• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

B. Dyadic Coping

1. Definisi Dyadic Coping

Teori mengenai dyadic coping dikemukakan oleh Bodenmann (1995) yang didasarkan pada Transactional Stress Theory dari Lazarus & Folkman (1984). Transactional

stress theory merujuk kepada bagaimana stresor dapat dinilai dan diterima oleh seseorang dan bagaimana seseorang tersebut memberi respon atas penerimaan

dan penilaian terhadap stresor tersebut. Transactional Stress Theory menerangkan bahwa bagaimana stresor yang positif maupun negatif dapat diterima dan dinilai oleh seseorang. Ketika seseorang pertama kali menghadapi stresor maka, proses penilaian awal akan terjadi, orang tersebut akan mempertimbangkan bagaimana akibat stres akan mempengaruhi tujuan pribadi dan kesejahteraannya.

Berdasarkan Transsactional Stress Theory tersebut, Bodenmann (1995) mengembangkan menjadi suatu model yang sistemik dan erat kaitannya dengan proses yang dinamakan Systemic-Transactional Model. Model ini melihat bagaimana menghadapi stres yang dialami bersama dan bagaimana pasangan mengatasi masalah baik secara individual maupun kolektif sebagai suatu unit. Dari pengembangan model tersebut, Bodenmann (1995) mengenalkan dyadic coping yang didefinisikan sebagai upaya yang digunakan satu atau kedua pasangan untuk mengatasi situasi stres dimana upaya tersebut merupakan pola interaksi antara kedua belah pihak. Dyadic coping bertujuan untuk pemulihan atau pemeliharaan keseimbangan emosi masing-masing pasangan, perilaku, dan kehidupan sosial.

Bodenmann (2005) menyebutkan bahwa dyadic coping merupakan proses interpersonal yang melibatkan kedua pasangan di dalam hubungan pernikahan. Penelitian

yang dilakukan oleh Meier, Bodenmann, Morgeli, & Jenewin (2011) menyebutkan bahwa

dyadic coping bertujuan untuk menyeimbangkan well being secara individu atau dengan pasangan. Pasangan yang memiliki hubungan dyadic coping yang baik, akan memperoleh keuntungan dalam suatu hubungan. Dyadic coping juga dapat meningkatkan rasa percaya diri, rasa aman, dan kedekatan antar pasangan.

Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat disimpulkan dyadic coping merupakan proses interpersonal yang melibatkan kedua pasangan untuk mengatasi situasi stress dimana upaya tersebut merupakan pola interaksional yang memberikan keuntungan dalam suatu hubungan yang bertujuan untuk menyeimbangkan well being secara individu atau ketika dengan pasangan

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dyadic Coping

Dyadic coping yang digunakan individu berbeda-beda tergantung dari situasi stres yang dihadapi oleh individu dan pasangan dalam hubungan interpersonal. Bodenmann (2005) menjelaskan bahwa seluruh bentuk dyadic coping dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut ini:

Faktor pertama adalah individual skills yang meliputi kemampuan mengkomunikasikan stres, kemampuan menyelesaikan masalah, kompetensi sosial, dan kemampuan berorganisasi. Individual skills, merupakan cara individu menyampaikan apa yang dirasakannya kepada pasangan, dengan penggunaan bahasa yang baik dalam berkomunikasi, mendiskusikan permasalahan, dan cara-cara yang akan ditempuh untuk menyelesaikan masalah, hingga memutuskan langkah apa yang akan diambil. Kemampuan-kemampuan tersebut perlu dimiliki individu agar dapat memunculkan dyadic coping. Penelitian yang dilakukan oleh Rahmantika & Handayani (2012) mengatakan ketika terjadi

konflik didalam pernikahan, individu akan berusaha untuk mengatasi konflik tersebut dengan strategi coping, hal ini merupakan upaya untuk meyelesaikan masalah yang dihadapi.

Faktor kedua adalah motivational factor yang meliputi kepuasan hubungan atau ketertarikan dalam suatu hubungan yang lama. Dalam motivational factors, dyadic coping

bisa berbeda karena perbedaan kepuasan pernikahan yang dirasakan oleh setiap individu. Ketika komunikasi lancar, konflik jarang terjadi, dan ada pembagian antara peran dan tanggung jawab, maka individu tersebuat akan puas dengan hubungan yang dijalani bersama pasangan. Boddenmann, (1995) juga menjelaskan adanya kepuasan dari hubungan yang dijalankan bersama pasangan membuat individu menjadi termotivasi untuk membantu pasangannya.

Faktor ketiga adalah contextual factor yang merupakan level dari pengalaman stres yang pernah dialami pasangan atau kondisi mood mereka. Penelitian studi kasus yang dilakukan oleh Rahmayanti (2012) menyebutkan bahwa reaksi stres akan lebih kuat ketika individu memiliki pengalaman terdahulu terhadap kejadian stres tertentu.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi dyadic coping adalah individual skill yang mencakup kemampuan mengkomunikasikan stres, kemampuan menyelesaikan masalah, kompetensi sosial, dan kemampuan berorganisasi. Faktor lain adalah motivational factor yang mencakup kepuasan hubungan, dan contextual factor yang merupakan pengalaman stres yang pernah dialami pasangan.

3. Aspek-Aspek Dyadic Coping

Dyadic coping pada awalnya diukur menggunakan FDCT-N (Frogebogen zur Erfassung des Dyadischen Coopings als Tendenz) yang disusun oleh Bodenmann pada tahun

1990. Seiring berjalannya waktu Bodenmann mengembangkan dan mengadaptasi alat ukur ini pada tahun 1995 dan 2000. Adaptasi terakhir yang dilakukan Bodenmann bersamaan dengan perubahan nama instrument menjadi Dyadic Coping Inventory (DCI). Aspek-aspek

dyadic coping yang dipaparkan oleh Bodenmann (2005) adalah:

a. Stress Communication

Berkaitan dengan bagaimana individu dalam mengkomunikasikan kondisi stres yang dirasakan kepada pasangan, seperti dukungan emosional terhadap pasangan, berbagi kondisi stres membantu pasangan menghadapi situasi stres, mengkomunikasikan stres yang sedang dihadapi kepada pasangan. Sarwono (1997) mengatakan komunikasi merupakan salah satu faktor penentu positif dan negatif dari hubungan interpersonal. Menurut Wijayanti (2013) komunikasi dapat mempererat hubungan keluarga dan menciptakan perasaan nyaman, apabila terjadi komunikasi yang tidak baik akan berdampak bagi keharmonisan dalam keluarga sehingga permasalah dalam keluarga tidak dapat terselesaikan.

b. Supportive Dyadic Coping

Segala bentuk dukungan yang disediakan oleh pasangan dalam konteks situasi yang berat (stres) dengan tujuan untuk menemukan keadaan adaptif yang baru.

Supportive dyadic coping diasumsikan terjadi didalam situasi dimana salah satu pihak sedang membutuhkan bantuan dan pihak lain mampu untuk memberikan dukungan yang dibutuhkan. Menurut Thoits (1986) ketika individu sedang dalam masalah, pasangan dapat membantu dengan memberikan saran dan relaksasi serta mampu memberikan perasaan positif seperti perasaan cinta, empati, dan kebersamaan.

c. Delegated Dyadic coping

Delegated dyadic coping adalah usaha salah satu pasangan mengambil alih tanggung jawab secara seutuhnya untuk mengurangi stres pasangannya. Jenis coping ini biasa digunakan untuk menghadapi pemicu stres yang berorientasi pada masalah (problem-oriented). Misalnya ketika suami tiba-tiba mengalami penurunan gula darah dan tidak dapat menjlankan tugasnya, maka istri mengambil alih tugasnya seperti mengantar anak ke sekolah ( Bodenmann,2005).

d. Common Dyadic Coping

Usaha coping dimana kedua pasangan berpartisipasi secara simetris (sejalan) dan saling melengkapi untuk menyelesaikan masalah dalam situasi stres. Maksudnya adalah tujuan yang ingin dicapai oleh kedua belah pihak sama. Common dyadiccoping meliputi strategi yang berorientasi pada masalah seperti, pengasuhan anak, pembagian keuangan, mencari informasi bersama dan saling bertukar imformasi, dan mendiskusikan solusi dari sebuah permasalahan. Penelitian yang dilakukan oleh Johnson dkk (2013) kepada 117 pasangan dengan diabetes mengatakan bahwa dengan menggunakan common dyadic coping pasangan dapat menyesesaikan permasalahan atau konflik secara optimal karena dengan adanya common dyadic coping, pasangan tidak hanya melihat permasalahan dari sudut pandang individu saja tetapi juga berdasarkan sudut pandang pasangan, sehingga didapat hasil penyelesaikan yang tidak merugikan kedua belah pihak.

Individu dalam menghadapi situasi stres tidak menutup kemungkinan untuk menampilkan bentuk negative dari dyadic coping. Bodenmann (2005) menjelaskan bahwa negative dyadic coping terdiri dari hostile dyadic coping, ambivalent dyadic coping, superficial dyadic coping. Hostile dyadic coping merupakan dukungan yang disertai dengan penghinaan, mengejek, dan menampilkan ketidaktertarikan. Pasangan memberikan dukungan namun dengan cara yang negatif, ada unsur kekerasan didalamnya, baik secara verbal maupun non verbal. Ambivalent dyadic coping adalah

coping yang terjadi ketika pasangan mendukung pasangannya dengan tidak baik atau dengan sikap bahwa kontribusi yang diberikan seharusnya tidak perlu. Superficial dyadic coping adalah coping yang meliputi dukungan tidak tulus yang diberikan kepada pasangan.

Berdasarkan uraian diatas, disimpulkan bahwa dyadic coping dapat dilihat berdasarkan lima aspek yaitu: a) communication stress yang mencakup cara individu mengkomunikasikan stres dengan pasangan, b) supportive dyadic coping yang mencakup segala bentuk dukungan yang disediakan oleh pasangan dalam situasi stres, c) delegated dyadic coping mencakup usaha salah satu pasangan mengambil alih tanggung jawab pasangan untuk mengurangi stres, d)

common dyadic coping yang mencakup kedua pasangan berpartisipasi untuk menyelesaikan masalah dalam menghadapi situasi stres, dan e) negative dyadic coping Yang merupakan dukungan yang disertai oleh penghinaan dan pengejekan.

Dokumen terkait