• Tidak ada hasil yang ditemukan

Distribusi Silang Kadar Natrium Admisi dan Syok Kardiogenik Kejadian syok kardiogenik dialami 10 pasien IMA selama masa

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Penelitian

5.1.11. Distribusi Silang Kadar Natrium Admisi dan Syok Kardiogenik Kejadian syok kardiogenik dialami 10 pasien IMA selama masa

perawatan, dengan kejadian syok kardiogenik pada kelompok hiponatremi sebesar 10,8% (4 sampel) dan normonatremi sebesar 11,3% (6 sampel) (tabel 5.9.)

Tabel 5.9. Distribusi Silang Kadar Natrium Admisi dan Syok Kardiogenik Kadar Natrium Admisi Syok Kardiogenik n % p value Ya Tidak n % n % Hiponatremi 4 10,8 33 89,2 37 100 1,000* Normonatremi 6 11,3 47 88,7 53 100 Total 10 11,1 80 88,9 90 100

* Fisher’s Exact Test

Kejadian MACE pada pasien IMA dijumpai lebih banyak terjadi pada kelompok hiponatremi (86,5%) dibandingkan dengan kelompok normonatremi (43,4%). Kemudian pasien IMA yang tidak mengalami MACE lebih sering dijumpai pada kelompok normonatremi (56,6%) sedangkan kelompok hiponatremi hanya sebagian kecil (13,5%) (tabel 5.10.).

Tabel 5.10. Distribusi Silang Kadar Natrium Admisi

dan Major Adverse Cardiovascular Event

Kadar Natrium Admisi

Major Adverse Cardiovascular

Event n % p value Ya Tidak n % n % Hiponatremi 32 86,5 5 13,5 37 100 0,0001 Normonatremi 23 43,4 30 58,6 53 100 Total 55 61,1 35 38,9 90 100 5.2. Pembahasan

Hiponatremi merupakan suatu gangguan elektrolit dimana terjadi penurunan konsentrasi natrium menjadi kurang dari 135mEq/L. Keadaan ini sering dijumpai pada pasien yang dirawat dengan infark miokard akut. Dari penelitian ini dijumpai 41,1% pasien IMA mengalami kejadian hiponatremia (tabel 5.3.). Hal ini serupa dengan penelitian oleh Mati et al pada tahun 2012 di

India, dimana didapati 43% pasien infark miokard akut mengalami hiponatremi. Hiponatremi tersebut dapat terjadi kemungkinan karena adanya sekresi dari vasopressin non osmotik yang mengakibatkan gangguan dari ekskresi air. Selain itu, AVP atau vasopressin ini juga mempengaruhi tonus vaskular, kontraksi jantung, dan bisa mempengaruhi hemodinamik jantung serta remodeling dari miokard.

Pasien IMA yang mengalami hiponatremi berkaitan dengan munculnya berbagai kejadian buruk, yaitu berupa komplikasi kardiovaskular (Mati et al.,2012). Sesuai dengan yang telah didiskusikan sebelumnya, Major Adverse

Cardiovascular Event atau kejadian mayor kardiovaskular pada pasien IMA

dikelompokkan menjadi 4, yaitu kematian, syok kardiogenik, gagal jantung kongestif dan aritmia.

Dari hasil penelitian ini melalui analisis univariat, diketahui bahwa gagal jantung kongestif (38,95%) dan aritmia (38,95%) merupakan kejadian MACE yang paling sering terjadi. Sedangkan yang paling jarang adalah syok kardiogenik (10,52%) (tabel 5.5.). Hal ini disebabkan karena kompleksnya etiologi dari gagal jantung, seperti hipertensi, gangguan paru, gangguan jantung, gaya hidup, infeksi dan kondisi medis lain. Selain itu, gagal jantung sering menjadi tahap terminal dari berbagai penyakit (Ponikowski et al., 2014). Kemudian menurut Grasso dan Brenner (2014), aritmia merupakan komplikasi yang sering dijumpai pada pasien infark miokard akut. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Irawan, Surhano dan Rochmah (2005), dimana didapati kejadian cardiac event

terbanyak pada pasien IMA adalah gagal jantung (36,84%). Sedangkan kejadian yang paling sedikit diantara keempat MACE yang diteliti adalah syok kardiogenik (4,2%). Penelitian oleh Harsoor, Kinagi dan Afiya (2014) juga mendapatkan hasil yang serupa, dimana kejadian MACE pada pasien IMA yang paling sering dijumpai adalah gagal jantung kongestif (54%), diikuti dengan aritmia (18%) dan kematian (15%).

Berdasarkan hasil penelitian melalui analisis bivariat, didapatkan insiden kematian lebih banyak terjadi pada kelompok hiponatremi (21,6%) daripada kelompok normonatremi (5,7%,) dengan p<0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara hiponatremi dengan kejadian kematian (tabel 5.6.). Meningkatnya kejadian mortalitas berkaitan dengan adanya inflamasi, NT-proBNP, serta penurunan massa otot dan alkalin fosfatase pada pasien hiponatremi (Wannamethee et al.,2015). Dalam studinya di tahun 2011, Tang dan Hua menemukan bahwa insiden kematian lebih banyak dijumpai pada kelompok hiponatremi (13,7%) daripada normonatremi (7,3%) dengan nilai p<0,001. Selain itu, Goldberg et al juga meneliti hubungan antara hiponatremi dan mortalitas pada pasien infark miokard akut di tahun 2004, melalui analisis kaplan-meier ditemukan bahwa pasien yang mengalami hiponatremi secara signifikan memiliki mortalitas lebih besar, yaitu 17,9% dibandingkan dengan pasien yang normonatremi (6,2%).

Data penelitian ini menunjukkan bahwa kejadian gagal jantung kongestif didapatkan sebanyak 59,5% pada kelompok hiponatremi. Melalui analisis

chi-square, didapatkan hubungan yang kuat antara munculnya hiponatremi dengan

terjadinya gagal jantung kongestif (p=0,003) (tabel 5.7.). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Tada et al (2011), yaitu melalui kurva kaplan-meier didapatkan insiden gagal jantung kongestif secara signifikan lebih tinggi pada pasien hiponatremi (20,7%) dibandingkan pada pasien normonatremi (5,4%) dengan p =0,002. Kemudian, hasil studi oleh Gandhi, Akholkar dan Bharmal (2015) juga membuktikan adanya hubungan antara hiponatremi dengan gagal jantung kongestif pada pasien IMA, yaitu kejadian gagal jantung dijumpai sebanyak 57% pada kelompok hiponatremi dan 13% pada kelompok normonatremi. Diperkirakan hal ini terjadi karena hiponatremi saat admisi dapat menyebabkan terjadinya aktivasi neurohormonal yang berlebihan pada pasien IMA, sehingga pasien berisiko untuk mengalami gagal jantung (Goldberg et al.,2006).

Dari penelitian ini, didapatkan bahwa hiponatremi dengan kejadian aritmia memiliki hubungan yang signifikan (p = 0,012), dimana kejadian aritmia dijumpai lebih banyak pada kelompok hiponatremi dengan persentase 56,8%, sedangkan kelompok normonatremi sebesar 30,2% (tabel 5.8.). Diperkirakan adanya ketidakseimbangan dari elektrolit akan mempengaruhi kecepatan konduksi jantung. Hal ini sejalan dengan penelitian Harsoor, Kinagi dan Afiya pada tahun 2014, dimana dari analisis multivariat regresi logistik ditemukan lebih banyak kejadian aritmia pada kelompok hiponatremi (30%) dibandingkan pada kelompok normonatremi (6%) dengan nilai p yang sangat signifikan, yaitu p<0,01.

Dari penelitian ini, tidak didapati adanya hubungan antara hiponatremi dengan kejadian syok kardiogenik pada pasien IMA (tabel 5.9.). Hal ini disebabkan tingginya kejadian mortalitas di rumah sakit pada pasien yang mengalami syok kardiogenik, yaitu sebesar 60% (Hochman et al., 2000). Sehingga tidak tercatat sebagai syok kardiogenik, melainkan kematian. Selain itu juga disebabkan karena perbedaan kejadian syok kardiogenik di kedua kelompok (hiponatremi dan normonatremi) pada penelitian ini relatif sama, yaitu dengan prevalensi kejadian syok kardiogenik pada kelompok hiponatremi sebesar 10,8% dan normonatremi sebesar 11,3%. Oleh karena itu, analisis bivariat tersebut menunjukkan tidak ada perbedaan.

Berdasarkan hasil penelitian, kejadian MACE terjadi sebanyak 61,1% pada pasien IMA. Melalui analisis bivariat antara kadar natrium dan MACE, didapati bahwa kejadian MACE terjadi lebih banyak pada kelompok hiponatremi, yaitu sebesar 86,5%. Setelah dilakukan uji kemaknaan menggunakan chi-square, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang kuat dan signifikan antara hiponatremi dengan kejadian Major Adverse Cardiovascular Event (p<0.001) (tabel 5.10.). Hal ini disebabkan karena pada pasien yang mengalami hiponatremi, akan terjadi aktivasi dari sistem renin - angiotensin aldosteron, peningkatan kadar norepinefrin dan epinefrin, serta gangguan aliran darah ginjal dan hepar yang lebih berat (Goldberg et al.,2006). Kejadian tersebut menjelaskan hubungan antara hiponatremi dengan timbulnya kejadian buruk pada pasien IMA. Dengan

demikian, terbukti bahwa hipotesis mengenai adanya hubungan antara hiponatremi dengan kejadian Major Adverse Cardiovascular Event adalah benar.

BAB 6

Dokumen terkait