• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dini Larasati

Dalam dokumen Cerita Motivasi (bulan tidak bohong) (Halaman 54-71)

(Pemenang III Kategori SMP)

C

inta adalah seorang gadis cilik berumur 10

tahun. Rambutnya ikal sebahu berwarna hitam pekat. Kulitnya kuning langsat. Pokoknya lucu sekali, deh. Terutama, ketika dia sedang tertawa, terlihat giginya yang ompong pada bagian depan. Walau umurnya 10 tahun, sikap-nya terlihat dewasa.

Hari ini, adalah hari pertamanya masuk kembali ke kelas 5 Sekolah Dasar di sekolah Kasih Ayah-Bunda. Dia pun bangun pagi-pagi sekali. Bahkan, mendahului bundanya. Sebenarnya, sih, Cinta takut kalau mandi sendiri pagi-pagi sekali. Tapi, dia tidak mau merepotkan bundanya, dia tidak mau membangunkannya dari tidur yang nyenyak. Aku mau kasih kejutan ke Bunda, ah … pikir Cinta dalam hati.

Sambil berjinjit, dia berusaha mengambil handuk yang tergantung. “Huh, cucah banget cih,” keluh Cinta dengan kalimat yang agak tidak jelas. Maklumlah, Cinta tidak bisa melafalkan huruf ‘s’ dan ‘r’. “Tapi Bu gulu bilang, belcucah-cucah dahulu, belcenang-cenang kemudian,” ucap Cinta pada dirinya sendiri untuk memotivasi.

“Huuu … cegal!” Kata Cinta seusai mandi. Namun tanpa sengaja, ketika dia sedang berjalan ke kamar untuk ganti baju, tangannya menyenggol vas bunga kesayangan bunda. Akhirnya vas bunga tersebut jatuh dan menimbulkan suara yang cukup keras. Bunda pun terbangun.

Suara apa itu? Pikir bunda. Beliaupun, segera beranjak dari tempat tidurnya, dan mengecek dari sumber suara. Setelah diselidiki, ternyata suara tersebut berasal dari vas bunga yang diletakkan di meja dekat kamar Cinta. Dan disana, terlihat Cinta sedang berusaha membereskan itu semua.

“Sayang?” Kata bunda kaget.

“Hmmm, maapin Cinta, ya, Bun. Tadi celecai mandi, Cinta, kan, mau ganti baju. Eh, enggak cengaja tangan Cinta cenggol vac bunga

kecayangan Bunda,” jelas Cinta gemetar. Tapi, 1 detik, 2 detik, sampai 10 detik. Bunda masih diam saja. Cinta mengira bunda akan marah, ternyata bunda justru memeluknya dengan erat.

“Bunda kenapa?” tanya Cinta heran.

“Kamu memang anak yang baik. Bunda lupa kalau hari ini adalah hari pertama kamu masuk sekolah. Sudah, biarkan saja, nanti biar bibi yang membereskannya. Sekarang … ayo, kita pakai baju seragam barunya!” ajak bunda sembari mengenggam tangan Cinta. Cinta pun mengangguk.

“Padahal, aku pengin kacih kejutan ke Bunda. Eh, jadi gagal, deh,” sesal Cinta kepada dirinya sendiri.

“Kenapa, Sayang?” Tanya bunda yang merasa mendengar Cinta berbicara.

“Ha? Hmmm … endak apa-apa, kok, Bun.” Tak terasa, karena sambil bercanda sekarang sudah hampir pukul tujuh. Itu artinya Cinta harus sudah berangkat, karena sekolah masuknya pukul 08.00. Dan jarak sekolah dari rumah cukup jauh.

55

“Wah, Sayang. Sekarang udah jam tujuh. Sarapan dulu, yuk! Terus langsung berangkat. Nanti terlambat, lho!” kata Bunda menakut-nakuti. “Kalau dihukum bu guru gimana, hayo? Udah sekarang kamu turun ke bawah duluan, ya! Bunda mau mandi dulu,” lanjut bunda. Cinta pun menuruti perkataan bundanya.

Di meja makan, sudah tersedia makanan lezat kesukaan Cinta yaitu ayam goreng. Dia pun segera duduk di kursinya.

“Bibi ambilkan ya, Non!” tawar bibi.

“Boleh, Bi.” jawab Cinta. Dia pun segera makan dengan lahapnya. Sebenarnya, sih, ada sesuatu yang kurang bagi Cinta. Bagaimana tidak, dia sarapan mendahului bundanya. Tapi, karena dia memang sudah disuruh sarapan duluan. Apa boleh buat.

Ayah bilang Cinta harus selalu nurut sama Bunda, pikir Cinta dalam hati.

Tepat pukul 07.30, Bunda baru turun ke bawah. “Sayang, kita langsung berangkat saja ya! Nanti kamu telat,” kata bunda sambil mengecek isi tasnya.

“Tapi, Bun ... Bunda, kan, belum calapan?” tanya Cinta.

“Hmmm, enggak apa-apa, Sayang. Itu gampang,” jawab bunda.

“Enggak! Bunda harus calapan dulu! Nanti, kan, Bunda juga langsung belangkat ke kantol! Kalau enggak calapan, nanti Bunda cakit!” paksa Cinta dengan raut wajah ditekuk.

“Iya, Sayang. Iya-iya. Bunda bener-bener enggak bisa mengelak kata-kata dari anak Bunda yang satu ini-nih. Yang cantik sekali, nih …,” ucap bunda sambil menyentuh hidung Cinta dengan jari telunjuknya.

Akhirnya, bunda selesai makan. Mereka berdua pun berangkat menuju sekolah. Dalam perjalanan, bunda sangat ngebut. Dia takut pada hari pertama anaknya sekolah, justru terlambat. “Bun, jangan ngebut-ngebut. Banyak olang luka dan cakit dalam kecelakaan kalena ngebut.” ingat Cinta kepada orang yang dia paling sayangi.

57

“I ...” belum selesai Bunda berbicara, Cinta sudah memotongnya.

“Cinta enggak mau kehilangan olang yang Cinta cayang untuk kedua kali,” ucap Cinta kemudian. Tiba-tiba saja, bunda langsung mengerem mobil yang sedang dikendarainya. Dia juga langsung menggengam tangan anak kesayangannya itu.

“Iya, Sayang, Bunda juga enggak mau kehilangan kamu.”

Seusai mengucapkan kalimat itu, bunda langsung mencium kening Cinta dan melanjutkan perjalanan dengan kecepatan yang lebih pelan.

Sesampainya di sekolah, Cinta sudah terlambat. Tapi untungnya, dia belum ketinggalan acara pelepasan balon dan beberapa burung merpati. Saat melihatnya, terpancar raut kegembiraan dari wajahnya. Tapi, lagi-lagi ada suatu hal yang kurang. Bunda tidak bisa menemaninya karena harus segera ke kantor. Padahal, anak-anak yang lainnya ditemani oleh orangtua mereka masing-masing.

Kini, waktunya anak-anak masuk ke kelas. Anak-anak berbaris dengan rapi, sesuai dengan kelasnya masing-masing. Di paling depan ada guru wali kelas masing-masing yang memandu. Oh, iya, Cinta masuk ke kelas Slyterin. Namanya seperti di kelas di film Harry Potter, kan?

Yups! Sekolah ini emang dibuat se-enjoy mungkin. Anak-anak jaman sekarang, kan, lagi suka Harry Potter, maka dari itu kelas-kelasnya pun dibuat sama dengan kelas-kelas yang ada di film tersebut. Bagaimana dengan anak-anak yang masuk ke kelas-kelas itu? Sama saja, semua benar-benar dibuat persis seperti di film Harry Potter, Slyterin untuk anak-anak yang cerdas, sedangkan Gryffindor untuk anak-anak yang pemberani, dan yang lainnya. Tapi, itu hanya soal kelas, lho! Kalau penataan kelasnya mengikuti kartun Doraemon. Pokoknya, sekolah di sekolah Kasih Ayah Bunda sangat menyenangkan, deh!

Karena ini adalah hari pertama, jadi hari ini belum ada jam pelajaran. Paling-paling cuma perkenalan. Dan ada sedikit pengumuman.

59

“Baik, Anak-Anak. Sekarang satu sama lain sudah saling kenal, kan?” tanya Bu Septha, wali kelas, kelas Slyterin. Semua anak mengangguk secara serempak termasuk Cinta. “Nah, kalian tahu tidak, sebentar lagi mau ada hari apa?” tanya bu guru.

“Hari ayah, Bu!” jawab salah seorang murid yang duduk di kursi paling belakang. Semua pandangan pun mengarah kepadanya. Cinta pun demikian.

“Iya, betul sekali,” timpal Bu Septha. “Nah, maka dari itu, sekolah Kasih Ayah Bunda mau menyelenggarakan hari Ayah. Bisa dibilang masih dalam masa perkenalan kalian juga, tapi melibatkan orangtua. Mumpung sebentar lagi hari Ayah, sekolah kita pun memanfaatkannya. Maka dari itu, besok jangan lupa ajak ayah kalian masing-masing, ya!” jelas Bu Septha.

Setelah mendengar kalimat dari Bu Septha, hati Cinta rasanya seperti ada yang mencubit keraaas sekali. Dan ingin rasanya seketika itu juga dia menangis dan berteriak sekeras dan sekencang

mungkin, tapi untunglah Cinta seorang anak yang sangat sabar. Bagaimana tidak, sebentar lagi adalah hari Ayah, sedangkan ayah Cinta sudah meninggal satu tahun yang lalu.

Seketika itu juga, Cinta langsung terbayang akan sosok ayah yang paling dia cintai. Dulu Cinta seperti anak yang lainnya. Tapi kini, setelah sepeninggal ayahnya, Cinta menjadi anak yatim. Ayah Cinta adalah seorang peneliti di laboratorium miliknya sendiri. Beliau sangat senang bereksperimen.

Hingga akhirnya, pada 23 Juli 2011 pukul 16.00, ayah cinta sedang bereksperimen mengenai bahan-bahan bakar alternatif. Tapi, mungkin inilah takdirnya. Tidak seperti biasanya, ternyata ayah cinta lupa menutup salah satu tabung eksperimennya. Dan itu adalah kesalahan yang sangat fatal. Karena, tepat satu jam setelah dia melakukan eksperimen tersebut, tabung itu meledak. Alhasil, ayah Cinta yang berada dalam laboratorium itu meninggal. Dan kini, laboratorium itu ditutup.

61

“Cinta ...,” panggil Bu Septha. “Cinta .…” Sekali lagi bu guru mencoba memanggil. Dan akhirnya pada panggilan yang ketiga, Cinta baru sadar. “Kamu, kenapa, Sayang? Kok, dari tadi kamu melamun saja?” tanya Bu Septha khawatir.

“Enggak apa-apa, kok, Bu,” jawab Cinta dengan senyum manisnya.

“Ya, sudahlah, kalau begitu. Ini surat undangan-nya. Jangan lupa, ya, siapkan hadiah darimu untuk ayah tercinta. Dan, ajak ayahmu datang ke sekolah,” kata Bu Septha mengingatkan.

“Baiklah, Anak-Anak. Sekarang, sudah waktunya pulang. Sebelum pulang kita berdoa terlebih dahulu, ya! Cinta, kamu sebagai leader, maka kamu yang memimpin doanya ya!” perintah Bu Septha. Cinta hanya mengangguk. “Attention please .... Befole we go home. Let’s

play togethel. Play begin.” Semua anak pun

menundukkan kepalanya. “Finish. Great to oul

teachel,” lanjutnya lagi. Satu per satu anak pun

ke luar dan tak lupa mencium tangan kepada Bu Septha.

Di luar, bunda sudah menunggu di dalam mobil sedan berwarna hitam. “Lho, Sayang, kenapa wajahmu telihat murung? Ini, kan, hari pertama kamu masuk sekolah?” tanya bunda khawatir. “Kamu sakit, ya?” kata bunda sambil mencoba mengecek kening Cinta.

“Enggak, Bun,” kata Cinta sambil menepis tangan bundanya.

“Lho, Sayang?” bunda Cinta pun kaget. Karena itu adalah kali pertama Cinta marah kepadanya.

“Cudahlah, Bun. Lebih baik cekalang kita pulang, Cinta capek,” pinta Cinta.

Detik demi detik berlalu ... menit demi menit berganti.

Hingga kini, pukul 21.00 Cinta belum juga keluar dari kamarnya setelah pulang sekolah tadi. Bunda yang melihatnya pun merasa khawatir. Beliau akhirnya memutuskan untuk mengecek Cinta di kamarnya untuk yang ke sepuluh kalinya.

Tok ... tok ... tok ...

“Sayang, Bunda benar-benar mohon. Untuk kali ini, bukalah pintunya,” ucap bunda. Cinta

63

yang tidak tega mendengarnya pun dengan cekatan membukakan pintu. Lalu, dia kembali duduk di jendela, sambil mengingat ayahnya.

“Alhamdulillah, akhirnya kamu mau mem-bukakan pintu juga,” kata bunda saat pertama kali menginjakkan kaki kanannya di kamar Cinta. “Sebenarnya, ada masalah apa, sih, dengan kamu, Nak?” tanya bunda bingung. Tanpa berkata apa-apa, Cinta langsung menyerahkan surat yang tadi dia terima.

Setelah membaca isi surat tersebut, bunda langsung memeluk Cinta sambil berderai air mata. Begitupula dengan Cinta. Air matanya deras membasahi pipi. “Bun, mungkin cetiap ada macalah apa-apa, Cinta bica cabal dan kuat menahannya. Tapi, untuk kali ini. Cinta enggak bica, Bun. Cinta kangen ayah. Cinta ingin sepelti anak-anak lainnya. Becok cemua datang dengan ayah macing-macing, cedangkan Cinta?”

Belum sampai Cinta menyelesaikan kalimat yang dia bicarakan.Bunda langsung menutup mulut cinta dengan jari telunjuknya. “Ssst ...”

“Cinta, walaupun kita hanya berdua, dan kita telah ditinggal oleh orang yang kita sayang. Tapi, kita harus tetap kuat dan tabah, Nak!” kata bunda sambil menatap Cinta dengan penuh kasih sayang.

“Kamu ingat pesan terakhir ayah?” tanya bunda.

Cinta mengangguk. Dia pun mencoba mengucapkannya. “Cinta haluc kuat, walaupun ayah pelgi, Cinta macih punya Bunda. Bunda akan celalu cayang dengan Cinta. Dan, Cinta haluc celalu nulut apa kata Bunda. Jika Cinta kangen cama ayah, jika Cinta takut akan gelap di caat Cinta akan tidul tetapi ayah tidak bisa menelanginya lagi cetelah ayah pelgi, pandanglah Bulan yang ada di langit. Bulan cecuatu kecayangan ayah dan cinta yang seling kami beldua lihat di labolatolium dengan menggunakan telopong ayah,” jelas Cinta, dan air matanya pun justru semakin deras.

“Sekarang pandanglah bulan itu, Nak!” kata bunda sambil menunjuk bulan yang sedang purnama.

65

“Mungkin cekalang, ayah cudah enggak bica ambilkan bulan itu untukku, Bun. Tapi, aku macih punya Bunda. Bunda yang celalu cayang kepadaku,” kata Cinta

Ambilkan bulan, Bu … Ambilkan bulan, Bu … Yang selalu bersinar di langit

Di langit bulan benderang Cahayanya sampai ke bintang

Ambilkan bulan, Bu ..

Untuk menerangi tidurku yang lelap Di malam gelap

“Iya, sayang. Bunda pasti akan selalu mengambilkan bulan titipan ayah untuk Cinta, Nak!” kata Bunda sambil menghapus air mata yang mengalir dan memeluknya kembali. “Untuk besok, biar Bunda saja yang datang menemani

Cinta,” ucap bunda menenangkan hati anaknya. “Sekarang Cinta tidur, ya … kalau tidak besok telat, lho!” perintah bunda. Bunda pun keluar dari kamar Cinta, untuk membiarkan anaknya beristirahat.

Keesokan harinya di sekolah Cinta. Awalnya ketika Cinta datang dengan bunda, semua orang memandang dengan penuh heran. Karena mereka semua tahu, bahwa ini adalah acara anak dengan ayah. Tapi, mengapa Cinta datang justru dengan bundanya?

Kini saatnya satu per satu anak maju untuk memberi tahu hadiah apa yang mereka beri untuk ayah mereka masing-masing. Dan, giliran ketiga adalah saatnya Cinta untuk maju ke atas panggung.

Ternyata, semalam sebelum Cinta tidur Cinta sempat membuat puisi untuk ayah. “Cinta tahu. Cinta hali ini datang tak cepelti anak-anak lain. Cinta datang belsama dengan bunda, bukan dengan ayah,” kata Cinta y0ang mulai meneteskan air mata. “Ayah Cinta telah tiada catu tahun yang lalu. Kalena kecelakaan kelja di

67

labolatolium miliknya cendili. Tapi, Cinta yakin di culga, ayah cedang telcenyum untuk Cinta,” lanjutnya lagi.

Semua hadirin yang datang termasuk guru-guru yang ada pun tampak mulai mengelap matanya. “Untuk itu, cekalang Cinta mau bacain

Bulan dali Ayah untuk Cinta

Ayah … Cinta cangat cayang dengan ayah ... Ayah … walaupun ayah enggak ada

di camping Cinta

Tapi, Cinta yakin kacih cayang ayah celalu ada untuk Cinta

Yah, telima kacih untuk bulan yang ayah beli Di cini, bunda celalu ambilkan untuk Cinta ...

Cinta cenang menelimanya, Yah ... Telimakacih, oh, Ayah

puici untuk ayah.”

Setelah itu, cinta menyanyikan lagu Ambilkan

hadirpun semakin tersedu-sedu, melihat kado dari Cinta. Pada akhir nyanyiannya, Bunda naik ke atas panggung dan memeluk Cinta dengan penuh kasih sayang.

Cinta janji, Cinta enggak akan pernah cedih lagi atas kepelgian ayah, kalena dicini cudah ada bunda yang cayang cama Cinta. Kacih cayang ayah juga celalu campai, kok, pada Cinta. Tekad

Dalam dokumen Cerita Motivasi (bulan tidak bohong) (Halaman 54-71)

Dokumen terkait