• Tidak ada hasil yang ditemukan

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.3. Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan Hutan Pada Areal HPT-KPHP

lahan sudah pasti akan meningkat pula.

Sedangkan laju degradasi hutan memperlihatkan penurunan yang sangat tajam, yaitu sebesar 1.160 ha pertahun pada tahun 1990-2000 turun menjadi hanya 289.6 ha pertahun. Pada periode tahun 1990-2000 merupakan periode dimana ekstraksi kayu yang dilakukan oleh PT. Hatma Hutani. Oleh karena itu tingkat deforestasi yang terjadi jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan tingkat deforestasi pada periode 2000-2009 dimana pada tahun 2001 PT. Hatma Hutani sudah tidak beroperasi lagi di areal HPT-KPHP Unit 16.

5.3. Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan Hutan Pada Areal HPT- KPHP Unit 16

Pada sub-bab ini akan dibahas mengenai perubahan tutupan/penggunaan lahan dari hutan dan dari penggunaan lahan lainnya yang berubah pemanfaatannya menjadi perkebunan rakyat, baik itu perkebunan karet monokultur, karet agroforest maupun perkebunan kelapa sawit. Analisa spasial perubahan penggunaan lahan ini dilakukan dengan melihat setiap perubahan penggunaan/tutupan lahan apa saja yang berubah terutama dari hutan menjadi perkebunan rakyat pada periode 1990, 2000 dan 2009. Secara lengkap perubahan

55

penggunaan/tutupan lahan hutan menjadi penggunaan lahan berupa perkebunan rakyat disajikan pada table berikut.

Tabel 20. Perubahan Tutupan/Penggunaan Hutan Pada Periode 1990-2000

Tahun Luas

(ha)

1990 2000

Hutan Primer Kelapa Sawit 451

Hutan Primer Karet Agroforest 777

Hutan Primer Karet Monokultur 195

Sub Total 1423

Hutan Bekas Tebangan Kerapatan Tinggi Kelapa Sawit 511 Hutan Bekas Tebangan Kerapatan Tinggi Karet Agroforest 117 Hutan Bekas Tebangan Kerapatan Tinggi Karet Monokultur 8

Sub Total 636

Hutan Bekas Tebangan Kerapatan Rendah Kelapa Sawit 24

Grand Total 2.083

Tabel 21. Perubahan Tutupan/Penggunaan Hutan Pada Periode 2000-2009

Tahun Luas

(ha)

2000 2009

Hutan Primer Kelapa Sawit 184

Hutan Primer Karet Agroforest 273

Hutan Primer Karet Monokultur 420

Sub Total 877

Hutan Rawa Primer Kelapa Sawit 2

Hutan Rawa Primer Karet Agroforest 6

Hutan Rawa Primer Karet Monokultur 4

Sub Total 12

Hutan Bekas Tebangan Kerapatan Tinggi Kelapa Sawit 1046 Hutan Bekas Tebangan Kerapatan Tinggi Karet Agroforest 841 Hutan Bekas Tebangan Kerapatan Tinggi Karet Monokultur 1390

Sub Total 3277

Hutan Bekas Tebangan Kerapatan Rendah Kelapa Sawit 175 Hutan Bekas Tebangan Kerapatan Rendah Karet Agroforest 142 Hutan Bekas Tebangan Kerapatan Rendah Karet Monokultur 205

Sub Total 522

Hutan Rawa Bekas Tebangan Kelapa Sawit 1

Dinamika perubahan penggunaan lahan yang terjadi didominasi oleh perubahan dari hutan menjadi perkebunan karet monokultur dan agroforest serta perkebunan kelapa sawit. Pada periode tahun 1990-2000 terjadi perubahan dari hutan menjadi perkebunan sawit seluas 986 hektar, perubahan hutan menjadi perkebunan karet monokultur sebesar 203 hektar dan perubahan dari hutan menjadi perkebunan karet agroforest sebesar 894 hektar. Total perubahan hutan menjadi perkebunan pada periode ini adalah sebesar 2.083 hektar atau sebesar 95% dari total deforestasi yang terjadi pada periode yang sama.

Gambar 9. Perubahan Penggunaan Lahan Dari Hutan Menjadi Perkebunan Pada Tahun 1990-2000

Perubahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit merupaka faktor pemicu utama perubahan luas tutupan hutan pada periode 1990-2000. Bagi masyarakat desa di sekitar areal HPT-KPHP Unit 16, kelapa sawit merupakan komoditas primadona, dan hal ini sudah dimulai semenjak awal tahun 1990, dimana sudah mulai banyak perusahaan kelapa sawit bersekala besar yang beroperasi di wilayah ini.

Sedangkan pada periode tahun 2000-2009, perubahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit adalah sebesar 1.408 hektar, hutan menjadi perkebunan karet monokuktur sebesar 2.019 hektar dan perubahan dari hutan menjadi perkebunan karet monokultur agroforest sebesar 1.262 hektar. Total perubahan

986

203 894

Hutan menjadi Kelapa Sawit

Hutan menjadi karet monokultur

Hutan menjadi karet agroforest

Perubahan Penggunaan Lahan Dari Hutan Menjadi Perkebunan Pada Tahun 1990-2000

57

hutan menjadi perkebunan pada periode ini adalah sebesar 4.689 hektar atau sebesar 84% dari total deforestasi yang terjadi pada periode yang sama.

Gambar 10. Perubahan Penggunaan Lahan Dari Hutan Menjadi Perkebunan Pada Tahun 2000-2009

Perubahan dari hutan menjadi perkebunan rakyat pada periode 2000-2009 naik hampir dua kali lipat apabila dibandingkan dengan perubahan dari hutan menjadi perkebunan rakyat pada periode tahun 1990-2000, yaitu naik dari 2.083 ha menjadi 4.689 ha. Hal ini tidak terlepas dari tingginya laju deforestasi yang terjadi pada periode 1990-2000, dimana banyak hutan primer yang sudah terdegradasi dan kemudian dikonversi oleh masyarakat lokal untuk dijadikan areal perkebunan karet dan kelapa sawit.

Dari hasil FGD diketahui bahwa pada saat ini sekitar 60% masyarakat lokal di desa Lubuk Kambing, Lubuk Bernai dan Suban adalah petani karet, sedangkan sisanya sebesar 40% adalah petani sawit. Luas perkebunan kelapa sawit meningkat pada periode 1990-2000 disebabkan selain semakin banyaknya pendatang (migrant) juga banyak lahan-lahan klaim masyarakat yang diganti- rugikan kepada pihak perusahaan. Sebaliknya pada periode 2000-2009 dari hasil analisa spasial diketahui bahwa perubahan dari hutan lebih banyak menjadi perkebunan karet baik itu karet agroforest maupun karet monokultur. Hal ini disebabkan oleh persepsi masyarakat lokal bahwa untuk mengusahakan sawit

1408

2019

1262 Hutan menjadi Kelapa

Sawit

Hutan menjadi karet monokultur

Hutan menjadi karet agroforest

Perubahan Penggunaan Lahan Dari Hutan Menjadi Perkebunan Pada Tahun 2000-2009

harus memilki modal yang cukup besar, sehingga masyarakat lokal lebih cenderung memilih komoditi karet.

Secara lengkap dinamika perubahan tutupan/penggunaan lahan dapat dilihat pada gambar berikut.

59

5.4. Sejarah Desa dan Masyarakat Sekitar HPT

5.4.1. Sejarah Desa Lokal (Lubuk Kambing, Lubuk Bernai dan Suban)

Sejarah asal usul dan keberadaan serta masyarakat desa Lubuk Kambing, Lubuk Bernai dan Suban relatif sama. Masyarakat ketiga desa tersebut mengaku memiliki asal usul yang sama. Dimulai dengan kedatangan orang-orang dari kerajaan Pagaruyung (Minang Kabau) di Sumatera Barat. Masyarakat dari desa Lubuk Kambing menyakini bahwa pada awalnya dulu terdapat serombongan orang-orang dari Pagaruyung yang datang ketempat dimana sekarang desa Lubuk Kambing berada. Daerah Lubuk kambing pada awalnya dulu oleh rombongan yang berjumlah 99 orang tersebut sering dijadikan tempat persinggahan. Rombongan dari Pagaruyung tersebut dipimpin oleh Datuk Mandaliko yang dipercaya sebagai leluhur masyarakat di daerah Tungkal Hulu terutama bagi masyarakat kecamatan Renah Mendaluh dan Batang Asam.

Datuk Mandaliko sendiri memiliki dua orang saudara lainnya. Mereka bertiga pada waktu itu akhirnya menetap di daerah hulu sungai Pengabuan dan mendirikan pemukiman. Datuk Mandaliko dan kedua orang saudaranya kemudian berpencar dan mulai mendirikan desa masing-masing. Dari hasil wawancara dengan masyarakat desa, diketahui bahwa Datuk Mandaliko kemudian mendirikan desa Lubuk Kambing, salah satu adiknya mendirikan desa Lubuk Bernai dan seorang lagi mendirikan desa Rantau Benar. Ketiga desa tersebut secara administratif pada saat ini berbatasan langsung satu sama lainnya.Pada waktu itu masing-masing dari ketiga kakak beradik tersebut menjadi pemimipin di desa yang mereka dirikan dengan sebutan Rio.

Cerita mengenai tujuan kedatangan Datuk Mandaliko ke daerah Tungkal Hulu agak berbeda versi dengan apa yang disampaikan oleh masyarakat desa Lubuk Bernai. Masyarakat desa Lubuk Bernai berpendapat bahwa kedatangan Datuk Mandaliko beserta 99 orang lainnya disebabkan karena pada waktu itu Datuk Mandaliko kelah bersaing untuk mendapatkan posisi/jabatan di kerajaan Pagaruyung sehaingga Datuk Mandaliko dan pengikutnya pindah mencari tempat yang baru.

Agak berbeda dengan desa Suban, dari hasil wawancara dengan masyarakat desa diketahui bahwa mereka mengaku berasal dari keturunan yang sama dengan desa Lubuk Kambing dan Lubuk Bernai namun hanya menyebutkan bahwa mereka adalah keturunan datuk Mandaliko.

5.4.2. Sejarah Desa Transmigrasi

Berbeda halnya dengan desa Lampisi. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa desa Lampisi merupakan desa pendatang murni dengan penduduk mayoritas (hampir 100%) adalah masyarakat transmigran dari Jawa. Program transmigrasi desa Lampisi dilakukan bertahap dalam beberapa gelombang dimulai pada tahun 1990. Peserta transmigrasi ke desa Lampisi pada gelombang pertama berasal dari DIY Yogyakarta, Sleman, Pandeglang dan Kuningan. Kemudian pada gelombang-gelombang berikutnya diikuti oleh transmigran dari daerah lain di pulau Jawa. Program transmigrasi desa Lampisi terintegrasi dengan perkebunan kelapa sawit PT. Asian Agri Group.

5.5. Pola Penguasaan Lahan/Hutan (Land/Forest Tenure Arrangement) 5.5.1. Pola Penguasaan Yang Dilakukan Oleh Masyarakat Lokal

Pada sub-bab ini akan dibahas mengenai pola-pola penguasaan lahan yang dilakukan oleh masyarakat lokal. Pengumpulan dan analisa data berdasarkan kepada hasil FGD dan wawancara dengan beberapa informan kunci pada tiga desa yaitu desa Lubuk Kambing, Lubuk Bernai dan Suban. Analisa deskriptif mengenai pola-pola penguasaan lahan oleh masyarakat lokal akan dibagi kedalam beberapa masa/periode waktu yaitu masa sebelum adanya konsesi HPH, masa dimana konsesi HPH sudah mulai beroperasi dari tahun 1970 dan masa setelah konsesi HPH.

Periode Sebelum Adanya Konsesi HPH

Pada awalnya dulu masyarakat desa Lubuk Kambing, Lubuk Bernai dan Suban mendapatkan lahan dengan cara melakukan klaim terhadap lahan dan hutan. Dari pengakuan masyarakat desa cara ini biasa dilakukan karena pada waktu itu ketersedian lahan disekitar desa sangat melimpah. Hal ini sangat erat

61

hubungannya dengan luasan desa dan jumlah penduduk pada waktu itu. Sesuai dengan pendapat Demsetz (1967), Feeny (1993) dalam Ostrom (2000) yang menyatakan bahwa ketika kepadatan penduduk rendah maka ketersediaan lahan akan berlimpah dimana lahan menghasilkan keragaman produk tanaman dan hewan.

Cara untuk mendapatkan lahan bagi masyarakat ketiga desa tersebut biasanya dimulai dengan kegiatan ladang berpindah. Perladangan berpindah pada waktu itu merupakan cara utama untuk melakukan klaim dan mendapatkan pengakuan terhadap lahan/hutan. Pembagian lahan dan pengakuan terhadap klaim atas lahan/hutan diketahui dan dilakukan oleh Pesirah/Rio sebagai pimpinan desa. Angelsen (1999) dalam hasil penelitian yang dilakukannya di kecamatan Siberida, Riau menemukan bahwa kegiatan ladang berpindah secara tradisional memungkinkan petani untuk mendapatkan lahan dari hutan ke dalam penggunaan individu, dan memperoleh hak guna sesuai dengan hukum adat.

Pada waktu itu ada aturan yang mengatur klaim lahan/hutan yang sudah dijadikan sebagai areal untuk perladangan berpindah. Masyarakat yang mengusahakan ladang berpindah harus selalu mengusahakan ladang yang sudah mereka buka. Peraturan tersebut mengatur bahwa seseorang akan hilang hak kelola dan penguasaannya terhadap lahan apabila tidak diusahakan/dibiarkan lebih dari tiga tahun. Peraturan ini dapat dijumpai di desa Lubuk Kambing dan Lubuk Bernai, namun peraturan ini sudah tidak berlaku dikarenakan sudah tidak ada praktek perdalangan berpindah yang dilakukan oleh masyarakat desa dan juga semua lahan pada saat ini sudah dimiliki oleh penguasaan individu. Aturan ini sering disebut oleh masyarakat lokal dengan istilah hutan gilir.

Untuk menyatakan klaim terhadap suatu hamparan lahan yang sudah dikuasai dan dikelola masyarakat lokal terutama di desa Lubuk Kambing dan Lubuk Bernai melakukannya dengan menanam tanaman keras seperti karet. Dengan menanam karet maka klaim akan suatu hamparan lahan menjadi kuat dan diakui oleh masyarakat lainnya. Dengan pola seperti ini lama kelamaan maka masyarakat lokal mulai meninggalkan pola perladangan berpindah.

Selain itu terdapat juga aturan tertentu yang mengatur klaim atas lahan/hutan sebelum masuknya konsesi HPH. Apabila seseorang membuka lahan/hutan yang dimulai dari sungai/jalan, maka orang lain yang ingin membuka lahan disisi/disebelah lahan yang telah di klaim tersebut harus menanyakan terlebih dahulu kepada orang yang membuka pertama kali seberapa besar spasi/jeda lahan yang diharapkannya akan dapat digarap/diusahakan pada masa yang akan datang (sesuai dengan kemampuan).

Gambar 12. Aturan Dalam Menentukan Pembukaan Lahan Dengan Memberikan Jeda/Spasi Antara Klaim Pertama Atas Lahan Dengan Klaim-klaim Berikutnya.

Berdasarkan hasil FGD dan wawancara dengan masyarakat desa diketahui bahwa pemberian jeda/spasi wilayah pengelolaan atas klaim lahan/hutan ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada orang yang membuka lahan pertama untuk mengembangkan kebunnya. Selain itu juga terdapat pertimbangan untuk memberikan cadangan lahan kepada pertambahan jumlah anggota keluarga.

63

Periode Konsesi HPH

Cara lain untuk melakukan klaim terhadap lahan adalah dengan membuka areal perkebunan disekitar areal HPH. Areal HPH yang sudah dilengkapi dengan sarana dan akses jalan yang cukup baik pada waktu itu dimanfaatkan oleh masyarakat lokal untuk medapatkan klaim baru atas lahan/hutan. Aktifitas logging dan deforestasi berhubungan erat dengan adanya jaringan jalan. Logging dapat memfasilitasi deforestasi dengan masuknya penduduk ke areal tersebut dikarenakan jaringan jalan logging tersebut dapat digunakan untuk membuka akses ke hutan (Kaimowitz et al., 1998 dalam Kanninen et al., 2007).

Awalnya sebelum membuka kebun, masyarakat menebang pohon-pohon komersial yang ada dilokasi dan menjualnya kepada toke kayu. Oleh masyarakat desa Lubuk Kambing, Lubuk Bernai dan Suban kegiatan ini disebut dengan bekayu atau bebalok. Setelah kayu sudah habis barulah mereka membersihkan lahan klaim tersebut dan menanaminya. Bahkan ada juga lahan klaim yang dibiarkan begitu saja namun pengakuan hak penguasaan masih melekat kepada orang yang pertama kali membuka lahan tersebut.

Menurut masyarakat di desa Lubuk Kambing, Lubuk Bernai dan Suban pada waktu dulu setiap orang bebas untuk melakukan klaim terhadap lahan/hutan dan melakukan konversi untuk ditanami dan dijadikan ladang/kebun. Yang perlu dilakukan hanya meminta persetujuan Pesirah/Rio sebagai pimpinan adat atau desa pada waktu itu. Pada awal tahun 1990-an masyarakat di ketiga desa tersebut mulai berkebun dengan menanam karet dilahan-lahan klaim mereka. Pada beberapa tempat di Indonesia karet merupakan tanaman unggulan yang dipilih oleh petani apabila ingin merubah pola perladangannya, terutama dalam memilih komoditas yang akan ditanam. Angelsen (1995) dari hasil penelitian yang dilakukan di Riau, Angelsen (1995) menyatakan bahwa cara bercocok tanam tradisional masyarakat pada waktu dulu adalah dengan berladang berpindah dan mengumpulkan hasil hutan tapi dalam satu abad terakhir ini telah digantikan dengan cara mananam karet dengan cara yang juga berpinda-pindah.

Menurut masyarakat Lubuk Kambing maraknya penanaman karet pada zaman dulu dapat dibuktikan dengan masih banyaknya kebun karet tua yang dapat

dijumpai di sekitar areal desa. Tanah-tanah klaim inilah yang sampai saat ini diturunkan kepemilikannya kepada anak-cucu masyarakat desa Lubuk Kambing, Lubuk Bernai dan Suban. Tanah-tanah tersebut ada yang memiliki sertifikat dan ada pula yang sampai saat sekarang tidak bisa di sertifikatkan karena berada dalam kawasan hutan Negara.

Sampai dengan saat ini tanaman karet masih menjadi tanaman unggulan masyarakat didesa Lubuk Kambing, walaupun sudah banyak juga masyarakat asli desa maupun masyarakat pendatang di desa Lubuk Kambing yang sudah mengusahakan perkebunan sawit bahkan mengkonversi tanaman karet mereka menjadi tanaman sawit. Biasanya batas kebun karet masyarakat ditandai dengan tanaman lain yang dijadikan pagar atau tanda. Tanaman yang biasa digunakan sebagai tanda batas kebun adalah tanaman pinang. Di desa Lubuk Bernai dan desa Suban berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat, tanaman unggulan menurut mereka saat ini adalah kelapa sawit.

5.5.2. Pola Penguasaan Yang Dilakukan Oleh Masyarakat Pendatang (SpontaneousMigrant dan Transmigrant)

Masyarakat Pendatang (Spontaneous Migrant)

Perkebunan karet dan kelapa sawit di desa Lubuk Kambing, Lubuk Bernai dan Suban tidak hanya diusahakan oleh masyarakat lokal atau asli desa. Pendatang (spontaneous migrant) yang datang ke desa-desa tersebut memiliki tujuan utama untuk berkebun dengan membeli lahan/hutan dari masyarakat lokal dan menanaminya dengan tanaman karet atau kelapa sawit. Di desa Lubuk Kambing misalnya masyarakat pendatang berasal dari etnis Jawa, Batak, Palembang dan Aceh, dimana para pendatang ini lebih banyak mengusahakan tanaman karet dibandingkan dengan tanaman kelapa sawit. Namun tidak begitu halnya dengan desa Lubuk Bernai dan Suban, didua desa tersebut masyarakat pendatang lebih banyak menanam tananam kelapa sawit. Didesa Lubuk Bernai kebanyakan pendatang berasal dari etnis Jawa dan di desa Suban mayoritas pendatang berasal dari etnis Batak.

Para pendatang ini adalah orang asing di desa lokal sehingga mereka tidak memiliki klaim apapun atas lahan/hutan. Untuk mendapatkan lahan mereka harus

65

membeli dari masyarakat lokal yang ingin menjual lahan atau kebun mereka. Lahan yang dibeli dari masyarakat lokal dapat berupa lahan milik dan bersertifikat ataupun lahan hutan yang telah diklaim oleh masyarakat lokal. Harga lahan/kebun yang merupakan hak milik jauh lebih mahal dari harga lahan hutan.

Hasil wawancara dengan masyarakat desa Lubuk Bernai didapat informasi bahwa terdapat keinginan dari kepala desa pada waktu itu untuk meningkatkan status desa Lubuk Bernai, dari desa menjadi kelurahan. Menurut Kepala Desa, salah satu syarat untuk dapat meningkatkan status tersebut adalah jumlah penduduk. Saat ini jumlah penduduk desa Lubuk Bernai belum memadai untuk dijadikan sebagai kelurahan. Karena hal tersebut, oleh kepala desa yang menjabat pada waktu itu mengundang pendatang untuk menetap di desa Lubuk Bernai dengan menjanjikan sebidang tanah untuk berkebun kelapa sawit. Tanah tersebut menurut pengakuan tokoh masyarakat desa Lubuk Bernai merupakan tanah pribadi yang dimiliki oleh Kepala Desa Lubuk Bernai sebagai warisan keluarga.

Tanah tersebut kemudian diberikan kepada para pendatang untuk berkebun dengan system bagi hasil. Kepala desa menyediakan lahan kemudian pendatang harus mempersiapkan segala sesuatunya termasuk bibit, penyiapan lahan sampai dengan pupuk. Bagi hasil tanah akan dilakukan apabila sawit sudah menghasilkan, sekitar berumur 5 tahun. Pola penguasaan lahan dengan cara bagi hasil ini disebut dengan mawah dan diperkenalkan pertama kalinya oleh pendatang dari etnis Jawa dan Bugis.

Masyarakat Transmigran

Dari hasil wawancara dengan masyarakat desa Lampisi, masyarakat desa menyatakan bahwa tanah pembagian dari program transmigrasi yang mereka peroleh adalah sebesar 2 ha untuk kapling kebun sawit dan 0,25 ha untuk perkarangan dan tapak rumah. Tanah-tanah tersebut merupakan tanah milik yang bersertifikat.

Seiring dengan perkembangan perkebunan sawit dengan pola PIR dengan perusahaan, taraf hidup para transmigran terus meningkat. Dengan meningkatnya taraf hidup maka timbul keinginan untuk menambah modal berupa lahan untuk dijadikan perkebunan sawit. Masyarakat desa Lampisi, sama halnya dengan

masyarakat pendatang dari desa lainnya harus membeli lahan dari masyarakat lokal sebagaimana yang telah dijelaskan diatas.

Namun ada kemudahan-kemudahan yang dimiliki oleh warga desa Lampisi untuk menambah luas tanah garapan mereka apabila dibandingkan dengan masyarakat pendatang lainnya. Masyarakat desa Lampisi bisa menjaminkan sertifikat tanah/kebun mereka kepada Bank BRI untuk memperoleh dana segar untuk membeli lahan garapan baru.

Trans Lampisi yang dimulai dari tahun 1990 pada tahun 1996-1998 mendapatkan permasalahan yang memaksa kurang lebih 25% dari penduduk transmigrasi pada waktu itu harus kembali ke Jawa. Menurut pengakuan warga desa Lampisi hal ini disebabkan oleh kecemburuan sosial yang timbul antara masyarakat lokal dengan masyarakat transmigran yang pada waktu itu kehidupannya mulai membaik. Kemudian lahan-lahan yang ditinggalkan oleh masyarakat transmigran yang memutuskan untuk kembali ke Jawa diperjal belikan kepada tetangga atau kerabat sesame masyarakat transmigran.

Berdasarkan hasil FGD yang dilakukan, masyarakat desa Lampisi menentukan lahan/hutan yang akan mereka beli dari masyarakat lokal berdasarkan kepada kedekatan lokasi lahan/hutan yang diperjual belikan dengan desa mereka. Selain itu juga bentuk lahan yang akan diperjual belikan juga menjadi pertimbangan, apakah lahan tersebut sudah berupa kebun, semak belukar atau masih berbentuk hutan. Namun berdasarkan hasil wawancara dengan informan kunci bentuk lahan tidak begitu menjadi pertimbangan mengingat hal ini hanya berhubungan dengan harga lahan/hutan yang diperjual belikan. Lahan berupa hutan pasti akan lebih murah apabila dibandingkan dengan lahan berupa semak belukar, dan lahan berupa semak belukar sudah pasti lebih murah apabila dibandingkan lahan yang sudah ditanami (kebun).

Hal lain yang juga sangat mempengaruhi harga lahan/hutan yang diperjual belikan adalah status lahan itu sendiri. Sebagian besar peserta FGD mengakui hampir seluruh lahan-lahan yang diperjual belikan adalah lahan dengan status sebagai kawasan hutan. Menurut pengakuan masyarakat lahan yang memiliki

67

sertifikat akan sangat berbeda harganya dibandingkan lahan hutan. Dimana lahan- lahan yang bersertifikat memiliki harga jual yang sangat tinggi.

Dari hasil FGD yang dilakukan dengan masyarakat desa Lampisi diketahui bahwa untuk mendapatkan lahan garapan baru masyarakat desa Lampisi lebih memilih untuk mendapatkan lahan-lahan yang dekat dengan desa. Hal ini disebabkan oleh kemudahan dalam pengerjaan lahan dan mengontrol hasil buah sawit yang rawan di ambil oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Area ekspansi lahan yang dilakukan oleh masyarakat desa Lampisi seperti: desa Lubuk Kambing, Sungai Rotan, Rantau Benar, Pulau Pauh, Penyabungan, Suban, Merlung, dan Pelabuhan Dagang. Selain desa-desa tersebut ekspansi masyarakat desa Lampisi dalam mendapatkan lahan juga sampai kepada lintas kabupaten dan lintas propinsi dimana menurut hasil FGD diketahui ada masyarakat desa Lampisi yang memiliki lahan kebun kelapa sawit di desa Lubuk Madrasah (kab. Tebo) dan Sungai Akar yang masuk kedalam wilayah administrasi propinsi Riau.

5.6. Migrasi dan TerbentuknyaInstitusi Informal Jual Beli-Lahan/Hutan

Dokumen terkait