DAFTAR PUSTAKA
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
2.2 Faktor Pembatas Terumbu Karang 1. Suhu
3.4.5 Distribusi spasial dan temporal antara kawasan penelitian dengan genus karang dan famili ikan karang
Distribusi spasial genus karang dan famili ikan karang pada habitatnya (kawasan penelitian) dianalisis dengan analisis koresponden (Coresponden Analysis, CA). Analisi tersebut didasarkan pada data baris (I) dan kolom (J), dimana keduanya disajikan dalam bentuk tabel kontigensi antara misalnya: genus karang x modalitas karakteristik kawasan penelitian.
Matriks data disusun dengan menggunakan perangkat lunak. Ms.Excel. Data matriks dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak MVSP versi 3.1 (Multi Variate Statistical Package) dan statistica versi 6.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Pulau Weh dan Pulau Aceh
Pulau Weh terletak di ujung barat pulau Sumatra memiliki luas wilayah 153 km2 atau 15.300 ha. Dilihat dari letak geografis, Pulau Weh terletak antara 050 -46’28”-05054’28” LU dan 95013’02”-95022’36”
Kecamatan Pulo Aceh dengan pusat pemerintahan di Lampuyang terdiri dari 17 gampong (desa) dan 3 mukim dengan luas wilayah adalah 24,075 Km
BT. Berdasarkan letak geografis Indonesia wilayah kota Sabang berbatasan langsung dengan negara tetangga yaitu Malaysia, Thailand dan India. Pulau Weh berada pada ketinggian rata-rata 28 meter diatas permukaan laut, berbatasan dengan Selat Malaka di utara dan timur, Samudra Hindia di selatan dan barat. Pulau Weh dikenal dengan selogan Point of Zero Kilometer Republic of Indonesia (Titik Nol Kilometer Indonesia), ditandai dengan didirikan monumen untuk menandai dimulainya perhitungan jarak dan luas teritorial Negara Republik Indonesia (Bappeda Aceh 2005). Wilayah administrasi Kota Sabang terdiri atas 5 (lima) pulau yaitu Pulau Weh (153 km²), Pulau Rubiah (0,357 km²), Pulau Seulako (0,055 km²), Pulau Klah (0,186 km²) dan Pulau Rondo (0,650 km²).
2 atau 24.075 Ha. Batas wilayah kecamatan di sebelah utara Selat Malaka, dan di sebelah selatan, barat dan timur adalah Samudra Hindia. Pulau Aceh yang secara geografis terletak pada koordinat 5°40’-5°45 LU; 95°00’-95°10 BT. Secara geografis, Pulau Aceh terletak di kawasan pantai barat Aceh yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia (Bapeda Aceh 2005).
4.2 Kualitas Perairan Pulau Weh dan Pulau Aceh
Kondisi perairan baik secara fisik maupun kimiawi akan sangat menentukan ada tidaknya ekosistem terumbu karang, jika pun telah terbentuk faktor lingkungan akan menyebabkan perubahan ekosistem terumbu karang. Setiap perubahan kondisi perairan akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan ekosistem karang. Hasil pengambilan data kondisi fisik dan kimiawi pada titik penelitian dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini:
Tabel 3 Kualitas perairan pada setiap titik lokasi penelitian. Stasiun Suhu (°C) Salinitas (‰) Kecerahan (%) Kedalaman (m) Anoi Itam 27.00 32.50 100 6-7 Ba Kopra 28.30 32.50 100 6-7 Batee Meurenon 29.00 32.50 100 6-7 Benteng 29.00 32.50 100 6-7 Beurawang 29.00 32.70 100 6-7 Canyon 28.00 32.50 100 6-7 Deudap 31.20 32.50 100 6-7 Gapang 29.00 32.30 100 6-7 Jaboi 28.30 33.00 100 6-7 Lamteng 28.00 32.60 100 6-7 Leun Balee 1 27.80 33.00 100 6-7 Lhoh 28.40 33.00 100 6-7 Lhok Weng 28.00 32.40 100 6-7 Lhong Angin 2 29.00 33.50 100 6-7 Paloh 28.00 33.50 100 6-7 Pasi Janeng 2 27.70 33.60 100 6-7 Pulau Klah 28.30 32.50 100 6-7 Reuteuk 28.40 33.70 100 6-7 Rubiah Channel 29.20 33.50 100 6-7
Rubiah Sea arden 29.00 32.50 100 6-7
Sumur Tiga 28.50 32.00 100 6-7 Ujong Seuke 27.80 32.30 100 6-7 Ujung Kareung 28.00 33.00 100 6-7 Ujung Seurawan 29.00 34.00 100 6-7 MAKSIMUM 30.20 34.00 100 6 MINIMUM 27.00 32.00 100 7
Perbedaan suhu pada masing-masing stasiun yang di ukur relatif kecil yaitu berkisar antara 27,00-30,20 °C. Suhu terendah diperoleh pada Anoi Itam dan suhu tertinggi diperoleh pada stasiun Deudap. Kisaran suhu yang diperoleh dari keseluruhan stasiun yang diamati masih berada dalam kisaran suhu yang baik bagi pertumbuhan biota karang. Menurut Nybakken (1997), terumbu karang dapat hidup subur pada perairan yang mempunyai kisaran suhu antara 23°C-25°C, sedangkan suhu ekstrim yang masih dapat ditoleransi berkisar antara 36°C-40°C.
Salinitas yang diperoleh pada semua stasiun penelitian berkisar antara 32-34 ‰. Salinitas terendah diperoleh pada stasiun Sumur Tiga sedangkan salinitas lainnya relatif seragam. Kisaran salinitas yang diperoleh ini menunjukkan bahwa
salinitas di Pulau Weh dan Pulau Aceh masih berada dalam kisaran toleransi bagi pertumbuhan karang
Nilai kecerahan yang diperoleh pada semua stasiun pengamatan adalah 100%. Hal ini berhubungan dengan kualitas perairan dan kedalaman perairan karena semua stasiun pengamatan berada dalam perairan yang relatif dangkal antara 6-7 m. Jika karang berada dalam tempat teduh atau terhindar dari cahaya matahari maka pertumbuhannya akan terhambat bahkan dapat mengalami kematian jika ketersidiaan cahaya tidak memadai untuk fotosintesis. Cahaya dibutuhkan oleh zooxanthellae untuk fotosintesis yang keberadaannya sangat erat dengan kelangsungan hidup karang (Nybakken 1997).
4.3 Kondisi Terumbu Karang
Di perairan Pulau Weh dan Pulau Aceh, komunitas karang ditemukan berbatasan langsung dengan pantai dan tebing-tebing curam. Terumbu yang berbatasan langsung dengan pantai memiliki kemiringan yang landai (10-40o) dan terumbu ditemukan pada kedalaman 5 sampai 20 meter. Berbatasan dengan tebing, kemiringan dasar laut sangat curam (60-80o
Persentase tutupan karang keras yang diamati selama 2006, 2008, 2009 dan 2011 pada setiap kawasan penelitian menunjukkan adanya perubahan persentase tutupan karang berkisar antara 1,75%-56,04% dengan rata-rata 34,52%. Persentase karang lunak berkisar antara 0,03%-4,55% dengan rata-rata 1,5%, sedangkan persentase tutupan alga berkisar antara 14,29%-76,89% dengan rata-rata 40,91%. Persentase pasir berkisar antara 7,15%-32,23% dengan rata-rata-rata-rata 18,49% dan penutupun biota lainnya berkisar antara 0,00%-16,73% dengan rata-rata 3,65%. Persentase biota karang pada setiap kawasan penelitian disajikan pada lampiran 1.
) dan terumbu ditemukan dari kedalaman 3 sampai 15 meter. Terumbu karang di Pulau Aceh adalah terumbu karang tepi dengan laguna dangkal dengan lebar 30 dan 200 meter. Kondisi terumbu karang di lokasi penelitian berdasarkan substrat dasar pada masing-masing stasiun penelitian terdiri dari tutupan karang keras (hard coral/HC), soft coral (karang lunak), alga, pasir dan lainnya (Gambar 11).
Gambar 11 Persentase tutupan karang keras, alga, pasir, karang lunak dan lain-lain (rata-rata ±SE) di setiap kawasan.
Dari data di atas dapat terlihat bahwa rata-rata persentase tutupan karang keras pada Pulau Aceh dan daerah pemanfaatan terendah terjadi pada tahun 2006 dan cendrung meningkat pada tahun-tahun selanjutnya. Hal ini disebabkan substrat pada tahun 2006 sangat dominan ditutupi oleh alga. Alga merupakan saingan utama dalam hal ruang hidup bagi karang di terumbu karena dapat menutupi substarat tempat tumbuhnya karang. Alga dapat berkembang lebih cepat dari pada karang (Nybakken 1997).
Peristiwa tsunami di Aceh pada akhir tahun 2004 juga mengakibatkan kerusakan ekosistem terumbu karang di pulau Aceh dan daerah pemanfaatan. Menurunnya persentase alga dan biota lain pada tahun berikutnya memberikan ruang pertumbuhan terhadap karang keras di Pulau Aceh dan daerah pemanfaatan. Hal ini dapat dilihat dengan terjadi peningkatan persantase tutupan karang keras pada setiap tahun pengamatan.
Pada kawasan taman wisata alam laut dan Kawasan konservasi laut daerah dampak tsunami tidak terlalu berpengaruh terhadap ekositem terumbu karang. Pada kedua kawasan ini dapat dilihat bahwa kenaikan persentase tuutpan karang keras tidak signifikan yang terjadi pada setiap tahun pengamatan. Rendahnya persentase karang keras di taman wisata alam laut lebih disebabkan kegiatan
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 2006 2008 2009 2011 2006 2008 2009 2011 2006 2008 2009 2011 2006 2008 2009 2011 P e rs e nt a se T ut upa n ( % )
Karang Keras Alga
Pasir Karang Lunak Lain-Lain
pengembangan ekowisata belum optimal dan masuknya sedimen dari daratan ke daerah terumbu karang akan menyebabkan tingginya penutupan alga dan timbunan sedimen yang menghambat pertumbuhan karang dan mengurangi laju pemulihan karang.
Rendahnya persentase alga dan biota lain disetiap tahun pada kawasan konservasi laut daerah berdampak peningkatan persentase karang keras pada setiap tahun pengamatan. Hal lain yang menyebabkan tingginya persentase karang keras adalah rendahnya dampak terjadinya tsunami di kawasan ini selain dari peraturan perlindungan laut sebagai sumber daya yang tak dapat diperbaharui telah menjaga terumbu karang dari praktek perusakan sehingga meningkatkan ketahanan terumbu terhadap ancaman yang tidak berhubungan dengan perikanan.
Secara umum kondisi terumbu karang di kawasan konservasi laut daerah Pulau Weh lebih baik dibandingkan dengan Pulau Aceh. Terumbu karang Pulau Weh memiliki penutupan karang yang tinggi dan penutupan alga yang rendah, sementara terumbu di Pulau Aceh secara kontras memiliki penutupan alga yang tinggi, penutupan karang yang rendah. Gangguan bagi terumbu mepengaruhi struktur terumbu karang karena terumbu karang adalah ekosistem yang dinamis secara alamiah. Selama pemulihan, jenis biota berinteraksi dan merubah kelimpahan serta peranan dalam struktur komunitasnya. Hasilnya pertumbuhan karang menjadi komunitas yang berbeda dari sebelumnya secara substansial akibat gangguan dan tetap dalam ekosistem yang berkembang dan beragam (Westmacott et al. 2000).
Dilihat dari segi pemulihan karang setelah tsunami selama tahun 2006, 2008, 2009 dan 2011 menunjukkan bahwa di Pulau Aceh dan daerah pemanfaatan menunjukkan tingkat pemulihan yang sangat tinggi dibandingkan dengan taman wisata alam laut dan kawasan konservasi laut daerah. Hal ini disebabkan dampak tsunami tidak terlihat lagi, turunnya persentase alga pada setiap tahun dan tekanan penangkapan ikan secara tidak ramah lingkungan telah berkurang. Kemampuan pemulihan terumbu karang adalah kemampuan dari suatu koloni individual atau suatu sistem terumbu karang untuk mempertahankan diri dari dampak lingkungan serta menjaga kemampuan untuk pulih dan berkembang (Moberg dan Folke 1999). Faktor penting bagi ketahanan terumbu karang tergantung dari faktor
internal dan eksternal yang saling mempengaruhi terumbu karang. Populasi pembebasan larva menciptakan keragaman genetika tinggi yang sangat penting untuk pemulihan dari gangguan (Nystrom dan Folke 2000).
4.4 Komposisi koloni karang keras 4.4.1 Pulau Aceh
Berdasarkan kehadiran karang keras di Pulau Aceh waktu pengamatan pada tahun 2006, di peroleh 16 jumlah genus karang keras, kemudian terjadi peningkatan sebasar 21 jumlah genus karang keras pada tahun 2008. Pada tahun 2009 menunjukkan adanya peningkatan yang cukup signifikan sebesar 33 jumlah genus karang keras dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada tahun 2011 menurun menjadi 23 genus karang keras hal ini di sebabkan dengan substrat yang kosong untuk penempelan larva karang sudah berkurang dan terjadinya kenaikan suhu permukaan laut di daearah perairan Pulau Weh dan Pulau Aceh. Sepuluh besar persentase koloni karang keras di Pulau Aceh pada masing-masing waktu pengamatan disajikan pada Gambar 12.
Dari hasil pengamatan menggunakan PIT di peroleh persentase koloni karang keras pada tahun 2006, 2008, 2009 dan 2011 yang terbanyak ditemukan selama pengamatan adalah koloni Acropora sebesar 13%, 23%, 32% dan 39%, Porites sebesar 43%, 30%, 17% dan 15 dan Pocillopora 3%, 25%, 22% dan 10%. Tingginya jumlah koloni dari koloni Acropora, Porites dan Pocillopora hal ini disebabkan kondisi perairan antara lain substrat sangat mendukung dan larva karang yang tersedia. Jumlah koloni karang keras di Pulau Aceh disajikan pada lampiran 5.
Setiap tahunnya terjadi peningkatan dan penurunan persentase koloni karang secara keseluruhan. Penurunan tersebut terjadi akibat adanya penambahan koloni baru pada lokasi penelitian setiap tahunnya akibat pemulihan kondisi ekosistem terumbu karang setelah peristiwa tsunami.
Gambar 12 Persentase koloni karang keras di Pulau Aceh.
Pada pengamatan tahun 2006 genus montipora belum ditemukan di lokasi pengamatan. Genus Montipora memiliki daya tahan yang rendah terhadap perubahan lingkungan. Hal inilah yang mungkin menyebabkan lambatnya pemulihan genus ini setelah terjadinya tsunami. Pada tahun berikutnya mengalami perubahan dengan terdapatnya genus Montipora di Pulau Aceh ini menunjukkan ada kecendrungan kenaikan jumlah koloni yang ditemukan karena kondisi perairan yang semakin baik.
4.4.2 Daerah Pemanfaatan
Berdasarkan hasil pengamatan di daerah pemanfaatan pada tahun 2006, diperoleh 33 jumlah genus karang keras, kemudian pada tahun 2008 dan 2009 jumlah genus menunjukkan peningkatan yaitu sebesar 41 dan 43 genus karang keras. Hal ini menunjukkan adanya pemulihan ekosistem terumbu karang setelah terjadinya gempa dan tsunami pada tahun 2004. Pada tahun 2011 terjadi penurunan jumlah genus karang keras sebesar 31 genus karang keras, hal ini
diakibatkan terjadinya kenaikan suhu permukaan laut di perairan Pulau Weh. Jumlah koloni karang keras pada daerah pemanfaatan disajikan pada lampiran 6 dan Sepuluh besar persentase koloni karang keras di daerah pemanfaatan pada masing-masing waktu pengamatan disajikan pada Gambar 13.
Pada daerah pemanfaatan, persentase koloni karang yang terdapat pada setiap tahun di dominansi oleh koloni Acropora sebesar 24%, 29%, 23% dan 19%. Koloni Favites sebesar 2%, 2%, 3% dan 2%.Koloni Heliopora sebesar5%, 7%, 3% dan 7%. Koloni Montipora sebesar 4%, 6%, 8% dan 18%. Koloni Pocillopora sebesar 5%, 6%, 7% dan 4%. Porites sebesar 41%, 31%, 30% dan 25%. Koloni Acropora dan Montipora biasanya tumbuh pada perairan yang jernih dan lokasi yang terdapat pecahan ombak sedangkan Porites merupakan genus karang yang mempunyai bentuk pertumbuhan masive, biasanya ditemukan di daerah rataan terumbu sampai dengan daerah tubir.
Selain itu juga ditemukan sepuluh besar persentase koloni yang mengalami perbedaan pada setiap tahunnya. Koloni Echinopora hanya ditemukan pada tahun 2009 dengan jumlah 4%. Koloni Pavona dengan jumlah 5% pada tahun 2011. Perbedaaan koloni karang yang ditemukan pada setiap tahun menggambarkan bahwa perubahan secara alami pada struktur komunitas menciptakan suatu yang baru pada komunitas tersebut.
Gambar 13Persentase koloni karang keras di Daerah Pemanfaatan.
4.4.3 Taman Wisata Alam Laut (TWAL)
Berdasarkan kehadiran genus karang keras di TWAL pada tahun 2006 diperoleh 36 jumlah genus karang keras. Tahun 2008 dan 2009 jumlah genus karang keras menunjukkan peningkatan sebesar 39 dan 38 genus. Hal ini menunjukkan setelah terjadinya gempa dan tsunami pada tahun 2004 di Aceh kondisi pemulihan ekosistem terumbu karang di Pulau Weh secara alami telah terlihat. Pada tahun 2011 terjadi penurunan sebesar 29 jumlah genus karang keras. Jumlah genus karang keras di TWAL disajikan pada lampiran 7 dan Sepuluh besar persentase koloni karang keras pada masing-masing waktu pengamatan disajikan pada gambar 14.
Gambar 14 Persentase koloni karang keras di TWAL.
Dari hasil pengamatan di TWAL pada tahun 2006, 2008, 2009 dan 2011 diperoleh persentase koloni karang keras yaitu dari koloni Acropora sebesar 34%, 33%, 26% dan 25%. Koloni Favites sebesar 2%, 7%, 4% dan 6%. Koloni Montipora sebesar 6%, 7%, 6% dan 8%. Koloni Pocillopora sebesar 3%, 6%, 6% dan 6%. Koloni Porites sebesar 26%, 24%, 30% dan 26%.
Selain itu juga ditemukan sepuluh besar persentase koloni karang yang mengalami perbedaan pada setiap tahunnya, seperi koloni Favia hanya ditemukan dalam sepuluh besar pada tahun 2008 dan 2011 dengan 3% dan 3%. Koloni Goniastrea hanya ditemukan pada tahun 2006 dan 2008 dengan jumlah 3% dan 3%, pada pengamatan tahun 2006 koloni Diploastrea belum ditemukan. Pada tahun 2008, 2009 dan 2011 koloni Diploastrea telah terdapat 1%, 5% dan 5%. Koloni pavona hanya terdapat pada sepuluh besar pada tahun 2006, 2009 dan 2011 dengan 3%, 1% dan 2%.
4.4.4 Kawasan Konservasi laut Daerah (KKLD)
Dari hasil pengamatan terhadap genus karang keras di KKLD terlihat adanya perbedaan jumlah genus karang keras pada waktu 2006, 2008, 2009 dan 2011. Jumlah genus karang keras pada setiap tahun pengamatan yaitu sebesar 37, 29, 34 dan 21 jumlah genus karang keras. Jumlah genus masing-masing di KKLD menunjukkan adanya fluktuasi antara kehadiran genus baru pada setiap tahun pengamatan. Jumlah genus karang keras di KKLD disajikan pada lampiran 8dan sepuluh besar persentase koloni karang keras pada masing-masing waktu pengamatan disajikan pada gambar 15.
Dari hasil pengamatan pada tahun 2006, 2008, 2009 dan 2011 di peroleh persentase koloni Acropora sebesar 19%, 18% dan 21%. Koloni Heliopora sebesar 13%, 8%, 5% dan 17%. Koloni Montipora sebesar 2%, 1%, 5% dan 18%. Koloni Porites tertinggi yang ditemukan pada setiap tahun sebesar 51%, 56%, 50% dan 47%.
Terdapat sepuluh besar persentase koloni karang yang mengalami perbedaan pada setiap tahunnya seperi koloni Favia dan Goniopora ditemukan dalam sepuluh besar pada tahun 2009 dan 2011, koloni Millepora ditemukan dalam sepuluh besar pada tahun 2006 dan 2008. Pada setiap tahun terjadi perubahan terus berlangsung dan mulai adanya kenaikan genus karang di KKLD. Hal ini terkait dengan strategi karang yang berbeda-beda untuk menempati suatu kawasan (Sorokin 1993).
Gambar 15 Persentase koloni genus karang keras di KKLD.
Jumlah individu genus karang secara umum di Pulau Weh dan Pulau Aceh di dominansi oleh genus Acropora, Favites, Heliopora, Millepora, Montipora, Pavona, Pocilliopora dan Porites. Morton (1990) menyatakan bahwa pola penyebaran biota karang di kawasan Indo-Pasifik secara umum hampir sama. Pada daerah dimana energi gelombang paling besar diterima oleh terumbu didominasi oleh Pocillopora spp yang berasosiasi dengan karang api (Millepora sp.). Pada lereng terumbu paling luar dimana pergerakan airnya kecil, kecepatan arus dan kekuatan gelombang berkurang didominasi oleh Acropora spp, dengan beberapa Pocillopora dan Millepora sebagai selingan.
Bentuk utama Acropora yang mendominasi daerah pengamatan adalah bentuk branching (bercabang) dan tabulate (meja). Pada daerah rataan terumbu, daerah arus kuat, Porites sp, merupakan jenis karang yang paling banyak dijumpai dan biasanya berasosiasi dengan Pavona sp. atau Acropora sp. Ini sejalan dengan Stoddart (1971) yang mengatakan bahwa komunitas Acropora banyak terdapat di terumbu yang menghadap angin dan komunitas Porites yang memiliki toleransi yang tinggi terhadap perairan yang keruh serta arus yang kuat (Nasir et al. 2004).
Selanjutnya Suharsono (1995) menyebutkan bahwa genus Acropora dan Pocillopora tumbuh sangat cepat dan mendominansi pertumbuhan karang di bekas muntahan lahar Pulau Gunung Api.
4.5 Pemulihan Karang (Rekruetmen)
Salah satu cara melihat proses pemulihan ekosistem karang adalah dengan melihat rekruetmen karang. Dari hasil penelitian di masing-masing kawasan menunjukkan bahwa terdapat peningkatan rekruetmen yang sangat signifikan pada tahun 2008 dibandingkan pada tahun 2006 dan kembali turun pada tahun 2009 dan 2011 (Gambar 16). Peningkatan jumlah rekrutmen pada tahun 2008 menunjukkan telah terjadi pemulihan secara alami setelah terjadinya gempa dan tsunami di Aceh. Hal yang paling penting dalam proses ini adalah ketersedian larva karang dan substrat yang baik untuk penempelan. Kelompok organisme yang berasosiasi akan berperan dalam pembentukan komunitas karang yang stabil. Komunitas karang yang berada disekitar lokasi ataupun komunitas karang serta sifat-sifat reproduksi karang akan berpengaruh terhadap rekruetmen karang dan kemampuannya untuk membentuk komunitas karang.
Persentase rekruetmen paling tinggi terdapat pada lokasi daerah pemanfaatan dan Pulau Aceh. Hal tersebut terjadi akibat di kedua kawasan tersebut merupakan kawasan yang paling sedikit persentase karang keras dibandingkan TWAL dan KKLD yang persentase karang keras lebih tinggi di tahun sebelumnya. Rekrutmen akan tumbuh pada substrat keras yang belum ditempeli karang hidup sehingga kawasan yang tutupan karangnya tinggi maka jumlah rekruetmennya akan sedikit. Sedangkan pada lokasi yang persentase karang hidupnya sedikit maka akan terjadi peningkatan persentase rekruetmen, kondisi tersebut menandakan adanya proses pemulihan ekosistem terumbu karang secara bertahap. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan persentase tutupan karang keras secara bertahap setiap tahunnya di kawasan penelitian.
Gambar 16. Persentase rekrutmen karang keras di setiap kawasan (rata-rata ±SE). Pengamatan rekruetmen dilakukan pada tahun 2006, 2008, 2009, dan 2011 secara berturut-turut di seluruh kawasan penelitian. Dari hasil transek kuadrat di masing-masing kawasan menunjukkan perbedaan nyata dari persentase rekrutmen karang keras. Pulau Aceh mempunyai rata-ratarekruetmen setiap tahun (10,49%, 33,44%, 12,22% dan 19,77%), Daerah Pemanfaatan mempunyai tingkatan rata-rata rekruetmen setiap tahun (6,86%, 34,12%, 12,15% dan 13,14%), TWAL mempunyai tingkatan rata-rata rekruetmen setiap tahun (9,18%, 29,47%, 7,89% dan 12,00 %), KKLD mempunyai tingkatan rata-rata rekruetmen setiap tahun (4,22%, 22,64%, 9,36% dan 3,25%), persentase rekrutmen karang disetiap kawasan disajikan pada lampiran 9.
Rekruetmen karang merupakan perintis penting bagi pemulihan karang yang mengalami kerusakan akibat gangguan (Connell 1997). Rekruetmen merupakan supply individu baru dalam suatu populasi, untuk terumbu karang didefenisikan sebagai pertumbuhan karang muda dengan ukuran lebih kecil dari 10 cm. Hasil pengamatan rekruetmen karang ini secara umum menunjukkan bahwa kondisi substrat dan kualitas perairan berpengaruh terhadap koloni karang yang di jumpai pada lokasi ini.
Proses rekrutmen karang merupakan indikator yang penting terhadap regenerasi terumbu karang dan potensi pertumbuhannya. Keberhasilan rekrutmen karang dengan berbagai cara reproduksi akan bervariasi di dalam dan antar lokasi,
0 5 10 15 20 25 30 35 40
Pulau Aceh Daerah PemanfaatanTaman Wisata Alam Laut Kawasan Konservasi Laut Dae
P ew rs en ta se Rek ru tm en K a ra n g ( % ) 2006 2008 2009 2011
sehingga data-data tentang pola rekrutmen karang dapat diaplikasikan untuk kegiatan pengelolaan terumbu karang yang baik dan berkelanjutan (Richmond dan Hunter 1990).
Potts (2002) mengatakan bahwa pertumbuhan rekrutmen tergantung dari sumber larvanya, komunitas lokal dan dinamika populasi mempunyai efek sangat penting dalam pola rekrutmen karang. Jika larva secara berkelanjutan disuplai dari area yang jauh maka gangguan lokal seperti populasi, jalur pelayaran kapal atau proses lainnya yang membunuh koloni induk terhadap komunitas tidak akan besar. Namun jika larva didatangkan dari komunitas lokal maka proses-proses yang menyebabkan turunnya kelimpahan individu karang dewasa yang reproduktif kemungkinan juga akan menimbulkan turunya populasi rekrutmen. Hal ini yang mungkin menyebabkan turunnya persentase rekrutmen yang terjadi pada tahun 2009 dan 2011.
4.6 Komposisi Koloni Karang Rekruitmen 4.6.1 Pulau Aceh
Dari hasil pengamatan di Pulau Aceh berdasarkan transek kuadrat pada tahun 2006 diperoleh jumlah rata-rata komposisi genus rekrutmen sebesar 20 koloni/transek. Pada tahun 2008 dan 2009 terjadi peningkatan jumlah komposisi genus rekrutmen sebesar 31 dan 26 koloni/transek. Terjadi penurun jumlah komposisi genus rekrutmen yang signifikan pada tahun 2011 sebesar 20 koloni/transek (Lampiran 10). Peningkatan jumlah rekrutmen pada tahun 2008 dan 2009 menunjukkan telah terjadi pemulihan secara alami setelah terjadinya gempa dan tsunami di Aceh. Hal yang paling penting dalam proses ini adalah ketersedian larva karang dan substrat yang baik untuk penempelan.
Kelompok organisme yang berasosiasi akan berperan dalam pembentukan komunitas karang yang stabil. Komunitas karang yang berada disekitar lokasi ataupun komunitas karang serta sifat-sifat reproduksi karang akan berpengaruh terhadap rekruetmen karang dan kemampuannya untuk membentuk komunitas karang. Sepuluh besar persentase koloni karang rekrutmen pada masing-masing waktu pengamatan (Gambar 17).
Gambar 17 Persentase koloni karang rekrutmen di Pulau Aceh.
Berdasarkan gambar diatas terlihat bahwa persentase koloni rekrutmen pada setiap tahun berbeda-beda yang termasuk sepuluh besar. Pada tahun 2006, 2008, 2009 dan 2011 koloni Acropora sebesar 11%, 13%, 27% dan 31%, koloni Favia sebesar 9%, 4%, 5% dan 2%, koloni Pavona sebesar 16%, 8%, 3% dan 10%, koloni Pocillopora sebesar 12%, 13%, 20% dan 3%, koloni Porites sebesar 35%, 36%, 21% dan 18%.
Selanjutnya juga ditemukan persentase koloni karang yang mengalami perbedaan pada setiap tahunnya seperi koloni Cyphastrea sebesar 5% dan 2% hanya ditemukan sepuluh besar pada tahun 2006 dan 2008. Koloni Favites ditemukan sepuluh besar pada tahun 2008 dan 2009 sebesar 12% dan 5%, begitu juga dengan koloni Galaxea, Seriatopora dan Stylopora ditemukan dalam sepuluh