• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dualisme dalam Implementasi Kebijakan Pemerintah

Dari bahasan sebelumnya didapati bahwa secara resmi di atas kertas, pemerintah Jepang memang menyatakan kebijakan imigrasi Jepang menganut prinsip tidak mengakui unskilled workers (no unskilled workers will be admitted). Namun, realitas yang ditemui di lapangan sangatlah berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh pemerintah. Meskipun pemerintah bersikeras mengatakan tidak ada unskilled workers, realita di lapangan menunjukkan sebaliknya. Sektor-sektor pekerjaan kerah biru, yang paling merasakan dampak labor shortage, diisi oleh tenaga-tenaga asing atau tenaga kerja imigran.

Pemerintah Jepang bersikukuh untuk mempertahankan prinsip tersebut karena unskilled workers dianggap akan menurunkan standar kualitas angkatan kerja di Jepang, dan pemerintah harus menanggung biaya pelatihan serta pengembangan keahlian mereka.74 Selain itu,

terdapat pula kekhawatiran bahwa unskilled workers, yang notabene adalah tenaga kerja tidak terlatih dan terdidik, dapat mengkontaminasi masyarakat Jepang yang berujung pada destabilasasi dan disintegrasi.75

Kekhawatiran akan meningkatnya angka kriminalitas yang dilakukan oleh tenaga kerja asing juga menjadi salah satu alasan kuat pemerintah

112

tetap mempertahankan kebijakannya yang ketat tersebut. Namun, perekonomian Jepang tentunya tidak mungkin dapat bertahan tanpa adanya unskilled workers. Oleh karena itu pada kenyataanya, meski bertentangan dengan pernyataan pemerintah, tenaga kerja asing unskilled workers hadir dan mengisi sektor-sektor pekerjaan kerah biru di Jepang.

Pada Bab sebelumnya telah disajikan data dan penjelasan terkait tenaga kerja imigran di Jepang, terutama golongan unskilled workers. Peserta TITP dan EPA, warga asing keturunan Jepang (Nikkeijin), dan pelajar/mahasiswa merupakan komposisi utama dari tenaga kerja imigran golongan unskilled workers di Jepang. Berdasarkan visa tinggal, mereka tidak bisa secara langsung dikatakan sebagai tenaga kerja, apalagi unskilled workers. Namun, bila ditilik lebih lanjut dari apa yang mereka kerjakan, terlepas dari status tinggal mereka, mereka mengerjakan pekerjaan-pekerjaan unskilled labors yang bahkan banyak dihindari oleh masyarakat Jepang sendiri.

Peserta Technical Intern Training Program (TITP) yang seharusnya belajar mengenai transfer teknologi dan pengetahuan di Jepang agar dapat diterapkan di negara asal mereka saat pulang, dimanfaatkan sebagai tenaga kerja di perusahaan-perusahaan Jepang yang kekurangan pekerja. Hal tersebut dengan jelas telah ditunjukkan lewat liputan Vice News yang dalam Bab sebelumnya telah sempat disinggung. Selain itu, sebuah NGO (Non-Government Organization)

113

yang mengurusi masalah imigran di Jepang, SMJ (Solidarity Network with Migrants Japan) telah berulang kali mengkritik program pemerintah tersebut akibat banyaknya laporan tentang pelanggaran hak-hak peserta magang. SMJ bahkan merekomendasikan pada pemerintah untuk menghapuskan TITP dan membuat sistem baru yang secara terbuka mengakomodasi penerimaan tenaga kerja imigran guna menghindari pelanggaran hak-hak peserta magang yang sering terjadi di TITP.76 Namun, harapan SMJ agar pemerintah menghapuskan TITP

tersebut agaknya masih akan sangat sulit untuk tercapai karena TITP masih menjadi andalan pemerintah dalam mendatangkan tenaga kerja murah. Japan Revitalization Strategy sebagai produk dari pemerintahan Abe yang mencantumkan revisi TITP guna menyedot lebih banyak tenaga kerja telah secara gamblang menunjukkan bagaimana pemerintah mengeksploitasi program tersebut karena desakan krisis pekerja yang dialami Jepang.

Kelompok selanjutnya adalah warga asing keturunan Jepang (nikkeijin) yang kebanyakan berasal dari Amerika Latin. Meskipun, mereka tidak mendapat pembatasan dalam bekerja karena status mereka sebagai “Spouse of Japanese atau long-term resident”, mayoritas dari para nikkeijin tersebut nyatanya bekerja sebagai unskilled workers. Ketika mereka pertama kali masuk ke Jepang secara massal, mayoritas dari mereka dipekerjakan di industri manufaktur yang saat itu memang kekurangan buruh pekerja. Bahkan Kementerian

114

Tenaga Kerja Jepang (Ministry of Labor), dengan konsensus dari kementerian lainnya, telah mendirikan Pusat Pemerkerjaan Nikkeijin (Nikkeijin Employment Centers) di Tokyo dan Nagoya yang memudahkan perusahaan-perusahaan Jepang untuk mempekerjakan Nikkeijin secara langsung tanpa melalui broker.77

Sebagaimana kebijakan “technical trainee” yang bertopeng ideologi untuk membantu perkembangan negara lain (negara berkembang), kebijakan nikkeijin ini juga disajikan dengan menyamar sebagai kebijakan penyatuan keturunan etnis Jepang ke kampung halaman.78 Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa status “technical

intern” yang diberikan kepada peserta TITP, maupun status “spouse of Japanese atau long-term resident” untuk para nikkeijin tersebut adalah status palsu atau lebih tepatnya adalah status bayangan atau samaran. Terlepas dari status atau visa tinggal mereka, peserta TITP dan nikkeijin tersebut adalah tenaga kerja asing unskilled workers untuk Jepang.

Status ganda (meski secara implisit) tersebut yang kemudian menjadikan kebijakan pemerintah Jepang terkait tenaga kerja imigran ini terlihat bias. Terdapat dualisme dari pemerintah dalam hal kebijakan dan implementasinya yang berbeda. Secara resmi, pemerintah menyatakan bahwa tidak ada pengakuan terhadap tenaga kerja asing kategori unskilled workers, akan tetapi realitas memperlihatkan bahwa peserta TITP dan Nikkeijin bekerja mengisi sektor-sektor golongan unskilled di perusahaan-perusahaan di Jepang. Oleh Gabriele Vogt,

115

Jepang sendiri dinilai sebagai contoh ekstrim negara yang memiliki policy output (kebijakan resmi) dan policy outcome (kenyataan) sangat berbeda, terutama dalam kebijakan imigrasi.79 Implementasi yang jauh

berbeda dengan prinsip kebijakan yang seharusnya tersebut, dalam penelitian ini, coba dipahami menggunakan konsep pemikiran Jepang sebagai berikut:

a. Honne to Tatemae (本音と建前)

Dualisme yang terdapat dalam kebijakan imigrasi Jepang tersebut dapat dipahami menggunakan konsep pemikiran Jepang (Concepts of the Japanese Minds) yaitu honne to tatemae (本音建前). Honne dapat diartikan sebagai motif atau niat terdalam dari seseorang, sedangkan tatemae merujuk pada motif atau niatan seseorang yang terbentuk secara sosial, atau dapat dikatakan sebagai sesuatu yang diharapkan, yang seharusnya dilakukan atau diucapkan sesuai dengan norma-norma utama yang berlaku dalam masyarakat.80 Dalam tulisan Yoshio Sugimoto

dijelaskan bahwa tatemae merujuk pada prinsip yang dibangun secara formal yang tidak perlu diterima atau dipraktikkan oleh pihak yang terlibat, sementara honne pada dasarnya merupakan perasaan dan keinginan yang sesngguhnya yang tidak bisa diungkapkan secara terbuka karena kekuatan dari tatemae.81 Secara sederhana honne adalah niatan asli yang ada didalam pikiran/benak aktor, sementara tatemae adalah apa yang

116

dipertunjukkan di luar. Honne to tatemae (honne dan tatemae) ini bisa jadi dipersepsikan layaknya keadaan das sein (yang senyatanya) dan das sollen (yang seharusnya). Honne merepresentasikan apa yang senyatanya (das sein), sementara tatemae merepresentasikan apa yang seharusnya (das sollen). Apabila tatemae merujuk pada ‘apa yang benar secara politik’, maka honne menunjukkan maksud sebenarnya yang terselubung dan tersembunyi.82

Jika dilihat dalam kebijakan imigrasi Jepang ini, honne atau maksud sebenarnya dari pemerintah Jepang dalam mendatangkan peserta TITP maupun nikkeijin tersebut tidak lain adalah untuk mengisi sektor-sektor pekerjaan unskilled workers di Jepang yang mengalami labor shortage. Namun, dipermukaan yang seharusnya sesuai dengan pernyataan pemerintah Jepang (tatemae), mereka masuk ke Jepang adalah sebagai peserta magang (untuk TITP) yang mencari ilmu dan pengalaman untuk digunakan di negara asal mereka ketika pulang, dan sebagai keturunan Jepang (untuk nikkeijin) yang kembali ke kampung halaman asal nenek moyang mereka.

Hal tersebut senada dengan pernyataan Hifumi Okunuki, dosen di Sagami Women’s University sekaligus Presiden Eksekutif dari Tozen Union (Zenkoku Ippan Tokyo General Union), dalam wawancara yang dilaksanakan peneliti melalui email. Okunuki

117

menyatakan bahwa dualisme kebijakan pemerintah tersebut merupakan bentuk honne to tatemae. Pemerintah Jepang membutuhkan pekerja bergaji rendah, dan untuk itulah pemerintah menggunakan peserta magang atau technical trainees. Peserta TITP tersebut pada dasarnya tidak belajar apapun kecuali bekerja untuk gaji yang rendah. Status mereka sebagai ‘trainees’ juga merupakan tatemae.

Chieko Kamibayashi, Professor di Departemen Ilmu Sosial Universitas Hosei, melalui wawancara yang dilakukan secara virtual juga menyatakan bahwa kebijakan imigrasi pemerintah Jepang tersebut merupakan wujud suatu dualisme (honne to tatemae). Kamibayashi menambahkan bahwa dualisme tersebut diperlukan oleh pemerintah baik untuk alasan domestik maupun hubungan diplomatik. Alasan domestik dalam hal ini adalah karena para politisi Jepang tidak ingin membahayakan posisi mereka. Para birokrat sadar akan kebutuhan Jepang akan tenaga kerja asing, akan tetapi masyarakat Jepang secara umum enggan untuk mengundang tenaga kerja asing. Politisi yang butuh untuk mempertahankan konstituennya guna memenangkan pemilu tentu memilih bermain aman dengan tidak mengangkat masalah imigrasi tersebut sebagai agenda politik. Oleh karena itu, melalui ‘pintu samping’ secara lihai pemerintah membawa masuk tenaga kerja asing tersebut sebagai Technical Internship Program (TIP). Alasan

118

kedua berkaitan dengan kesepakatan antara Jepang dengan Tiongkok yang merupakan negara pertama Jepang memulai Technical Internship Programnya. Dualisme disini diperlukan dalam hal negosiasi diplomatik. Tiongkok tidak mempermasalahkan ‘dualisme’ yang ada dalam program TIP Jepang karena dapat digunakan sebagai banner untuk menutupi pengiriman unskilled workersnya ke Jepang. Jepang dan Tiongkok, keduanya sama-sama diuntungkan dengan dualisme dari TIP. Melalui TIP, Jepang menutupi penerimaan unskilled workers dari luar, sementara Tiongkok menutupi pengiriman unskilled workers ke luar. Kedua faktor tersebutlah yang mempengaruhi kebijakan imigrasi Jepang saat ini, dan karena alasan domestik dan diplomatik tersebut pula dualisme dalam kebijakan imigrasi Jepang ini tercipta.

Gabriele Vogt dalam tulisannya yang berjudul “Closed Doors, Open Doors, Doors Wide Shut?: Migration Politics in Japan”, juga menyatakan bahwa di permukaan (omote), Jepang terlihat mempertahankan kebijakan migrasinyayang ketat dengan hanya menerima tenaga kerja asing skilled workers untuk periode waktu tertentu; namun di dalamnya atau inti (honne) dari kebijakan ini, terdapat strategi pembiaran terhadap arus masuk tenaga kerja asing unskilled workers.83 Kebijakan pemerintahan Abe untuk memenuhi kekurangan tenaga kerja domestik dengan mengembangkan TITP yang mulai dilaksanakan pada awal tahun

119

fiskal 2015 telah secara jelas menunjukkan honne dari pemerintah Jepang. Krisis ketenagakerjaan yang melanda Jepang ini agaknya telah berhasil mendesak pemerintah, sehingga honne yang ada di dalam mulai terlihat di luar bersama dengan tatemae.

b. Hedataru to Najimu (隔たると馴染む)

Selain honne to tatemae, konsep lain dari pemikiran Jepang yang dapat digunakan untuk memahami kebijakan pemerintah Jepang terhadap imigrasi tersebut adalah hedataru to najimu (隔たると馴染む). Hedataru dan najimu (hedataru to najimu) ini menjelaskan tentang hubungan antar manusia yang menyangkut aspek ruang personal (personal space) dari tiap individu. Hedataru berarti “memisahkan satu hal dengan yang lain”, dan biasanya juga digunakan untuk “mengasingkan, menjauhkan, menciptakan jarak diantara teman.” Sebaliknya, najimu berarti “terbiasa atau familiar atau yang biasanya dekat.”84 Ide dari Hedataru to najimu

menjelaskan hubungan keterikatan antar individu, dan ide tersebut telah terpatri dalam pola hubungan manusia di Jepang sehari-hari.

Konsep hedataru secara sederhana dapat diasumsikan sebagai sikap “asing” atau “menjaga jarak” dengan individu yang lain dalam sebuah hubungan atau interaksi. Dalam berinteraksi dengan orang lain (terutama dengan orang yang baru dikenal), orang Jepang cenderung akan membatasi diri dan menjaga jarak. Sebaliknya najimu dapat diartikan sebagai perasaan “dekat” atau

120

“akrab” dengan orang yang lain. Dalam pola hubungan orang Jepang, butuh waktu yang lama untuk dapat mengembangkan relasi sampai ke tahap najimu. Konsep dari hedataru to najimu tersebut secara jelas dapat ditemukan dalam kehidupan masyarakat Jepang sehari-hari. Contoh sederhana dapat dilihat dari bagaimana orang Jepang menggunakan nama untuk memanggil seseorang. Penyebutan nama pertama (first name basis) biasanya hanya digunakan oleh mereka yang sudah dekat/akrab (untuk anggota keluarga), atau dapat dikatakan telah berada dalam tahap najimu. Sementara itu, kebanyakan orang akan menggunakan atau menyebut nama keluarga (surname) untuk menyapa satu sama lain, bahkan antara teman sekelas ataupun rekan kerja.

Konsep hedataru to najimu tersebut diperlukan untuk memahami hubungan antar inividu dalam masyarakat Jepang, karena dengan adanya batasan dari hedataru to najimu maka personal space seseorang dapat terjaga sehingga dapat menghindari perasaan tidak nyaman. Adanya konsep hedataru to najimu tersebut membuat orang Jepang terlihat memiliki kepribadian yang tertutup. Mengembangkan hubungan dari tahap hedataru menuju najimu antar orang Jepang sendiri dapat dibilang tidak mudah dan membutuhkan waktu lama, akan tetapi orang Jepang tentunya sudah paham dan terbiasa dengan konsep tersebut. Namun, bagi orang asing yang tidak mengerti, tentunya

121

akan timbul ketidaknyamanan apabila orang asing tersebut mendobrak batasan-batasan (hedataru) atau personal space seseorang ketika berinteraksi dengan orang Jepang.

Kebijakan pemerintah Jepang terhadap tenaga kerja imigran sendiri juga dapat menjadi salah satu contoh dari hedataru to najimu. Kebijakan imigrasi Jepang yang memiliki aturan ketat yang hanya mengijinkan pekerja asing tinggal dalam periode waktu sementara atau dalam batas waktu tertentu di Jepang merupakan hedataru to najimu. Pemerintah Jepang dalam hal ini mencoba melindungi personal space Jepang dengan membangun tembok pembatas berwujud aturan imigrasi yang ketat tersebut. Pembatasan periode tinggal bagi tenaga kerja asing tersebut merupakan hedataru pemerintah untuk menjaga ruang personal Jepang/masyarakat Jepang dari invasi tenaga kerja dari luar. Impor tenaga kerja asing secara massal dan mengijinkan mereka tinggal di Jepang dalam jangka waktu panjang secara sederhana merupakan invasi terhadap personal space dari masyarakat Jepang, oleh karena itu pemerintah menolak ide tersebut.

Kebijakan pemerintah tersebut selaras dengan gagasan dari mayoritas masyarakat Jepang yang pada dasarnya tidak terlalu antusias dengan topik imigrasi yang merupakan isu sensitif untuk menjadi bahasan publik. Gabriele Vogt, Profesor bidang Politik dan Masyarakat Jepang di Universitas Hamburg, melalui wawancara

122

virtual yang dilakukan oleh peneliti, menyatakan bahwa Pemerintahan Abe tidak ingin membuka pasar tenaga kerja domestik untuk imigrasi skala besar –bahkan meski secara ekonomi dibutuhkan—karena kekhawatiran akan adanya kritik dari publik, atau dengan kata lain pemerintah berurusan dengan isu yang tidak populer disini. Namun, Vogt lebih lanjut menuturkan bahwa terdapat dua pengecualian disini yaitu:

1. Pemerintahan Abe menyatakan untuk mengembangkan trainee program (untuk sektor-sektor tertentu, yang kini termasuk sektor keperawatan, dengan menambah periode tinggal sampai dengan lima tahun dengan status visa “trainee”). Hal tersebut dilakukan murni karena alasan ekonomi, dan publik pun telah jelas memahami bahwa tenaga kerja asing tersebut nantinya akan (harus) pergi, sehingga tidak ada pandangan bahwa akan mereka akan tinggal.

2. Pengecualian kedua adalah segmen perekrutan highly skilled workers yang secara gencar terus digalakan oleh pemerintah Jepang. Hal ini dilakukan pemerintah atas dasar untuk meningkatkan daya saing secara global.

Dari kedua kasus tersebut, jumlah yang dibicarakan masih terbilang sangat sedikit. Kecuali untuk Tokyo dimana tenaga kerja asing dapat ditemukan dengan mudah, untuk kebanyakan orang Jepang

123

yang lain orang asing belum menjadi bagian dari keseharian hidup mereka. Hal tersebut sangat berbeda dengan keadaan di Eropa.

Meskipun resistensi publik terhadap penerimaan tenaga kerja asing terutama unskilled workers cukup tinggi, publik Jepang juga menyadari bahwa Jepang membutuhkan tenaga kerja tersebut. Dari survey yang dilakukan oleh pemerintah pada tahun 1990an, mayoritas responden yaitu sebanyak 71,4% setuju untuk menerima unskilled workers. Namun, mayoritas publik yaitu sebanyak 56,5% merasa bahwa unskilled workers tersebut dapat diterima dengan beberapa syarat khusus, terutama yaitu pembatasan waktu tinggal mereka.85 Pembatasan waktu tinggal tersebut menunjukkan

hedataru masyarakat Jepang terhadap tenaga kerja imigran. Meski sebagian besar menyetujui untuk menerima tenaga kerja imigran, namun berdasarkan survey yang dilakukan oleh pemerintah lokal di Tokyo terkait kesediaan publik untuk tinggal bersebelahan dengan buruh asing, 64% menyatakan tidak bersedia dan hanya 28% yang menyambut mereka.86 Survey dari Institut Kebijakan Publik pun

menunjukkan bahwa 56,6% responden merasa khawatir atau resah terhadap tenaga kerja asing dan keresahan tersebut semakin meningkat ketika jarak tempat tinggal mereka dengan orang asing semakin dekat.87 Isu terkait kejahatan yang dilakukan oleh warga

asing menjadi salah satu faktor utama yang mempengaruhi opini publik tersebut. Namun pada polling yang digelar pemerintah pada

124

tahun 2004 terkait penerimaan unskilled workers, 26% menyatakan menolak unskilled workers sepenuhnya, 39% menerima apabila penggunaan tenaga kerja wanita dan senior tidak cukup, dan hanya 17% yang menerima tanpa syarat.

Dari hasil survey dan polling tersebut, dapat dikatakan bahwa kesediaan publik Jepang dalam menerima tenaga kerja asing lebih didasarkan pada alasan ekonomi (kebutuhan akan pekerja). Pada kenyataannya, meskipun mereka diperbolehkan masuk ke Jepang, terdapat dinding penghalang atau batasan yang dibangun berupa kebijakan imigrasi Jepang tersebut yang merepresentasikan hedataru. PM Abe sendiri menyatakan bahwa Jepang tidak akan mengadopsi kebijakan imigrasi seperti Amerika Serikat.

“Amerika Serikat (AS) adalah negara dari imigran yang datang dari seluruh penjuru dunia dan membentuk AS. Banyak orang datang dan menjadi bagian dari negara negara tersebut. Kami tidak akan mengadopsi kebijakan seperti itu.”88

Petikan pernyataan diatas merupakan jawaban Abe terkait keputusan pemerintah untuk memperpanjang masa tinggal peserta TITP dari tiga tahun menjadi lima tahun. Selain itu, Abe juga menambahkan bahwa:

125

“Hal tersebut bukan merupakan kebijakan imigrasi. Kami ingin mereka bekerja dan menghasilkan gaji dalam periode waktu yang terbatas, dan kemudian pulang (ke negara asal).”

Pernyataan Abe yang menyebutkan bahwa Jepang tidak akan mengadopsi kebijakan seperti AS dimana imigran disambut dan menjadi bagian dari negara tersebut, memperlihatkan bahwa terdapat batasan atau dinding penghalang yang dibangun oleh pemerintah sebagai perwujudan dari konsep hedataru. Kebijakan pemerintah tersebut pun didukung oleh opini publik yang mayoritas masih enggan untuk menyambut dan hidup berdampingan dengan warga asing.

Penerimaan tenaga kerja imigran ke Jepang tersebut pada dasarnya hanya dilandasi atas pragmatisme pemerintah untuk mengatasi masalah labor shortage yang merupakan perwujudan dari honne. Pengenalan tenaga kerja unskilled workers tersebut dengan topeng sebagai peserta TITP dan nikkeijin merupakan perwujudan dari tatemae. Namun, meski Jepang menerima tenaga kerja ‘bertopeng’ tersebut, kebijakan ketat berupa pembatasan waktu tinggal menunjukkan sisi resisten pemerintah terhadap tenaga kerja asing yang merupakan perwujudan dari konsep hedataru to najimu.

126

Dari elaborasi diatas dapat dilihat bahwa kebijakan pemerintah Jepang terkait tenaga kerja imigran mengalami implementasi yang bias atau tidak sesuai dengan yang seharusnya. Dalam analisis implementasi kebijakan, perubahan dari kebijakan itu sendiri merupakan salah satu aspek yang disoroti. Bardach dalam bukunya yang berjudul “The Implementation Game” menjabarkan bahwa implementasi pada dasarnya adalah sebuah permainan “tawar-menawar, persuasi, dan maneuver di dalam kondisi ketidakpastian”.89 Implementesi kebijakan

Jepang terhadap tenaga kerja imigran yang bias sendiri tentunya juga tak dapat lepas dari permainan kepentingan dari aktor-aktor yang terlibat. MOJ sebagai lembaga pemerintah yang paling berkuasa dalam bidang aturan imigrasi mungkin memasang sikap yang keras terhadap masalah penerimaan pekerja imigran. Namun kebutuhan Jepang untuk mendatangkan tenaga kerja asing, yang disuarakan lewat METI dan Keindanren, tentunya juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Di sisi lain, masyarakat Jepang sendiri mayoritas masih memiliki resistensi yang cukup tinggi terhadap tenaga kerja imigran. Perbedaan pandangan dan bentrokan kepentingan dari beberapa pihak tersebut tentunya mempengaruhi implementasi kebijakan sendiri. Dalam hal ini, pemerintah Jepang sendiri mencoba mengakomodir kepentingan yang berbeda-beda tersebut sehingga dalam implementasinya kebijakan pemerintah menjadi tidak sesuai dengan yang seharusnya.

127 Catatan Akhir

1 Burt S. Barnow, “How Do You Know A Labor Shortage When You See One?”, hlm.1

2 Hans J. Morgenthau, Politik Antar Bangsa, hlm.153

3 Junichi Akashi. “New aspects of Japan’s immigration policies: is population decline opening the doors?”, hlm.188

4 Gabriele Vogt. “When the Leading Goose Gets Lost:Japan’s Demographic Change and the Non-Reform of its Migration Policy”, hlm.23

5 Anthony Fensom, “Japan’s Robot Revolution.”

6 Anthony Fensom, ibid.

7 Yoshiaki Nohara, “In Japan, the Rise of Machines Solves Labor Shortage.”

8 Emily S Chen. “Women: The Economic Saviors of Japan?.”

9 Yasuchi Iguchi. “What Role Do Low-Skilled Migrants Play in the Japanese Labor Markets?”, hlm.1051

10 Budi Winarno, Kebijakan Publik: Teori dan Proses, hlm.16

11 Anderson dalam Budi Winarno, Kebijakan Publik: Teori dan Proses, hlm.18

12 Budi Winarno, op.cit, hlm.20

13 Chizuko Hayakawa, “Labor Law and Policy Issues Relating to Foreign Workers”, hlm.20

14 Takeyuki Tsuda, “Japan: Government Policy, Immigrant Reality”, hlm.11

15 Junichi Akashi, op.cit, hlm.180

16 Immigration Bureau. “Points-based System for Highly Skilled Foreign Professionals.”

17 Immigration Bureau, ibid.

18 Takashi Kodama, “Japan’s Immigration Problem”, hlm.3

19 Masahiko Yamada, “Current Issues on Foreign Workers in Japan”, hlm.6

20 Chizuko Hayakawa, op.cit, hlm.24

21 Chizuko Hayakawa, ibid.

22 Takashi Kodama, loc.cit.

23 Takashi Kodama, ibid.

24 CNBC, “Japan Needs Foreign Workers, But Will They Come?.”

25 Wayne Parsons, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan, hlm.249

26 Prime Minister of Japan and His Cabinet, “Press Conference by Prime Minister Abe (June 24th 2014).”

27 Jonathan Soble, “Japan Stands by Immigration Control Despite Shrinking Population.”

28 Chris Burgess, “Japan’s ‘No Immigration Policy’ Looking as Solid as Ever.”

29 Chris Burgess, “Multicultural Japan? Discourse and the ‘Myth’ of Homogeneity.”

30 Chris Burgess, ibid.

31 Yoshio Sugimoto, An Introduction to Japanese Society: Second Edition, hlm. 2

Dokumen terkait