TINJAUAN PUSTAKA 2.1Tuberkulosis (TB)
2.8 DNA Probe
2.7 Real-Time Polymerase Chain Reaction (Real-Time PCR)
Real-time PCR merupakan modifikasi atau variasi metode PCR yang memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan beberapa teknik PCR lain. Real time PCR memberikan keuntungan seperti thermal cycler yang dapat menentukan jumlah produk hasil reaksi dengan cara mendeteksi peningkatan ikatan dye
dengan DNA sintesis menggunakan fluorometer. Keuntungan lain yang diberikan oleh metode ini antara lain memiliki sensitivitas yang tinggi; reprodusibel menguantifikasi jumlah awal dari template dengan cara memonitoring produk amplifikasi PCR selama proses berlangsung; proses pendeteksian cepat; menganalisis beberapa gen secara simultan; mudah untuk mengolah banyak sampel dan tidak membutuhkan pengecekan akhir menggunakan gel (Turner et al., 2005; McPherson dan Moller, 2006).
2.8 DNA Probe
Probe adalah molekul asam nukleat yang memiliki afinitas kuat dan dapat berikatan dengan target DNA secara spesifik atau RNA sekuens. Probe dan sekuens basa dari target harus komplemen satu sama lain. Probe dapat digunakan untuk berbagai metode blotting dan teknik in situ untuk mendeteksi sekuens asam nukleat, selain itu probe juga digunakan untuk mengidentifikasi mikroorganisme dan mendiagnosis terjadinya infeksi atau penyakit lainnya (Walker dan Rapley, 2005). DNA probe merupakan salah satu komponen dari real-time PCR yang dapat menentukan keberhasilan proses deteksi pada metode real-time PCR. Kriteria DNA probe yang harus dipenuhi dalam melakukan perancangan, sebagai berikut:
22
a) Panjang Nuklrotida DNA Probe
Panjang nukleotida untuk sebuah DNA probe yang digunakan berkisar antara 18-30 basa dengan panjang optimal 20 nukleotida. Panjang yang melebihi 30 nukleotida masih dapat digunakan dengan catatan bahwa
quencher fluoresen tidak ditempatkan pada basa paling ujung 3’, melainkan diposisi tengah dari sekuens DNA probe, Meuer et al., 2001; McPherson dan Moller, 2006).
b) Kandungan GC (%GC)
Kandungan GC yang harus dimiliki DNA probe pada umumnya yaitu 40-60% (Borah, 2011).
c) TmºC(Temperature Melting)
DNA probe yang baik harus memiliki TmºC lebih tinggi 5-10ºC dibandingkan TmºC primer (Anonim c, 2006).
d) Runs
Runs menunjukkan pengulangan basa yang sama berturut-turut pada untai DNA probe, contohnya AGCGGGGGATGGGG. DNA probe
yang baik seharusnya memiliki runs kurang dari 4 basa (Borah, 2011). e) Repeats
Repeats menunjukkan pengulangan di nukleotida yang sama berturut-turut pada untai DNA probe, contohnya ATATATAT. DNA probe
yang baik seharusnya memiliki repeats kurang dari 4 basa (Borah, 2011).
23
f) Struktur Hairpin
Hairpin merupakan struktur sekunder yang terbentuk akibat interaksi intramolekular, hal ini dapat menghalangi hibridisasi DNA probe
dengan DNA target sehingga sedapat mungkin dihindari (Borah, 2011). Untuk nilai ∆G maksimum terbentuknya struktur hairpin yang masih dapat ditoleransi yaitu -3 kcals (Anonim g, 2006; Rychlik, 2010
g) Struktur Dimers
Dimers dapat berupa self dimer dan cross dimers, kedua dimer ini terbentuk karena interaksi intermolekular antara dua jenis primer yang sama (self dimers) dan interaksi intramolekular antara sepasang primer
(cross dimers) (Borah, 2011).
Pada metode real-time PCR, menggunakan bantuan DNA probe untuk metode deteksi adanya mutasi (McPherson dan Moller, 2006). Salah satu jenis DNA probe yang digunakan pada metode real-time PCR yaitu TaqMan probe. Pada metode deteksi TaqMan probe, digunakan tiga nukleotida antara lain primer forward, primer reverse dan probe internal TaqMan. TaqMan probe merupakan oligonukleotida standar yang berikatan secara kovalen dengan reporter fluoresen (FAM atau 6-carboxyfluorescein) pada posisi 5’ dan berikatan dengan quencher TAMRA (6-carboxytetramethylrhodamine) pada posisi 3’ (McPherson dan Moller, 2006).
Pada umumnya TaqMan probe harus memiliki jumlah GC antara 40-60% dan hindari urutan nukleotida identik yang membentang panjang lebih dari 4 pada basa tunggal (Walker dan Rapley, 2005). Jauhkan guanin pada posisi 5’ probe
24
karena dapat memadamkan fluoresen (McPherson dan Moller, 2006), pastikan bahwa tidak ada daerah yang komplemen dalam probe karena hal ini dapat menyebabkan pembentukan struktur hairpin yang akan menghambat hibridisasi pada target DNA (Walker dan Rapley, 2005). Nilai TmºC pada desain probe lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai TmºC primer, yaitu antara 5-10ºC (Anonim c, 2006). Hal penting lainnya yang harus diperhatikan dalam mendesain probe
yaitu menjauhkan segala mismatches antara probe dengan target DNA (McPherson dan Moller, 2006). Diagram skematik yang memperlihatkan prinsip
real-time PCR menggunakan TaqMan probe dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Diagram Skematik Prinsip Kerja Real-Time PCR Menggunakan
TaqMan probe (McPherson dan Moller, 2006)
Pada Gambar 2.2 dapat dilihat selama proses penempelan kedua primer
25
pada nukleotida terlalu dekat satu sama lain, sehingga sinyal fluoresen tidak dihasilkan. Pada tahap selanjutnya yaitu tahap ekstensi, aktivitas
5’→3’exonuclease dari Taq DNA polymerase akan memutuskan 5’-FAM dari
probe dengan cara memisahkan reporter dengan quencher sehingga akan menyebabkan peningkatan fluoresen yang akan diukur selama siklus PCR berlangsung (McPherson dan Moller, 2006). Beberapa kriteria probe harus diperhatikan jika akan menyusun TaqMan probe, yang meliputi panjang TaqMan probe harus lebih panjang dibandingkan primer, biasanya 18-30 nukleotida. Selain itu nilai TmºC untuk TaqMan probe sekitar 5-10ºC lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai TmºC primer (Anonim c, 2006). Hal ini dilakukan agar memungkinkan terjadinya hibridisasi pada gen target selama tahap ekstensi. Berdasarkan beberapa kriteria tersebut dilakukan untuk memastikan apakah emisi fluoresen yang dihasilkan setelah aktvitas 5’→3’ exonuclease berbanding lurus dengan jumlah target DNA yang diinginkan. Faktor lain yang harus diperhatikan saat mendesain TaqMan probeyaitu menjauhkan G (guanin) pada posisi 5’ karena
dapat menyebabkan pemadaman sinyal bahkan pada saat probe sudah terlepas. Selain menjauhkan basa G (guanin) pada posisi 5’, pada desain TaqMan probe
juga harus mengandung basa C (sitosin) lebih banyak dibandingkan dengan basa G (guanin) (McPherson dan Moller, 2006). Pada beberapa kasus dinyatakan bahwa quencher fluorescent tidak dianjurkan untuk ditempatkan pada bagian
ujung 3’, melainkan harus ditempatkan pada bagian dalam antara nukleotida 18 dan 25 dari posisi 5’ jika panjang sekuens melebihi 30 nukleotida. Hal ini