• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

3. Down Syndrome

a. Definisi

Dari sudut genetik disebut Mongolis-G trisomi-trisomi 21

dengan jumlah kromosom 47 (Mochtar, 1998). Anak dengan Down

Syndrome adalah individu yang dapat dikenali fenotipnya dan mempunyai kecerdasan yang terbatas, yang terjadi akibat adanya jumlah kromosom 21 yang berlebih (Soetjiningsih, 1995).

b. Insidensi

Sindrom ini ditemukan di seluruh dunia di antara semua suku bangsa (Sutejo, 1981). Diperkirakan angka kejadiannya terakhir adalah 1,0-1,2 per 1000 kelahiran hidup (Soetjiningsih, 1995).

Kothare et al. (2002) melaporkan angka kejadian Down Syndrome

sekitar 1 dari 650-1000 kelahiran hidup. Ditemukan sebanyak 10% di antara penderita-penderita retardasi mental (Sutejo, 1981).

Kurang lebih 4.000 anak dilahirkan dengan Down Syndrome

setiap tahunnya di Amerika, atau sekitar 1 dari 800-1000 kelahiran hidup (Idris, 2006; Nicolaidis, 1998). Sedangkan di Indonesia prevalensinya lebih dari 300 ribu jiwa. Meskipun orangtua dari segala

commit to user

usia mempunyai kemungkinan untuk mendapat anak yang menderita Down Syndrome, tetapi kemungkinannya lebih besar untuk ibu yang usianya di atas 35 tahun (Idris, 2006; Sutejo, 1981; Mochtar, 1998).

c. Etiologi

Down Syndrome disebabkan karena adanya kelebihan jumlah kromosom 21 akibat nondisjungsi, translokasi dan mosaik. Faktor-faktor yang memegang peranan dalam terjadinya kelainan kromosom tersebut, antaralain :

1) Genetik

Diperkirakan terdapat faktor predisposisi genetik terhadap

non-disjunction. Bukti yang mendukung teori ini adalah berdasarkan atas hasil penelitian epidemiologi yang menyatakan adanya peningkatan risiko berulang bila dalam keluarga terdapat anak dengan Down Syndrome (Soetjiningsih, 1995).

2) Radiasi

Radiasi dikatakan merupakan salah satu penyebab terjadinya non-disjunctional pada Down Syndrome ini. Uchida 1981 menyatakan

bahwa sekitar 30% ibu yang melahirkan anak dengan Down

Syndrome, pernah mengalami radiasi di daerah perut sebelum terjadinya konsepsi. Sedangkan peneliti lain tidak mendapatkan adanya hubungan antara radiasi dengan penyimpangan kromosom (Soetjiningsih, 1995).

commit to user

3) Infeksi

Infeksi juga dikatakan sebagai salah satu penyebab terjadinya Down Syndrome. Sampai saat ini belum ada peneliti yang mampu

memastikan bahwa virus dapat mengakibatkan terjadinya

non-disjunction (Soetjiningsih, 1995).

4) Autoimun

Faktor lain yang juga diperkirakan sebagai etiologi Down

Syndrome adalah autoimun. Terutama autoimun tiroid atau penyakit yang dikaitkan dengan tiroid. Penelitian Fialkow 1966 secara konsisten mendapatkan adanya perbedaan autoantibodi

tiroid pada ibu yang melahirkan anak dengan Down Syndrome

dengan ibu kontrol yang usianya sama (Soetjiningsih, 1995).

5) Usia ibu

Apabila usia ibu diatas 35 tahun, risiko terjadinya kelainan jumlah kromosom akibat nondisjungsi fase miosis tinggi. Beberapa studi

telah menjelaskan pengaruh usia ibu terhadap kejadian Down

Syndrome. Girirajan (2009) menyatakan peningkatan biological

ageing pada ovarium merupakan faktor utama terjadinya kondisi aneuploidi pada wanita. Hal ini mendasari berbagai perubahan yang terjadi pada ibu usia tua, termasuk perubahan hormonal yang dapat menyebabkan nondisjungsi pada kromosom (Soetjiningsih, 1995; Sutejo, 1981).

commit to user

Selain pengaruh usia ibu terhadap Down Syndrome, juga

dilaporkan adanya pengaruh dari usia ayah (Coad dan Melvyn, 2007). Penelitian sitogenetik pada orangtua dari anak dengan Down Syndrome mendapatkan bahwa 20-30% kasus ekstra kromosom 21 bersumber dari ayahnya. Tetapi korelasi tidak setinggi usia ibu (Soetjiningsih, 1995).

7) Pemaparan Fluor

Kasus Down Syndrome terdapat pula di antara bayi yang

dilahirkan ibu-ibu yang meminum air dengan kadar Fluor tinggi. Dilaporkan bahwa kasus Down Syndrome di antara ibu-ibu yang

air minumnya mengandung Fluor sebanyak 0,0-0,1 ppm didapat

sebanyak 23,6 per 100.000 orang sedangkan mereka yang air

minumnya mengandung Fluor sebanyak 1,0-2,6 ppm

menunjukkan kasus Down Syndrome sebanyak 71,6 per 100.000

orang. Selain itu, penelitian di antara penderita Down Syndrome

didapat banyak kasus keracunan Fluor (fluorosis gigi), dan relatif terhadap populasi normal, insidens caries dentis di antara mereka sangat rendah (Slamet, 1996).

8) Pengaruh eksternal lain yang dapat mengganggu meiosis,

misalnya penyalahgunaan alkohol, kemoterapi, dan merokok (Coad dan Melvyn, 2007).

commit to user

d. Gejala klinis

Diagnosa klinis Down Syndrome dapat ditegakkan dengan melihat

penampilan anak tersebut. Tanda-tanda fisik : tubuh pendek, lengan atau kaki kadang-kadang bengkok, kepala lebar, wajah membulat, lipatan kelopak mata ke atas dan ke luar, lipatan kulit di atas canthus medius, jarak lebar antara kedua mata, iris mata kadang-kadang berbintik yang disebut bintik-bintik “Brushfield”, lingkar kepala kecil, puncak kepala datar, lidah menjulur dan berfisura, ujung lidah besar, hidung lebar dan datar, kedua lubang hidung terpisah lebar, kulit kering, hipotoni otot, tangan dan kaki kelihatan lebar dan tumpul, telapak tangan memiliki garis tangan yang khas abnormal yaitu hanya mempunyai sebuah garis mendatar saja, kelingking kecil dan melengkung ke dalam (Mochtar, 1998; Soetjiningsih, 1995; Speirs, 1992; Suryo, 2003).

Mata, hidung, dan mulut biasanya tampak kotor serta gigi rusak.

Hal ini disebabkan karena anak Down Syndrome tidak sadar untuk

menjaga kebersihan dirinya sendiri. IQ rendah yaitu antara 25-75, kebanyakan kurang dari 40. Biasanya mempunyai kelainan pada jantung dan tidak resisten terhadap penyakit (Suryo, 2003).

e. Diagnosis

Diagnosis dari Down Syndrome berdasarkan atas adanya

gejala-gejala klinis yang khas, serta ditunjang oleh pemeriksaan kromosom. Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan radiologi pada kasus yang tidak

commit to user

khas. Pada pemeriksaan radiologi, didapatkan brachycephalic, sutura, dan

fontanela yang terlambat menutup. Tulang ileum dan sayapnya melebar disertai sudut asetabular yang lebih lebar, terdapat pada 87% kasus (Soetjiningsih, 1995).

Pemeriksaan kariotiping pada semua penderita Down Syndrome

adalah untuk mencari adanya translokasi kromosom. Kalau ada, maka kedua ayah-ibunya harus diperiksa. Kalau dari salah satu ayah/ibunya karier, maka keluarga lainnya juga perlu diperiksa, hal ini sangat berguna

untuk pencegahan. Kemungkinan terulangnya kejadian Down Syndrome

yang disebabkan translokasi kromosom adalah 5-15%, sedangkan kalau trisomi hanya 1% (Soetjiningsih, 1995).

Diagnosis antenatal dengan pemeriksaan cairan amnion atau vili

korionik (Ucar et al., 2005), dapat dilakukan secepatnya pada kehamilan 3 bulan. Pada pemeriksaan cairan amnion didapatkan kadar fetoprotein alfa rendah. Diperkirakan hal ini mungkin disebabkan oleh menetapnya coelom ekstraembrionik atau berkaitan dengan kadar reseptor interferon (Coad dan Melvyn, 2007).

Pemeriksaan plasenta berupa pengukuran estriol adalah bagian dari

uji Bart (tripel) untuk Down Syndrome. Kadar estron dan estriol meningkat sekitar 100 kali dan kadar estradiol sekitar 1000 kali selama kehamilan (Coad dan Melvyn, 2007).

Dengan kultur jaringan dan kariotiping 99% Down Syndrome

commit to user

berusia lebih dari 35 tahun, atau pada ibu yang sebelumnya pernah

melahirkan anak dengan Down Syndrome. Bila didapatkan bahwa janin

yang dikandung menderita Down Syndrome, maka dapat ditawarkan

terminasi kehamilan kepada orangtuanya. Terminasi kehamilan ini banyak ditawarkan dan dilakukan di beberapa negara lain, sehingga kejadian Down Syndrome cukup mengalami penurunan (Soetjiningsih, 1995).

Pemeriksaan Down Syndrome secara klinis pada bayi seringkali

meragukan, maka pemeriksaan dermatoglifik (sidik jari, telapak tangan

dan kaki) pada Down Syndrome menunjukkan adanya gambaran yang

khas. Dermatoglifik ini merupakan cara yang sederhana, mudah dan cepat, serta mempunyai ketepatan yang cukup tinggi dalam mendiagnosis Down Syndrome (Soetjiningsih, 1995).

f. Sitologi

Gambar 1. Kariotipe Penderita Down Syndrome

(sumber: Department of Health and Senior Services, 2010)

commit to user

Dari sudut sitologi, ada tiga macam pola kromosom yang dapat

menimbulkan munculnya Down Syndrome (Idris, 2006; Sadler, 2000;

Setianingsih, 2008; Suryo, 2003).

1) Trisomi 21

Trisomi 21 (nondisjunction) disebabkan oleh adanya kesalahan dalam proses pembelahan sel yang mengakibatkan bayi mempunyai 3 kromosom nomor 21 (gambar lihat lampiran). Sebelum atau pada saat pembuahan, sepasang kromosom 21 yang terdapat di sel telur atau sel sperma gagal membelah dengan normal. Kromosom tambahan ini direplikasi di setiap sel dalam tubuh. Sebanyak 95% dari

penderita Down Syndrome mempunyai pola ini (Hall, 2000; Sadler,

2000; Suryo, 2003; Idris, 2006; Setianingsih, 2008).

2) Translokasi

Pada Down Syndrome translokasi juga didapati 3 buah kromosom nomor 21. Namun, satu dari kromosom 21 tersebut menempel atau tertranslokasi pada kromosom lainnya, biasanya pada kromosom nomor 13, nomor 14, atau nomor 15 (Faradz, 2004) (gambar lihat lampiran). Tiga sampai 4 persen dari anak-anak penderita Down Syndrome memiliki 46, bukan 47 kromosom, disebabkan oleh translokasi Robertsonian (Coad dan Melvyn, 2007) (gambar lihat lampiran).

Sekitar satu pertiga sampai separuh dari translokasi diwariskan dari salah satu orang tua. Ketika hal itu terjadi, orang tua pembawa

commit to user

mempunyai jumlah materi genetik yang normal, meskipun demikian satu dari kromosom nomor 21 menempel ke kromosom lainnya. Sebagai hasilnya, penghitungan jumlah kromosom pada orang tua tersebut adalah 45 bukan 46. Orang tua pembawa sama sekali tidak terkena efeknya karena tidak ada kekurangan maupun kelebihan dari materi genetik (Hall, 2000; Sadler, 2000; Suryo, 2003; Idris, 2006; Setianingsih, 2008).

3) Mosaik

Mosaik, digunakan untuk melukiskan adanya lebih dari satu tipe sel pada seseorang, biasanya dalam bentuk persentase, contoh: ketika seorang bayi terlahir dengan Down Syndrome, dokter akan mengambil sampel darah untuk memeriksa kromosomnya. Biasanya, 20 jenis sel yang berbeda akan dianalisis. Bila 5 sel metafase dari 20 sel metafase adalah normal (46 kromosom), sedangkan 15 sel metafase lainnya mempunyai kromosom nomor 21 tambahan (47 kromosom),

bayi tersebut akan disebut sebagai penderita Down Syndrome mosaik.

Oleh karena persentase sel-sel yang memiliki kromosom tambahan adalah 15 dari 20, tingkat mosaik dari bayi tersebut adalah 75%. Persentase ini dapat berbeda-beda di bagian tubuh yang satu dengan yang lain.

Persentase sel yang mengalami trisomi pada otot dapat berbeda-beda di bagian tubuh yang satu dengan yang lain. Persentase sel yang mengalami trisomi pada otot dapat berbeda dengan persentase

commit to user

sel yang mengalami trisomi pada otak, atau persentase pada darah atau kulit.

Secara klinis, bayi yang dilahirkan dengan Down Syndrome

mosaik dapat memiliki ciri-ciri dan masalah kesehatan yang sama

dengan bayi lainnya yang dilahirkan dengan trisomi 21 atau Down

Syndrome translokasi. Adanya sel-sel yang mempunyai jumlah kromosom yang normal (46) menghasilkan penampakan yang tidak

begitu parah, atau lebih sedikit munculnya ciri-ciri dari Down

Syndrome yang diderita seseorang, bagian yang penting dari kromosom 21 ada di seluruh atau sebagian sel-sel mereka (Idris, 2006; Hall, 2000; Sadler, 2000; Setianingsih, 2008; Suryo, 2003).

Dokumen terkait