• Tidak ada hasil yang ditemukan

Meng Xing-hun berdiri di sisi jalan kecil itu, melihat sebuah rumah tembok yang kecil dengan dindingnya

berwarna merah hati dan atapnya berwarna abu. Di luar adalah sebuah taman bunga yang kecil dan ditanami oleh beberapa jenis bunga yang sedang mekar. Entah itu bunga Mawar atau bunga Chrysan.

Tidak terdengar ada suara juga tidak terdengar ada langkah orang. Dari luar tampak sebuah jendela yang lampunya masih menyala.

Di dalam rumah itu pasti ada yang menunggu dari kemarin malam dan dia menunggu hingga larut.

Xiao Tie terus memandang jendela itu, dengan pelan dia berkata, “Itu adalah rumahku yang sekarang.”

“Rumahmu yang sekarang? Apakah kau mempunyai rumah yang lain?”

“Ya.”

“Rumahmu banyak juga,” Tanya Meng Xing-hun. Xiao

Tie hanya tertawa dan menjawab, “Sebenarnya hanya ada. satu, tempat yang sekarang tidak bisa disebut rumah.” “Kenapa dengan rumah yang dulu?”

Xiao Tie menjawab dengan sedih, “Bukan aku tidak mau tinggal di rumah itu, tapi rumah itu tidak mau menerimaku lagi.”

Sepertinya Xiao Tie tidak ingin membicarakan masa

lalunya, dengan segera mengganti topik pembicaraan. Xiao Tie berkata lagi, “Karena di sini bukan rumahku, oleh sebab itu aku. selalu tidak mau diantar olehmu.”

“Mengapa sekarang kau mau kuantar?”

“Sekarang aku sudah tidak peduli. Aku ingin memperkenalkan....”

“Memperkenalkan siapa?”

“Memperkenalkan seseorang, aku berharap kau bisa menyayanginya sama seperti aku menyayangi dia.” Wajah Meng Xing-hun berubah, “Aku pikir sebaiknya aku tidak usah bertemu dengannya dulu.”

Xiao Tie memandang Meng Xing-hun dan berkata, “Apakah kau kira aku akan memperkenalkanmu pada orang itu?”

Meng Xing-hun balik bertanya, “Bukankah itu maksudmu?”

“Aku tidak bermaksud seperti itu, aku yakin kau tidak ingin bertemu dengannya.”

“Apakah orang itu ada di sini?” “Dia tidak ada di sini.”

“Kalau begitu siapa yang akan kau perkenalkan

kepadaku?” Xiao Tie tidak langsung menjawabnya tapi menarik tangan Meng Xing-hun masuk ke dalam rumah itu. Jalan sangat sepi.

Dengan perlahan mereka berjalan di jalan yang penuh dengan batu kerikil dan orang yang berada di dalam rumah mendengar suara langkah mereka.

Ada yang berteriak, “Apakah ibu sudah pulang? Bao-bao ingin melihat.”

Pintu terbuka dan ada seorang gadis kecil dengan mata mengantuk menuntun seorang anak kecil keluar.

Anak kecil itu kelihatan masih mengantuk, pada saat melihat Xiao Tie dia segera tertawa dan berlari menghampirinya.

Kemudian anak itu berteriak, “Ibu sudah pulang, Baobao kangen Ibu, Ayo gendong Bao-bao!”

Xiao Tie pun berlari menghampiri anak itu dan berkata, “Sini, ibu gendong dan cium.”

Xiao Tie dengan erat menggendong anak itu, seperti tidak ingin melepaskannya lagi.

Anak kecil itu terus memandangi Meng Xing-hun. Meng Xing-hun membalikkan tubuhnya, hatinya sangat kacau, entah apa yang dirasakannya, entah itu manis, pahit, atau asam.

Setelah lama Meng Xing-hun baru tahu bahwa Xiao Tie sedang menggendong anak kecil itu dan sudah berdiri di hadapannya dengan mata yang lembut memandangnya

kemudian berkata, “Ayo Bao-bao, panggil paman.”

Anak itu tertawa seperti malaikat, kemudian dia segera memanggil, “Paman…....” Dan dia bertanya lagi, “Apakah paman baik?”

Dengan lembut Xiao Tie berkata, “Paman ini sangat baik seperti Bao-bao.”

“Bila paman baik, Bao-bao ingin cium paman.” Dan anak iu berlari memeluk Meng Xing-hun.

Tiba-tiba Meng Xing-hun merasa dadanya panas, dia hampir meneteskan ah mata. Dia menggendong dan memeluknya dengan erat.

Ini adalah pertama kalinya dia menggendong anak, dia berharap anak yang berada dalam gendongannya adalah anak kandungnya sendiri. Hatinya mulai sedih lagi. Xiao Tie memandang mereka, sorot matanya menjadi lembut dan tidak terasa ah matanya menetes.

Dengan lembut dia berkata, “Di luar sangat dingin, lebih baik Bao-bao ikut kakak masuk.”

Wajah tawa anak itu segera menghilang dan hampir

menangis, kemudian berkata, “Apakah ibu mau pergi lagi?” “Ibu tidak akan pergi. Ibu hanya ingin ngobrol dengan paman setelah selesai akan menemani Bao-bao kembali.” “Apakah ibu tidak membohongi Bao-bao?”

Anak itu segera tertawa lagi dan turun dari gendongan Meng Xing-hun, dengan tawa yang lucu anak itu berkata, “Bao-bao anak baik, Bao-bao masuk dulu, ibu akan

senang.”

Segera dia berlari masuk, di ambang pintu dia

mengeluarkan kepalanya kemudian melambaikan tangan ke arah Meng Xing-hun.

Meng Xing-hun pun membalas lambaian tangannya, dia ingin tertawa namun wajahnya kaku.

Pada saat anak itu sudah masuk, Xiao Tie membalikkan badan melihat Meng Xing-hun.

Meng Xing-hun tertawa dengan terpaksa dan berkata, “Anak itu sangat manis dan lucu.”

Xiao Tie mengangguk, dengan sedih dia berkata, “Dia sangat manis, sangat lucu, tapi juga sangat kasihan.” Meng Xing-hun pun menarik nafas dan berkata, “Benar, sungguh sangat kasihan.”

Xiao Tie menundukkan kepalanya dan berkata,

“Sekarang kau sudah tahu mengapa aku harus pulang.” Meng Xing-hun mengangguk.

Dengan suara sedih Xiao Tie berkata, “Dia sudah tidak punya ayah, sekarang dia tidak boleh tidak mempunyai ibu.”

Meng Xing-hun menjawab, “Aku mengerti.”

Meng Xing-hun pasti mengerti, di dunia ini tidak ada orang yang lebih mengerti dari dia bahwa anak yang tidak punya ayah dan ibu sangat menyedihkan.

Dia sendiri pun sering bangun tengah malam karena bermimpi buruk. Pada saat dia terbangun wajahnya sudah penuh dengan air mata.

Dengan sedih Xiao Tie berkata, “Walaupun orang tua sudah melakukan kesalahan namun anak-anak tidak bersalah. Aku tidak tega melihat dia bersedih seumur hidupnya.”

Meng Xing-hun lama terpaku kemudian dia berkata, “Aku harus pergi, kau tidak perlu mengantarku.” “Kau mau pergi begitu saja?”

“Kau tidak tega, begitu pun denganku.”

“Bila aku tinggal di sini, pasti akan merasa sedih tapi bila pergi akan lebih sedih lagi.”

Xiao Tie menariknya dan berkata, “Kau jangan pergi. Masih banyak yang harus dibicarakan.”

“Katakanlah, aku siap mendengar,” kata Meng Xinghun. “Sekarang kau sudah tahu anak ini adalah anak orang itu.”

“Ya.”

“Pada saat tahu aku hamil, aku sangat benci, sangat membenci orang itu juga membenci diri sendiri dan juga membenci anak itu. Aku bertekad bila anak ini sudah lahir akan ditenggelamkan sampai mati.”

Meng Xing-hun mendengar.

“Begitu anak ini lahir, pertama kali melihatnya, melihat wajah kecil yang merah, kebencian di dalam hati berubah menjadi cinta.”

Suara Xiao Tie masih seperti mimpi, pelan dia

melanjutkan lagi, “Aku melihat dia tumbuh menjadi besar, melihat dia semakin lucu. Saat menyusuinya pun aku

merasa daya hisapnya makin liari makin kuat. Aku merasa waktu itulah aku baru dapat melupakan kesedihan dan kegalauan.”

Meng Xing-hun terbatuk, bila dia tidak batuk akan meneteskan air mata lagi.

“Waktu itu aku baru tahu seumur hidup tidak akan bisa meninggal kan dia. Dia butuh diriku, aku lebih

membutuhkan dia. Demi dia semua kesedihan bisa ditahan. Aku juga memutuskan untuk bertahan hidup.”

Dia menghela nafas dan melanjutkan, “Bila aku tidak

rela meninggalkan anak ini, pasti tidak bisa meninggalkan orang itu. Orang itu tahu karena itu dia belum pernah berpikir aku bisa berubah dan melawannya.”

“Kau sudah berubah,” kata Meng Xing-hun.

“Benar, aku sudah berubah, bila tidak ada dirimu mungkin selamanya aku tidak akan berani. Tapi kau memberiku keberanian, sekarang aku bertekad akan meninggalkan dia.”

Mata Meng Xing-hun tiba-tiba menjadi terang. “Apakah benar kau bertekad seperti itu?” Xiao Tie berhadapan dengannya dan bertanya,

“Sekarang aku hanya ingin bertanya kepadamu, apakah kau mau menerima diriku dan anakku?”

Meng Xing-hun memeluknya erat dan dengan lembut

berkata, “Kau pernah berkata bahwa anak itu tidak berdosa. Anakmu adalah anakku.”

“Apakah benar seperti itu?” “Ya, aku sungguh-sungguh.”

“Kelak bila kita menemui banyak kesulitan, apakah kau tidak akan menyesal?”

“Aku tidak akan menyesal, mati pun tidak akan menyesal.”

“Apakah benar mati pun tidak akan menyesal?”

“Asal sudah pernah hidup, mati pun tidak apa-apa. Bila bersamamu, aku baru bisa hidup.”

Mereka berdua berpelukan sepertinya dunia ini sudah ada dalam pelukan mereka.

Angin berhembus pelan, kabut dengan perlahan mulai menghilang.

“Apakah kau suka kupu-kupu?” tanya Xiao Tie tiba-tiba. “Ya,” jawab Meng Xing-hun heran.

“Aku sangat senang kupu-kupu, karena aku merasa nasib sebagian orang seperti kupu-kupu, terlebih untuk diriku.” “Kau?”

“Pada suatu hari aku melihat pelayanku memasukkan kupu-kupu ke dalam lembaran buku, waktu itu aku sangat marah namun pelayanku mengatakan sebuah pendapat dan membuatku terharu.”

“Apa yang dia katakan?” tanya Meng Xing-hun.

“Dia berkata bahwa kupu-kupu mati kerena dia, tapi dia menjaga keindahan kupu-kupu itu, hidupnya sudah sangat berharga. Walaupun dia tidak menangkap kupu-kupu itu, kupu-kupu itu akhirnya akan mati juga, mungkin cara matinya lebih menyedihkan.”

Dan Xiao Tie tertawa berbareng sedih dan berkata,

“Oleh karena itu bila aku tiba-tiba meninggal, kau pun tidak perlu bersedih karena akhirnya hidupku berharga juga. Aku tahu ada kau akan selalu mengingatku.”

“Mengapa kau bicara seperti itu? Kau kan tidak akan meninggal.”

Xiao Tie tidak bicara lagi dan diam dalam pelukan Meng Xing-hun. Entah berapa lama dia baru berkata, “Kau pulang dulu, dan tunggulah aku.”

“Bagaimana dengan dirimu?”

“Aku harus membereskan barang, kemudian aku akan membawa anakku mencarimu.”

Meng Xing-hun menggelengkan kepalanya dan berkata, “Lebih baik aku menunggu di sini.”

“Mengapa?”

“Karena aku khawatir.”

membohongimu.”

“Kau pasti tidak akan membohongiku tapi bila ada apaapa bagaimana?” tanya Meng Xing-hun.

“Tidak akan terjadi apa-apa. Orang itu sementara ini

tidak akan datang. Aku akan membereskan semua barangbarang di sini biar selamanya dia tidak akan bisa

mencariku.”

Xiao Tie dengan lembut membelai wajah Meng Xinghun. “Kau tidak perlu khawatir, aku akan mencarimu segera. Aku sudah memutuskan untuk hidup bersamamu,

meskipun hanya satu hari, aku rela.”

Bila kau pernah jatuh cinta, kau akan mengerti maksud Xiao Tie dan kau pun akan menyetujuinya asalkan dapat saling mencintai, sehari saja kau sudah merasa bahagia. Dengan perlahan Meng Xing-hun menyusuli jalan

pulang, jalannya sangat sempit dan berliku-liku, tapi dia terus berjalan.

Tiap orang harus terus melangkah, apa pun jalan yang dia pilih. Meng Xing-hun sudah terbiasa hidup sendiri namun sekarang ini dia merasa sendirian itu sangat menyakitkan dan menyiksa.

Meng Xing-hun percaya bahwa Xiao Tie akan

mencarinya namun hatinya tidak tenang, dia merasa

sepertinya akan terjadi suatu hal yang buruk. Perasaan ini membuatnya tidak nyaman.

Seekor anjing pemburu yang sudah terlatih namun bila sedang birahi, gerakannya akan menjadi lambat.

Meng Xing-hun tidak merasa ada seseorang yang berada di dalam kegelapan terus menguntitnya.

Mata orang itu memandang Meng Xing-hun penuh kebencian dan cemburu. Bila sorotan mata itu bisa membunuh orang, mungkin sekarang Meng Xing-hun akan mati tergeletak di pinggir jalan.

Meng Xing-hun sudah menjauh, barulah orang itu keluar dengan marah dia berkata, “Kalian akan menyesal,

walaupun aku tidak membunuh kalian tapi pada suatu hari kalian akan menyesal mengapa tidak cepat-cepat mati.” Walaupun dia marah namun hatinya segera tenang

kembali. Seseorang yang sedang marah masih terlihat tenang artinya dia akan melakukan apa yang sudah dia ucapkan.

Meng Xing-hun mendorong pintu dan dia baru

menyadari bahwa Gao Lao-da sudah ada di dalam rumah. Dia sedang duduk di atas tempat tidur. Di bawah sinar lampu dia terlihat begitu muda dan cantik. Kecantikannya dapat membuat laki-laki menjadi sesak begitu pula dengan Meng Xing-hun.

Gao Lao-da menatap wajah terkejut Meng Xing-hun

dengan tersenyum dia berkata, “Kau tidak menyangka aku ada di sini bukan? Kau kaget?”

Meng Xing-hun mengangguk.

Dengan marah Gao Lao-da berkata, “Dulu bila ada

orang yang berdiri dalam jarak beberapa puluh meter saja kau dapat segera merasakannya, sekarang kau menjadi lamban Apa yang membuatmu berubah?”

Meng Xing-hun menunduk karena dia tidak dapat

menjelaskan dan tidak mungkin menjelaskan kepada Gao Lao-da.

Dengan dingin Gao Lao-da berkata, “Bila rubah sedang birahi, dia akan masuk ke dalam perangkap si pemburu, bagaimana denganmu?”

“Aku adalah manusia bukan seekor rubah.” “Orang pun ada masa pubernya.”

“Kalau aku adalah pemburu, bagaimana?” tanya Gao Lao-da.

“Sekarang kau sudah mati.”

Gao Lao-da memelototinya dengan lama akhirnya dia tertawa dan berkata, “Kau masih seperti dulu, tidak membuatku kecewa.” Dan Gao Lao-da melanjutkan lagi, “Apakah kau tahu, apa julukanmu?”

“Dijuluki apa pun tidak masalah bagiku.”

Gao Lao-da tertawa dan berkata, “Kau dijuluki, sebagai 'paku' karena siapa pun yang bertemu denganmu kepalanya pasti akan berlubang, begitu pula denganku.”

“Kalau begitu, seharusnya kau tidak perlu kemari, tugas yang kau berikan aku tidak pernah lupa,” kata Meng Xinghun. “Apakah aku tidak boleh menjengukmu? Jangan lupa

sewaktu kau kecil dulu, sehari pun kau tidak mau kutinggal.”

Meng Xing-hun menundukkan kepalanya setelah lama

bara dia berkata, “Aku tidak pernah akan lupa, selamanya tidak akan lupa.”

Dengan lembut Gao Lao-da berkata, “Ye Xiang sudah memberitahuku mengenai dirimu. Aku tahu kau terluka, maka aku ke sini untuk menjengukmu. Walaupun aku sangat sibuk tapi aku menyempatkan diri untuk bertemu denganmu.”

Gao Lao-da tertawa manis dan berkata, “Dulu kau

pernah mencuri talas di sawah orang lain kemudian digigit oleh anjing pemilik sawah itu selama beberapa hari kau harus berbaring di tempat tidur tidak dapat berjalan.” “Ya, aku ingat, saat itu kau teras menjagaku sampai sembuh.”

Meng Xing-hun bukan tipe orang yang kacang lupa akan kulitnya. Namun setiap kali dia teringat kepada masa lalunya, membuat dia merasa sedih.

“Kelihatannya lukamu sudah sembuh,” kata Gao Laoda. “Sudah lebih baik.”

“Kalau begitu, kapan kau akan kembali melakukan tugasmu? Bukan aku mendesakmu tapi sekarang adalah kesempatan yang paling tepat.”

“Kesempatan apa?”

“Diam-diam Lao-bo sedang bersiap-siap untuk bertarung melawan dengan Wan Peng-wang. Bila orang sepertimu menjadi anak buah Lao-bo, dia akan sangat senang.” “Lao-bo akan menyelidiki aku terlebih dahulu.” “Benar juga.”

“Bila dia tahu aku berasal dari mana, dia akan melakukan sesuatu terhadapku.”

Namun di dunia persilatan tidak ada yang tahu Meng

Xing-hun adalah orang yang bagaimana, seolah-olah dia itu datang dari langit.

“Lao-bo akan terus menyelidiki dirimu namun bila dia masih tidak tahu identitasmu dia akan langsung

membunuhmu.”

“Apakah aku yang akan membunuhnya atau

membiarkan dia membunuhku?” kata Meng Xing-hun. Gao Lao-da tertawa dan berkata, “Kau bukan orang yang tidak punya identitas, aku sudah mempersiapkan identitas palsumu.”

“Siapa identitasku?”

“Margamu Qing, bernama Tiong-thian, rumah di Ludong, kau adalah keponakan Tuan Qing yang kedua, dari kecil mengikuti pegawai Tuan Qing berdagang di luar

negeri, karena itu kau jarang ada di Tiongkok dan tidak ada yang mengenalmu.”

bahwa Tuan Qing berhutang budi kepadaku bila aku mengatakan kau adalah keponakannya, dia tidak akan berani menolak.”

“Apakah saudara-saudara Tuan Qing pun ingin berteman dengan Lao-bo?” tanya Meng Xing-hun. “Karena kau selalu ingin menjadi yang terbaik, pertentangan antara Lao-bo dan Wan Peng-wang sudah mengguncang dunia persilatan. Anak muda bila ingin mencari nama dan ingin terkenal, tentunya ini adalah kesempatan yang paling baik.”

Meng Xing-hun terus menatap Gao Lao-da, dia sangat mengagumi Gao Lao-da walaupun dia adalah seorang

perempuan dan masih muda, tapi rencana yang disusunnya sangat sempurna. Mungkin seorang tetua dunia persilatan pun akan kalah pintar dengannya. Gao Lao-da pun terus memandangi Meng Xing-hun, sorot matanya sangat tenang, melihat sorot mata Gao Lao-da seperti itu, Meng Xing-hun merasa curiga, perempuan yang ada di hadapannya adalah perempuan yang sangat kejam. Dia ragu apakah perempuan ini yang pernah menolongnya waktu mereka kecil

kemudian membesarkan mereka? Dan demi mereka supaya tidak kelaparan dia rela mengorbankan semuanya. Kadang-kadang Meng Xing-hun merasa curiga

kepadanya, apakah karena rasa kasihan ataukah mempunyai maksud lain maka perempuan ini menolong mereka? Mungkin Gao Lao-da ingin menjadikan mereka sebagai modalnya di masa yang akan datang, namun Meng Xing-hun berusaha mengenyahkan pikiran seperti itu. Meng Xing-hun tidak ingin menjadi orang yang tidak tahu diri.

Dari kantung pakaiannya, Gao Lao-da mengeluarkan

dua buah buku tulis dan dia berkata, “Ini adalah catatan keluarga Qing. Keluarga Qing di Lu-dong adalah sebuah keluarga besar, kau harus ingat ada yang bernama Qing Xiong-tian, dia adalah ayahmu. Pada waktu usiamu 10 tahun dia sudah meninggal.”

“Dia meninggal karena apa?” tanya Meng Xing-hun. “Meninggal karena sakit.”

Gao Lao-da berpikir sebentar lalu berkata, “Katanya Qing Xiong-tian mati karena suatu penyakit yang

memalukan, lebih baik kau tidak menjawabnya, bila ada yang menanyakannya.”

“Buku yang satu lagi berisi apa?” tanya Meng Xing-hun. “Ini adalah catatan pribadi Qing Xiong-tian sewaktu dia berlayar. Di dalam buku ini pun tercatat mengenai

kehidupannya, dan juga orang-orang yang dikenalnya, juga berisi tempat-tempat yang pernah disinggahinya, tempat yang pernah dia tinggal. Kau harus mengingatnya.” “Bagaimana dengan pegawai Tuan Qing?”

“Mereka sudah ke luar negeri lagi, dalam waktu 2 hingga 3 tahun mereka tidak akan pulang. Kau tidak perlu

khawatir mereka tidak akan membocorkan rahasia ini.” “Aku hanya mengkhawatirkan satu hal.”

“Apakah kau takut Lao-bo akan mencari Qing Xiongtian yang asli.”

“Benar.”

“Kau tidak perlu khawatir, dia tidak akan bisa mencari yang asli.”

“Mengapa?”

Dia merasa aneh, dia tahu biasanya Gao Lao-da bila ingin melenyapkan satu orang itu sangat mudah. Gao Lao-da terus memandang Meng Xing-hun dan bertanya, “Apa yang kau pikirkan lagi?” “Tidak ada.”

“Sekarang giliranku yang bertanya, apakah kau akan pergi?”

Meng Xing-hun menatap ke luar jendela. Angin berhembus dari tempat yang jauh. Daun

berguguran dihembus oleh angin, dengan pelan Meng Xinghun berkata, “Bila bukan kau yang mengasuhku aku tidak

akan bisa bertahan hidup hingga sekarang, kau tahu kapan pun aku akan melakukannya demi dirimu.”

Sorot mata Gao Lao-da berubah menjadi lembut, “Aku tidak mau demi diriku kau harus mati, aku ingin demi diriku kau harus terus hidup.”

“Aku sudah tidak memiliki orang tua lagi juga saudarasaudara, demi dirimu aku rela mati juga rela tetap hidup,

tapi sekarang....” “Sekarang ini mengapa?”

Dengan erat Meng Xing-hun memegang daun jendela

lalu berkata, “Sekarang aku harus tetap hidup demi diriku sendiri.”

Mata Gao Lao-da yang lembut tiba-tiba berubah menjadi dingin dan bertanya, “Apakah kau ingin meninggalkanku?” “Aku tidak bermaksud seperti itu, aku hanya ingin....” Gao Lao-da memotong kata-katanya, “Apa yang ingin kau sampaikan, aku sudah mengerti.”

Sorot matanya sangat dingin tapi suaranya berubah menjadi sangat lembut, “Apakah kau sudah mempunyai kekasih?”

Meng Xing-hun terdiam, diam artinya dia mengakuinya. Kata Gao Lao-da lagi, “Kau tidak perlu berbohong, ini adalah suatu kabar baik, aku pun senang mendengarnya hanya saja....”

“Dia sangat baik.”

Gao Lao-da tertawa namun tawanya sama sekali tidak

Dokumen terkait