• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN ANALISA DATA

4.3. Diskusi Hasil

Hasil yang menunjukkan antara penelitian terkait dengan penelitian yang dilakukan di Laboratorium Mekanika Tanah Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara dengan model Goswami menunjukkan hasil yang relatif sama dan tidak jauh beda. Hanya dalam penelitian terkait melakukan pengujian dengan nilai Atterberg Limit dan persen butiran halus (Fines), sedangkan dalam penelitian ini hanya menggunakan nilai persen butiran halus (Fines).

Berdasarkan penelitian terkait dengan model Goswami indeks properties sangat signifikan dapat mempengaruhi parameter kompaksi. Guerrero (2001) mangatakan bahwa jenis tanah dalam bentuk distribusi ukuran butiran, bentuk dari

21.000 21.500 22.000 22.500 23.000 23.500 24.000 24.500 25.000 25.500 0 5 10 15 20 25 30 K a d ar A ir O p ti m u m E st im a si w o p t #

Kadar Air Optimum Aktual wopt

Hubugan antara w

opt

dan w

opt#

butiran, berat jenis tanah, persentase dari butiran halus, memberikan pengaruh yang besar terhadap parameter kompaksi.

Dengan penelitian-penelitian ini, salah satu yang dapat simpulkan adalah adanya sebuah metode yang mudah dalam memprediksi nilai parameter kompaksi (berat isi kering maksimum dan kadar air optimum). Analisa hubungan tersebut dapat berupa sebuah regresi linier atau hubungan berupa kurva kompaksi. Dengan itu penelitian-penelitian ini sangat signifikan dan sangat berguna untuk keperluan proyek jalan.

Berikut metode yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu dengan model Goswami persamaan (2.6). Dimana dalam penelitian ini hanya menggunakan nilai dari persen butiran halus (Fines).

Penelitian terkait dengan penelian dengan model Goswami memiliki tujuan yang sama. Penelitian terkait menggunakan beberapa variabel untuk menghasilkan nilai kompaksi, sedangkan untuk model Goswami hanya menggunakan satu variabel. Jelas terlihat dalam penelitian terkait dengan pengujian model Goswami memiliki tujuan yang sama, namun dalam efisiensi waktu pengujian dengan model Goswami adalah pengujian tercepat dibanding penelitian terkait. Namun, akurasi penelitian ini adalah sangat tergantung kepada kualitas data serta jumlah data yang diambil.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil analisa berdasarkan hubungan antara berat isi kering maksimum

(γdmax) dan kadar air optimum (wopt) dengan nilai klasifikasi tanah (persen butiran halus) diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Estimasi dengan Model Regresi mengasil persamaan γdmax*= 1,862 - 0,005*FINES – 0,003*LL dan wopt* = -0,607 + 0,362*FINES + 0,161*LL 2. Estimasi dengan Model Goswami menunjukkan hubungan Log G dengan berat

isi kering maksimum (γdmax) menghasilkan konstanta m dan k, yaitu m = -0,376 dan k = 2,482.

3. Estimasi dengan Model Goswami menunjukkan hubungan Log G dengan kadar air optimum (wopt) menghasilkan konstanta m dan k, yaitu m = 21,265 dan k = -32,421.

4. Estimasi dengan Model Goswami jelas terlihat lebih mudah dan lebih efektif dibandingkan dengan Model Regresi.

5. Berdasarkan nilai klasifikasi diperoleh jenis tanah A4, A6 dan A7.

6. Dari hubungan berat isi kering maksimum (γdmax) dengan berat isi kering maksimum estimasi (γdmax*) model regresi memberikan korelasi positif yang nyata untuk rentang kepercayaan 95%.

7. Dari hubungan kadar air optimum (wopt) dengan kadar air optimum estimasi (wopt*) model regresi memberikan korelasi positif yang nyata untuk rentang kepercayaan 95%.

8. Dari hubungan berat isi kering maksimum (γdmax) dengan berat isi kering maksimum estimasi (γdmax#) model regresi memberikan korelasi positif yang nyata untuk rentang kepercayaan 95%.

9. Dari hubungan kadar air optimum (wopt) dengan kadar air optimum estimasi (wopt#) model regresi memberikan korelasi positif yang nyata untuk rentang kepercayaan 95%.

10. Berat isi kering maksimum (γdmax) dan kadar air optimum (wopt) memiliki hubungan yang signifikan terhadadap persen butiran halus (Fines).

5.2 Saran

Untuk mendapatkan rentang kepercayaan yang lebih tinggi lagi maka model Goswami harus dimodifikasi. Nilai korelasi dapat dipengaruhi oleh hal-hal seperti:

1. Jumlah data yang diteliti

Nilai korelasi dapat ditingkatkan dengan cara menambah jumlah data yang akan diteliti dan mewakili kondisi yang sebenarnya dilapangan.

2. Kesalahan data proses pengujian.

Hasil pengujian sangat mempengaruhi nilai korelasi. Pengujian yang dilakukan harus sesuai dengan standar USCS atau AASTHO sebagaimana yang telah di jelaskan pada BAB III. Hasil pengujian dipengaruhi oleh teknik atau latar belakang masing-masing individu yang melakukan pengujian.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lapisan Tanah Dasar Perkerasan (Subgrade)

Subgrade adalah tanah dasar di bagian bawah lapis perkerasan jalan. Lapisan tanah dasar dapat berupa tanah asli yang dipadatkan jika tanah aslinya baik atau tanah urugan yang didatangkan dari tempat lain atau tanah yang distabilisasi dan lain lain.

Gambar 2.1. Susunan Jenis Lapisan Perkerasan Jalan Raya

Pada prosedur pekerjaan lapisan subgrade, sebelum kegiatan penghamparan perkerasan dilakukan, bagian lapisan subgrade harus sudah dalam keadaan siap (kuat, padat, bersih dan dibentuk sesuai rencana). Adapun langkah-langkah pelaksanaannya adalah sebagai berikut:

1. Apabila tanah eksisting lebih tinggi dari elevasi rencana, maka dilakukan pekerjaan galian. Sedangkan apabila tanah eksisting lebih rendah dari elevasi rencana, maka dilakukan pekerjaan timbunan. Pada pekerjaan galian, tanah dasar dibentuk permukaan tanahnya dengan cara mengupas dengan cangkul.

 Pekerjaan galian dimaksudkan untuk mendapatkan bagian tanah dasar (subgrade) yang akan menentukan kekuatan dari susunan perkerasan di atasnya yang sesuai dengan rencana struktur.

 Pada pekerjaan timbunan, bagian-bagian yang harus ditimbun sampai mencapai ketinggian yang ditentukan, harus ditimbun menggunakan tanah timbunan yang cukup baik, bebas dari sisa (rumput/akar-akar lain-lainya). Penimbunan harus dilakukan lapis demi lapis. Tebal maksimal hamparan 30 cm setiap lapisan. Kemudian tanah tersebut dilembabkan sebelum dilakukan pemadatan.

2. Pemadatan lapisan subgrade menggunakan Vibrator Roller atau Static Roller (sambil diberi air secukupnya untuk mencapai kadar air optimum).

3. Setelah pemadatan tanah dasar selesai, lalu dilakukan perataan menggunakan Motor Grader.

2.2. Pemeriksaan/Pengujian Material Subgrade

Secara umum ada lima pemeriksaan di laboratorium terhadap material subgrade sebelum melaksanakan pengujian Kompaksi (Bowles, J.E., 1993), yaitu pemeriksaan Kadar Air (Water Content Test), Berat Jenis (Specific Gravity Test), Konsistensi Atterberg (Atterberg Limit Test) dan Analisa Saringan (Sieve Analysis Test) serta Klasifikasi Tanah (USCS dan AASHTO):

A. Pemeriksaan Kadar Air (Water Content Test)

Pemeriksaan ini dilakukan mengacu pada ASTM D 2216-92, Test Method for Laboratory Determination of Water (Moisture) Content of Soil and Rock” untuk

mendapatkan besaran kadar air (w). Kadar air tanah (w) didefinisikan sebagai perbandingan antara berat air (Ww) dengan berat butiran (Ws) dalam tanah tersebut yang dinyatakan dalam satuan persen. Kadar air tanah (w) dapat dinyatakan dalam persamaan:

% =

. Cara memperolehnya, contoh tanah basah mula-mula ditimbang, kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 230° F (110° C) hingga mencapai berat konstan. Berat contoh setelah dikeringkan adalah berat partikel solid. Perubahan berat yang terjadi selama proses pengeringan setara dengan berat air. Untuk tanah organik, terkadang disarankan untuk menurunkan suhu pengeringan hingga mencapai 140° F (60° C). Kadar Air (w) diperlukan untuk menentukan properties tanah dan dapat dikorelasikan dengan parameter-parameter lainnya.

B. Pemeriksaan Berat Jenis (Specific Gravity Test)

Pemeriksaan ini dilakukan berdasarkan ASTM D 854-92, “Standard Test Method for Specific Gravity of Soils”. Metoda ini digunakan pada contoh tanah dengan komposisi ukuran partikel lebih kecil daripada saringan No. 4 (4.75 mm). Untuk partikel dengan ukuran lebih besar dari saringan tersebut, prosedur pelaksanaan mengacu pada “Test Method Specific Gravity and Absorptionof Coarse Aggregate (ASTM C 127-88)”.

Berat jenis tanah (Gs), didefinisikan sebagai perbandingan massa volume partikel tanah di udara dengan massa volume air pada suhu kamar (umumnya 68°F {=20°C}). Berat jenis tanah dapat dinyatakan dalam persamaan:

Gs = w − w − w − w .w − w dimana:

Gs = Berat jenis tanah

w1 = Berat piknometer kosong

w2 = Berat piknometer + sampel tanah kering w3 = Berat piknometer + sampel tanah + air suling w4 = Berat piknometer + air suling

w4’ = w4 x factor koreksi suhu [k]

Berat jenis tanah (Gs) ditentukan berdasarkan jumlah dari pycnometer yang sudah dikalibrasi, dimana massa dan suhu dari contoh tanah deaerasi/air distilasi diukur. Specific gravity dari tanah diperlukan untuk menentukan hubungan antara berat dan volume tanah, dan digunakan untuk perhitungan test Laboratorium lainnya.

C. Pemeriksaan Konsistensi Atterberg (Atterberg Limit Test)

Pemeriksaan ini dilakukan sesuai dengan ASTM D 4318-95, ”Test Method for Liquid Limit, Plastic Limit and Plasticity Index of Soils”.

Kadar air pada saat Batas Cair (Liquid Limit=LL) diperoleh dengan cara meletakkan pasta tanah dalam mangkuk kuningan kemudian digores tepat ditengahnya dengan alat penggores standar. Kemudian engkol pemutar digerakkan, sehingga mangkuk naik turun dari ketinggian 0.4 inci (10 mm) dengan kecepatan 2 drop/detik. Liquid limit dinyatakan sebagai kadar air dari tanah yang dibutuhkan

untuk menutup goresan yang berjarak 0.5 inci (13 mm) sepanjang dasar contoh tanah dalam mangkuk sesudah 25 pukulan.

Kadar air pada saat Batas Plastis (Plastic Limit=PL) ditentukan dengan mengetahui secara pasti kadar air terkecil, dimana pasta tanah dapat digulung hingga diameter 0.125 inci (3.2 mm) tanpa mengalami keretakan. Sedangkan Indeks Plastisitas (Plasticity Index=PI) diperoleh dari selisih nilai kadar air pada saat Batas Cair (LL) dengan nilai kadar air pada saat Batas Plastis (PL).

D. Pemeriksaan Analisa Saringan (Shieve Analysis Test)

Prosedur pelaksanaan pemeriksaan ini mengacu pada ASTM C 136-95a,”Method for Shieve Analysis of Fine and Coarse Aggregates”.

Pengujian ini dilakukan dengan cara menyaring sejumlah sampel tanah dengan satu unit saringan berukuran 4,75mm (no.4) hingga 0,0075 (no.200). Saringan tersebut lalu digetarkan dengan menggunakan shieve shaker machine. Setelah itu, berat sampel yang tertahan pada tiap-tiap saringan ditimbang beratnya. Lalu akan didapatkan persentase butiran yang lolos dari tiap-tiap saringan.

E. Pemeriksaan Klasifikasi Tanah (USCS dan AASHTO)

Dari uji index properties tanah, grain size analysis dan atterberg limit dapat digunakan dalam mengklasifikasikan tanah. Sistem klasifikasi tanah yang digunakan dalam penelitiaan ini adalah AASHTO (American Association of State Highway Transportation Official) dan USCS (Unified Soil Classification System).

AASHTO (American Association of Highway and Transportation Officials) memberikan standar kriteria tanah subgrade sebagaimana pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Karakteristik tanah subgrade oleh AASHTO

Sumber : Bowles, J.E., 1993

Sistem AASHTO (American Association of State Highway Transportation Official) berguna untuk menentukan kualitas tanah dalam perencanaan timbunan jalan subbase dan subgrade. Sistem AASHTO membagi tanah ke dalam 7 kelompok, A-1 sampai dengan A-7 (seperti terlihat pada Tabel 2.2). Tanah dalam tiap kelompok dievaluasi terhadap indeks kelompoknya yang dihitung dalam rumus empiris. Pengujian yang digunakan hanya berupa analisa saringan dan nilai batas-batas Atterberg.

Tabel 2.2. Klasifikasi Tanah Sistem AASHTO

Sumber : Bowles, J.E., 1993

Pada Unified Soil Clasification System (USCS), suatu tanah diklasifikasikan ke dalam tanah berbutir kasar (kerikil dan pasir) jika kurang dari 50% lolos saringan nomor 200 dan diklasifikasikan sebagai tanah berbutir halus (lanau dan lempung) jika lebih dari 50% lewat saringan nomor 200. Simbol-simbol yang digunakan dalam sistem klasifikasi ini diantaranya: kerikil (gravel/G), pasir (sand/S), lempung (clay/C), lanau (silt/M), lanau atau lempung organic (organic silt or clay/O), bergradasi baik (well-graded/W), bergradasi buruk (poor-graded/P), plastisitas rendah (low-plasticity/L), plastisitas tinggi (high-plasticity/H), sebagaimana terlihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3. Klasifikasi Tanah Unified Soil Classification System

Sumber : Bowles, J.E., 1993

2.3 Pemadatan Tanah

Pemadatan tanah (earthwoks compaction) adalah proses mekanis dimana sejumlah tanah yang terdiri dari partikel padat (solid particles), air dan udara direduksi volumenya dengan menggunakan beban. Beban tersebut dapat berupa beban yang bergerak (rolling), beban yang dipukulkan (tamping) maupun beban

yang digetarkan (vibrating). Kepadatan didapat dengan keluarnya udara dari antara butiran tanah dimana proses ini merupakan kebalikan dari proses konsolidasi yang merupakan keluarnya air dari antara butir-butir tanah.

Lapisan tanah dasar pada konstruksi jalan raya harus dipadatkan dimana kekuatan dan keawetan perkerasan jalan itu sangat tergantung pada sifat-sifat dan daya dukung tanah dasar. Tujuan pemadatan adalah untuk meningkatkan kepadatan (density), meningkatkan stabilitas, meningkatkan kekuatan tahanan (bearing strength) subgrade, mengurangi sifat kemudahan ditembus oleh air (permeability), mengurangi potensi likuifaksi dan mencegah erosi.

2.3.1 Jenis-jenis Pemadatan Tanah

Metode pemadatan tergantung kepada jenis pemadatan tanah yang akan dilakukan, ada pemadatan di lapangan dan pemadatan di laboratorium.

A. Pemadatan di Lapangan

Untuk pekerjaan pelaksanaan pemadatan di lapangan kita perlu memilih alat pemadat yang digunakan. Pemadatan di lapangan umumnya menggunakan alat-alat berat seperti, Three Wheel Roller, Tandem Roller, Pneumatik Tired Roller (PTR) dan lain-lain. Untuk pemadatan tanah sebagai badan jalan/subgrade maka pada umumnya digunakan vibratory roller (Surendro B, 2014). Alat ini cocok digunakan untuk pemadatan granular material (material berbutir). Selain vibratory roller ada beberapa alat yang dipakai untuk memadatkan tanah maupun batu-batuan. Secara garis besar alat pemadat dibagi menjadi 3 group:

1. Rollers, termasuk didalamnya smooth-wheeled, pneumatic-tired, tamping rollers juga pemadatan oleh beban lalu lintas kendaraan.

2. Vibrators, termasuk didalamnya rollers dan plates.

3. Rammers, termasuk didalamnya power rammers, tampers dan falling weight. Smooth-wheeled rollers (Gambar 2.2) memiliki 3 roda dari drum besi atau tandem dibagian belakang. Alat ini juga memiliki roda besi tunggal berbentuk drum dibagian depan. Beratnya antara 1.7-17 ton dan dapat diperberat lagi dengan mengisi pasir atau air di roda besinya. Beban yang terpakai dibagi selebar rodanya. Kecepatan bergeraknya antara 2.5-5 km/jam.

Gambar 2.2. Smooth Wheeled Roller (Surendro B, 2014)

Pneumatic-tired rollers (Gambar 2.3), mempunyai 2 sumbu dengan roda dari karet, dimana jumlah roda depan dan belakang berselisih satu dan letak roda depan belakang berselang seling hingga yang tidak terinjak oleh roda depan dapat terinjak oleh roda belakang demikian sebaliknya. Kecepatan bergeraknya berkisar 1.6 hingga 24 km/jam.

Gambar 2.3. Pneumatic-tired rollers(Surendro B, 2014)

Menurut Djatmiko Soedarmo (1993) Vibratory rollers (Gambar 2.4) atau sering disebut vibro saja, mempunyai kisaran berat 0.5-17 ton, yang mempunyai sumbu tunggal (1 roda) biasanya ditarik traktor sedangkan yang mempunyai mempunyai sumbu ganda menggunakan mesin sendiri untuk bergerak. Frekuensi getarannya tergantung pabrik pembuatnya namun untuk yang besar berkisar antara 20-35 Hz dan 40-75 Hz untuk vibratory roller yang kecil. Pada umumnya alat bisa diatur getarannya menjadi 3 posisi: kecil, menengah dan besar. Untuk alat yang ditarik traktor kecepatannya 1.5-2.5 km/jam sedangkan untuk alat yang bergerak sendiri kecepatannya 0.5-1 km/jam. Apabila sedang menggetarkan rodanya maka kecepatannya semakin rendah.

Gambar 2.4 Vibratory rollers (Surendro B, 2014)

Vibrating plate compactors (Gambar 2.5) sering disebut stamper. Mempunyai kisaran berat 100 kg- 2 ton dan luasan pelat antara 0.16-1.6 m2. Alat ini cocok untuk memadatkan luasan yang kecil atau tempat yang terbatas untuk dipadatkan seperti daerah pinggiran perkerasan.

B. Pemadatan di Laboratorium

Pengujian pemadatan di laboratorium ada dua metode, yaitu: pengujian Pemadatan Standar (Standard Proctor Test) dan Pengujian Pemadatan Modified (Modified Proctor Test).

Pada Uji Pemadatan Standar, tanah dipadatkan dalam sebuah cetakan silinder bervolume 12,400 ft-lbf/ft³. Diameter cetakan silinder tersebut 4 in (=10,16 cm). Selama percobaan di laboratorium, cetakan itu dikelam pada sebuah pelat dasar dan di atasnya diberi perpanjangan. Tanah dicampur air dengan kadar yang berbeda-beda dan kemudian dipadatkan dengan menggunakan penumbuk khusus. Berat penumbuk 5,5lb (= 2,5 kg) dan tinggi jatuh 12 in. (=30,48 cm). Jumlah tumbukan tiap lapisan sebanyak 25 kali. Prosedur pelaksanaan pemadatan ini dilakukan untuk 3 (tiga) lapisan. Uji Pemadatan Standar mengacu pada ASTM D-698 dan AASHTO T-99.

Pada Pengujian Pemadatan Modified, tanah dipadatkan dalam sebuah cetakan silinder bervolume 56,000 ft-lbf/ft³. Diameter cetakan silinder tersebut 4 in (=10,16 cm). Selama percobaan di laboratorium, cetakan itu dikelam pada sebuah pelat dasar dan di atasnya diberi perpanjangan. Tanah dicampur air dengan kadar yang berbeda-beda dan kemudian dipadatkan dengan menggunakan penumbuk khusus. Berat penumbuk 10lb (= 4,5 kg) dan tinggi jatuh 18 in. (=45,72 cm). Jumlah tumbukan tiap lapisan sebanyak 25 kali. Prosedur pelaksanaan pemadatan ini dilakukan untuk 5 (lima) lapisan. Uji Pemadatan Standar mengacu pada ASTM D-698 dan AASHTO T-99.

Perbandingan alat Uji Pemadatan Standar dengan Uji Pemadatan Modified dapat dilihat pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6 Perbandingan alat Uji Pemadatan Standar dengan Uji Pemadatan Modified

Pengujian pemadatan tanah baik Uji Pemadatan Standar maupun Uji Pemadatan Modified memiliki dua parameter penting, yaitu Berat Isi Kering Maksimum (γdmaks) dan Kadar Air Optimum (wopt).

2.3.2 Parameter Pemadatan Tanah/Kompaksi A. Berat Isi Kering Maksimum (γdmaks)

RR Proctor (1993) dalam Kamarudin F.B (2005) mengatakan untuk suatu jenis tanah yang dipadatkan dengan daya pemadatan tertentu, kepadatan yang dicapai tergantung pada banyaknya air (kadar air) tanah tersebut. Besarnya kepadatan tanah, biasanya dinyatakan dalam nilai berat isi kering (ᵞd) nya.

Apabila tanah dipadatkan dengan adanya pemadatan yang tetap pada kadar air yang bervariasi, maka pada nilai kadar air tertentu akan tercapai kepadatan maksimum (γdmaks). Kadar air yang menghasilkan kepadatan maksimum disebut kadar air optimum (wopt).

Derajat kepadatan tanah dinyatakan dalam istilah berat isi kering d), yaitu perbandingan berat butiran tanah dengan volume total tanah. Berat Volume Tanah dapat dinyatakan dalam persamaan:

= + . dimana:

= Berat isi kering tanah (gr/cm3) � = Berat isi basah tanah (gr/cm3) 1 + = kadar air tanah (%)

Redzuan, 2003 dalam Nendi (2010) mengatakan pertambahan dan pengurangan nilai kepadatan kering tergantung kepada kadar air dalam sampel tanah, berat pemadatan dan tenaga pemadatan.

Craig, 1993 dalam Nendi (2010) mengatakan pada umumnya penambahan air akan memenuhi ruang antar partikel yang sebelumnya dipenuhi udara. Disamping itu, air juga akan merespon dengan partikel tanah dan menambah kemampuan tanah. Peningkatan kemampuan tanah akan mengurangi sifat kaku tanah untuk dipadatkan dan menghasilkan berat isi kering d) yang lebih tinggi. Sedangkan penambahan volume air yang terlalu besar akan menyebabkan sebagian volume tanah akan dipenuhi air dan akan mengurangi berat isi kering tanah d).

Selain persamaan (2.3) juga terdapat persamaan lain dalam mengontrol berat isi kering tanah d) pada kondisi tanpa rongga udara (zero air void/ZAV) yaitu:

Dimana:

γd = Berat isi kering tanah (gr/cm3) γ = Berat isi basah tanah (gr/cm3) Gs = Berat jenis tanah

1+ wGs = kadar air

Menurut Dandung Novianto (2012), untuk suatu kadar air tertentu, berat isi kering maksimum (ᵞdmax) secara teoritis didapat bila pada pori-pori tanah sudah hamper tidak ada udara lagi, yaitu pada saat dimana derajat kejenuhan tanah sama dengan 100%. Kondisi ini disebut Zero Air Voids (ZAV).

B. Kadar Air Optimum (wopt)

Menurut Bambang Surendro (2014) suatu tanah yang kohesif (lempung) dalam keadaan kering keras dan berbongkah-bongkah, sangat sukar dipadatkan. Untuk memudahkan pemadatan, tanah lempung perlu dibasahi, karena semakin basah tanah akan mudah dihancurkan. Namun, bila terlalu basah akan menghasilkan tanah yang kurang padat.

Dengan peningkatan kadar air, partikel tanah memiliki lapisan air disekelilingnya, sehingga lapisan air ini menjadi pelicin/pelumas, sehingga lebih mudah untuk digerakkan. Kepadatan maksimum akan diperoleh pada saat tanah memiliki kondisi kadar air optimum (wopt) yakni pada saat berai isi kering maksimum (ᵞdmax). Hubungan antara kadar air optimum dengan berat isi kering tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.6.

Gambar 2.7 Hubungan kadar air optimum dengan berat isi kering maksimum.

Untuk memastikan apakah pemadatan dilapangan sudah sesuai dengan spesifikasi maka perlu diuji di lapangan, kemudian sampel dibawa ke laboratorium agar dapat diketahui nilai kepadatannya. Menurut spesifikasi umum kepadatan dilapangan harus mencapai 100% dari pemadatan di laboratorium dan 95% untuk material granural. Jika kondisi tersebut tidak tercapai maka pemadatan dinyatakan gagal atau tidak memenuhi syarat.

� � = × % .

Dalam pemadatan tanah, ada 4 faktor yang mempengaruhi kontrol pemadatan, yaitu : tipe tanah dan gradasi, kadar air optimum (wopt), berat isi kering d), energi pemadatan (compaction effort).

Pemadatan tanah merupakan fungsi dari kadar air, karena pada saat ini air berperan sebagai pelembut (softening agent) atau lubrikasi pada partikel tanah yang akan membantu menyusun partikel tanah mengisi rongga udara menjadi lebih padat. Namun, kelebihan air tidak akan membantu tanah mencapai densitas yang

padat, karena rongga udara telah terisi oleh air yang bersifat inkompresibel yang membuat partikel tanah akan mengalir atau kehilangan friksi dan energi pamadatan langsung diterima oleh air.

Tipe tanah serta gradasi juga akan mempengaruhi kurva pemadatan. Umumnya tanah yang dominan berbutir halus atau fine grain akan membutuhkan kadar air lebih untuk mencapai pemadatan optimum, sebaliknya tanah dominan berbutir kasar atau coarse grain membutuhkan sedikit kadar air untuk mencapai kadar air pemadatan optimum. Hal ini juga terkait pada sifat plastisnya dimana tanah berbutir halus atau fine grain seperti lempung kelanauan memiliki sifat plastis dibanding tanah berbutir kasar seperti pasir kelanauan yang memiliki indeks plastis rendah.

Secara umum, semakin tinggi derajat pemadatannya maka kemampuannya menahan gaya geser (shearing force) akan semakin rendah penurunannya. Namun demikian, Capper dan Cassie (1969) dalam Surendro B. (2016) menyatakan bahwa apabila dibandingkan kekuatan geser dan kadar air tanah pada kondisi kepadatan tertentu, akan diperoleh nilai kekuatan geser tertinggi dicapai pada saat kadar air dibawah kondisi optimum pada pemadatan yang maksimum.

2.3.3 Energi Pemadatan

Proses pemadatan dipengaruhi oleh hubungan antara Kadar Air (wopt) dengan Berat Isi Kering (γdmaks). Energi pemadatan yang lebih besar akan menghasilkan kondisi tanah yang lebih padat. Energi pemadatan bergantung kepada beberapa faktor seperti berat penumbuk, tinggi jatuh penumbuk, jumlah tumbukan perlapisan dan jumlah lapisan.

E = jumlah tumbukan/lapisan × jumlah lapisan × berat penumbuk × tinggi jatuh penumbukvolume cetakan

Energi pemadatan tanah akan mempengaruhi suatu karakteristik kurva pemadatan, dimana semakin besar energi pemadatan yang diterima tanah maka efek densifikasinya akan semakin besar, sehingga nilai kadar air optimum (wopt) akan bergeser lebih kecil namun akan diperoleh nilai berat isi kering maksimum (γdmaks) yang lebih besar. Hubungan kadar air optimum (wopt) dan berat isi kering maksimum (γdmaks) sebagai berikut :

Gambar 2.8. Hubungan antara kadar air dan berat isi kering dengan beberapa jenis tanah yang telah dipadatkan (HoltzandKovacs,1981, Das,1998)

2.4 Hubungan Parameter Kompaksi dengan Index Properties

Beberapa penelitian dalam memprediksi nilai kompaksi tanah (berat isi kering maksimum dan kadar air optimum) telah banyak dikembangkan. Penelitian-penelitian tersebut menggunakan beberapa parameter geoteknik, seperti batas plastis (plastic limit), batas cair (liquid limit), specific gravity, energi kompaksi

(compaction energy), analisa distribusi butiran (Grain Size Distribution) dan klasifikasi tanah. Penelitian untuk mengetahui hubungan antara parameter kompaksi dilakukan pertama kali oleh Johnson dan Sallberg (1962). Nilai-nilai tersebut dihubungkan dengan cara regresi linear berdasarkan nilai indeks properties (Siagian, D.W dan Muis, Z.A., 2013).

Besaran prediksi berat isi kering maksimum (γdmaks) dan kadar air optimum (wopt) juga dapat dihitung dari model yang disarankan oleh Goswami (Muis, Z.A., 1998) dengan persamaan sebagai berikut:

Y = m Log G + k (2.6) dimana:

Y = Berat isi kering maksimum (

dmax) dan kadar air optimum (wopt) m = Kemiringan kurva

k = Konstanta

G = Konstanta gradasi (1 + F) (AX1 + BX2 + CX3) X1 = % berat tertahan saringan 4,75 mm

X2 = % berat saringan 4,75 mm dan tertaha saringan 0,075 mm X3 = % berat saringan lewat 0,075 mm

A, B, C = Konstanta nomor saringan F = % butiran halus

Konstanta m dan k diperoleh dari grafik hubungan antara Log G dengan nilai berat isi kering maksimum serta nilai kadar air optimum dari hasil percobaan di

Dokumen terkait