TINJAUAN PUSTAKA
2.4 Model Sorpsi Isothermis
Pada umumnya absorpsi dinyatakan dengan isoterm absorpsinya, yaitu yang menunjukkan hubungan konsentrasi-konsentrasi dari bahan terabsorpsi pada suatu suhu tetap. Empat tipe persamaan utama yang digunakan untuk menguraikan isoterm absorpsi adalah : (1) model Freundlich, (2) model Langmuir, (3) dan model BET (Brunauer, Emmet, Teller).
Nilai dari suatu model sorpsi isotermis tergantung pada kemampuannya secara matematis untuk menguraikan sorpsi isotermis dan kemampuan tetapan-tetapan dalam model tersebut untuk menjelaskan fenomena secara teoritis. Model matematika yang dikembangkan pada umumnya tidak dapat menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis dan hanya dapat memprediksi kurva sorpsi isotermis pada salah satu dari ketiga daerah kurva sorpsi isotermis. Penggunaan model sorpsi isotermis sangat tergantung pada tujuan pemakai misalnya jika ingin mendapatkan kemulusan kurva yang tinggi maka model yang sederhana dan lebih sedikit jumlah tetapannya akan lebih mudah penggunaannya (Labuza, 1982 dalam Fitria, 2007).
2.4.1 Model Sorpsi Isotermis Freundlich
Model isoterm absorpsi Freundlich didasarkan atas terbentuknya lapisan monolayer dari molekul-molekul absorbat pada permukaan absorban. Namun pada absorpsi Freundlich situs-situs aktif pada permukaan absorban bersifat heterogen. Persamaan isoterm absorpsi Freundlich dapat dituliskan sebagai berikut : = / 1) = + 2) y= a + bx 3) dimana :
Qe : jumlah absorbat yang terjerat pada permukaan absorban dalam kondisi setimbang (g absorbat/g absorban)
Ce : konsentrasi pada kesetimbangan (g absorbat/ml) K, n : konstanta Freundlich
2.4.2 Model Sorpsi Isotermis Langmuir
Isoterm absorpsi Langmuir didasarkan atas beberapa asumsi, yaitu (a) absorpsi hanya terjadi pada lapisan tunggal (monolayer), (b) panas absorpsi tidak tergantung pada penutupan permukaan, dan (c) semua situs dan permukaannya bersifat homogen. Persamaan isoterm absorpsi Langmuir dapat diturunkan secara teoritis dengan menganggap terjadinya kesetimbangan antara molekul-molekul zat yang diabsorpsi pada permukaan absorban dengan molekul-molekul zat yang tidak terabsorpsi. Persamaan isoterm absorpsi Langmuir dapat dituliskan sebagai berikut:
8
= 5)
= + 6)
y= b x + a 7)
dimana:
Qe : jumlah absorbat yang terjerat pada permukaan absorban dalam kondisi setimbang (g absorbat/g absorban)
Ce : konsentrasi pada kesetimbangan (g absorbat/ml) KL : konstanta Langmuir
Qo : kapasitas jerat maksimum absorban terhadap absorbat (g absorbat/g adsorban) Kurva absorpsi isoterm Langmuir dapat dilihat pada Gambar. berikut:
Gambar 2. Kurva absorpsi isoterm Langmuir
2.4.3 Model Sorpsi Isotermis BET (Brunauer, Emmett dan Teller)
Brunauer, Emmett dan Teller (1938) mengembangkan pendekatan persamaan Langmuir pada absorpsi multilayer yang kemudian dikenal dengan BET. Asumsi dasarnya adalah setiap molekul pada lapisan absorpsi pertama dianggap melengkapi permukaan kedua dan berikutnya, molekul ini memungkinkan terjadinya kontak dengan molekul absorbat dibandingkan dengan permukaan adsorban dimana konstanta kesetimbangan untuk lapisan molekul pertama kontak dengan permukaan adsorban berbeda. Isoterm absorpsi BET diformulasikan sebagai berikut:
= ( )
8) = 1 + ( −1) 9) = + 10) y = a + b x 11) dimana:
Qe : jumlah absorbat yang terjerat pada permukaan adsorban dalam kondisi setimbang (g absorbat/g adsorban)
Qo : kapasitas jerat maksimum absorban terhadap absorbat (g absorbat/g adsorban) K : konstanta kesetimbangan absorpsi
9
2.5 Kesetimbangan Kandungan Uap Air
Hubungan antara kelembaban dan kandungan uap air pada temperatur yang sama (isoterm) dikenal sebagai kesetimbangan isoterm sorpsi uap air (Equilibrium Moisture Sorption Isotherm) seperti yang dikemukakan oleh Bell dan Labuza. Masing-masing produk mempunyai kesetimbangan kandungan uap air yang unik karena perbedaan interaksi (efek koligatif larutan, efek kapiler, dan interaksi permukaan) antara air dengan komponen padat pada kandungan uap air yang berbeda.
Informasi mengenai mekanisme sorpsi uap air pada suatu bahan dapat diketahui dari bentuk kesetimbangan kandungan uap airnya, karena hal itu sangat tergantung pada interaksi antara molekul air dengan suatu bahan. Isoterm sorpsi fisis ini dapat digolongkan menjadi 6 tipe utama (I-VI), berdasarkan klasifikasi IUPAC. Isoterm tipe V dan VI tidak umum untuk dijumpai (Sing, dkk., 1985 dalam Prasodjo P, 2010).
Tipe I adalah tipe Langmuir, yang ditandai oleh adanya absorpsi yang terbatas yang diasumsikan sebagai terbentuknya suatu lapisan tunggal yang sempurna. Tipe I memiliki absorban dengan mikropori yang luas permukaannya relatif kecil, yang dapat menyimpan banyak uap air pada RH yang rendah (Sing, dkk., 1985 dalam Prasodjo P, 2010).
Isoterm tipe II, bentuk sigmoidal atau bentuk ‘S’ umumnya berhubungan dengan sorpsi lapisan tunggal-multi lapisan pada bahan dengan permukaan yang tidak berpori atau makropori. Isoterm tipe II dan IV menunjukkan pengikatan tertentu pada kelembaban rendah yang diikuti dengan absorpsi yang rendah pada kelembaban menengah, selanjutnya meningkat lagi pada kelembaban yang lebih tinggi. Adanya histeresis menunjukkan adanya mesopori dan umum terjadi pada isoterm tipe II dan IV (Sing, dkk., 1985 dalam Prasodjo P, 2010).
Berbeda dengan isoterm tipe IV, isoterm tipe II tidak memiliki penyerapan yang stabil pada aw yang tinggi. Isoterm tipe IV terjadi karena tertutupnya mesopori yang diikuti dengan kondensasi kapiler atau pengisian pori (Sing, dkk., 1985 dalam Prasodjo P, 2010).
Isoterm tipe III dan V menandakan adanya interaksi adsorban-absorbat yang lemah dan ditandai dengan penyerapan yang rendah pada kelembaban rendah dan terjadi peningkatan yang pesat pada kelembaban yang lebih tinggi. Isoterm tipe VI, isoterm bertingkat dimana terjadi sorpsi tingkat demi tingkat pada permukaan bahan tidak berpori yang seragam (Sing, dkk., 1985 dalam Prasodjo P, 2010).
10 Gambar 3.Klasifikasi Isoterm Sorpsi Uap Air dan Berbagai Bentuknya (Sing, dkk., 1985 dalam
Prasodjo P, 2010).
Kesetimbangan dari absorpsi uap air (dimulai dari keadaan kering) tidak sama persis dengan kesetimbangan yang dihasilkan dari desorpsi uap air (dimulai dari keadaan basah). Fenomena dari kandungan uap air yang berbeda dengan aw yang sama ini dikenal sebagai histeresis sorpsi uap air (moisture sorption hysteresis).
11
BAB III
METODOLOGI
1.1 Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan pada bulan April – Juni 2011 di laboratorium Pindah Panas dan Massa dan laboratorium Surya, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
1.2 Alat dan Bahan
3.2.1. Alat
Alat Pengering Climate Chamber
Alat pengering berakuisisi (Climate Chamber) memanfaatkan udara yang dipanaskan oleh elemen listrik berkapasitas 2000 W. Udara panas masuk ke dalam ruang pengering dengan suhu dan kelembaban tertentu yang dapat dikontrol sesuai yang diinginkan. Untuk mengontrol kelembaban digunakan humidifier. Udara panas yang basah dari ruang air heater akan didorong oleh blower ke dalam ruang pengering. Kecepatan udara yang masuk dalam ruang pengering dapat diatur dengan menarik atau mendorong tuas pada bagian flow controller. Apabila suhu dan kelembaban yang dicapai lebih tinggi daripada setpoint, maka dilakukan pembuangan kalor dan pembuangan uap air melalui dehumidifier yang memiliki efek pendinginan dan pengembunan. Untuk mencapai dan menjaga kondisi ruangan agar sesuai dengan setpoint, diimplementasikan dua buah subsistem kontrol yang independen yaitu kontrol suhu dan kelembaban.
Alat-alat Ukur 1. Pengukur Suhu
Digunakan termokopel type C-C untuk mengukur suhu larutan LiBr yang dihubungkan pada Chino Recorder Yokogawa tipe 3058 untuk membaca hasil pengukuran suhu selama proses penyerapan berlangsung.
2. Pengukur Massa
Menggunakan timbangan digital model AandD seri GF-3000 dengan kapasitas maksimum 3000 gram (termasuk baki bahan), dengan ketelitian 0.01 gram.
Cawan
Merupakan wadah untuk menampung larutan garam yang akan diuji dengan ukuran tinggi 2.5 cm dan diameter 11 cm
Gelas ukur dan pengaduk yang digunakan sebagai wadah untuk mencampurkan garam LiBr dan H2O
Alat tulis dan hitung
3.2.2. Bahan
Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu :
Garam LiBr
12
1.3 Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah laju penyerapan uap air larutan LiBr pada pendinginan absorpsi. Masing- masing larutan dengan konsentrasi yang berbeda-beda akan diuji pada ruang pengering berakuisisi (Climate Chamber) dengan mengatur terlebih dahulu suhu dan kelembaban udara sesuai dengan perlakuan yang dilakukan.
Tabel 1. Perlakuan penelitian pada masing-masing suhu yaitu 40oCdan 45oC: C (%) RH (%) 45 50 55 60 60 70 80
Perlakuan suhu 40 dan 45 diambil berdasarkan kondisi ruang absorber pada sistem pendingin absorpsi yaitu berkisar antra 30 – 45oC. Dari pengambilan data nantinya akan diperoleh 6 data dari perlakuan suhu 40oC dan 6 data dari suhu 45oC.
Tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini:
1. Pembuatan wadah pengujian larutan LiBr-H2O
Wadah larutan LiBr-H2O terbuat dari wadah berbahan plastik dengan ukuran tinggi 2.5 cm dan diameter 11 cm.
2. Persiapan Bahan
Pada tahapan persiapan bahan, terlebih dahulu pembuatan larutan absorban LiBr-H2O, dengan konsentrasi 45%, 50%, 55%, dan 60%. Perbandingan garam LiBr dan H2O untuk masing-masing konsentrasi berdasarkan perbandingan bobot per bobot, seperti pada tabel di bawah ini: Tabel 2. Pembuatan konsentrasi larutan absorban
Konsentrasi (%) Massa garam LiBr (gram) Massa H2O (gram)
60 60 40
55 55 45
50 50 50
45 45 55
3. Pengambilan Data Percobaan
1. Pengukuran suhu larutan menggunakan termokopel tipe C-C. Suhu larutan akan berubah selama proses penyerapan berlangsung. Hal ini dikarenakan perubahan suhu pada ruang pengering yang terjadi serta pengaruh uap air yang terjerat. Apabila suhu larutan semakin tinggi maka absorpsi uap akan berhenti.
2. Pengambilan data suhu dan kelembaban ruang pengering serta massa larutan (LiBr) dilakukan tiap 10 menit sekali selama proses pengujian berlangsung. Hal ini disesuikan dengan standar pengambilan data yang maksimum pada alat pengering Climate Chamber. 3. Penimbangan larutan dilakukan secara otomatis oleh mesin pengering Climate Chamber,
13
4. Pengukuran Daya Serap Uap Air Oleh Larutan LiBr
Pada tahap ini, masing-masing dari konsentrasi larutan akan di uji daya serapnya terhadap uap air disekitarnya. Larutan akan di masukkan ke alat pengering berakuisisi, kondisi di dalam ruang pengering dikondisikan sama dengan kondisi antara komponen evaporator dan absorber. Pengkondisiian uap air didalam ruangan dapat dilakukan dengan setting kelembaban dan suhu pada ruang pengering Climate Chamber. Pada larutan absorban juga akan dipasang sensor suhu menggunakan termokopel C-C yang dihubungkan dengan Chino Recorder, untuk mengukur perubahan suhu larutan selama proses penyerapan berlangsung. Dari percobaan yang dilakukan nantinya dapat dilihat apakah laju penyerapan larutan absorber berhubungan dengan perubahan suhu, konsentrasi, dan tekanan uap air.
uap air
Gambar 5. Ruang Climate Chamber
5. Menghitung laju penyerapan uap air
Laju penyerapan uap air dapat dihitung dengan persamaan dibawah ini:
LP =
12)
dimana:
LP : laju penyerapan uap air oleh larutan absorban (gram/menit) MGt: berat garam setelah penyerapan berlangsung (gram) MGa: berat garam sebelum penyerapan (gram)
t : lama penyerapan berlangsung (menit)
6. Perhitungan tekanan uap air/absorbat
Tekanan uap air dalam ruang pengering dapat dihitung dari persamaan: =
. × ( ) 13)
dimana:
Pu : tekanan uap air (mmHg)
x : perbandingan kelembaban (kg/kg udara kering) Pa : tekanan atmosfir (mmHg)
nilai x dapat diperoleh dari diagram psychrometric chart untuk nilai suhu dan kelembaban relatif yang diketahui dari pengambilan data.
7. Penentuan konsentrasi kesetimbangan larutan LiBr-H2O
Dalam penelitian ini data kesetimbangan larutan LiBr-H2O tidak tercapai sampai batas waktu yang ditentukan, maka untuk konsentrasi kesetimbangan dapat dihitung menggunakan persamaan garis liner pada grafik penurunan konsentasi larutan. Dimana dari 4 garis penurunan konsentrasi yaitu 45%, 50%, 55%s dan 60% diperoleh nilai kemiringan garis (slope) pada
14 masing-masing konsentrasi. Nilai slope tersebut kemudian diplotkan ke dalam grafik dengan persamaan garis linear, untuk mendapatkan nilai variabel dari persamaan:
m = a + bx 14)
Dimana m merupakan nilai slope (kemiringan garis), x merupakan konsentrasi kesetimbangan, a dan b merupakan variabel yang nilainya diperoleh dari persamaan garis linear pada grafik slope-konsentrasi.
Selain itu, penentuan konsentrasi kesetimbangan juga dapat dilakukan dengan menggunakan diagram P-T-X (tekanan-suhu-konsentrasi). Dengan memplotkan nilai tekanan uap air dan suhu larutan, sehingga perpotongan dari kedua garis tersebut merupakan besarnya konsentrasi kesetimbangan (larutan LiBr jenuh).
Berikut merupakan gambar diagram P-T-X:
Gambar 6. Diagram Tekanan-Suhu-Konsentrasi Larutan LiBr Jenuh
Konsentrasi larutan LiBr-H2O yang digunakan pada penitian ini dibatasi sampai konsentrasi 60%, dengan kisaran suhu 40oC hingga 45oC. Hal ini dikarenakan, konsentrasi larutan diatas 60% dengan kondisi suhu yang sama, maka larutan tersebut akan lebih mudah mengalami kristalisasi. Kristalisasi merupakan perubahan fasa larutan garam menjadi padatan pada suhu tertentu.
Konsentrasi
15
8. Menghitung jumlah absorbat yang terjerat pada permukaan adsorban saat kondisi kesetimbangan (Qe) dari data dan membandingkannya dengan Qe Model BET, Langmuir, dan Freundlich
= 15)
dimana:
Qe : jumlah absorbat yang terjerat pada permukaan absorban pada kondisi kesetimbangan (g absorbat/g absorban)
Ce : konsentrasi setimbang (g/ml) Co : konsentrasi awal (g/ml) m : massa absorban (g) V : volume uji larutan (ml)
Hasil perhitungan jumlah absorbat yang terjerat berdasarkan hasil perhitungan data akan dibandingkan dengan perhitungan menggunakan Model BET, Langmuir, dan Freundlich. Selain itu juga dilakukan perhitungan kesalahan dari Qe hitung dengan Qe mode l sorpsi isotermis, sehingga dapat ditentukan model sorpsi isotermis yang paling akurat dengan nilai persentase kesalahan yang lebih kecil. Untuk menghitung besarnya persantase kesalahan dapat dilakukan menggunakan persamaan berikut:
% ℎ = × 100% 16)
16 Prosedur penelitian dalam bentuk diagram alir disajikan pada gambar berikut :
Gambar 7. Diagram Alir Penelitian Dalam selang waktu 10 menit ukur Truang, RH, Tlarutan dan Massa larutan
selama 10 jam Mulai
Pembuatan larutan absorber (LiBr)
Setting RH dan T pengukuran pada
Climate Chamber
Pembuatan wadah larutan LiBr-H2O
Selesai
17
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Terjadinya proses absorpsi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tekanan absorbat, suhu absorbat, dan interaksi potensial antara absorbat dan absorban (Nishio Ambarita, 2008). Untuk itu dalam hal pengukuran laju penyerapan uap air oleh absorban harus memperhatikan beberapa faktor diatas, sehingga dalam prakteknya laju penyerapan uap air dalam sistem pendinginan dapat ditingkatkan. Pada penelitian ini dilakukan pengukuran laju penyerapan uap air oleh larutan absorban Litium Bromida dengan beberapa perlakuan, yaitu dengan kombinasi menggunakan suhu 40oC, kelembaban 70% pada masing-masing konsentrasi 45%, 50%, 55%, dan 60%, menggunakan suhu 45oC kelembaban 70% pada masing-masing konsentrasi 45%, 50%, 55%, 60%, serta kombinasi kelembaban 60%, 70%, 80% pada suhu 40oC dan 45oC dengan konsentrasi 50%. Sehingga diperoleh total data sebanyak dua belas data.
4.1 Laju Penyerapan Uap Air pada Parameter Konsentrasi LiBr
Tabel 3 menunjukkan, semakin tinggi konsentrasi larutan LiBr-H2O maka akan semakin tinggi pula laju penyerapan absorbat oleh larutan absorban. Ini dikarenakan pada konsentrasi yang tinggi, jumlah molekul-molekul garam yang terkandung dalam volume larutan yang sama lebih banyak, sehingga kapasitas untuk menyerap absorbat lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi yang lebih rendah. Selain itu konsentrasi yang tinggi juga akan menimbulkan tekanan larutan yang lebih rendah, sehingga proses absorpsi dari uap air yang bertekanan tinggi terhadap larutan absorban yang bertekanan rendah akan lebih cepat.
Tabel 3. Pengaruh konsentrasi larutan LiBr terhadap laju penyerapan uap air
Gambar 8. Grafik pengaruh konsentrsi larutan LiBr terhadap laju penyerapan uap air y = 1,39E-03x - 5,44E-02 R² = 9,79E-01 y = 1,04E-03x - 3,91E-02 R² = 9,88E-01 0,00 0,01 0,02 0,03 0,04 30 40 50 60 70 La ju p e n y e r a p a n (g /m e n it) Konsentrasi LiBr (%) T=40, RH=70% T=45, RH=70% Perlakuan Konsentrasi LiBr-H2O (%)
Laju penyerapan (g/menit) T=400C, RH=70%
Laju penyerapan (g/menit) T=450C, RH=70%
60 0.030 0.024
55 0.020 0.017
50 0.016 0.012
18 Dalam penelitian ini digunakan dua perlakuan suhu yaitu suhu 40oC dan suhu 45oC pada setiap pengujian larutan LiBr. Suhu merupakan salah faktor yang mempengaruhi berlangsungnya proses absorpsi. Semakin rendah suhu maka laju absorpsi akan meningkat. Pemilihan penggunaan suhu yang dilakukan pada penelitian ini berdasarkan kondisi suhu komponen absorber pada sistem pendingin absorpsi. Suhu didalam komponen absorber berada pada kisaran 30oC - 45oC, namun dalam penelitian ini dibatasi hanya menggunakan suhu 40oC dan 45oC.
Gambar 8 menunjukkan pengaruh konsentrasi larutan LiBr terhadap laju penyerapan uap air. Dari grafik dapat dilihat bahwa perbedaan konsentrasi dari masing-masing larutan absorban akan mempengaruhi laju penyerapannya. Pada konsentrasi dan kelembaban yang sama namun suhu yang berbeda (40oC dan 45oC) akan terlihat jelas bahwa suhu yang lebih rendah akan meningkatkan laju absorpsi pada masing-masing konsentrasi larutan absorban, namun pada suhu yang lebih tinggi akan terjadi peristiwa sebaliknya. Hal ini dikarenakan peningkatan suhu akan memanaskan uap air yang berada dalam ruang, sehingga terjadi pemuaian udara yang mengakibatkan semakin renggangnya volume udara. Sehingga jumlah absorbat/uap air yang dapat diserap oleh larutan absorban itu sendiri akan semakin kecil. Persamaan garis linear pada Gambar 8 untuk suhu 40oC dan 45oC, diperoleh besarnya koefisien relasi antara laju penyerapan LiBr dengan konsentrasi larutan LiBr sebesar 0.979 pada suhu 40oC dan 0.988 pada suhu 45oC. Nilai koefisien determinasi yang diperoleh pada kedua suhu hampir mendekati satu. Hal ini menunjukkan bahwa variabel x (konsentrasi) akan mempengaruhi variabel y (laju penyerapan larutan LiBr), dimana kedua variabel tersebut saling berbanding. Dilihat dari besarnya nilai kemiringan garis dari grafik diatas menunjukkan bahwa, pada suhu 40oC diperoleh kemiringan yang lebih besar yaitu 0.00139 dibanding dengan suhu 45oC yaitu sebesar 0.00104. Besarnya nilai kemiringan garis pada suhu 40oC menunjukkan bahwa terjadi peningkatan laju penyerapan yang sangat cepat dengan adanya peningkatan konsentrasi.
Selama terjadinya proses absorpsi, jumlah absorbat akan semakin meningkat pada larutan absorban, kondisi ini akan menurunkan konsentrasi larutan absorban, atau dengan kata lain terjadi proses pengenceran pada larutan absorban. Penurunan konsentrasi yang diakibatkan oleh penambahan absorbat selama proses absorpsi, akan menurunkan kemampuan absorpsi uap air hingga larutan mencapai kondisi setimbang. Konsentrasi kesetimbangan merupakan fungsi dari suhu dan kelembaban relatif dari pengukuran. Pada konsentrasi yang berbeda, namun suhu dan kelembabannya sama, maka besarnya konsentrasi kesetimbangan pada masing-masing konsentrasi yang tercapai akan sama besar. Pada saat absorbat terjerat dalam larutan absorban maka akan terjadi pembebasan sejumlah energi, dan hal ini disebut dengan peristiwa eksotermis. Peristiwa eksotermis merupakan peristiwa pelepasan panas ke lingkungannya. Terjadinya peningkatan suhu pada larutan absorban juga akan mengurangi laju absorpsi uap air. Hal ini dikarenakan, peningkatan suhu larutan juga akan meningkatkan tekanan larutan. Untuk itu dalam sistem pendingin absorpsi biasanya dilengkapi dengan air pendingin untuk mendinginkan komponen absorber, agar penyerapan uap air dari komponen evaporator tidak terhenti.
19
4.2 Laju Penyerapan Uap Air pada Parameter Kelembaban dan Tekanan
Hasil dari perlakuan dengan menggunakan kelembaban yang berbeda yaitu 60%, 70%, dan 80% pada masing-masing suhu 40oC dan 45oC menunjukkan pengaruh kelembaban yang tinggi akan meningkatkan laju penyerapan uap air. Kelembaban adalah suatu istilah yang berkenaan dengan kandungan air di dalam udara. Udara dikatakan mempunyai kelembaban yang tinggi apabila uap air yang dikandungnya tinggi, begitu juga sebaliknya. Secara matematis, kelembaban dihubungkan sebagai rasio berat uap air di dalam suatu volume udara dibandingkan dengan berat udara kering (udara tanpa uap air) di dalam volume yang sama. Pada Gambar 9, dapat dilihat pada pengaruh kelembaban bahwa semakin tinggi kelembabannya maka akan meningkatkan laju penyerapan uap air oleh absorban. Grafik pengaruh antara konsentrasi dan laju penyerapan pada suhu 40oC cenderung lebih baik, dimana dapat dilihat bahwa koefisien determinasi pada suhu 40oC lebih tinggi yaitu sebesar 0.996, sedangkan pada suhu 45oC nilai koefisien determinasiya lebih rendah yaitu sebesar 0.990. Besarnya nilai koefisien determinasi (R2) menunjukkan bahwa, faktor dari besarnya kelembaban akan mempengaruhi nilai yang akan dicapai oleh laju penyerapan. Sehingga dapat dikatakan bahwa laju penyerapan memiliki hubungan yang positif terhadap kelembaban relatif. Tabel 4. Pengaruh kelembaban relatif terhadap laju penyerapan uap air
Gambar 9. Grafik pengaruh kelembaban terhadap laju penyerapan uap air
Untuk menghitung tekanan uap air/absorbat yang ditimbulkan dari perlakuan kelembaban dapat dihitung menggunakan persamaan 13. Dari persamaan ini terlebih dahulu ditentukan nilai x atau perbandingan kelembaban (humidity ratio) masing-masing suhu dan kelembaban dalam setiap pengukuran dengan menggunakan diagram psychrometric chart seperti seperti pada Gambar 10, dengan memasukkan data suhu dan kelembaban hasil pengukuran pada selang waktu 10 menit selama 10 jam. Misalnya pada pengukuran dipengukuran diperoleh data kelembaban 70% dan suhu sebesar
y = 9,00E-04x - 4,63E-02 R² = 9,96E-01 y = 8,50E-04x - 4,65E-02 R² = 9,90E-01 0,000 0,005 0,010 0,015 0,020 0,025 0,030 30 40 50 60 70 80 90 La ju p e n y e r a p a n (g /m e n it) Kelembaban relatif (%) Pada suhu 40 Pada suhu 45 Perlakuan RH (%)
Laju penyerapan (g/menit) T=40, C=50%
Laju penyerapan (g/menit) T=45, C=50%
80 0.026 0.022
70 0.016 0.012
20 45oC. Kemudian data tersebut diplotkan kedalam diagram psychrometric chart, dan titik perpotongan antara suhu dan kelembaban diperoleh nilai x (humidity ratio) sebesar 32 g/kg udara kering atau sama dengan 0.032 kg/kg udara kering.
Nilai x (humidity ratio) digunakan dalam perhitungan tekanan uap air pada persamaan dibawah ini:
=
0.6220 + × ( )
.
Gambar 10. Diagram Psychrometric Chart
Kelembaban, suhu dan tekanan saling berbanding lurus, dimana semakin tinggi kelembaban dan suhu maka besarnya tekanan uap air yang ditimbulkan pada suatu ruangan juga akan meningkat. Selama proses absorpsi, harus dikondisikan perbedaan antara tekanan uap air dan tekanan larutan absorban. Agar proses absorbsi berjalan dengan baik, maka tekanan larutan absorban harus lebih rendah dibandingkan tekanan uap air disekitar larutan.
Berikut merupakan Tabel dan Grafik pengaruh tekanan terhadap laju penyerapan, pada perlakuan suhu 40oC dan 45oC dengan masing-masing kelembaban 60%, 70% dan 80%. Tabel 5 dan 6 menunjukkan bahwa, kelembaban yang tinggi akan meningkatkan tekanan uap airnya pada kondisi suhu yang sama, demikian pula sebaliknya. Selain kelembaban, kondisi suhu juga mempengaruhi tekanan uap airnya. Dimana pada suhu 45oC tekanan uap air yang dihasilkan lebih besar dibandingkan dengan suhu 40oC.
Tabel 5. Pengaruh tekanan uap air terhadap laju penyerapan pada suhu 40oC
Suhu 40oC
Kelembaban relatif (%) Tekanan uap air (kPa) Laju penyerapan (g/menit)
60 4.35 0.008
70 5.07 0.016
80 5.79 0.026
21 Tabel 6. Pengaruh tekanan terhadap laju penyerapan pada suhu 45oC
Suhu 45oC
Kelembaban relatif (%) Tekanan uap air (kPa) Laju penyerapan (g/menit)
60 5.56 0.005
70 6.63 0.012
80 7.27 0.022
Gambar 11. Grafik pengaruh tekanan terhadap laju penyerapan uap air pada suhu 40oC dan 45oC Pengaruh tekanan uap air terhadap laju penyerapan pada suhu 40oC dan 45oC dapat dilihat pada Gambar 11. Garis pada suhu 40oC memiliki nilai koefisien determinsai yang lebih tinggi dibandingkan pada suhu 45oC. Namun jika dilihat secara keseluruhan, koefisien determinasi pada kedua garis diatas hampir mendekati nilai satu. Hal ini menunjukkan bahwa tekanan uap air sangat mempengaruhi laju penyerapan larutan LiBr terhadap uap air disekitarnya. Kemiringan garis pada suhu 40oC terlihat lebih besar jika dibandingkan dengan kemiringan garis pada suhu 45oC, yaitu sebesar 0.0125 pada suhu 40oC dan 0.00959 pada suhu 45oC. Semakin besar kemiringannya maka garis dari persamaan diatas terlihat lebih curam, dan hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan laju penyerapan yang cepat pada suhu 40oC jika dibandingkan pada suhu 45oC.
y = 1,25E-02x - 4,67E-02 R² = 9,96E-01 y = 9,59E-03x - 4,92E-02 R² = 9,41E-01 0,000 0,005 0,010 0,015 0,020 0,025 0,030 0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 La ju p e n y e r a p a n (g /m e n it)
Tekanan uap air (kPa)
Pada suhu 40 Pada suhu 45
22