RIWAYAT HIDUP
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Radiasi Surya dan Radiasi Permukaan
4.4. Distribusi Spasial Komponen Neraca Energi
Komponen neraca energi terdiri dari albedo, radiasi netto, fluks radiasi pemanasan permukaan (G), fluks radiasi pemanasan udara (H), fluks radiasi pemanasan laten (
λ
E), dan fluks radiasi untuk proses fotosintesis. Namun dalam penelitian ini hanya mengkaji albedo dan komponen radiasi netto saja, karena kedua informasi nilai tersebutlah yang diperlukan untuk menduga nilai LAI.4.4.1. Albedo
Albedo (α) merupakan nisbah antara radiasi pantulan dan radiasi yang datang. Dalam penelitian ini, nilai albedo diperoleh dari pengolahan data citra Landsat ETM+ dengan memanfaatkan fungsi dari kanal 1, 2 dan 3. Nilai albedo dari kanal 1, 2, dan 3 dirata-ratakan dan diolah dengan fungsi statistik sehingga diperoleh nilai min, max, dan mean (rata-rata) albedo untuk masing-masing penutup lahan di Kabupaten Bungo.
Tabel 8 menunjukkan deskripsi albedo tiap penutup lahan. Penutup lahan pemukiman memiliki albedo sebesar 0.093, sedangkan nilai rata-rata albedo pada penutup lahan bervegetasi berkisar 0.051 – 0.077, dan untuk badan air memiliki nilai albedo 0.190.
Tabel 8. Kisaran nilai albedo (unitless) tiap penutup lahan
Albedo (Unitless) Penutup
Lahan Min Max Mean
Hutan alam 0.043 0.056 0.051 Agroforest Karet 0.048 0.058 0.052 Monokultur Karet 0.051 0.065 0.053 P. Kelapa Sawit 0.052 0.070 0.060 Semak Belukar 0.057 0.077 0.064 T. Paku-Pakuan 0.057 0.077 0.067 Sawah 0.066 0.090 0.077 Pemukiman 0.070 0.140 0.093 Badan Air 0.141 0.257 0.190
Hasil olahan citra Landsat ETM+ yang didapatkan secara umum untuk tipe penutup lahan non vegetasi (pemukiman penduduk) mempunyai nilai rataan albedo yang lebih tinggi dibandingkan tipe penutup lahan bervegetasi (hutan alam, agroforest karet, perkebunan karet monokultur, perkebunan kelapa sawit, tumbuhan paku-pakuan, semak
belukar, dan sawah). Hal ini disebabkan lebih banyak energi radiasi gelombang pendek yang dipantulkan kembali oleh penutup lahan non vegetasi dibandingkan dengan penutup lahan bervegetasi, akan tetapi kedua nilai albedo untuk lahan non vegetasi dan lahan bervegetasi memiliki nilai albedo di bawah nilai albedo untuk jenis penutup lahan berupa badan air yaitu sebesar 0.190.
4.4.2. Radiasi Netto.
Hasil ekstraksi nilai rata-rata komponen radiasi netto (radiasi gelombang pendek dan radiasi gelombang panjang) ditunjukkan pada Tabel 9. Pada Tabel 9 terdapat informasi kisaran nilai rata-rata RS↓, ↑
S
R , dan RL↑untuk sembilan penutup lahan yang berbeda di Kabupaten Bungo. Dalam penelitian ini, informasi nilai ↓
S
R berperan sebagai salah satu input dalam perhitungan leaf area index (LAI) dengan persamaan hukum Beer-Lambert, fungsi RS↓ sebagai radiasi di permukaan kanopi setiap penutup lahan bervegetasi (Io).
Berdasarkan Tabel 9, nilai rata-rata ↑
S
R dan ↑
L
R untuk penutup lahan bervegetasi (hutan alam, agroforest karet, perkebunan monokultur karet, perkebunan kelapa sawit, semak belukar, tumbuhan paku-pakuan, dan sawah) memiliki nilai yang semakin meningkat dari mulai penutup lahan jenis hutan alam ke penutup lahan jenis sawah. Hal ini dikarenakan semakin berkurangnya kerapatan kanopi tumbuhan bervegetasi yang menutupi lahan dan berbedanya nilai emisivitas masing-masing penutup lahan membuat semakin bertambahnya energi radiasi gelombang pendek dan panjang yang dipantulkan.
Tabel 9. Kisaran nilai komponen radiasi netto (Wm-2) tiap penutup lahan
Komponen Rn (Wm-2) Penutup Lahan ↓ S
R R
S↑R
L↑ Hutan alam 850 43 444 Agroforest Karet 850 44 448 Monokultur Karet 850 45 453 P. Kelapa Sawit 849 51 455 Semak Belukar 849 54 459 T. Paku-Pakuan 849 57 462 Sawah 851 65 470 Pemukiman 850 79 479 Badan Air 850 162 466Besarnya energi radiasi gelombang pendek (RS) dapat diperoleh dari selisih antaraRS↓
dengan ↑
S
R . Dalam penelitian ini, hanya nilai ↑
L
R yang diasumsikan sebagai RL, dan besarnya energi radiasi netto dapat diperoleh dari selisih antara RS dengan RL.
Tabel 10. Kisaran nilai RS, RL, dan Rn (Wm-2) tiap penutup lahan
Komponen Rn (Wm-2) Penutup Lahan RS RL Rn Hutan alam 807 444 360 Agroforest Karet 804 448 356 Monokultur Karet 801 453 348 P. Kelapa Sawit 797 455 342 Semak Belukar 794 459 335 T. Paku-Pakuan 792 462 330 Sawah 785 470 315 Pemukiman 771 479 293 Badan Air 688 466 223
Tabel 10 menginformasikan nilai rata-rata RS, RL, dan Rn yang diperoleh dari pengolahan citra Landsat ETM+ band 1, 2, 3, dan 6. Tabel 10 menunjukkan hasil ekstraksi radiasi netto di Kabupaten Bungo untuk penutup lahan non vegetasi (pemukiman) sebesar 293 Wm-2, yang berarti lebih rendah jika dibandingkan dengan penutup lahan bervegetasi yang memiliki radiasi netto sekitar 315-360 Wm-2, akan tetapi nilai radiasi netto untuk badan air berada di bawah nilai radiasi netto untuk penutup lahan non-vegetasi dan bervegetasi yaitu sebesar 223 Wm-2 .
Adanya perbedaan penerimaan Rn pada tiap tipe penutup lahan, dipengaruhi oleh albedo, radiasi gelombang pendek dan radiasi gelombang panjang. Pada penutup lahan pemukiman memiliki nilai albedo yang tinggi begitu juga dengan suhu permukaannya. Hal ini akan mengakibatkan energi radiasi gelombang pendek yang diterima rendah dan energi radiasi gelombang panjang yang dipancarkan tinggi, sehingga radiasi nettonya rendah.
Berdasarkan Tabel 11 ditunjukkan hubungan yang searah antara suhu permukaan dengan albedo, dan kedua komponen tersebut memiliki hubungan berlawanan arah dengan nilai radiasi netto. Semakin besar nilai suhu permukaan dan albedo suatu penutup lahan
membuat semakin kecil radiasi netto yang dimiliki oleh penutup lahan tersebut.
Tabel 11. Kisaran nilai rata-rata suhu permukaan (oC), Albedo (unitless), dan Rn (Wm-2) tiap penutup lahan
Penutup Lahan Suhu
α
RnHutan alam 23.9 0.051 360 Agroforest Karet 24.5 0.052 356 Monokultur Karet 25.5 0.053 348 P. Kelapa Sawit 25.3 0.060 342 Semak Belukar 25.8 0.064 335 T. Paku-Pakuan 26.7 0.067 330 Sawah 28.4 0.077 315 Pemukiman 29.5 0.093 293 Badan Air 26.9 0.190 223
4.5. Sifat Optikal Kanopi
Nilai sifat optikal kanopi terdiri dari nilai refleksivitas kanopi, absorbsivitas kanopi, dan transmisivitas kanopi.
4.5.1. Refleksivitas (ρ)
Dalam penelitian ini, diasumsikan bahwa energi yang direfleksikan dari permukaan suatu objek (Iρ) diperoleh dengan pendekatan albedo permukaan. Energi radiasi yang direfleksikan besarnya ekivalen dengan energi radiasi surya gelombang pendek yang dipantulkan oleh permukaan suatu objek. Tabel 12 menunjukkan informasi besarnya nilai Iρ untuk vegetasi hutan, agroforest karet, dan monokultur karet secara berturut-turut adalah 43 Wm-2 , 44 Wm-2
dan 45 Wm-2.
Tabel 12. Konstanta emisivitas (unitless), Iε (Wm-2), I (Wm-2), dan Iρ (Wm-2) tiap penutup lahan
4.5.2. Emisivitas (ε)
≈
Absorbsi (α)Pendekatan hukum kirchhoff digunakan untuk mengestimasi nilai emisi radiasi dari tiga penutup lahan yang berbeda, yaitu hutan alam, agroforest karet, dan perkebunan karet monokultur pada lokasi kajian. Dengan menggunakan persamaan 17, maka didapat
Penutup Lahan ε Iε I Iρ
Hutan alam 0.95 767 40 43
Agroforest Karet 0.95 764 42 44
energi radiasi yang diemisikan pada ketiga jenis penutup lahan. Tabel 12 menunjukkan nilai energi radiasi yang diemisikan. Nilai tersebut berdasarkan hukum Kirchhoff ekivalen dengan nilai radiasi surya yang diabsorbsikan oleh permukaan penutup lahan. Nilai energi radiasi yang diemisikan secara berturut-turut untuk penutup lahan hutan alam, agroforest karet, dan perkebunan karet monokultur adalah 767 Wm-2, 764 Wm-2, dan 761 Wm-2.
4.5.3. Transmisivitas (τ)
Untuk mendapatkan nilai radiasi matahari yang ditransmisikan oleh suatu permukaan (I ), digunakan persamaan 19. Dalam penelitian ini, energi radiasi matahari yang ditransmisikan diperoleh dari selisih nilai radiasi gelombang pendek yang sampai dipermukaan suatu penutup lahan dengan nilai radiasi gelombang pendek yang direfleksikan dan dikurangi dengan nilai energi radiasi surya yang diabsorbsikan (ekivalen dengan energi surya yang diemisikan). Berdasarkan Tabel 12, energi radiasi matahari yang ditransmisikan oleh kanopi hutan alam (40 Wm-2) nilainya lebih kecil bila dibandingkan dengan kanopi agroforest karet (42 Wm2) dan perkebunan karet monokultur (44 Wm-2). Informasi nilai radiasi surya yang diemisikan dan radiasi surya yang ditransmisikan dalam penelitian ini digunakan sebagai input persamaan hukum Beer-Lambert sehingga didapatkan nilai pendugaan LAI untuk ketiga jenis penutup lahan tersebut.
4.6.Leaf Area Index (LAI) Data Lapangan
Objek kajian pendugaan LAI dalam pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada tiga macam ekosistem yaitu hutan alam, agroforest karet, dan perkebunan karet monokultur. Hal ini dilakukan terkait dengan ketersediaan data LAI lapangan yang tersedia. Data LAI hasil observasi yang diperoleh dari penelitian sebelumnya dilakukan dengan menggunakan
hemispherical photograph (hemiphot). Data yang diambil berupa data bukaan tajuk, dan kemudian diolah menggunakan software Hemiview versi 2.1.
Data LAI yang diperoleh dari penelitian sebelumnya ditunjukkan pada Tabel 13. Nilai LAI untuk penutup lahan jenis hutan alam berkisar 2.8-4.1, LAI agroforest karet berkisar antara 1.5-3.6, dan LAI untuk perkebunan karet monokultur berkisar 1.4-3.4. Nilai LAI hasil pengukuran di lapangan tersebut merupakan presentasi dari penutupan kanopi yang menutupi areal yang berada di bawah penutupan tajuk yang diproyeksikan secara
vertikal dengan bidang tepat di bawah penutupan tajuk.
Tabel 13. Sebaran nilai LAI hasil pengukuran di lapangan (unitless)
Penutup Lahan Jumlah Plot Selang LAI
Hutan alam 4 2.8 – 4.1
Agroforest Karet 30 1.5 – 3.6
Monokultur Karet 13 1.4 – 3.4 Sumber :Djumhaer (2003)
4.7.Leaf Area Index (LAI) Hasil Pendugaan
Dari hasil perhitungan pendugaan LAI dengan menggunakan persamaan hukum Beer-Lambert diperoleh kisaran nilai LAI untuk penutup lahan jenis hutan alam, agroforest karet, dan perkebunan karet monokultur yang masing-masing nilai LAI untuk penutup lahan tersebut berturut-turut adalah 3.39, 3.35, dan 3.30. Bila nilai LAI hasil pendugaan dibandingkan dengan selang nilai LAI hasil pengukuran di lapangan (Tabel 14), maka dapat dilihat bahwa nilai rata-rata LAI hasil pendugaan berada diantara selang nilai LAI hasil pengukuran di lapangan. Bila dilakukan perhitungan LAI dugaan dengan komponen nilai per pixel dari citra satelit Landsat ETM+, maka diperoleh selang LAI pendugaan untuk penutup lahan hutan alam berkisar antara 3.19 – 3.84, LAI agroforest karet berkisar antara 3.13 – 3.74, dan LAI untuk perkebunan karet monokultur berkisar antara 3.07 - 3.61 (Tabel 15).
Tabel 14. Sebaran nilai rata-rata LAI (unitless) Penutup Lahan Nilai Rata-Rata LAI Pendugaan Selang LAI Pengukuran (Hemiphot) Hutan alam 3.39 2.8 - 4.1 Agroforest Karet 3.35 1.5 - 3.6 Monokultur Karet 3.30 1.4 - 3.4
Tabel 15. Sebaran nilai LAI hasil pendugaan dan pengukuran di lapangan (unitless) Penutup Lahan Selang LAI Pendugaan Selang LAI Pengukuran (Hemiphot) Hutan alam 3.19 – 3.84 2.8 – 4.1 Agroforest Karet 3.13 – 3.74 1.5 – 3.6 Monokultur Karet 3.07 – 3.61 1.4 – 3.4
Gambar 9. Peta sebaran LAI hutan alam, agroforest karet, dan perkebunan karet monokultur Kabupaten Bungo – Provinsi Jambi tahun 2002
L A I (U N IT L E S S ) LAI PENDUGAAN LAI LAPANGAN 4.2 3.9 3.6 3.3 3.0
LAI HUTAN ALAM KAB. BUNGO TAHUN 2002
L A I (U N IT L E S S ) LAI PENDUGAAN LAI LAPANGAN 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5
LAI AGROFOREST KARET
L A I (U N IT L E S S ) LAI PENDUGAAN LAI LAPANGAN 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5
LAI PERKEBUNAN KARET MONOKULTUR KAB. BUNGO TAHUN 2002
L A I (U N IT L E S S ) LAI PENDUGAAN LAI LAPANGAN 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5
LAI LAHAN BERVEGETASI DI KAB. BUNGO TAHUN 2002 4.8.Penggabungan dan Validasi Data LAI
Untuk mengetahui seberapa sensitif nilai LAI hasil pendugaan dengan data LAI hasil pengukuran langsung di lapang, maka diperlukan adanya penggabungan data untuk setiap plot pengukuran LAI dengan plot LAI pendugaan pada citra digital satelit Landsat ETM+. Metode yang digunakan adalah metode 9 piksel di sekitar piksel contoh. Hal ini dilakukan karena penyimpangan geometris yang terjadi tidak sistematis atau menyimpang acak.
Gambar 11. Boxplot LAI hutan alam hasil pendugaan dan pengukuran langsung di lapangan
Hasil penggabungan data LAI lapangan dengan LAI hasil pendugaan untuk hutan alam dapat dilihat pada Gambar 11 dalam bentuk boxplot. Informasi yang ditampilkan oleh boxplot tersebut diantaranya adalah kisaran
range box, interquartile range box, mean simbol, dan mean connect line. Berdasarkan gambar tersebut, diketahui kisaran selang nilai LAI hasil pendugaan berada di dalam selang nilai LAI hasil pengukuran di lapangan. Bila kedua data tersebut divalidasi dengan analisa korelasi statistik, maka diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.91 yang berarti metode pendugaan LAI ini dapat digunakan dengan peluang data terwakili sebesar 91%.
Gambar 12 memberikan informasi bahwa kisaran selang LAI agroforest karet hasil pendugaan sedikit berada di luar atas range
selang LAI agroforest karet hasil pengukuran langsung di lapangan. Bila kedua data LAI tersebut divalidasi dengan analisa korelasi statistik, maka didapatkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.69 yang berarti metode pendugaan LAI ini dapat digunakan dengan peluang data terwakili sebesar 69%.
Sama seperti hasil yang diperoleh dari boxplot untuk LAI agroforest karet, kisaran nilai LAI karet monokultur hasil pendugaan
juga melewati kisaran selang atas LAI hasil pengukuran di lapangan. Namun besarnya nilai koefisien determinasi (R2 ) yang diperoleh dari hasil validasi antara LAI pendugaan dengan LAI lapangan untuk penutup lahan jenis perkebunan karet monokultur lebih besar yaitu 0.82 dibanding dengan hasil validasi LAI agroforest karet.
Gambar 12. Boxplot LAI agroforest karet hasil pendugaan dan pengukuran langsung di lapangan
Gambar 13. Boxplot LAI karet monokultur hasil pendugaan dan pengukuran langsung di lapangan
Gambar 14. Boxplot LAI pendugaan di lahan bervegetasi dan pengukuran langsung di lapangan
Bila seluruh nilai LAI hasil dugaan dari penutup lahan hutan alam, agroforest karet, dan perkebunan karet monokultur divalidasi dengan data LAI lapangan pada penutup lahan yang
sama, maka diperoleh nilai koefisien determinasi sebesar 0.76. Nilai tersebut menginformasikan bahwa penggunaan metode penyusunan pendugaan LAI memiliki peluang data terwakili sebesar 76%.
Secara keseluruhan selang nilai LAI hasil pendugaan untuk ketiga jenis penutup lahan yang berbeda di atas selalu berada diantara kisaran selang LAI hasil pengukuran langsung di lapangan. Ada dua kemungkinan terjadinya penyimpangan nilai LAI yang menyebabkan selang nilai LAI hasil pendugaan selalu berada diantara kisaran selang LAI lapangan. Kemungkinan pertama adalah adanya kesalahan yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya dalam melakukan pengambilan dan pengolahan LAI secara langsung di lapangan. Kemungkinan kedua adalah adanya penyimpangan yang terjadi pada karakteristik radiometrik dari data penginderaan jauh (citra satelit Landsat ETM+) yang diantaranya adanya pengaruh topografi permukaan penutup lahan yang mengakibatkan perbedaan nilai LAI pada koordinat areal penutup lahan yang sama. Pada daerah kajian yang memiliki topografi bergelombang (daerah perbukitan) dapat menimbulkan adanya bayangan yang disebabkan perbedaan ketinggian pada daerah puncak bukit dan daerah lembah. Pada daerah puncak bukit nilai spektral akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan daerah lembah, karena daerah lembah akan tertutup oleh bayangan puncak bukit. Hal ini dapat menyebabkan adanya perbedaan nilai LAI hasil pendugaan dengan LAI lapangan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Hasil penelitian menunjukan adanya hubungan searah antara suhu permukaan dengan albedo. Kedua komponen tersebut memiliki hubungan yang berlawanan arah dengan nilai radiasi netto. Semakin besar nilai suhu permukaan dan albedo suatu penutup lahan membuat semakin kecil radiasi netto yang dimiliki oleh penutup lahan tersebut.
Hasil ekstraksi radiasi netto pada tanggal 15 Agustus tahun 2002 di Kabupaten Bungo untuk penutup lahan non vegetasi sebesar 293 Wm-2, yang berarti lebih rendah jika dibandingkan dengan penutup lahan bervegetasi yang memiliki radiasi netto sekitar 315-360 Wm-2, akan tetapi nilai radiasi netto untuk badan air berada di bawah nilai radiasi netto untuk penutup lahan non-vegetasi dan bervegetasi yaitu sebesar 222.8 Wm-2.
Dengan menggunakan pendekatan empiris, maka dapat diperoleh nilai energi radiasi surya yang direfleksikan sebesar 43 Wm-2 (hutan alam), 44 Wm-2 (agroforest karet), dan 45 Wm-2 (perkebunan karet monokultur). Nilai energi radiasi surya yang diemisikan (equivalen dengan radiasi surya yang diabsorbsikan) sebesar 767 Wm-2 (hutan alam), 764 Wm-2 (agroforest karet), dan 761 Wm-2 (perkebunan karet monokultur). Selain itu dari pendekatan mekanistik diperoleh besarnya energi surya yang ditransmisikan oleh kanopi hutan alam (40 Wm-2), kanopi agroforest karet (42 Wm2) dan perkebunan karet monokultur (44 Wm-2).
Hasil penelitian yang dapat diperoleh dari menduga besarnya nilai LAI untuk lahan bervegetasi menggunakan metode neraca energi dan persamaan hukum Beer-Lambert adalah diperolehnya pendugaan nilai mean LAI hutan alam sebesar 3.39 dengan nilai kisaran selang 3.19 - 3.84 dan R2 hasil validasi dengan LAI lapangan sebesar 0.91. Nilai mean LAI pendugaan untuk agroforest karet sebesar 3.35 dengan selang 2.13 – 3.74 dan nilai R2 hasil validasi sebesar 0.69, sedangkan nilai mean LAI untuk perkebunan karet monokultur sebesar 3.30 dengan selang 3.07 – 3.61 dan nilai R2 hasil validasi sebesar 0.82. Dengan hasil luaran yang cukup baik, metode pendugaan LAI tersebut dapat digunakan untuk penutup lahan bervegetasi.
Dalam melakukan perhitungan komponen neraca energi, suhu permukaan, nilai absorbsi, dan transmisivitas dari data citra satelit Landsat ETM+ masih banyak menggunakan asumsi-asumsi sehingga berpotensi sebagai faktor penyebab kesalahan dalam melakukan perhitungan.
Kelemahan dalam penelitian ini adalah tidak adanya data pengukuran radiasi global yang ada di lapangan, hasil dari pendugaan LAI dengan pendekatan neraca energi dan hukum Beer – Lambert tidak dapat mengakomodasi struktur topografi wilayah kajian, validasi output harus sudah ada saat dihasilkan nilai radiasi netto, albedo, radiasi surya gelombang pendek, dan radiasi surya gelombang panjang.
sama, maka diperoleh nilai koefisien determinasi sebesar 0.76. Nilai tersebut menginformasikan bahwa penggunaan metode penyusunan pendugaan LAI memiliki peluang data terwakili sebesar 76%.
Secara keseluruhan selang nilai LAI hasil pendugaan untuk ketiga jenis penutup lahan yang berbeda di atas selalu berada diantara kisaran selang LAI hasil pengukuran langsung di lapangan. Ada dua kemungkinan terjadinya penyimpangan nilai LAI yang menyebabkan selang nilai LAI hasil pendugaan selalu berada diantara kisaran selang LAI lapangan. Kemungkinan pertama adalah adanya kesalahan yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya dalam melakukan pengambilan dan pengolahan LAI secara langsung di lapangan. Kemungkinan kedua adalah adanya penyimpangan yang terjadi pada karakteristik radiometrik dari data penginderaan jauh (citra satelit Landsat ETM+) yang diantaranya adanya pengaruh topografi permukaan penutup lahan yang mengakibatkan perbedaan nilai LAI pada koordinat areal penutup lahan yang sama. Pada daerah kajian yang memiliki topografi bergelombang (daerah perbukitan) dapat menimbulkan adanya bayangan yang disebabkan perbedaan ketinggian pada daerah puncak bukit dan daerah lembah. Pada daerah puncak bukit nilai spektral akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan daerah lembah, karena daerah lembah akan tertutup oleh bayangan puncak bukit. Hal ini dapat menyebabkan adanya perbedaan nilai LAI hasil pendugaan dengan LAI lapangan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Hasil penelitian menunjukan adanya hubungan searah antara suhu permukaan dengan albedo. Kedua komponen tersebut memiliki hubungan yang berlawanan arah dengan nilai radiasi netto. Semakin besar nilai suhu permukaan dan albedo suatu penutup lahan membuat semakin kecil radiasi netto yang dimiliki oleh penutup lahan tersebut.
Hasil ekstraksi radiasi netto pada tanggal 15 Agustus tahun 2002 di Kabupaten Bungo untuk penutup lahan non vegetasi sebesar 293 Wm-2, yang berarti lebih rendah jika dibandingkan dengan penutup lahan bervegetasi yang memiliki radiasi netto sekitar 315-360 Wm-2, akan tetapi nilai radiasi netto untuk badan air berada di bawah nilai radiasi netto untuk penutup lahan non-vegetasi dan bervegetasi yaitu sebesar 222.8 Wm-2.
Dengan menggunakan pendekatan empiris, maka dapat diperoleh nilai energi radiasi surya yang direfleksikan sebesar 43 Wm-2 (hutan alam), 44 Wm-2 (agroforest karet), dan 45 Wm-2 (perkebunan karet monokultur). Nilai energi radiasi surya yang diemisikan (equivalen dengan radiasi surya yang diabsorbsikan) sebesar 767 Wm-2 (hutan alam), 764 Wm-2 (agroforest karet), dan 761 Wm-2 (perkebunan karet monokultur). Selain itu dari pendekatan mekanistik diperoleh besarnya energi surya yang ditransmisikan oleh kanopi hutan alam (40 Wm-2), kanopi agroforest karet (42 Wm2) dan perkebunan karet monokultur (44 Wm-2).
Hasil penelitian yang dapat diperoleh dari menduga besarnya nilai LAI untuk lahan bervegetasi menggunakan metode neraca energi dan persamaan hukum Beer-Lambert adalah diperolehnya pendugaan nilai mean LAI hutan alam sebesar 3.39 dengan nilai kisaran selang 3.19 - 3.84 dan R2 hasil validasi dengan LAI lapangan sebesar 0.91. Nilai mean LAI pendugaan untuk agroforest karet sebesar 3.35 dengan selang 2.13 – 3.74 dan nilai R2 hasil validasi sebesar 0.69, sedangkan nilai mean LAI untuk perkebunan karet monokultur sebesar 3.30 dengan selang 3.07 – 3.61 dan nilai R2 hasil validasi sebesar 0.82. Dengan hasil luaran yang cukup baik, metode pendugaan LAI tersebut dapat digunakan untuk penutup lahan bervegetasi.
Dalam melakukan perhitungan komponen neraca energi, suhu permukaan, nilai absorbsi, dan transmisivitas dari data citra satelit Landsat ETM+ masih banyak menggunakan asumsi-asumsi sehingga berpotensi sebagai faktor penyebab kesalahan dalam melakukan perhitungan.
Kelemahan dalam penelitian ini adalah tidak adanya data pengukuran radiasi global yang ada di lapangan, hasil dari pendugaan LAI dengan pendekatan neraca energi dan hukum Beer – Lambert tidak dapat mengakomodasi struktur topografi wilayah kajian, validasi output harus sudah ada saat dihasilkan nilai radiasi netto, albedo, radiasi surya gelombang pendek, dan radiasi surya gelombang panjang.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, Richard et al., 1998. Crop evapotranspiration - Guidelines for computing crop water requirements - FAO Irrigation and drainage paper 56. FAO - Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome
Azhima, F. 2001. Distribusi Cahaya di Hutan Karet Muara Kuambang Jambi. Skripsi. Jurusan Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB, Bogor. Tidak Dipublikasikan.
Chen, J. M., S.G. LeBlanc, J.R. Miller, J. Freemantle, S.E. Loechel, C.L. Walthall, K.A. Innanen, H.P. White. 1999. Compact airborne spectrographic imager (CASI) used for mapping biophysical parameters of boreal forests. Jour. Of Geophysical Research. 104 D22:27945-27958.
Curran, P.J., J. Dungan, H.L. Gholz. 1992. Seasonal LAI measurements in slash pine using Landsat TM. Remote Sensing of Environment 39: 3-13.
Djumhaer, M. 2003. Pendugaan Leaf Area Index dan Luas Bidang Dasar Tegakan Menggunakan Landsat 7 ETM+ (studi kasus di Kabupaten Bungo Propinsi Jambi). Skripsi. Jurusan Manajemen hutan, FAHUTAN IPB, Bogor. Tidak Dipublikasikan.
Geiger, Rudolf., Robert H. Aron, Paul Todhunter. 1961. The Climate Near The Ground. Ed ke-5. Cambridge : Harvard University Press.
Hadipoentyanti, E. M., E. A. Hadad, dan Hermanto. 1994. Peran intensitas radiasi surya dan indeks luas daun terhadap produksi maksimal tanaman. Buletin PERHIMPI. Vol. II. No. 1 dan 2 ; 49 – 52.
Handoko. 1993. Radiasi surya. In : Handoko (eds), Klimatologi Dasar. Pustaka Jaya. Bogor. Pp : 25 – 36.
Hermawan, E. 2005. Analisis Perubahan Komponen Neraca Energi Permukaan, Distribusi Urban Heat Island dan THI (Temperature Humidity Index) Akibat Perubahan Penutup Lahan Dengan Menggunakan Citra Landsat TM/ETM + (Studi Kasus Bandung Tahun 1991 dan 2001). Skripsi. Departemen Geofisika
dan Meteorologi FMIPA IPB, Bogor. Tidak Dipublikasikan.
Impron. 1999. Neraca radiasi tanaman. Pelatihan Dosen-dosen Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Bagian Barat dalam Bidang Agrometeorologi. Bogor 1-12 Februari 1999. Bogor.
Jensen, J. 2000. Remote Sensing of The