• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 KESIMPULAN DISKUSI DAN SARAN ............................................. 74-85

5.2 Diskusi

Berdasarkan kesimpulan di atas bahwa: motivasi kerja, persepsi kondisi kerja, usia, dan masa kerja memiliki pengaruh yang signifikan terhadap disiplin kerja buruh pabrik di Cikupa-Tangerang. Motivasi kerja itu sendiri memiliki pengaruh yang paling besar diantara variael yang lain dengan kontribusi sebesar 24,8 %, karena motivasi kerja itu sendiri merupakan karekteristik psikologi seseorang yang memberi kontribusi pada tingkat komitmen seseorang, hal ini termasuk factor-faktor yang memyebabkan, menyalurkan, dan mempertahankan tingkah laku manusia dalam arah tekad tertentu (stoner dan freeman, 1995).

Senada dengan pernyataan tersebut hasil penelitian yang dilakukan oleh Mucksin (2002) menyatakan bahwa motivasi kerja memiliki pengaruh yang signifikan terhadap disiplin kerja. Hal tersebut tersebut disebabkan karena

motivasi kerja adalah sesuatu yang berasal dari diri internal individu yang menimbulkan dorongan atau semangat untuk bekerja keras.

Sedangkan untuk persepsi kondisi kerja tidak memiliki pengaruh namun memberikan sumbangan sebesar 0,9% terhadap disiplin kerja hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Widarsa (2007) yang menyatakan bahwa persepsi kondisi kerja berhubungan dengan disiplin kerja, ia menjelaskan bahwa semakin baik persepsi kondisi kerja seseorang terhadap tempat kerjanya maka disiplin kerja karyawan tersebut akan semakin meningkat.

Dalam bekerja, seseorang akan merasa nyaman atau tidak nyaman dalam bekerja hal ini tergantung bagaimanaia mempersepsikan kondisi kerjanya, apakah baik atau buruk. Bila mereka mempersepsikan kondisi kerjanya buruk, maka upaya mengurangi ketidaknyamanan dalam bekerja, karyawan tersebut melampiaskan dengan cara bermalas-malasan dalam bekerja. Untuk itu sangat penting bagi perusahaan untuk memikirkan kenyamanan dalam bekerja.

Sejalan dengan pendapat Kartono(1994) yang menyatakan bahwa keadaan fisik perusahaan yang tidak sehat atau buruk, jam kerja yang sangat panjang, pekerjaan jasmaniah yang berat, waktu istirahat yang singkat atau minim, dan dinamika kerja yang tidak sesuai dengan kondisi fisik dan psikis karyawan pada kondisi kelelahan jiwa dan patah semangat. Dalam kondisi demikian, walaupun bekerja tetap di jalankan, banyak hal yang dikerjakan menjadi tidak sesuai dengan prosedure yang ditetapkan. Hal itu cepat atau lambat akan membentuk karyawan menjadi tidak disiplin dalam bekerja.

Terjadinya perbedaan hasil penelitian ini dengan hasil penelitian sebelumnya untuk variable persepsi kondisi kerja terhadap disiplin kerja buruh pabrik disebabkan oleh perbedaan jenis industri responden atau subjek penelitian. Berdasarkan data penelitian didapat responden terbagi berdasarkan 7 (tujuh) jenis industri yang berbeda atau dengan kata lain responden bekerja pada 7 (tujuh) jenis industri yang berbda (lihat table 4.7).

Hal tersebut dapat diartikan bahwa perbedaan jenis industri tersebut menyebabkan perbedaan persepsi kondisi kerja yang berbeda-beda, disebabkan karena mereka bekerja di tempat atau jenis industri yang berbeda dan memiliki kondisi kerja yang berbeda pula, contohnya untuk jenis industri kimia memiliki perpedaan kondisi kerja fisik (penerangan) yang berbeda dengan jenis industri yang lain. Hal itu diperkuat dengan hasil uji regresi dummy coding yang menyatakan bahwa ada pengaruh jenis industri terhadap disiplin kerja buruh pabrik.

Faktor demografi subjek mulai dari usia, masa kerja, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan, status pernikahan dan jenis industri. Berdasarkan hasil kesimpulan diatas dari ketujuh faktor demografi hanya masa kerja dan jenis industri yang memiliki pengaruh yang signifikant terhadap disiplin kerja.

Faktor usia tidak memiliki pengaruh terhadap disiplin kerja buruh pabrik, Bahkan secara menyeluruh usia itu sendiri memiliki korelasi minus (-) atau negatif. Hal tersebut berarti bahwa semakin muda usia seseorang maka semakin tinggi disiplin kerjanya. Kesimpulan tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Prasojo (2005) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara umur dengan disiplin kerja. Hal ini tidak sejalan dengan pernyataan Siagian (2004) yang berpendapat bahwa semakin umur meningkat, kedewasaan teknik maupun psikologisnya semakin meningkat. Semakin lama orang berkarya kedewasaan teknisnya mestinya meningkat. Pengalaman seseorang melaksanakan tugas tertentu secara terus menerus untuk waktu yang lama biasanya meningkatkan kedewasaan teknisnya. Demikian juga kedewasaan psikologisnya. Artinya semakin lanjut usia seseorang, yang bersangkutan semakin mampu meningkatkan kematangan jiwa, dalam arti semakin bijakasana, semakin mampu berpikir rasional, semakin mampu mengendalikan emosi, semakin toleran terhadap pandangan maupun pendapat orang lain. Sehingga diharapkan dapat meningkatkan disiplin kerja lebih baik. Pendapat tersebut didukung oleh Gibson (2003) yang mengemukakan bahwa umur mempengaruhi kinerja individu.

Variabel masa kerja memiliki pengaruh yang signifikan terhadap disiplin kerja dan memberikan sumbangan sebesar 4,3 % terhadap disiplin kerja. Hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Prasojo (2005) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan disiplin kerja.

Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap organisasi menginginkan para pekerjanya terus berkarya di organisasi yang bersangkutan masa aktifnya. Semakin lama seseorang berkarya dalam suatu organisasi semakin tinggi produktifitasnya karena karyawan semakin berpengalaman dan memiliki keterampilan dalam tugas.

Berdasarkan tingkat pendidikan, juga tidak ada pengaruh yang signifikan antara tingkat pendidikan terhadap disiplin kerja buruh. Hal tersebut berbeda dengan hasil penelitian Prasojo (2005) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan disiplin kerja. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Siagian (1995) menyatakan bahwa tingkat pendidikan mempunyai mempengaruhi kinerja seseorang.

Hal ini disebabkan karena ketidakseimbangan jumlah responden berdasarkan hal tersebut. Berdasarkan tingkat pendidikan responden dengan tingkat pendidikan sarjana hanya sebanyak 3 orang atau 3% dari jumlah sampel seluruhnya, dan responden dengan tingkat pendidikan diploma sebanyak 4 orang atau 4% dari jumlah sampel seluruhnya. Persentase tersebut sangat tidak sebanding jika dibandingkan dengan jumlah responden dengan tingkat pendidikan dasar (SD dan SMP) yang mana berjumlah 39 orang dengan persentase sebesar 35% dan SMA sebanyak 65 orang atau sebesar 58% dari jumlah seluruhnya. Banyaknya jumlah responden dengan pendidikan rendah menjadi penyebab terjadinya perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya.

Status pekerjaan, tidak ada pengaruh yang signifikan antara status pekerjaan dengan disiplin kerja buruh. Dalam penelitian ini juga tidak ada pengaruh status pernikahan terhadap disiplin kerja buruh. Hasil tersebut berbeda dengan hasil penelitian Prasojo (2005) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara status pernikahan dengan disiplin kerja. Penelitian Prasojo (2005) tersebut didukung oleh pendapat Siagian (2004) yang menyatakan bahwa status pernikahan berpengaruh pada perilaku seseorang dalam organisasinya baik yang

yang bersifat negatif maupun positif. Seorang karyawan/ti yang sudah berkeluarga lebih mudah merasa puas dalam pekerjaan dibandingkan yang belum berkeluarga. Salah satu faktor penyebabnya adalah rasa tangung jawab yang besar untuk menghidupi keluarganya. Demikian juga keiginannya untuk pindah pekerjaan, karena dengan mencari pekerjaan yang baru akan mengandung unsur resiko yang lebih besar dari pada tempat bekerja sebelumnya. Lebih lanjut lagi Siagian (1995) mengatakan bahwa karyawan yang sudah menikah dan mempunyai anak lebih tinggi ketidakhadirannya dibandingkan dengan karyawan yang belum menikah. Pendapat tersebut serupa dengan pendapat Robbins (2001) bahwa status pernikahan menimbulkan terjadinya peningkatan tanggung jawab sehingga pekerjaan menjadi berharga dan penting. Situasi tersebut meningkatkan motivasi dan mempengaruhi tingkat kedisiplinan kerja. Menurut Robbins ( 2001) karyawan yang sudah menikah lebih sedikit absensinya dan lebih sedikit pindah kerja dari pada karyawan yang belum menikah.

Perbedaan hasil penelitian ini berbeda dengan pendapat para ahli diatas dan berbeda dengan penelitian sebelumnya hal tersebut disebabkan karena ketidakseimbangan jumlah responden berdasarkan status pernikahan, responden yang sudah kawin sebanyak 73 responden dengan presentase 66% dan yang belum kawin sebanyak 38 responden dengan presentase 34% atau dengan kata lain responden yang sudah kawin jumlahnya hampir dua kali lipat dari yang belum kawin.

Berdasarkan jenis kelamin, Hasil penelitian ini menyatakan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan antara jenis kelamin terhadap disiplin kerja buruh. Tidak adanya pengaruh yang signifikant jenis kelamin, status pekerjaan, status pernikahan, disebabkan oleh pendidikan yang rendah. Berdasarkan data penelitian ini jumlah buruh pabrik yang memiliki pendidikan tinggi (diploma dan sarjana) hanya 7 % dari jumlah responden secara keseluruhan dan sisanya berpendidikan rendah. Rendahnya pendidikan seseorang menyebabkan etos kerja yang rendah pula. Hal ini didukung oleh pendapat Rahayu (2008), ia menyatakan bahwa rendahnya etos kerja orang indonesia disebabkan oleh banyaknya pekerja yang berpendidikan rendah. Rendahnya etos kerja menyebabkan rendahnya kinerja seseorang karena hal ini didukung oleh hasil penelitian Rukmana (2010) yang menyimpulkan bahwa etos kerja memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kinerja. Etos kerja yang baik dalam perusahaan akan dapat membantu karyawan untuk memahami bagaimana cara mereka bekerja menjalankan tuganya

Dokumen terkait