• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 Kapal long line

Pemasangan conveyor Pembongkaran madidihang

Mobil boks berpendingin Kondisi boks mobil sebelum diisi es

Plastik pembungkus madidihang Plastik pembungkus madidihang dibuka

Tempat untuk meletakkan madidihang dari laut

Alat penyedot air

2 Kapalpancing tonda

Palka fiber Palka fiber diisi es curah

Balok kayu (taber) untuk meletakkan pancing tonda

3 Kondisi madidihang

Tampilan madidihang yang didaratkan kapal long line (tampilan cemerlang, minim goresan)

Tampilan madidihang yang didaratkan kapal pancing tonda (tampilan kurang cemerlang, terdapat banyak goresan)

mengelupas yang didaratkan kapal pancing tonda

Goresan pada bagian bawah insang madidihang

Goresan pada batang ekor madidihang

Goresan pada tutup insang madidihang Kulit madidihang mengelupas mendekati sirip punggung pertama

Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu Sukabumi Jawa Barat. Dibimbing oleh SUGENG HARI WISUDO dan JOHN HALUAN.

Madidihang merupakan komoditas unggulan di PPN Palabuhanratu, penangkapan madidihang di PPN Palabuhanratu menggunakan kapal long line dan kapal pancing tonda. Pada kedua kapal menerapkan perlakuan yang berbeda saat melakukan penanganan madidihang sebagai hasil tangkapannya, sehingga menentukan kualitas madidihang. Penelitian ini mengarah pada pengamatan fisik madidihang dari kedua kapal dengan mengamati penanganan madidihang yang diterapkan pada kapal long line dan kapal pancing tonda, kemudian mengamati pengaruh penanganan terhadap mutu madidihang yang didaratkan dan selanjutnya menentukan penanganan yang tepat untuk kapal penangkap di PPN Palabuhanratu. Metode yang digunakan adalah: uji organoleptik, peta kendali, diagram pareto, dan diagram sebab akibat. Pengamatan pada beberapa bagian tubuh madidihang yang didaratkan kapal long line dengan menggunakan uji organoleptik, mata madidihang memiliki nilai rata-rata 7,6, dinding perut 8,45, konsistensi 9,dan bau 8. Uji organoleptik pada madidihang yang didaratkan kapal pancing tonda, mata madidihang memiliki nilai rata-rata 7,6, dinding perut 7,6, konsistensi 8 dan bau 8. Penanganan yang diterapkan kapal long line lebih baik berdasarkan pada tampilan madidihang yang lebih cemerlang sera minim goresan dan proporsi cacatnya (berdasarkan pada bobot madidihang kurang dari 17 kg) lebih kecil, sebesar 5% daripada kapal pancing tonda, tampilan kurang cemerlang dan terdapat banyak goresan pada tubuh madidihang yang didaratkan dan proporsi cacatnya lebih besar (berdasarkan pada bobot madidhang kurang dari 17 kg), yaitu 27%.

MUHAMMAD REZKI

MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wilayah Indonesia berada di antara dua wilayah penangkapan yang banyak memiliki sumberdaya perikanan seperti tuna. Stok ikan tuna di perairan Indonesia berada di barat Sumatra, selatan Jawa, Bali, lalu Nusa Tenggara, Laut Banda, Laut Flores, kemudian Selat Makassar, Laut Maluku, Teluk Tomini, Laut Sulawesi, utara Irian Jaya, dan Laut Arafura. Khusus wilayah perairan Indonesia timur, spesies di wilayah ini lebih beragam karena merupakan bagian dari wilayah penangkapan Samudera Pasifik bagian barat (Suharno & Santoso, 2008).

Salah satu komoditi unggulan perikanan yang diekspor Indonesia adalah ikan tuna. Ikan tuna memiliki beberapa jenis diantaranya yakni tuna sirip kuning

(madidihang), albakora (albacore), tuna mata besar (bigeye), tuna sirip biru

(bluefin), tuna sirip biru selatan (southern bluefin). Salah satu produk tuna yang paling banyak diekspor Indonesia adalah madidihang segar.

Salah satu produk tuna yang paling banyak diekspor Indonesia adalah madidihang segar. Madidihang segar merupakan salah satu komoditi utama dalam perdagangan hasil perikanan dunia. Secara garis besar pasar madidihang segar dunia terbagi dalam empat pasar, yaitu Jepang, Amerika Serikat, Uni Eropa dan diluar ketiga wilayah tersebut. Pasar impor madidihang segar dunia masih tergantung pada tiga pasar besar, yaitu Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Pasar Jepang merupakan pasar terbesar dunia untuk komoditi madidihang segar sedangkan pemasok utama madidihang segar Jepang adalah Indonesia (Suharno & Santoso, 2008).

Jepang merupakan negara tujuan utama ekspor madidihang segar Indonesia yang mempunyai nilai paling besar yaitu sebesar USD 26.524.050 pada tahun 2004, sedangkan pada tahun 2005 sebesar USD 18.431.574 dan pada tahun 2006 menjadi USD 23.600.760 dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa sebagai negara importir madidihang segar Indonesia (Suharno & Santoso, 2008).

Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu memiliki dua komoditas unggulan utama, salah satu diantaranya adalah madidihang. Hasil

madidihang banyak didistribusikan ke Jakarta untuk dicek kualitasnya, sekaligus diekspor ke berbagai negara. Hasil tangkapan madidihang membutuhkan penanganan yang tepat agar tetap terjaga kesegaran dan kualitasnya, hal ini disebabkan karena madidihang segar mempunyai mutu yang sangat labil, namun permasalahanya adalah terdapat perbedaan dalam penanganan madidihang di PPN Palabuhanratu, ini dapat dilihat dari beberapa kapal penangkap madidihang seperti

kapal long line dan kapal pancing tonda. Pada setiap kapal memiliki cara masing-

masing dalam penanganan madidihang sehingga menghasilkan mutu yang berbeda pula.

Berdasarkan masalah-masalah tersebut di atas, maka perlu untuk melakukan penelitian mengenai penanganan ikan tuna khususnya madidihang secara benar dan berdasarkan standar penanganan yang telah baku. Oleh karena itu maka dilakukan penelitian tentang “Analisis Penanganan Madidihang di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu, Jawa Barat, Sukabumi”.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan :

1 Mengidentifikasi penanganan yang diterapkan pada kapal penangkap

madidihang di PPN Palabuhanratu.

2 Menentukan pengaruh penanganan terhadap mutu madidihang yang didaratkan di PPN Palabuhanratu.

3 Menentukan bentuk penanganan yang tepat pada kapal penangkap madidihang di PPN Palabuhanratu.

1.3 Manfaat

Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :

1 Memberikan gambaran proses penanganan madidihang saat di kapal dan

saat di pelabuhan.

2 Memberikan informasi mengenai penanganan madidihang saat di kapal dan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Umum Madidihang (Thunnus albacares) 2.1.1 Klasifikasi dan deskripsi

Ikan tuna sirip kuning atau madidihang (Thunnus albacares) merupakan

ikan pengembara samudera, mengarungi samudera dengan bergerombol. Madidihang merupakan perenang cepat karena bentuk tubuhnya yang dinamis. Madidihang dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.

Gambar 1 Ikan tuna sirip kuning ( Thunnus albacares)

Menurut Ditjen (1990) ikan tuna sirip kuning atau madidihang dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Pisces Ordo : Percomorphi Famili : Scombridae Genus : Thunnus

Spesies : Thunnus albacares

Madidihang memiliki ciri-ciri yaitu bentuk badan yang memanjang, bulat seperti cerutu. Tapisan insang 26-34 pada busur insang pertama. Memiliki dua cuping/lidah di antara kedua sirip perutnya. Jari-jari keras sirip punggung pertama 13-14, dan 14 jari-jari lemah pada sirip punggung kedua, diikuti 8-10 jari sirip tambahan. Kemudian sirip dubur berjari-jari lemah 14-15, lalu 7-10 jari-jari sirip tambahan. Satu lunas kuat pada batang sirip ekor diapit dua lunas kecil pada

   

sangat panjang, sirip dada cukup panjang. Badan bersisik kecil-kecil, korselet (jalur sisik khusus yang mengelilingi badan di daerah sekitar sirip dada) bersisik agak besar tetapi tidak nyata. Termasuk ikan buas, predator, karnivor, dapat mencapai 195 cm, umumnya 50-150 cm, hidup bergerombol kecil (Ditjen, 1990).

Warna tubuh madidihang bagian atas berpadu antara hitam dan keabu- abuan, kuning perak pada bagian bawah, sirip-sirip punggung, perut. Sirip tambahan kuning cerah berpinggiran gelap. Pada perut terdapat kurang lebih 20 garis putus-putus warna putih pucat melintang (Ditjen,1990).

2.1.2 Habitat dan daerah penyebaran

Setiap jenis ikan tuna mempunyai kebiasaan/kesukaan pada suhu air laut yang berbeda-beda, sehingga untuk menentukan daerah penangkapan tuna harus disesuaikan dengan suhu air sesuai dengan jenis ikan tuna yang akan ditangkap, sedangkan madidihang menyukai suhu perairan yang hangat seperti laut tropis (Partosuwiryo, 2008).

Beberapa jenis tuna lainnya seperti bluefin sering dijumpai pada laut

subtropis dan laut dengan suhu seperti di Samudera Pasifik Utara dan Samudera

Atlantik Utara, sedangkan daerah ruaya bluefin biasanya melalui Samudera

Atlantik. Pada bigeye banyak ditemukan pada perairan bersuhu hangat di Atlantik

dan Samudera Pasifik. Ikan tuna jenis ini memiliki sifat begerombol, ikan pelagis besar, diperkirakan spesies ini pada musim migrasi dapat melakukan perjalanan yang panjang untuk mencapai tempat yang cocok untuk makan dan berkembang

biak. Gerombolan bigeye biasanya berenang pada lautan dalam pada siang hari,

sedangkan gerombolan madidihang, bluefin, dan jenis tuna lainnya berenang pada

permukaan perairan tepatnya pada perairan bersuhu hangat (Schultz, 2004). Menurut Laevastu (1981), daerah penangkapan tuna yang baik terdapat pada samudera di sekitar garis khatulistiwa dengan kondisi laut yang memiliki pergolakan arus dari bawah laut menuju permukaan dimana banyak membawa makanan untuk ikan-ikan kecil. Pada Gambar 2 akan disajikan hubungan antara

Keterangan : = Suhu (oC) penyebaran

= Suhu (oC) penangkapan

= Suhu (oC) optimum untuk penangkapan Gambar 2 Hubungan suhu air laut dengan suhu adaptasi beberapa jenis tuna

Penyebaran madidihang di Indonesia sendiri terletak pada bagian barat Samudera Pasifik Tengah, Laut Banda, kemudian Laut Sulawesi, Samudera Indonesia, lalu Selat Sunda, Laut Maluku, Barat Sumatera, dan Samudera Hindia (Ditjen,1990).

2.2 Sifat Alami Madidihang Segar

Sebagai sumber pangan, madidihang mengandung air dalam deret 70 sampai 80%, protein antara 18% sampai 20%, lemak antara 0,5% sampai lebih dari 20%, serta berbagai vitamin dan mineral. Sesudah ditangkap dan mati, secara keseluruhan madidihang akan mengalami proses penurunan mutu (proses deteriorasi), baik disebabkan oleh faktor-faktor intern (dalam tubuh madidihang) maupun faktor ekstern (lingkungan) yang menjurus pada penurunan mutu (Ilyas, 1983).

Mengingat ikan tuna segar khususnya madidihang mempunyai mutu yang sangat labil, maka untuk mempertahankan kesegaran awal selama mungkin, maka penangananya harus tangkas, cepat dan teliti, kemudian ikan secepatnya

didinginkan dengan cara menyelimuti tubuh ikan dengan es hancuran (crush iced)

atau es kepingan (flake iced). Pada kapal-kapal yang yang dilengkapi sistem

10o C 15o C 20o C 25o C 30o C 35o C

Bluefin 

Bigeye 

Madidihang 

disimpan dalam palka air laut dingin. Biasanya setiap kapal dilengkapi dengan alat pengontrol suhu sehingga suhu di palka dapat diatur sedemikian rupa sekitar

0oC (Bahar & Bahar,1991).

2.3 Definisi Mutu

Mutu merupakan totalitas dari karakteristik suatu produk yang menunjang kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan yang dispesifikasikan. Mutu sering diartikan sebagai segala sesuatu yang memuaskan pelanggan terhadap persyaratan atau kebutuhan yang diberikan oleh pelanggan (Gaspersz, 1997). Menurut Nasution (2004), mutu adalah sesuatu yang memenuhi atau sama

dengan persyaratan (conformance to recuirements). Komoditas ikan yang sedikit

saja dari persyaratan, maka dapat dikatakan tidak berkualitas dan dapat ditolak oleh perusahaan yang menjadi tujuan distribusi. Persyaratan itu sendiri dapat berubah sesuai dengan keinginan pelanggan, dan kebutuhan sebuah perusahaan.

2.3.1 Penentuan mutu tuna layak ekspor

Ikan tuna dalam perdagangannya dikelompokkan menurut standar atau mutu

daging yang terbagi menjadi empat tingkat mutu yaitu grade A, B, C, dan D.

Pengujian tingkatan mutu ikan dilakukan dengan cara menusukkan coring tube

yaitu suatu alat berbentuk batang, tajam, dan terbuat dari besi. Coring tube

dimasukkan pada kedua sisi ikan (bagian belakang sirip atau ekor kanan dan kiri,

sehingga didapatkan potongan daging ikan tuna. Mutu dengan grade A (terbaik)

diekspor ke Jepang, grade B dan C biasanya diekspor ke Amerika dan Uni Eropa,

sedangkan grade C dan D dipasarkan lokal. Ciri-ciri untuk masing-masing grade

adalah sebagai berikut (Fadly diacu dalam Cahya, 2010): 1 Grade A

Ciri-ciri ikan tuna grade A adalah sebagai berikut:

1) Warna daging untuk madidihang tuna adalah merah seperti darah segar dan

untuk bigeye tuna dagingnya berwarna merah tua seperti bunga mawar, serta

2) Mata bersih, terang, dan menonjol; 3) Kulit normal, warna bersih, dan cerah;

4) Tekstur daging untuk madidihang tuna keras, kenyal, dan elastis dan untuk bigeye tuna dagingnya lembut, kenyal dan elastik;

5) Kondisi ikan (penampakannya) bagus dan utuh. 2 Grade B

Ciri-ciri ikan tuna grade B adalah sebagai berikut:

1) Warna daging merah, terdapat pelangi otot daging agak elastis, jaringan daging tidak pecah;

2) Mata bersih, terang dan menonjol;

3) Kulit normal, bersih, dan sedikit berlendir; 4) Tidak ada kerusakan fisik.

3 Grade C

Ciri-ciri ikan tuna grade C adalah sebagai berikut:

1) Warna daging kurang merah dan ada pelangi; 2) Kulit normal dan berlendir;

3) Otot daging kurang elastis;

4) Kondisi ikan tidak utuh atau cacat, umumnya pada bagian punggung atau dada. 4 Grade D

Cirri-ciri ikan tuna grade D adalah sebagai berikut:

1) Warna daging agak kurang merah dan cenderung berwarna coklat dan pudar; 2) Otot daging kurang elastis, lemak sedikit dan ada pelangi;

3) Teksturnya lunak dan jaringan daging pecah;

4) Terjadi kerusakan fisik pada tubuh ikan, seperti daging ikan yang sudah sobek, mata ikan yang hilang, dan kulit terkelupas.

2.4 Kapal Penangkap Madidihang di PPN Palabuhanratu

Ikan tuna sirip kuning atau lebih dikenal dengan madidihang merupakan ikan komoditas unggulan yang memiliki nilai ekonomis tinggi di pasar internasional, hal ini karena madidihang sangat diminati oleh negara-negara maju, tidak terkecuali dengan negara yang berjulukan negeri sakura yaitu Jepang.

madidihang baik dari ukuran 10 GT maupun kapal yang berukuran 250 GT.

PPN Palabuhanratu memiliki dua kapal penangkap utama ikan tuna sirip

kuning (madidihang), yaitu kapal long line dan kapal pancing tonda. Kedua kapal

tersebut sangat mendominasi dalam mendaratkan hasil tangkapan seperti madidihang ke PPN Palabuhanratu.

2.4.1 Kapal long line

1 Deskripsi kapal long line

Menurut Partosuwiryo (2008) kapal rawai tuna atau kapal long line adalah

kapal yang dipergunakan untuk menangkap ikan tuna menggunakan pancing (Lampiran 4), seperti ikan tuna sirip kuning, tuna mata besar, marlin, albakor,

tuna sirip biru, dan ikan layaran. Pengoperasian kapal long line dilakukan di

daerah perairan laut yang dalam dan lepas pantai atau samudera (lautan lepas), selain melakukan kegiatan penangkapan, kapal rawai tuna juga berfungsi sebagai kapal pengangkut ikan.

Pengoperasian kapal long line berlangsung kurang lebih selama 40-70 hari

operasi atau lebih sehingga kapal long line memerlukan fasilitas anak kapal

(ruang akomodasi). Dalam rancang bangunan kapal (ruang akomodasi). Dalam

rancang bangun kapal long line terdapat ruang gudang peralatan (boatsman store)

di bagian haluan kapal, ruang akomodasi anak kapal di bagian buritan, dan ruang

penanganan hasil tangkapan ikan di bagian tengah kapal. Kapal long line

dilengkapi dengan ruang pendingin atau penyimpan ikan bersuhu mencapai

– 60oC untuk menjamin kesegaran ikan dalam periode waktu yang cukup lama.

Ukuran kapal-kapal rawai tuna yang beroperasi di daerah perkapan perairan laut Indonesia berkisar 100-250 GT (Partosuwiryo, 2008).

Pada bagian kanan depan terdapat line hauler dan jembatan bertangga untuk

memudahkan pengangkatan ikan ke atas. Setelah penarikan gulungan tali ditempatkan pada dek bagian muka bersama pelampung. Meja ikan hasil tangkapan diletakkan pada bagian buritan dimana tali dipasang (Fyson, 1985).

2 Umpan dan alat tangkap

Sebelum kegiatan penangkapan dimulai yang perlu diperhatikan ialah adanya umpan. Umpan ini terdiri dari ikan-ikan berukuran sekitar 15 cm atau

kadang lebih, seperti lemuru (Sardinella longicep), belanak (Mullet), layang

(Decapterus spp), kembung (Rastrelliger spp), bandeng (Chanos-chanos), Pasifik

Saury (Cololabis saira). Untuk umpan-umpan yang baik umumnya bercirikan

penampang bulat atau gilik dan memiliki warna mengkilat menarik (Subani & Barus, 1989).

Menurut (Partosuwiryo, 2008) bagian-bagian alat tangkap kapal long line

secara umum (Lampiran 6) adalah sebagai berikut :

1) Tali utama

Tali utama adalah tempat bergantungnya tali cabang. Tali utama harus dibuat dari bahan yang kuat. Biasanya dipergunakan kuralon atau kremon dengan ukuran garis tengah 8 mm.

Tali utama pada tiap-tiap pancing untuk rawai besar merupakan tali tersendiri yang nantinya disambung-sambung. Pada rawai kecil, panjang satu tali utama dapat mencapai ratusan meter. Batas antartali cabang dapat dibuat simpul kupu-kupu sebagai tempat bergantungnya tiap-tiap tali cabang. Pada rawai besar satu tali utama hanya berisi satu pancing, sedangkan pada rawai kecil, satu tali utama dapat berisi berpuluh-puluh tali pancang (pancing).

2) Tali cabang

Panjang tali cabang tidak boleh dari setengah kali panjang tali utama atau jarak antara tali cabang yang menggantung pada tali utama. Hal tersebut bertujuan agar tidak terjadi saling kait (kekusutan) antar tali cabang. 3) Pancing

Ukuran pancing yang digunakan adalah pancing nomor 04, 05, dan 06 untuk rawai kecil, sedang rawai besar digunakan pancing nomor 01-03. Pancing terbuat dari baja dan dilapisi timah putih.

4) Tali pelampung

Panjang tali pelampung disesuaikan dengan kedalaman yang diinginkan selama operasi. Pada rawai besar yang operasinya di lapisan

dioperasikan di lapisan dasar, biasanya digunakan rawai kecil, panjang tali pelampunya disesuaikan dengan kedalaman perairan tempat rawai tersebut dioperasikan.

5) Pelampung

Bahan pelampung yang baik terbuat dari bola kaca, oleh karena itu

biasanya disebut pelampung kaca atau glass buoy. Bahan pelampung lain

yang digunakan, yaitu pelampung berbahan polyethylene (PE). Ukuran garis

tengah untuk pelampung kaca 30-35 cm dan tebal kaca 5-7 mm.

6) Tiang bendera

Pada pelampung umunya diikatkan bendera yang berwarna kontras dengan keadaan di laut (biasanya merah) untuk mengetahui keberadaan pelapung diperairan setelah rawai dioperasikan. Untuk mengikatkan bendera tersebut diperluklan tiang, umunya dari bambu sehingga sering disebut tiang

bendera atau bamboo pole. Panjang tiang bendera kurang lebih 5-7 m

dengan ukuran garis tengah pada pangkal bambu 3-3,5 cm. Bendera diikatkan pada ujung bambu.

7) Kili-kili

Pemasangan kili-kili (swivel) pada rawai adalah suatu keharusan. Hal

tersebut bertujuan agar tali utama maupun rangkaian tali cabang tidak membelit (kusut). Fungsi kili-kili sebagai pemberat dan tali cabang tidak mudah putus.

8) Pemberat

Pemberat dipasang pada bagian bawah tiang bendera. Tujuan pemasangan pemberat agar bendera dan pelampung tanda dapat berdiri tegak karena mengimbangi gaya apung yang ada.

3 Metode penangkapan

1) Pelepasan rawai

Sebelum melakukan operasi penangkapan, seluruh perlengkapan harus dipersiapkan. Basket-basket diatur dengan rapi dan ditempatkan sedemikian rupa, begitu juga pelampung, bendera, umpan, dan perlengkapan lain. Umumnya, satu set rawai disebut dengan satu basket. Istilah basket telah menjadi istilah umum

alat penangkapan menggunakan rawai yang menyatakan jumlah rawai satu set dengan jumlah pancing tertentu. Kata basket dapat pula berarti keranjang, hal tersebut mungkin karena setelah opersai selesai, rawai digulung dan diangkat, kemudian dimasukkan ke dalam keranjang. Tiap-tiap set diikat sehingga satu ikatan rawai disebut satu basket (Partosuwiryo, 2008).

Setelah persiapan selesai, langkah selanjutnya adalah Anak Buah Kapal (ABK) mengambil posisi masing-masing sesuai dengan tugasnya, sementara itu kecepatan kapal dikurangi 3-4 mil/jam, lalu diikuti dengan pelepasan pancing. Secara garis besar kegiatan pelepasan pancing adalah sebagai berikut : mula-mula pelampung dan tiang bendera dilepas beserta tali pelampungnya, kemudian tali utama dan akhirnya tali cabang yang diikuti mata pancing yang telah diberi umpan. Tali utama tersebut kemudian dilepas dan begitu seterusnya sampai yang terakhir untuk disambungkan dengan satuan rawai berikutnya melalui tali sepotong (Subani & Barus, 1989).

2) Penarikan rawai

Penarikan rawai dilakukan 5-6 jam kemudian setelah pelepasan pancing. Biasanya dimulai jam 12.00 dan selesai menjelang matahari terbenam. Penarikan

pancing dilakukan dari bagian depan kapal dengan bantuan alat penarik (line

hauler) dalam melakukan penarikan ini dibagi juga menjadi beberapa kegiatan seperti halnya pada waktu pelepasan dan merupakan suatu sistem yang satu dengan lainnya berkaitan erat dan seirama. Secara garis besar kegiatan penarikan pancing secara berurut dimulai dari tiang bendera, pelampung, tali pelampung serta pemberat diangkat ke atas geladak kapal, lalu tali utama, tali cabang, beserta mata pancing dan begitu seterusnya sampai keseluruhan satuan pancing terangkat ke atas geladak kapal. Pada mata pancing ada ikan yang tertangkap, pengambilan ikan ke geladak kapal biasanya dilakukan oleh tiga orang, tergantung besar kecilnya ikan yang tertangkap (Subani & Barus, 1989).

2.4.2 Kapal pancing tonda

1 Dekripsi kapal pancing tonda

Perahu yang digunakan oleh nelayan pancing tonda di Palabuhanratu (Lampiran 5) adalah perahu tempel dari jenis congkreng (bercadik) yang memiliki

tonda umumnya dioperasikan dengan perahu kecil, jumlah nelayan yang mengoperasikannya sebanyak 4-6 orang yang terdiri dari satu orang nahkoda

merangkap fishing master, satu orang juru mesin 2-4 orang ABK yang masing-

masing mengoperasikan satu atau lebih pancing pada saat operasi penangkapan berlangsung. Pada umumnya panjang perahu berkisar antara 5-20 m, dengan ruang kemudi di bagian haluan kapal dan dek tempat bekerja berada pada di bagian buritan kapal (Sainsburry, 1971).

2 Umpan dan alat tangkap

Pada umumnya ikan mendeteksi mangsa melalui reseptor yang dimilkinya, dan hal ini bergantung pada jenis reseptor tertentu yang mendominasi pada jenis ikan tersebut. Oleh karena itu, pemilihan umpan disesuaikan dengan kesukaan makan ikan sasaran, dengan mempertimbangkan kemampuan ikan mendeteksi makanan (Gunarso, 1985). Pada umumnya umpan pancing tonda menggunakan

umpan tiruan, umpan palsu (imitation bait). Tetapi ada pula yang menggunakan

umpan benar (true bait) yaitu: bulu ayam, bulu domba, kain-kain berwarna

menarik, bahan dari plastik, umpan berbentuk ikan seperti cumi-cumi, ikan- ikanan, dan lain-lain (Subani & Barus, 1989)

Umpan pada pancing tonda dapat dibagi menjadi dua, umpan alami dan umpan buatan. Penggunaan umpan alami pada pancing tonda sangatlah jarang sekali dilakukan, hal ini dikarenakan oleh sifat dari umpan alami yang mudah lepas dan mudah rusak oleh gerakan air selama operasi penangkapan ikan berlangsung (Gunarso, 1985). Menurut Handriana (2007) sifat umpan alami memiliki banyak kekurangan sehingga para nelayan lebih memilih menggunakan umpan buatan dalam operasi penangkapan ikan dengan pancing tonda. Dasar pemikiran penggunaan umpan buatan adalah:

1) Harga relatif murah;

2) Dapat dipakai berulang-ulang;

3) Dapat disimpan dalam waktu yang lama;

4) Warna dapat memikat ikan;

Pancing tonda adalah alat tangkap ikan yang terdiri dari seutas tali panjang,

Dokumen terkait