• Tidak ada hasil yang ditemukan

Harga Diri Ditinjau dari Dukungan Sosial dan Regulasi Emosi pada Wanita Lansia yang Bekerja Wiraswasta

1. Harga Diri Ditinjau dari Dukungan Sosial pada Wanita Lansia yang Bekerja Wiraswasta

Usia lanjut pasti dialami oleh setiap manusia sebagai bagian dari proses biologis. Proses penuaan yang diikuti dengan menurunnya kemampuan fisik dan pikiran adalah gambaran umum yang terjadi pada setiap lansia. Banyak dari lansia yang mulai kehilangan berat badan, kehilangan nafsu makan, konstipasi maupun diare, gangguan tidur, tubuh tidak terawat, menarik diri

dari aktivitasnya, sulit memulai aktivitas baru, penurunan libido, sedih dan cemas, perasaan terisolasi, lebih suka sebagai pendengar daripada berpartisipasi aktif, sensitif terhadap kritikan orang lain, mengeluh nyeri dan pusing, merasa tidak dapat melakukan hal-hal yang berarti, merasa selalu salah dan gagal. Stuart dan Sundeen (1995) menyebutkan hal-hal di atas merupakan manifestasi dari seorang lansia dengan harga diri rendah.

Lansia dengan harga diri rendah akan merasa dirinya tidak punya kemampuan, tidak nyaman, merasa tidak berharga,merasa segala yang dilakukannya sia-sia, mudah cemas, marah dan mudah kecewa.Hal ini dapat berdampak buruk terutama bagi kesehatan mental lansia terutama lansia yang bekerja. Lansia yang bekerja membutuhkan harga diri tinggi, harga diri tinggi membuat lansia memiliki kemampuan untuk lebih produktif dalam bekerja. Lansia juga membutuhkan dukungan sosial yang tinggi dari lingkungan tempat lansia berada agar dapat mengelola permasalahannya dengan baik serta membangun rasa percaya diri yang baik untuk tetap memiliki harga diri yang tinggi. Berpikiran positif dapat membawa dampak positif pula pada pekerjaan lansia.

Thoits (dalam Emmons dan Colby, 1995) menyatakan bahwa dukungan sosial secara umum mengacu pada bantuan yang diberikan pada seseorang oleh orang-orang yang berarti baginya seperti keluarga dan teman-teman. Dukungan sosial itu sendiri menurut Sarafino (1990) merupakan bentuk keberadaan dari orang-orang yang memperhatikan, menghargai dan mencintai. Dukungan sosial merupakan hal yang penting dalam cara individu

mengatasi masalah yang dihadapi. Dukungan sosial dapat diperoleh dari pasangan hidup, orangtua, saudara, tetangga, atasan, bawahan atau pun teman sejawat.

Dukungan sosial adalah keberadaan, kesediaan, kepedulian dari orang-orang yang dapat diandalkan, menghargai dan menyayangi. Seperti halnya yang dikatakan oleh Cobb (dalam Kuntjoro, 2002) bahwa dukungan sosial sebagai adanya kenyamanan, perhatian, penghargaan, menolong orang dengan sikap menerima kondisinya. Weiss (dalam Khera, 2002) mengatakan bahwa fungsi dari dukungan sosial juga sangat berpengaruh untuk meningkatkan harga diri individu.

Dukungan sosial yang diterima oleh lansia yang bekerja sama dapat berupa beberapa bentuk dukungan antara lain: dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan penghargaan, dukungan informasi dan dukungan jaringan sosial. Dengan adanya dukungan yang didapatkan oleh individu, maka individu akan dapat meningkatkan rasa percaya dirinya dan memotivasi diri menjadi lebih baik. Individu yang memiliki dukungan sosial tinggi cenderung lebih menghayati pengalaman hidupnya yang positif, memiliki rasa percaya diri tinggi dan lebih memandang kehidupannya secara optimis. Lansia bekerja yang lebih optimis memandang hidup dapat meningkatkan produktivitas kerjanya.

2. Harga Diri Ditinjau dari Regulasi Emosi Wanita Lansia yang Bekerja Wiraswasta

Kemajuan dalam bidang pendidikan dan teknologi yang pesat memudahkan masyarakat memperoleh wawasan yang semakin luas. Wawasan yang semakin luas ini membuat masyarakat terutama wanita dapat menunjukkan kemampuannya. Wanita yang identik dengan pekerjaan rumah tangga, mengasuh dan membesarkan anak sementara suami bekerja. Kini, tidak hanya suami yang bekerja dalam keluarga tetapi wanita pun banyak yang bekerja. Jumlah wanita bekerja di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Wanita lanjut usia seiring dengan perkembangan jaman yang semakin modern pun terbiasa untuk tetap bekerja.

Wanita lanjut usia yang bekerja di Indonesia sering kali harus menghadapi mitos-mitos yang salah dari masyarakat mengenai lanjut usia. Mitos-mitos yang salah tersebut contohnya lanjut usia dianggap berbeda dengan orang lain, sukar memahami informasi baru, tidak produktif, dan menjadi beban masyarakat. Hal ini dapat mempengaruhi harga diri yang dimiliki oleh lansia. Mereka yang dulunya dapat aktif beraktivitas, produktif dan mandiri dikarenakan keterbatasan fisik dan mitos-mitos tersebut menjadikan lansia merasa tidak berharga.

Harga diri adalah evaluasi terhadap dirinya sendiri secara positif atau negatif (Dariyo dan Ling, 2002). Harga diri ini berpengaruh terhadap kualitas dan kebahagiaan hidup lansia. Lansia yang memiliki harga diri tinggi akan merasa tenang, mantap, optimis dan lebih mampu mengendalikan situasi

dirinya (Dariuszky, 2004). Sebaliknya harga diri yang rendah akan membawa lansia pada perilaku kurang baik bagi lansia. Lansia dengan harga diri rendah biasanya bersikap bergantung, kurang percaya diri dan pesimistis (Widodo, 2004). Hal ini dapat menyebabkan lansia dengan harga diri rendah menjadi kurang produktif dalam bekerja.

Wanita lansia yang bekerja membutuhkan regulasi emosi agar lansia merasa lebih berharga sehingga mampu menghadapi kemunduran fisik sekalipun tetap bekerja sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman. Regulasi emosi menurut Denham (dalam Coon, 2005) adalah kemampuan secara fleksibel untuk mengendalikan emosi yang dirasakan dan ditampilkan sesuai dengan tuntutan lingkungan. Regulasi emosi merupakan kemampuan untuk tetap tenang di bawah tekanan (Reivich dan Shatte, 2002) lansia bekerja yang memiliki meregulasi emosi dapat mengendalikan dirinya apabila sedang kesal dan dapat mengatasi rasa cemas, sedih dan marah sehingga mempercepat pemecahan suatu masalah. Regulasi emosi juga dapat membuat individu berpikir jernih, bersikap lebih tenang serta bijaksana dalam bertindak.

3. Harga Diri Ditinjau dari Dukungan Sosial dan Regulasi Emosi Wanita Lansia yang Bekerja Wiraswasta

Jumlah wanita bekerja di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun sesusai data Badan Pusat Statistik.Wanita lanjut usia seiring dengan perkembangan jaman yang semakin modern pun terbiasa untuk bekerja karena tidak ingin membebani anak-anaknya yang telah berumah tangga

berdasarkan wawancara yang telah dilakukan pada tanggal 17 Mei 2014 kepada Mbah No, salah seorang lansia yang tetap bekerja pada usia senjanya. Lanjut usia tetap bekerja meskipun mengalami proses penuaan. Proses menua (aging) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologis, maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia (Darmojo, 2000). Kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan secara berlipat ganda. Dalam tubuh lansia timbul kondisi penurunan jumlah sel-sel otak disertai penurunan fungsi indera pendengaran, penglihatan, pembauan yang sering menimbulkan keterasingan bagi lansia saat proses menua mulai berlangsung. Kemunduran fisik dapat memicu timbulnya stres pada lanjut usia. Mereka yang dulunya dapat beraktifitas secara aktif mulai merasakan keterbatasan disebabkan adanya kemunduran fisik tersebut.

Lansia dengan harga diri rendah akan merasa dirinya semakin tidak punya kemampuan, tidak nyaman, merasa tidak berharga, merasa segala yang dilakukannya sia-sia, mudah cemas, marah dan mudah kecewa. Hal ini dapat berdampak buruk terutama bagi yang bekerja. Lansia yang bekerja membutuhkan harga diri tinggi, harga diri tinggi membuat lansia memiliki kemampuan untuk lebih produktif dalam bekerja. Lansia juga membutuhkan dukungan sosial yang tinggi dari lingkungan tempat lansia berada agar dapat

mengelola permasalahannya dengan baik serta membangun rasa percaya diri yang baik untuk tetap memiliki harga diri yang tinggi.

Lansia yang di masa lalu mampu secara aktif menjalankan aktivitasnya, produktif dan mandiri bisa menjadi merasa tidak berharga juga dikarenakan adanya mitos-mitos negatif yang berkembang di kalangan lanjut usia. Kuntjoro (2002) menyatakan bahwa dalam masyarakat Indonesia sering dijumpai pengertian dan mitos yang salah mengenai lanjut usia, sehingga banyak merugikan lanjut usia. Contohnya lanjut usia dianggap berbeda dengan orang lain, sukar memahami informasi baru, tidak produktif dan menjadi beban masyarakat, lemah, jompo, sakit-sakitan, pikun, dan lain-lain. Pandangan ini juga dapat menurunkan harga diri yang dimiliki lansia. Faktor psikologis dalam hal ini regulasi emosi memegang peranan penting dalam pembentukan harga diri lansia untuk mengahadapi tekanan mitos ini.

Regulasi emosi ialah kemampuan secara fleksibel untuk mengendalikan emosi yang dirasakan dan ditampilkan sesuai dengan tuntutan lingkungan (Denham dalam Coon, 2005). Regulasi emosi merupakan kemampuan untuk tetap tenang di bawah tekanan (Reivich dan Shatte, 2002) lansia bekerja yang memiliki meregulasi emosi dapat mengendalikan dirinya apabila sedang kesal dan dapat mengatasi rasa cemas, sedih dan marah sehingga mempercepat pemecahan suatu masalah. Regulasi emosi juga dapat membuat individu berpikir jernih, bersikap lebih tenang serta bijaksana dalam bertindak.

Dokumen terkait