• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1.2. Komposisi Jenis

5.1.2.2 Dominansi Jenis

Dominanasi suatu jenis dapat digunakan untuk mengetahui jenis-jenis yang paling berperan dalam suatu komunitas di suatu areal hutan. Jenis yang mendominasi pada suatu komunitas dapat diketahui melalui besarnya Indeks Nilai Penting (INP) jenis tersebut, di mana jenis yang memiliki Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi merupakan jenis yang dominan. Hal ini menunjukkan bahwa suatu jenis tersebut mempunyai tingkat kesesuaian terhadap lingkungan yang tinggi dari jenis lainnya.

Menurut Indrawan (2000), nilai indeks dominansi digunakan untuk menentukan dominansi jenis dalam suatu komunitas, nilai indeks dominansi yang rendah menunjukkan pola dominansi jenisnya di pusatkan pada banyak jenis (beberapa jenis), sedangkan nilai indeks dominansi yang tinggi menunjukkan pola dominansi jenisnya di pusatkan pada sedikit jenis. Nilai indeks dominansi tertinggi adalah 1 (satu) yang menunjukkan bahwa komunitas itu dikuasai oleh satu jenis atau terpusat pada satu jenis.

Untuk mengetahui jenis-jenis yang mendominasi berikut daftar lima tingkat jenis yang memiliki Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi dari seluruh jenis yang ditemukan pada plot pengamatan yang merupakan perubahan dari kondisi hutan primer, hutan setelah penebangan dan hutan setelah penjaluran pada sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Daftar jenis dengan INP terbesar pada kondisi hutan primer, hutan setelah tebangan dan hutan setelah penjaluran Kondisi Hutan Kelerengan (%) Jenis-jenis Dominan

Semai INP Pancang INP Tiang INP Pohon INP

Hutan Primer

0-15

Shorea leprosula 28.53 Polyalthia laterifolia 27.42 Polyalthia laterifolia 66.31 Shorea leprosula 25.87

Polyalthia laterifolia 27.89 Eugenia sp. 23.81 Eugenia sp. 25.71 Litsea spp. 22.15

Eugenia sp. 22.97 Litsea spp. 19.02 Nephelium lappaceum 21.03 Polyalthia laterifolia 20.16

Litsea spp. 15.02 Mangifera macrocarpa 11.32 Canarium denticulatum 18.96 Nephelium lappaceum 19.56

Hopea dyeri 11.17 Nephelium lappaceum 10.05 Litsea spp. 14.87 Eugenia sp. 19.02

15-25

Eugenia sp. 27.79 Litsea spp. 26.19 Eugenia sp. 39.73 Shorea leprosula 31.77

Litsea spp. 27.11 Eugenia sp. 24.45 Polyalthia laterifolia 36.75 Eugenia sp. 29.60

Shorea leprosula 22.01 Nephelium lappaceum 15.38 Pithecelobium sp. 28.59 Litsea spp. 25.44

Polyalthia laterifolia 14.07 Polyalthia laterifolia 14.79 Litsea spp. 25.39 Polyalthia laterifolia 15.56

Shorea ovalis 9.52 Shorea leprosula 10.19 Canarium denticulatum 18.37 Pithecelobium sp. 14.60

25-45

Litsea spp. 26.69 Eugenia sp. 26.96 Litsea spp. 29.43 Diospyros malam 31.32

Polyalthia laterifolia 19.49 Litsea spp. 25.30 Shorea leprosula 23.39 Shorea leprosula 28.85

Eugenia sp. 18.40 Polyalthia laterifolia 19.84 Polyalthia laterifolia 23.36 Eugenia sp. 25.26

Shorea leprosula 15.18 Nephelium lappaceum 14.17 Eugenia sp. 21.45 Litsea spp. 20.84

Shorea laevifolia 11.45 Eusideroxylon zwageri 12.26 Nephelium lappaceum 19.48 Vatica resak 13.62

Hutan Setelah penebangan

0-15

Polyalthia laterifolia 34.19 Polyalthia laterifolia 30.78 Polyalthia laterifolia 68.79 Polyalthia laterifolia 21.51

Shorea leprosula 29.10 Litsea spp. 29.58 Eugenia sp. 29.92 Nephelium lappaceum 21.28

Eugenia sp. 28.09 Eugenia sp. 28.12 Nephelium lappaceum 24.62 Shorea leprosula 18.43

Litsea spp. 22.84 Nephelium lappaceum 12.37 Canarium denticulatum 14.31 Litsea spp. 18.20

Mangifera macrocarpa 9.62 Shorea leprosula 11.39 Shorea leprosula 13.82 Eugenia sp. 18.03

15-25

Litsea spp. 43.15 Eugenia sp. 34.90 Eugenia sp. 41.15 Eugenia sp. 31.85

Eugenia sp. 22.47 Litsea spp. 21.64 Polyalthia laterifolia 31.47 Litsea spp. 28.17

Shorea leprosula 21.28 Polyalthia laterifolia 20.55 Litsea spp. 26.11 Shorea leprosula 21.89

Polyalthia laterifolia 16.08 Nephelium lappaceum 16.89 Pithecelobium sp. 25.08 Polyalthia laterifolia 17.90

Vatica resak 9.10 Myristica iners 10.14 Myristica iners 15.89 Vatica resak 15.74

Kondisi Hutan

Kelerengan (%)

Jenis-jenis Dominan

Semai INP Pancang INP Tiang INP Pohon INP

Hutan Setelah Penebangan

25-45

Litsea spp. 27.77 Litsea spp. 29.19 Litsea spp. 31.09 Diospyros malam 33.96

Polyalthia laterifolia 27.14 Eugenia sp. 26.14 Shorea leprosula 30.93 Shorea leprosula 29.84

Eugenia sp. 16.55 Polyalthia laterifolia 22.32 Eugenia sp. 24.13 Eugenia sp. 28.88

Shorea leprosula 15.84 Nephelium lappaceum 13.48 Polyalthia laterifolia 20.49 Litsea spp. 21.27

Shorea laevifolia 10.23 Eusideroxylon zwageri 10.75 Nephelium lappaceum 18.54 Eusideroxylon zwageri 14.68

Hutan Setelah Penjaluran

0-15

Shorea leprosula 22.79 Litsea spp. 16.63 Shorea leprosula 51.19 Shorea leprosula 57.83

Litsea spp. 19.39 Shorea leprosula 15.02 Eugenia sp. 36.95 Eugenia sp. 55.33

Eugenia sp. 15.44 Eusideroxylon zwageri 13.28 Litsea spp. 28.16 Litsea spp. 40.18

Eusideroxylon zwageri 12.97 Eugenia sp. 11.03 Vatica resak 27.39 Vatica resak 25.61

Polyalthia laterifolia 11.88 Elateriospermum tapos 10.79 Polyalthia laterifolia 25.80 Dipterocarpus gracilis 20.08

15-25

Shorea leprosula 20.21 Litsea spp. 19.01 Polyalthia laterifolia 45.22 Eugenia sp. 58.81

Litsea spp. 20.03 Polyalthia laterifolia 13.46 Shorea leprosula 34.26 Shorea leprosula 40.41

Polyalthia laterifolia 14.72 Eugenia sp. 12.35 Eugenia sp. 30.83 Polyalthia laterifolia 25.45

Nephelium lappaceum 14.03 Myristica iners 10.88 Nephelium lappaceum 19.51 Nephelium lappaceum 20.36

Eugenia sp. 13.72 Gluta renghas 10.17 Lansium domesticum 16.68 Litsea spp. 12.80

25-45

Shorea leprosula 22.37 Polyalthia laterifolia 14.16 Polyalthia laterifolia 41.26 Eugenia sp. 52.10

Litsea spp. 14.64 Eusideroxylon zwageri 13.97 Litsea spp. 30.62 Shorea leprosula 34.31

Polyalthia laterifolia 12.81 Gluta renghas 12.88 Shorea leprosula 26.69 Litsea spp. 29.92

Shorea sp. 10.33 Litsea spp. 12.37 Eugenia sp. 19.59 Vatica resak 20.51

Berdasarkan data pada Tabel 8 dapat dilihat jenis yang mendominasi dari famili Dipterocarpaceae adalah lempung (Shorea leprosula) dan jenis yang mendominasi dari famili non Dipterocarpaceae adalah medang (Litsea spp.), kayu arang (Diospyros malam), jambu-jambu (Eugenia sp.) dan benitan (Polyalthia laterifolia), sedangkan banyaknya jenis yang mendominasi pada setiap tingkatan jenis untuk masing-masing kelerengan bervariasi. Pada kondisi hutan primer di tingkat semai kelerengan datar (0-15%) jenis yang mendominasi adalah jenis lempung (Shorea leprosula) sebesar 28,53%, untuk tingkat pancang adalah jenis benitan (Polyalthia laterifolia) sebesar 27,42%, untuk tingkat tiang adalah jenis benitan (Polyalthia laterifolia) sebesar 66,31% dan untuk tingkat pohon adalah jenis lempung (Shorea leprosula) sebesar 25,87%.

Pada kelerengan sedang (15-25%) jenis yang mendominasi pada tingkat semai adalah jenis jambu-jambu (Eugenia sp.) sebesar 27,79%, untuk tingkat pancang adalah jenis medang (Litsea spp.) sebesar 26,19%, untuk tingkat tiang adalah jenis jambu-jambu (Eugenia sp.) sebesar 39,73% dan untuk tingkat pohon adalah jenis lempung (Shorea leprosula) sebesar 31,77%.

Pada kelerengan curam (25-45%) jenis yang mendominasi pada tingkat semai adalah jenis medang (Litsea spp.) sebesar 26,69%, untuk tingkat pancang adalah jenis jambu-jambu (Eugenia sp.) sebesar 26,96%, untuk tingkat tiang adalah jenis medang (Litsea spp.) sebesar 29,43% dan untuk tingkat pohon adalah jenis kayu arang (Diospyros malam) sebesar 31,32%.

Untuk kondisi hutan setelah penebangan, jenis yang mendominasi pada setiap kelerengan untuk semua tingkat vegetasi mengalami perubahan. Pada kelerengan datar (0-15%) jenis yang mendominasi pada tingkat semai adalah jenis benitan (Polyalthia laterifolia) sebesar 34,13%, untuk tingkat pancang adalah jenis benitan (Polyalthia laterifolia) sebesar 30,78%, untuk tingkat tiang adalah jenis benitan (Polyalthia laterifolia) sebesar 68,79% dan untuk tingkat pohon adalah jenis benitan (Polyalthia laterifolia) sebesar 21,51%.

Pada kelerengan sedang (15-25%) jenis yang mendominasi pada tingkat semai adalah jenis medang (Litsea spp.) sebesar 43,15%, untuk tingkat pancang adalah jenis jambu-jambu (Eugenia sp.) sebesar 34,90%, untuk tingkat tiang

adalah jenis jambu-jambu (Eugenia sp.) sebesar 41,15% dan untuk tingkat pohon adalah jenis jambu-jambu (Eugenia sp.) sebesar 31,35%.

Pada kelerengan curam (25-45%) jenis yang mendominasi pada tingkat semai adalah jenis medang (Litsea spp.) sebesar 27,77%, untuk tingkat pancang adalah jenis medang (Litsea spp.) sebesar 29,19%, untuk tingkat tiang adalah jenis medang (Litsea spp.) sebesar 31,09% dan untuk tingkat pohon adalah jenis kayu arang (Diospyros malam) sebesar 33,96%.

Sama halnya dengan hutan setelah penebangan, untuk kondisi hutan setelah penjaluran, jenis yang mendominasi pada setiap kelerengan untuk semua tingkat vegetasi mengalami perubahan. Pada kelerengan datar (0-15%) jenis yang mendominasi pada tingkat semai adalah jenis lempung (Shorea leprosula) sebesar 22,79%, untuk tingkat pancang adalah jenis medang (Litsea spp.) sebesar 16,63%, untuk tingkat tiang adalah jenis lempung (Shorea leprosula) sebesar 51,19% dan untuk tingkat pohon adalah jenis lempung (Shorea leprosula) sebesar 57,83%.

Pada kelerengan sedang (15-25%) jenis yang mendominasi pada tingkat semai adalah jenis lempung (Shorea leprosula) sebesar 20,21%, untuk tingkat pancang adalah jenis medang (Litsea spp.) sebesar 19,01%, untuk tingkat tiang adalah jenis benitan (Polyalthia laterifolia) sebesar 45,22% dan untuk tingkat pohon adalah jenis jambu-jambu (Eugenia sp.) sebesar 58,81%.

Pada kelerengan curam (25-45%) jenis yang mendominasi pada tingkat semai adalah jenis lempung (Shorea leprosula) sebesar 22,37%, untuk tingkat pancang adalah jenis benitan (Polyalthia laterifolia) sebesar 14,16%, untuk tingkat tiang adalah jenis benitan (Polyalthia laterifolia) sebesar 41,26% dan untuk tingkat pohon adalah jenis jambu-jambu (Eugenia sp.) sebesar 52,10%.Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis yang mendominasi pada kondisi hutan ini adalah jenis benitan (Polyalthia laterifolia). 5.1.2.3 Indeks Nilai Penting (INP)

Sedangkan untuk nilai Indeks Nilai Penting (INP) berbagai tingkat jenis pada kondisi hutan primer, hutan setelah penebangan dan hutan setelah penjaluran dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Nilai Indeks Penting (INP) jenis yang ditemukan pada kondisi hutan primer, hutan setelah ditebang dan hutan setelah dilakukan penjaluran Kondisi hutan Kelerengan Kelompok

kayu

Tingkat vegetasi

Semai Pancang Tiang Pohon

Hutan primer 0-15 DL 0,00 1,17 0,48 3,87 KD 170,36 155,81 248,28 242,62 KTD 29,64 43,02 51,23 53,51 15-25 DL 1,87 0,00 0,00 2,32 KD 181,83 163,36 260,93 259,91 KTD 16,30 36,64 39,07 37,77 25-45 DL 6,52 5,93 2,71 10,91 KD 168,06 148,61 225,48 231,31 KTD 25,42 45,47 71,81 57,78 Hutan setelah pebangan 0-15 DL 0,00 2,18 0,78 7,04 KD 174,87 159,75 247,33 233,46 KTD 25,13 38,07 51,89 59,49 15-25 DL 0,00 0,00 0,00 3,59 KD 185,71 159,85 251,81 252,33 KTD 14,29 40,15 48,19 44,08 25-45 DL 4,35 5,66 2,72 6,55 KD 169,06 154,66 226,42 227,84 KTD 26,59 39,68 70,86 65,61 Hutan setelah penjaluran 0-15 DL 3,87 2,37 0,00 3,83 KD 156,16 146,73 248,18 267,45 KTD 39,98 50,90 51,82 28,72 15-25 DL 6,62 5,06 0,00 6,42 KD 149,39 158,29 235,73 241,28 KTD 43,99 36,65 64,27 52,29 25-45 DL 3,08 3,06 0,83 4,61 KD 159,69 154,20 230,50 238,11 KTD 37,23 42,74 68,67 57,29 Keterangan : DL: Dilindungi, KD: Komersial ditebang, KTD: Komersial tidak

ditebang

Dari Tabel 9 dapat di lihat Indeks Nilai Penting (INP) pada hutan setelah tebangan pada kelerengan datar (0-15%) penurunan INP terjadi pada kelompok kayu komersial ditebang (tingkat vegetasi tiang dan pohon) dan kayu komersial tidak ditebang (tingkat vegetasi semai dan pancang) sebagai adanya kegiatan pemanenan. Pada tingkat semai terjadi penurunan sebesar 4,51, tingkat pancang terjadi penurunan sebesar 4,95, tingkat tiang terjadi penurunan sebesar 0,95 dan pada tingkat pohon terjadi penurunan sebesar 9,16. Pada kelerengan sedang

(15-25%) hutan setelah tebangan sebagian besar penurunan terjadi pada kelompok kayu komersial ditebang. Pada tingkat semai penurunan terjadi pada kelompok kayu komersial tidak ditebang sebesar 2,01, tingkat pancang terjadi penurunan sebesar 3,51, tingkat tiang terjadi penurunan sebesar 9,12 dan pada tingkat pohon terjadi penurunan sebesar 7,58. Pada kelerengan curam (25-45%) hutan setelah tebangan sebagian besar penurunan terjadi pada kelompok kayu dilindungi. Pada tingkat semai terjadi penurunan sebesar 2,17, tingkat pancang terjadi penurunan sebesar 0,27, pada tingkat tiang penurunan terjadi pada kelompok kayu komersial tidak di tebang sebesar 0,95 dan pada tingkat pohon terjadi penurunan sebesar 4,36. Pada kelerengan curam ini juga terjadi penurunan INP pada kelompok kayu komersial ditebang pada tingkat vegetasi pohon sebesar 3,47 dan pada tingkat vegetasi pancang terjadi penurunan pada kelompok kayu komersial tidak di tebang sebesar 5,79.

Sedangkan Indeks Nilai Penting (INP) pada hutan setelah penjaluran pada kelerengan datar (0-15%) penurunan INP terjadi pada kelompok kayu komersial ditebang (tingkat vegetasi semai dan pancang) dan kayu komersial tidak di tebang (tingkat vegetasi tiang dan pohon). Pada tingkat semai terjadi penurunan sebesar 18,71, tingkat pancang terjadi penurunan sebesar 13,02, tingkat tiang terjadi penurunan sebesar 0,07 dan pada tingkat pohon terjadi penurunan sebesar 30,77. Pada kelerengan datar penurunan INP juga terjadi pada kelompok kayu dilindungi tingkat vegetasi pohon sebesar 3,66. Pada kelerengan sedang (15-25%) penurunan INP terjadi pada kelompok kayu komersial ditebang. Pada tingkat semai terjadi penurunan sebesar 36,32, tingkat pancang terjadi penurunan sebesar 1,56, tingkat tiang terjadi penurunan sebesar 16,08 dan tingkat pohon terjadi penurunan sebesar 0,46. Pada kelerengan sedang penurunan INP juga terjadi pada kelompok kayu komersial tidak di tebang tingkat vegetasi pancang sebesar 3,50. Pada kelerengan curam (25-45%) penurunan INP terjadi pada berbagai kelompok kayu. Pada tingkat vegetasi semai kelompok kayu komersial ditebang mengalami penurunan sebesar 9,37 dan kelompok kayu jenis lain mengalami penurunan sebesar 1,27, pada tingkat vegetasi pancang kelompok kayu komersial ditebang mengalami penurunan sebesar 0,46 dan kelompok kayu dilindungi mengalami penurunan sebesar 2,60, pada tingkat vegetasi tiang kelompok kayu dilindungi mengalami

penurunan sebesar 1,89 dan kelompok kayu komersial tidak ditebang mengalami penurunan sebesar 2,19, pada tingkat vegetasi pohon kelompok kayu komersial tidak di tebang mengalami penurunan sebesar 8,23 dan kelompok kayu dilindungi mengalami penurunan sebesar 1,94.

Menurut Nevada (2007), besarnya nilai INP suatu jenis memperlihatkan peranan suatu jenis dalam komunitas. Suatu jenis yang memiliki nilai INP lebih besar dibandingkan dengan jenis lainnya menandakan bahwa suatu jenis pada komunitas tersebut dikatakan mendominasi atau menguasai ruang di dalam komunitas tersebut. Hal ini disebabkan jenis tersebut mempunyai kesesuaian tempat tumbuh yang baik serta mempunyai daya tahan hidup yang baik pula jika dibandingkan dengan jenis lain yang ada dalam komunitas tersebut.

5.1.2.4 Keanekaragaman Jenis

Tingkat keanekaragaman jenis di suatu tempat atau hutan dapat ditentukan menggunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H’). Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener menunjukkan tingkat keanekaragaman disuatu tempat atau hutan dimana nilainya ditentukan oleh kelimpahan jenis dan kemerataannya. Indeks keanekaragaman jenis merupakan parameter untuk mempelajari gangguan biotik, mengetahui tingkat suksesi atau kestabilan suatu ekosistem, serta merupakan parameter untuk membandingkan dua komunitas. Tabel 10. Indeks Keragaman Shannon-Wiener yang ditemukan pada kondisi

hutan primer, hutan setelah ditebang dan hutan setelah dilakukan penjaluran

Kondisi hutan Kelerengan (%)

Indeks Keragaman

Semai Pancang Tiang Pohon Hutan Primer

0-15 2,91 3,09 2,92 3,52 15-25 2,94 3,19 2,99 3,35 25-45 3,06 3,05 3,22 3,29 Hutan Setelah Penebangan

0-15 2,78 2,87 2,92 3,63 15-25 2,81 3,00 3,04 3,37 25-45 2,99 2,98 3,16 3,23 Hutan Setelah Penjaluran

0-15 3,24 3,37 2,88 2,48 15-25 3,20 3,44 3,20 3,06 25-45 3,23 3,34 3,06 2,93

Berdasarkan Tabel 10 dapat dilihat nilai Indeks Keragaman Shannon-Wiener pada kondisi hutan primer, hutan setelah dilakukan penebangan dan hutan setelah dilakukan penjaluran di berbagai kelerengan. Diketahui bahwa nilai Indeks Keragaman Shannon-Wiener terbesar pada tingkat semai terdapat pada kelerengan datar (0-15%) di hutan setelah dilakukan penjaluran yaitu sebesar 3,24 dan terendah pada kelerengan datar (0-15%) di hutan setelah dilakukan penebangan yaitu sebesar 2,78, pada tingkat pancang nilai Indeks Keragaman Shannon-Wiener terbesar terdapat pada kelerengan sedang (15-25%) di hutan setelah dilakukan penjaluran yaitu sebesar 3,44 dan terendah pada kelerengan datar (0-15%) di hutan setelah dilakukan penebangan yaitu sebesar 2,87, pada tingkat tiang nilai Indeks Keragaman Shannon-Wiener terbesar terdapat pada kelerengan curam (25-45%) di hutan primer yaitu sebesar 3,22 dan terendah pada kelerengan datar (0-15%) di hutan setelah dilakukan penjaluran yaitu sebesar 2,88 dan pada tingkat pohon nilai Indeks Keragaman Shannon-Wiener terbesar terdapat pada kelerengan datar (0-15%) di hutan setelah dilakukan penebangan yaitu sebesar 3,63 dan terendah pada kelerengan datar (0-15%) di hutan setelah dilakukan penjaluran yaitu sebesar 2,48. Dari hasil diatas dapat disimpulkan bahwa nilai Indeks Keragaman Shannon-Wiener pada hutan primer, hutan setelah tebangan dan hutan setelah penjaluran menunjukkan nilai lebih dari 2,00. Hal ini berarti pada ketiga kondisi hutan tersebut menunjukkan adanya tingkat keragaman yang tinggi dan tidak adanya suatu jenis yang mendominasi di ketiga hutan tersebut. Apabila mengacu pada Magurran (1988), tingkat keragaman di hutan primer, hutan setelah tebangan dan hutan setelah penjaluran pada umumnya menunjukkan tingkat keragaman yang sedang dimana nilainya berada pada selang antara 1,5 sampai 3,5. Tingkat keragaman yang tinggi terdapat pada tingkat vegetasi pohon di hutan primer dengan kelerengan datar (0-15%) yaitu sebesar 3,52 dan hutan setelah dilakukan penebangan dengan kelerengan datar (0-15%) yaitu sebesar 3,63.

Sedangkan parameter yang mempengaruhi tingkat keanekaragaman suatu komunitas adalah kekayaan jenis, dimana untuk menentukan kekayaan jenis pada suatu ekosistem menggunakan indeks kekayaan Margallef (R1). Indeks kekayaan Margallef merupakan indeks yang menunjukkan kekayaan jenis suatu komunitas,

dimana besarnya indeks kekayaan Margallef nilainya dipengaruhi oleh banyaknya spesies dan jumlah individu dari vegetasi pada areal tersebut.

Tabel 11. Indeks Kekayaan Margallef (R1) yang ditemukan pada kondisi hutan primer, hutan setelah ditebang dan hutan setelah dilakukan penjaluran Kondisi hutan Kelerengan

(%)

Indeks Kekayaan

Semai Pancang Tiang Pohon Hutan Primer

0-15 6,14 6,89 6,66 9,85

15-25 6,00 7,20 7,26 8,54

25-45 6,32 6,72 7,24 8,86

Hutan Setelah Penebangan

0-15 5,57 5,62 7,08 10,60

15-25 5,27 6,73 6,80 8,34

25-45 5,90 5,91 7,07 8,65

Hutan Setelah Penjaluran

0-15 6,50 7,01 6,94 6,04

15-25 6,44 7,22 9,13 9,99

25-45 5,92 6,46 7,44 6,31

Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat nilai Indeks kekayaan Margallef (R1) pada kondisi hutan primer, hutan setelah dilakukan penebangan dan hutan setelah dilakukan penjaluran di berbagai kelerengan. Diketahui bahwa pada tingkat semai nilai kekayaan Margallef terbesar terdapat pada kelerengan datar (0-15%) di hutan setelah dilakukan penjaluran yaitu sebesar 6,50 dan terendah pada kelerengan sedang (15-25%) di hutan setelah dilakukan penebangan yaitu sebesar 5,27, pada tingkat pancang nilai kekayaan Margallef terbesar terdapat pada kelerengan sedang (15-25%) di hutan setelah dilakukan penjaluran yaitu sebesar 7,22 dan terendah pada kelerengan datar (0-15%) di hutan setelah dilakukan penebangan yaitu sebesar 5,62, pada tingkat tiang nilai kekayaan Margallef terbesar terdapat pada kelerengan sedang (15-25%) di hutan setelah dilakukan penjaluran yaitu sebesar 9,13 dan terendah pada kelerengan datar (0-15%) di hutan primer yaitu sebesar 6,66 dan pada tingkat pohon nilai kekayaan Margallef terbesar terdapat pada kelerengan datar (0-15%) di hutan setelah dilakukan penebangan yaitu sebesar 10,60 dan terendah pada kelerengan datar (0-15%) di hutan setelah dilakukan penjaluran yaitu sebesar 6,04.

Selain kekayaan jenis yang mempengaruhi tingkat keanekaragaman komunitas, kemerataan juga mempengaruhi tingkat keanekaragaman komunitas. Kemerataan dapat diketahui dengan menghitung indeks kemerataan (E). Indeks

kemerataan merupakan indeks yang menunjukkan tingkat penyebaran jenis pada suatu areal hutan. Semakin besar nilai indeks kemerataan (E) maka komposisi penyebaran jenis semakin merata atau tidak didominasi oleh satu atau beberapa jenis saja. Berdasarkan hasil pengamatan dapat dilihat besarnya nilai Indeks Kemerataan (E) pada kondisi hutan primer, hutan setelah dilakukan penebangan dan hutan setelah dilakukan penjaluran di berbagai kelerengan.

Tabel 12. Indeks Kemerataan (E) jenis yang ditemukan pada kondisi hutan primer, hutan setelah ditebang dan hutan setelah dilakukan penjaluran

Kondisi hutan Kelerengan (%)

Indeks Kemerataan

Semai Pancang Tiang Pohon Hutan Primer

0-15 0,80 0,82 0,76 0,84

15-25 0,81 0,83 0,77 0,82

25-45 0,83 0,81 0,85 0,81

Hutan Setelah Penebangan

0-15 0,81 0,83 0,77 0,87

15-25 0,84 0,82 0,81 0,85

25-45 0,84 0,84 0,86 0,81

Hutan Setelah Penjaluran

0-15 0,86 0,88 0,77 0,68

15-25 0,85 0,89 0,79 0,74

25-45 0,88 0,88 0,80 0,81

Berdasarkan Tabel 12 dapat dilihat nilai Indeks Kemerataan (E) pada kondisi hutan primer, hutan setelah dilakukan penebangan dan hutan setelah dilakukan penjaluran di berbagai kelerengan. Diketahui bahwa pada tingkat semai nilai indeks kemerataan terbesar terdapat pada kelerengan curam (25-45%) di hutan setelah dilakukan penjaluran yaitu sebesar 0,88 dan terendah pada kelerengan datar (0-15%) di hutan primer yaitu sebesar 0,80, pada tingkat pancang nilai indeks kemerataan terbesar terdapat pada kelerengan sedang (15-25%) di hutan setelah dilakukan penjaluran yaitu sebesar 0,89 dan terendah pada kelerengan curam (25-45%) di hutan primer yaitu sebesar 0,81, pada tingkat tiang nilai indeks kemerataan terbesar terdapat pada kelerengan curam (25-45%) di hutan setelah dilakukan penebangan yaitu sebesar 0,86 dan terendah pada kelerengan datar (0-15%) di hutan primer yaitu sebesar 0,76 dan pada tingkat pohon nilai indeks kemerataan terbesar terdapat pada kelerengan datar (0-15%) di hutan setelah dilakukan penebangan yaitu sebesar 0,87 dan terendah pada

kelerengan sedang (15-25%) di hutan setelah dilakukan penjaluran yaitu sebesar 0,74. Dapat disimpulkan bahwa besarnya indeks kemerataan (E) pada hutan primer, hutan setelah dilakukan penebangan dan hutan setelah dilakukan penjaluran menunjukkan angka diatas 0,6, sehingga berdasarkan kriteria Magurran (1988) pada umumnya memiliki indeks kemerataan jenis (E) yang tinggi.

Dokumen terkait