• Tidak ada hasil yang ditemukan

Al-‘Ilmu dan Al-‘Ulama

Dalam dokumen Pendidikan Akhlak (Halaman 103-106)

Islam menempatkan ilmu dalam posisi yang sangat penting dalam segala aspek kehidupan, karena dengan ilmu seorang muk-min akan bisa mengetahui segala hak dan kewajibannya baik dalam menjalin hubungannya secara vertikal kepada Sang Pencipta mau-pun hubungan horizontal sesama manusia. Seorang yang memiliki ilmu disebut dengan al-ulama (jamak dari alim) yang berperan sebagai pewaris Nabi dan menjadi simbol dari eksistensi ilmu.73

Akan tetapi dalam rentang sejarah, berbagai karakter (feature) telah melekat pada ulama; mulai dari yang saleh dan memiliki komitmen (itizam) terhadap kepentingan menegakkan dinul Islam, sampai kepada kelompok ulama yang akomodatif dengan perkembangan ruang dan waktu, yang inkonsistent, bahkan ada yang terkooptasi oleh kepentingan penguasa. Dari kenyataan ini, tampaknya perlu mempertegas bagaimana hubungan antara ilmu dan ulama dalam perspektif hadis Nabi saw. Dengan meng-analisa hadis-hadis yang berhubungan dengan topik tersebut, di-harapkan konvergensi antara keduanya akan terlihat, dan prasyarat yang harus dimiliki seseorang untuk menjadi seorang alim akan teridentifikasi.

Pengertian Ilmu

Dalam Islam, ilmu sebagai pengetahuan selalu didasarkan pada wahyu. Misi ibadah dan khilafah adalah ruang bagi segenap pengetahuan. Di dalam al-Qur’an tersedia pokok-pokok pengeta-huan metafisik dan pengetapengeta-huan untuk mengenali alam, manusia

73 Peranan penting yang diemban oleh ulama antara lain dijelaskan dalam teks hadis sebagai terdapat dalam Al-Turmudzi, Sunan al-Turmudzi (Beirut-Libanon: Dar al-fikr, 1414 H./ 1994 M.), juz Iv, h. 312; Abu Dawud, Sunan Abi Dawud (Beirut-Libanon, Dar al-Fikr, 1414 H/1993 M.), jilid II, h. 180.

Lihat Foot note pada pembahasan selanjutnya.

dan Tuhan, sebuah tema pokok yang berulang-ulang di sampaikan dalam al-Qur’an.74

Kalau mengamati kitab-kitab hadis sebagai rujukan utama, akan ditemukan berbagai hadis dalam jumlah cukup signifikan yang berbicara tentang ilmu. Dalam shahihnya, al-Bukhari tidak langsung mendefinisikan ilmu, tapi langsung menjelaskan fadhilah atau keutamaan ilmu. Al-Qadhi Abu Bakar Ibn al-Arabi, sebagai-mana dikutip Ibnu Hajar dalam al-Fath al-Bari, mengatakan,

“penyusun langsung melihat keutamaan ilmu sebelum menjelaskan hakikat ilmu. Tampaknya ini berdasarkan keyakinannya bahwa hakikat ilmu sudah sedemikian jelasnya sehingga tidak perlu lagi didefinisikan”. Komentar ini kemudian ditanggapi oleh ibn Hajar dengan mengatakan, “ini adalah metode Imam Ghazali dan guru-nya; bahwa ilmu tidak perlu didefinisikan, baik karena terlalu jelas atau karena terlalu susah”.75

Kata ‘ulama adalah bentuk jamak dari ‘alim.76 Kata 'alim adalah ism fa’il dari fi’il madhi: ‘alima yang berati “mengetahui”.

Sebagai ism fa’il, ‘alim berarti “yang mengetahui”, “yang berpe-ngetahuan", “yang berilmu”.77

Dalam al-Qur’an kata “ulama” terdapat pada dua tempat, yaitu pada surat Fathir ayat 28 dan pada surat al-Syu’ara ayat 197:

هٍْنْاةْةُةو اةَهَاةَبِةَ قَنَةَبَهَ قْبَهحةو قٌْنْ قِةّهُ نُاةِنَبِا ةِنَةو هُهَاةَبِةَ قَنَةَبَهَ نِاةُبَةبأاةو نٍّاةودِّاةو نَادِِا ةِنَةو.قَِهَ

قَّنّةَ ةدّا دَنِ هءاةَةَهُبِا نُنِاةِنَ بِنَ ةدّا ىةَبَةَ اةَدَنِ ةكنِةْةَ

)28 -27:َْاَ( قَُهْةُ

“Di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Demikian (pula) di antara manusia, binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya).

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambanya,

74 Lihat al-Qur’an (53): 28. lebih lanjut, dalam al-Qur’an ditemukan sejumlah kata yang secara langsung mengacu kepada ilmu pengetahuan. Kata ilmu dengan segala perubahan morfologisnya, terulang sebanyak 841 kali.

75Lihat Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, t.t), h. 115

76 Ibn Manzhur, Lisan al-Arab (Beirut: Dar Shadir, 1417H/1997 M), Cet. VI, jilid XII, h.417.

77 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia

hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”.

Dari ayat di atas, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ulama dalam konteks ayat ini adalah orang-orang yang mengetahui dan memahami tentang fenomena alam sebagai tanda atau bukti yang menunjukan kekuasaan Allah sehingga menjadikan hati mereka merasa takut dan patuh terhadap Allah. Ini berarti bahwa orang yang disebut ulama pada ayat ini memiliki dua hal;

yaitu memiliki ilmu dan memiliki khasyyah (perasaan takut) kepada Allah.

Selanjutnya dalam surat al-Syu’ara ayat 196-197, Allah berfirman:

بَةَ ةَةَاةء بَهَةِ بِهُةَ بَةِةوةَ .ةِْنِدوةبأا نْهْهَ ينْةِ هُدَنِةو )197 -196:ءاَُِْا( ةِْنِاةْبَنِ ينِةْ هءاةَةَهَ هُةَةَبُةَ

“Sesungguhnya al-Qur’an itu benar-benar (tersebut) dalam kitab-kitab orang terdahulu. Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya?”

Menurut al-Suyuthi, bahwa yang dimaksud ulama Bani Israil pada ayat 197 surat al-Syu’ara’ itu ialah orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mengetahui Taurat dan Injil.78

Dari kedua ayat al-Qur’an tersebut kiranya dapat disimpul-kan bahwa yang dimaksud dengan “ulama” di dalam al-Qur’an ialah orang-orang yang memiliki pengetahuan, baik pengetahuan agama maupun pengetahuan yang berkenaan dengan fenomena alam (ayat-ayat kauniyyah), dan dengan pengetahuan itu dapat mengantarkan mereka kepada perasaan takut dan patuh kepada Allah SWT.

Adapun dalam hadits, terdapat sejumlah hadis yang ber-kaitan dengan ulama sebagaimana yang akan dibahas, di antaranya:

اَهَنُّةَهَ بَةِ ةءاةْنِبَةبأا دَنِةو نءاةْنِبَةبأا هَةَةُةو ةءاةَةَهُبِا دَنِ

نَّةَنْ ةْةُةَ هُةْةُةَ بِةَةَ ةَبَنُبِا اَهَدُةو اةَةُبُنِ ةِةو اةُاةَِنِ

نْنَاةو Artinya: “Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para Nabi, dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Mereka hanya mewariskan ilmu. Maka siapapun yang mengambil warisan ter-sebut, berarti ia mengambil bagian yang banyak” (HR. Abu Daud).

78 Al-Suyuthi, Al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir al-Ma’tsur (Beirut-Libanon: Dar al-Kutub al’Ilmiyah, 1411 H), Juz V, h. 177

Dengan demikian kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa dikarenakan ulama itu adalah pewaris para Nabi dan yang diwariskan oleh para Nabi itu adalah ilmu, berarti ulama adalah orang-orang yang memiliki ilmu, yaitu ilmu yang berkenaan de-ngan ajaran agama yang dibawa oleh Nabi.

Dalam perkembangan selanjutnya konsep ulama kelihatan-nya mengalami pergeseran dengan munculkelihatan-nya beraneka ragam disiplin ilmu serta adanya dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, yang terjadi pada awal abad II H./ VIII M.

Sebutan ulama digantikan dengan istilah baru yang sesuai dengan disiplin ilmu yang digeluti, maka muncullah istilah fakih, mu-haddits, mufasir, mutakallimin, filsuf dan sebagainya.79

Apabila proses perkembangan pengertian ini dihubungkan dengan makna linguistiknya, maka pengertiannya adalah orang-orang yang memusatkan segala usaha dan perhatiannya untuk me-nafsirkan makna wahyu, mendefinisikan makna-makna nash secara terperinci, dan menggali hukum dengan bertitik tolak dari makna makna itu.

Etika/karakter Ilmu dalam Hadis Nabi

Dalam pandangan Islam, ilmu tidak hanya didasarkan hanya pada informasi semata, sekalipun nilai atau ketetapan informasi tersebut ternyata lebih objektif. Ilmu yang ditransfer melalui me-tode Nabi tidak hanya dipandang sebagai ilmu tertinggi, akan tetapi yang lebih penting juga pada komitmen pemilik ilmu yang me-nyandang predikat pewaris Nabi. Ada beberapa prasyarat atau etika ilmu yang diatur dalam hadis Nabi, sebagai berikut:

Dalam dokumen Pendidikan Akhlak (Halaman 103-106)

Dokumen terkait