BAB 2 LANDASAN TEOR
2.4 Dinamika Psikologis
Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara pria dengan wanita untuk
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa (Walgito, 2004: 11). Seseorang yang memutuskan untuk menikah tentunya akan
kedua pasangan itu harus belajar menyesuaikan diri terhadap tuntutan dan tanggung
jawab.
Perkawinan bukan hanya melibatkan dua individu saja yaitu antara seorang
pria dengan seorang wanita, tetapi di dalamnya juga melibatkan adanya penyatuan
dua keluarga yaitu keluarga dari masing-masing pihak baik dari suami maupun istri.
Setelah menikah pasangan pengantin baru bebas menentukan dimana mereka
tinggal, sementara pada saat ini tak jarang pengantin baru memutuskan untuk tinggal
dengan mertua karena alasan belum mempunyai rumah sendiri. Alasan lain yang
mendorong pasangan baru tersebut tinggal dengan mertua ialah kurang persiapan
secara psikologis dan keinginan orang tua agar anak dan menantunya tinggal
bersama dengan mereka.
Kehidupan berumah tangga tidak terlepas dari permasalahan. Ada beberapa
hubungan yang terjadi antara menantu dan mertua, yaitu hubungan penuh konflik,
hubungan acuh tak acuh, ataupun harmonis seperti disebutkan (Aryani dan Setiawan,
2007:77). Savitri (2005) dalam Aryani dan Setiawan (2007:77) menyatakan pola
pikir dan psikologis perempuan lebih sensitif daripada laki-laki, dan bagi seorang
perempuan fase kehidupan yang paling berharga adalah keluarga. Perbedaan tersebut
dapat menjelaskan fenomena bahwa masalah mertua dan menantu kebanyakan terjadi
di kaum perempuan. Dalam kehidupan perkawinan tidak hanya dibutuhkan adanya
penyesuaian antara suami dan istri melainkan juga penyesuaian dengan keluarga
pasangan. Dalam suatu upaya penyesuain diri selalu ada peluang terjadinya konflik,
tetapi untuk terciptanya relasi yang harmonis, data penelitian yang dilakukan Aryani
(unconditional positive regard), kongruensi (congruence), pemahaman empatik
(empathic understanding), dan saling pemenuhan kebutuhan merupakan faktor-
faktor penting terciptanya suatu relasi yang harmonis.
Menurut Clinneball & Clinneball (2005) dalam Cinde dan Suryanto
(2006:200) menyatakan periode awal perkawinan merupakan masa penyesuaian diri,
dan krisis muncul saat pertama kali memasuki jenjang perkawinan. Pasangan suami
istri harus belajar banyak tentan pasangan masing-masing dan diri sendiri yang mulai
dihadapkan dengan berbagai masalah. Menurut Cinde dan Suyanto (2006:204), salah
satu faktor yang menghambat penyesuaian perkawinan adalah adanya campur tangan
keluarga yang sangat kuat dalam perkawinan. Tidak dapat dipungkiri, pengaruh
keluarga ini bisa menimbulkan masalah karena ikatan keluarga besar setiap orangtua
yang masih mempunyai hak atas anaknya yang telah menikah. Mertua ataupun
orangtua merasa bahwa hak-hak atas anaknya direbut oleh menantunya dan sering
terjadi perebutan perhatian antara mertua dan menantu. Persaingan ini bias
meruncing dan bias menimbulkan percekcokan (Gunarsa dalam Dariyo, 2003: 159).
Hurlock (1980: 290) terdapat empat hal penting masalah penyesuaian diri
yang harus dihadapi pasangan suami istri, antara lain penyesuaian dengan pasangan,
penyesuaian seksual, penyesuian keuangan, dan penyesuaian dengan pihak keluarga
pasangan. Purnomo (dalam Yuliyana, 2007:7) menjelaskan hubungan menantu dan
mertua dalam beberapa kemungkinan yaitu mertua turut campur dalam urusan anak
atau menantu, mertua tidak mau berurusan dengan anak atau menantu, mertua tunduk
pada menantu, mertua menguasai menantu dan mertua yang dekat dengan menantu.
yang terdiri dari sikap empati dan menghargai mertua, memperlakukan perasaan
terhadap mertua, penerimaan yang baik dari mertua, adanya kebahagiaan, bersikap
optimis, berkata jujur, bertanggung jawab dan adanya adaptasi yang baik.
Bagan 2.1 Hubungan Interaksi Sosial
Dengan Penyesuaian Diri Istri Terhadap Mertua Pada Pasangan Muda
Pada bagan diatas digambarkan bahwa manusia sebagai makhluk sosial tidak
dapat lepas untuk melakukan interaksi dengan individu lain. Sebagai makhluk sosial
yang membutuhkan kehadiran orang lain, dibutuhkan adanya keselarasan diantara
manusia itu sendiri. Agar hubungan interaksi berjalan baik diharapkan manusia
mampu untuk beradaptasi atau menyesuaikan diri terhadap lingkungan fisik maupun
lingkungan sosialnya, sehingga dapat menjadi bagian dari lingkungan tanpa
menimbulkan masalah pada dirinya.
Interaksi Sosial Penyesuaian Diri Istri
Mertua
Sebagai seorang istri yang tinggal bersama mertua mau tidak mau setiap hari
kita akan selalu berinteraksi. Agar hubungan interaksi antara menantu dan mertua
berjalan dengan baik diharapkan istri mampu untuk beradaptasi atau menyesuaikan
diri terhadap lingkungan fisik maupun lingkungan sosialnya, sehingga dapat menjadi
bagian dari lingkungn tersebut tanpa menimbulkan masalah pada dirinya. Dengan
kata lain berhasil atau tidaknya menantu untuk dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungannya (mertua) sangat tergantung dari kemampuan interaksi sosialnya
terhadap mertua.
Interaksi dalam hal ini bisa berkecenderungan positif maupun negatif. Positif,
berarti ada kecocokan antara kebutuhan dorongan, berikut cara pemenuhannya
dengan tuntutan lingkungan berupa: aturan, adat atau norma masyarakat. Keadaan
demikian ini menunjukkan adanya penyesuaian diri yang baik (well-adjusted).
Negatif, bermakna tidak adanya kecocokan atau munculnya konflik antara
pemenuhan kebutuhan dengan tuntutan lingkungan. Gejala tersebut memunculkan
penyesuaian diri yang salah (mal-adjusted). Penyesuaian diri yang sehat dapat
diartikan pula sebagai adanya konformitas, yakni adanya kecocokan antara norma
pribadi dengan norma sosial.
Proses penyesuaian diri tidaklah mudah, hal ini dikarenakan dalam kehidupan
manusia selalu dihadapkan pada pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan
baru. Penyesuaian diri dapat diartikan sebagai interaksi yang kontinyu antara diri
individu sendiri, dengan keluarga dan dengan dunia luar.
Kehidupan berumah tangga tidak terlepas dari permasalahan. Permasalahan
istri dengan orang tua masing-masing, suami dengan mertua dan istri dengan mertua.
Tak jarang pada pasangan muda yang mengalami banyak kekecewaan dan frustasi
terhadap orang tuanya sebab mereka ikut campur dalam urusan rumah tangganya
(dalam Aryani dan Setiawan, 2007:77).