• Tidak ada hasil yang ditemukan

55Direktorat Jenderal SDPP

Proile SDPPI Corporate Social Responbility Good Corporate Governance

IPSFR, komponen IPSFR merupakan “regulatory cost” yang memberikan kepastian besaran dan mekanisme pembayaran BHP IPSFR. Aspek hukum patut diperhatikan karena dapat memberikan kepastian hukum yang didasarkan pada peraturan perundang- undangan. Regulasi yang ada bisa menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan hukum, baik bagi investor, peyelenggara maupun pengguna telekomunikasi. Sementara itu, dalam aspek kompetisi IPSFR, tidak sekadar izin, tetapi juga sebagai alat kompetisi antarpenyelenggara dan alat peningkatan nilai perusahaan. Mekanisme penetapan IPSFR menjadi hal kritis dalam mengelola tingkat kompetisi dan memberikan kesempatan serta perlakuan yang sama kepada semua pihak yang memenuhi syarat. Hasil-hasilnya pun bisa dinikmati oleh masyarakat secara adil dan merata. Penetapan izin penggunaan spektrum frekuensi radio dilakukan melalui skema sebagai berikut:

• Jika permintaan kebutuhan spektrum (demand) tidak melebihi jumlah spektrum yang tersedia (supply), maka digunakan proses perizinan lisensi spektrum berupa “irst come, irst served”, contohnya perizinan ISR.

• Jika permintaan kebutuhan spektrum (demand) melebihi jumlah spektrum yang tersedia (supply), maka digunakan proses perizinan lisensi spektrum yang kompetitif berbasis seleksi, contohnya lelang 2,1 GHz (2006), lelang 2,3 GHz (2009), dan beauty contest 3G (2013).

Sesi III menampilkan 2 (dua) pembicara. Kedua pembicara itu adalah Kasubdit Harmonisasi Teknik Spektrum Irawati Tjipto Priyanti yang memberikan paparan bertema “Peran Direktorat Penataan Sumber Daya dalam Upaya Harmonisasi Spektrum Frekuensi Radio di Tingkat Nasional Maupun Internasional” dan Kasubdit Pengelolaan Orbit Satelit Mulyadi yang memberikan paparan bertema “Regulasi dan Kebijakan Satelit di Indonesia”.

Beberapa hal yang disampaikan pada sesi ini adalah tantangan regulator dalam harmonisasi spektrum frekuensi radio, strategi koordinasi/harmonisasi, implementasi strategi dalam kegiatan, dan notiikasi stasiun radio ke International Telecommunication Union (ITU).

1. Tantangan Regulator dalam Harmonisasi Spektrum Frekuensi Radio

Regulator saat ini menghadapi tantangan dalam upaya harmonisasi spektrum frekuensi di tingkat nasional maupun internasional antara lain: a. Perubahan paradigma masyarakat; b. Globalisasi dengan adanya persaingan

antarnegara, khususnya negara yang bertetangga;

c. Pergeseran di bidang teknologi, bisnis, dan politik.

2. Strategi Koordinasi/Harmonisasi

Dalam menghadapi tantangan ini, perlu adanya strategi koordinasi untuk mencapai kesepakatan dalam upaya harmonisasi internasional (luar negeri) maupun dalam negeri sebagai berikut:

a. Internasional (luar negeri)

- Menempatkan SDM dalam kepengurusan forum internasional/regional;

- Aktif dalam penyusunan contribution paper; - Aktif di dalam working party/study group; - Strategi penyelesaian permasalahan border

yang smart dan didukung dengan data akurat. b. Nasional (dalam negeri)

- Memperluas jejaring antarlembaga negara, akademisi, industri dalam negeri dll; - Menyamakan visi dan langkah; - Diseminasi informasi; - Bimbingan teknis. 3. Implementasi Strategi

Strategi-strategi koordinasi internasional tersebut diterapkan/diimplentasikan dalam beberapa kegiatan di mana Indonesia berperan aktif di dalamnya. Implementasi strategi ini sebagai berikut: a. Joint Measurement antara Indonesia dan

Malaysia untuk radio siaran FM wilayah Kalimantan Barat dan Sarawak pada tanggal 25–29 November 2013;

b. Asia-Paciic Telecommunity (APT)

Conference for Preparatory Group for World Radiocommunication Conference-15 (APG 15- 3) pada tanggal 9–13 Juni 2014. Pada sidang ini, Indonesia berperan aktif dengan menjadi Drafting Group Chair di Working Party 1 s/d 5 dan mengirimkan 7 (tujuh) input document; c. Penyelesaian interferensi CDMA-EGSM

880-890 MHz, di mana sesuai hasil pengukuran, CDMA-EGSM pada pita 880- 890 MHz dapat beroperasi berdampingan di perbatasan Indonesia-Malaysia-Singapura dengan pengaturan batasan teknis tertentu (interferensi dapat teratasi);

d. Special Task Force on FM Broadcasting Service and Frequency Registration yang merupakan koordinasi teknis dalam registrasi stasiun radio FM di wilayah perbatasan ketiga negara, yakni Indonesia, Malaysia, dan Singapura.

4. Notiikasi Stasiun Radio ke ITU

Notiikasi stasiun radio ke ITU dilakukan agar penggunaan alokasi frekuensi di Indonesia mendapatkan pengakuan internasional dan

56

Laporan Tahunan 2014

Sumber Daya Manusia Analisa dan Pembahasan Manajemen Program Kerja Lainnya

perlindungan bila terjadi interferensi. Namun, kegiatan notiikasi ini bukan tidak mengalami hambatan. Kendala yang dihadapi antara lain: a. Parameter dalam data SIM-S kurang sesuai

dengan ketentuan ITU;

b. Terdapat parameter yang diwajibkan

(mandatory), namun tidak tersedia pada SIM-S. Sebagai contoh, notiikasi stasiun radio FM, di antaranya parameter altitude of aite above sea level (ketinggian lokasi di atas permukaan laut) serta parameter maximum effective antenna height (ketinggian antena efektif maksimal). Sementara itu, dalam sesi “Regulasi dan Kebijakan Satelit di Indonesia” terdapat beberapa pokok bahasan, yaitu latar belakang; regulasi satelit Indonesia; iling satelit dan satelit Indonesia; pengelolaan iling dan frekuensi satelit; dan perencanaan frekuensi satelit.

Orbit satelit perlu diatur karena merupakan sumber daya alam terbatas. Dari segi hukum, wilayah penempatan stasiun radio (stasiun angkasa/satelit) berada di luar wilayah Indonesia (>100 km sebagai batas ruang udara nasional). Aturan yang berlaku adalah hukum internasional seperti ITU dan UNCOPUOS. Apabila tidak mengikuti aturan, maka berakibat dihapusnya iling satelit Indonesia. Stasiun bumi terletak dalam lingkup ruang udara (terrestrial) suatu negara sehingga regulasi nasional (UU, PP, PM) menjadi acuan.

Dasar pengaturan satelit Indonesia adalah UU No.36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan PP No.53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio. Pada bulan Agustus 2014, Menteri Kominfo menyetujui Peraturan Menteri yang baru mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio satelit dan orbit satelit, yaitu Peraturan Menteri (Permen) Kominfo No.21 Tahun 2014 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio untuk Dinas Satelit dan Orbit Satelit. Regulasi ini menggantikan peraturan-peraturan sebelumnya, yaitu:

- Permen Kominfo No.13 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi yang Menggunakan Satelit;

- Permen Kominfo No.37 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Menkominfo No.13/P/ M/M.Kominfo/8/2005 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi yang Menggunakan Satelit; dan - Peraturan Dirjen No.357 Tahun 2006

tentang Penerbitan Izin Stasiun Radio untuk Penyelenggaraan Telekomunikasi yang Menggunakan Satelit.

Per 13 Agustus 2014, Indonesia memiliki total 16 (enam belas) slot orbit dengan 7 (tujuh) buah real satelit. Enam satelit (Telkom 1, Ses 7/Indostar-2, Palapa D, Telkom 2, Garuda 1, Palapa C2) menempati orbit geostasioner dan 1 (satu) satelit (LAPAN A2) menempati orbit non geostasioner. Selain itu, terdapat pula 36 iling satelit eksisting. Indonesia juga memiliki alokasi BSS dan FSS Planned Band yang belum dimanfaatkan pada slot 80.2oBT, 104oBT, dan 115.4oBT yang digambarkan sebagai berikut:

57

Dokumen terkait