• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V DINAMIKA POLITIK KEISTIMEWAAN

5.4. Diskusi

Pembahasan di atas menunjukkan bahwa analisis dispositif Foucaultian (Buhmann, 2005)telah memainkan peran kunci dalam upaya memahami terjadinya dinamika politik keistimewaan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Analisis atas area referensi telah menemukan bahwa secara historis Daeah Istimewa Yogyakarta yang merupakan penggabungan dua bekas kerajaan Kasultanan dan Pakualaman telah memiliki referensi yang kokoh dalam hal sirkulasi dan suksesi kekuasaan. Bagaimana proses tersebut diatur terangkum jelas dalam apa yang disebut sebagai paugeran atau tata nilai. Basis referensi tersebut menjadi rujukan dan sekaligus terus mendapatkan penguatan dalam setiap terjadi perguliran kekuasaan. Sampai saat ini di Kasultanan telah terjadi 14 kali pergantian raja dari 10 raja yang pernah ada, sementara di Pakualaman telah terjadi 10 kali suksesi.

Perguliran kekuasaan 10 raja di Kasultanan yang telah berlangsung sebanyak 14 kali menunjukkan bahwa dalam prakteknya pergantian dan penentuan raja tidak selalu dan sepenuhnya berjalan sesuai ketentuan yang diatur dalam paugeran dan tata nilai. Ada deviasi atas paugeran dan juga dinamika politik yang ikut mewarnai. Terjadinya peristiwa naik dan turun takhtanya Hamengku Buwono II dan HB III, serta ada raja yang turun

takhta sebelum wafatnya menunjukkan bahwa telah terjadi dinamika politik pada proses suksesi yang pernah ada. Begitu pula halnya ketika di Kasultanan dan Pakualaman muncul praktek penentuan raja ketika raja yang diputuskan naik takhta tersebut masih belum cukup umur.

Tradisi sirkulasi kekuasaan di internal Kasultanan dan Pakualaman telah menempatkan Sultan dan Paku Alam pada posisi sentral dan sekaligus simbol yang merepresentasikan eksistensi kedua kerajaan yang mereka pimpin. Modalitas ini bersinergi dengan konsep kekuasaan dalam filosofis Jawa yang menempatkan raja sebagai pusat kekuasaan. Dalam perspektif ini figur Sultan di mata masyarakat adalah raja yang memiliki kekuasaan politik, militer, dan keagamaan absolut, yang diakui secara tradisional (Soemarjan, 1986). Dalam konteks ini posisi seorang raja begitu menentukan arah dan warna bagaimana kekuasaan dijalankan. Warna dari kepemimpinan sangat dipengaruhi oleh kecakapan, integritas dan visi dari seorang raja yang berkuasa. Dalam konteks ini, proses pembentukan Yogyakarta sebagai sebuah Daerah Istimewa tak dapat dilepaskan dari pengaruh dan figur Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII (Harsono, 2012, dan Lutfi et.al, 2016). Besarnya pengaruh dan lekatnya figur Sultan dan Paku Alam ini di mata masyarakat DIY telah membentuk sikap positif dan akomodatif warga terhadap sistem monarki di Yogyakarta (Hakim et.al, 2015).

Pemberian piagam kedudukan dari Presiden Soekarno kepada Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII pada 6 September 1945 dan kemudian diikuti dengan lahirnya Undang-undang 3/1950 dapat dikatakan sebagai bentuk akomodasi atas posisi sentral tersebut. Akomodasi atas posisi sentral dan unik dari Sultan dan Paku Alam tersebut telah menjadi

pintu masuk dalam pengaturan pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY pada periode-periode selanjutnya. Hal inilah kemudian yang menjadi referensi dalam tata cara dan praktek pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur.

Sejak provinsi ini terbentuk hingga sekarang telah lahir beberapa Undang-undang yang menjadi acuan dalam pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur. Dinamika dan perkembangan dalam pengaturan tersebut telah melahirkan praktek yang berbeda pula dalam hal tata cara dan mekanisme dalam pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur. Pernah pengisian dilakukan dengan penunjukan dan penetapan langsung dari pemerintah pusat tetapi di kala lain dilakukan dengan pemilihan. Dalam hal siapa yang harus ditentukan sebagai gubernur dan wakil gubernur juga mengalami perubahan. Pada awalnya gubernur ditetapkan dari Sultan yang sedang bertakhta dan wakil gubernur adalah otomatis dijabat Paku Alam yang sedang bertakhta. Selanjutnya, berubah menjadi gubernur dijabat oleh keturunan Sultan dan wakil Gubernur diisi dari keturunan Paku Alam.

Terakhir, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Keistimewaan pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur dilakukan dengan mekanisme tersendiri sedangkan syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh calon gubernur DIY adalah sedang bertakhta sebagai Sultan. Sementara syarat mutlak untuk menjadi wakil gubernur adalah sedang menduduki takhta Paku Alam di Kadipaten Pakualaman .

Dinamika tersebut tumbuh dan berkembang di atas tiga gelanggang pergulatan kuasa yang satu sama lain berproses saling pengaruh-mempengaruhi. Ketiga arena tersebut adalah: pertama, tradisi dan praktek dalam suksesi raja di Kasultanan dan Pakualaman; kedua, posisi unik dan

spesial Sultan dan Paku Alam dalam proses pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur; dan ketiga, strategi yang dipakai Kasultanan dan Pakualaman untuk memperoleh dan melanggengkan kekuasaan. Ketiga hal ini bukan saja menjadi arena tempat pertarungan wacana dan pergumulan kuasa berlangsung tetapi juga sekaligus menjadi faktor penentu dalam pembentukan format keistimewaan DIY dan transformasinya dalam bentuknya yang baru sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2012.

Keistimewaan DIY yang memusat pada pengisian jabatan gubernur dari Sultan dan wakil gubernur dari Paku Alam yang bertakhta secara otomatis telah menempatkan posisi Sultan dan Paku Alam sebagai titik episentrum terjadinya konflik dan muara banyak kepentingan. Pada diri keduanya melekat tiga entitas sekaligus yakni sebagai pribadi dan seorang warga negara, sebagai raja yang memimpin kerajaan, serta sebagai gubernur dan wakil gubernur yang menjalankan tugas-tugas negara. Analisis atas strategi imperatif telah mengkonfirmasi bagaimana Kasultanan dan Pakualaman telah sedemikian jauh terlibat dalam melancarkan strategi dan usaha-usaha untuk tetap berkuasa. Keluarga Kasultanan dan keluarga Pakualaman melakukan usaha-usaha dalam merebut dan melanggengkan kekuasaan dengan mengakumulasi penguasaan mereka atas modal sosial (social capital), modal politik (political capital), modal ekonomi (economic capital), dan hegemoni budaya (cultural hegemony).

Dokumen terkait