang berpendidikan satu persatu mulai muncul, mulai dari Jama>l al-Di>n al-Afgha>ni>, H{asan al-Banna>, Muh}ammad ‘Abduh, Muh}ammad Iqba>l, hingga Sayyid Ami>r

210 Susianti Br Sitepu, ‚Pemikiran Teologi K.H. Ahmad Dahlan‛, JurnalAl-Lubb, Vol. 2, No. 1 (Juni, 2017), 143.

124

‘Ali>. Mereka melakukan perbaikan pada hampir seluruh komponen yang dapat membantu umat Islam kembali bangkit dari keterpurukan.

Menurut Achmad Jainuri, pembaharuan Islam memiliki dua misi ganda, yaitu misi purifikasi dan misi implementasi ajaran Islam di tengah tantangan zaman. Bertolak dari dua misi tersebut, tujuan pokok pembaharuan Islam adalah:211

Pertama, purifikasi ajaran Islam, yaitu mengembalikan semua bentuk kehidupan keagamaan kepada zaman awal Islam sebagaimana dipraktikkan pada masa Nabi. Masa Nabi, sebagaimana digambarkan oleh Sayyid Qut}ub, merupakan periode yang hebat, suatu puncak yang luar biasa dan cemerlang, dan masa yang tidak dapat diulang kembali. Terjadinya banyak penyimpangan dari ajaran pokok Islam pasca-Nabi bukan karena Islam kurang sempurna, tetapi karena umat Islam kurang mampu menangkap spirit ajaran Islam yang sesuai dengan perkembangan zaman.

Kedua, menjawab tantangan zaman. Islam diyakini sebagai agama universal, yaitu agama yang mengandung berbagai konsep dan pedoman tentang segala aspek kehidupan umat manusia dan senantiasa sesuai dengan semangat zaman. Berlandaskan pada universalitas ajaran Islam itu, gerakan pembaharuan dimaksudkan sebagai upaya untuk mengimplementasikan ajaran Islam sesuai dengan tantangan perkembangan kehidupan umat manusia.

H{asan al-Banna> merupakan seorang tokoh perintis Islam Modern, yang lahir pada tahun 1906 M. di Buhairah. Al-Banna> melanjutkan misinya melalui

125

sistem dakwah. Selain itu, dia juga mendirikan sebuah organisasi Islam al-Ikhwa>n al-Muslimu>n (IM). Melalui organisasi inilah, dia menjalankan misinya. Organisasi ini cukup populer di Mesir. Selain al-Banna>, Jama>l al-Di>n al-Afgha>ni> juga merupakan seorang tokoh pembaharu. Dia merupakan seorang pahlawan besar dan putra terbaik Islam. Dia lahir di Asadabat Afghanistan pada tahun 1838 M. atau 1254 H. Dia mendirikan al-‘Urwah al-Wuthqa>, sebuah percetakan Islam, yang pengaruhnya mendunia, termasuk ke Indonesia. Majalah ini menggelorakan rasa keinsafan umat Islam agar bangun menentang penjajahan Barat. Inggris melarang majalah ini masuk ke Mesir dan India. Demikian pula Belanda telah melarangnya masuk ke Indonesia. Inilah permulaan nasionalisme Islam Modern.212

Dalam kehidupan suatu negara seperti Indonesia yang di dalamnya terdapat berbagai macam suku, kebudayaan, dan agama, adanya satu ideologi nasional yang kukuh dan mantap merupakan hal yang penting dan fundamental. Dengan kesatuan ideologi itulah, keberagaman yang ada di Indonesia bisa dimuarakan menjadi satu potensi yang kuat, sehingga dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk melaksanaan pembangunan nasional.

Masih terkait dengan persoalan di atas, persoalan tentang Islam di Indonesia selalu menarik untuk diperbincangkan, karena ajaran Islam yang dipraktikkan oleh masyarakat cukup unik dan beragam. Dikatakan unik, karena masih mempertahankan aspek-aspek budaya tradisional dan agama pra-Islam (Hindu-Budha). Hal ini karena penyebaran agama Islam di Indonesia melalui

126

proses akulturasi dan sinkretisasi. Islam datang ke Indonesia ketika Hindu telah berhasil menancapkan akarnya dengan kokoh di Nusantara, baik materiil berupa candi maupun spiritual berupa pola pikir dan gagasan yang kini masih berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Jawa. G.W.J. Drewes, sebagaimana dikutip oleh Susianti Br Sitepu, menulis kondisi itu secara gamblang sebagai berikut:

‚Di mana saja kejayaan yang dicapai Islam tidak pernah berarti bahwa ia berhasil mengikis habis ide-ide pra-Islam sampai ke akar-akarnya. Malah sebaliknya, di mana-mana ada sesuatu dari yang lama tetap tinggal, tetapi di kalangan rakyat yang satu sisa-sisa ide dan lembaga pra-Islam itu lebih banyak dan lebih bisa dilihat dari di kalangan yang lain. Hal ini berlaku juga bagi penduduk Indonesia. Cara-cara berpikir tertentu yang bagi akal orang Indonesia di zaman pra-Islam adalah istimewa, tampaknya begitu fundamental sehingga kontak yang berlangsung lama dengan Islam tidak berhasil mengubah cara-cara berpikir tersebut, dan di banyak daerah kebudayaan asli masih amat luas bertahan.‛213

Artinya, umat Islam sulit melepaskan diri dari ajaran terdahulu sebelum Islam hadir di Indonesia. Bahkan jika umat Islam tidak mampu membawa ajaran Islam sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat di mana Islam berkembang, maka Islam akan berdiri di tengah-tengah sinkretisme, sehingga untuk mengembalikan umat Islam kepada ajaran Islam yang murni membutuhkan energi besar untuk melawan budaya-budaya yang telah mengakar kuat dalam diri umat Islam.

Dalam pemurnian Islam, banyak tantangan yang harus dihadapi. Apalagi jika ajaran-ajaran terdahulu sudah mengakar kuat dalam diri umat Islam, seorang tokoh sulit memurnikan kembali ajaran Islam yang sesungguhnya. Terkait pemurnian Islam di Indonesia, persoalan akidah atau teologi umat Islam selalu

127

menjadi perhatian para tokoh pembaharu. Sebagaimana diketahui, teologi membahas tentang ajaran dasar suatu agama. Setiap orang harus menyelami seluk-beluk agamanya secara mendalam agar mengetahui ajaran agama yang dianutnya dengan benar.214

C. Argumentasi Keagamaan Pemikiran Islam Wasat}i>yah KH. M. Hasyim