• Tidak ada hasil yang ditemukan

Responden mengaku jarang berkelahi dengan suaminya. Menurutnya pasangan berkelahi karena omongan-omongan kasar yang terlontar. Namun jika individu itu pendiam akan cenderung halus dalam bertutur kata sehingga tidak membuat amarah memuncak dan akhirnya berkelahi. Responden dan pasangannya akan membicarakan suatu perbedaan pendapat dengan baik-baik sehingga tidak ada perkelahian yang terjadi

Alhamdulillah nggak. Kami kalau ada sesuatu ya ngomong aja. Om ini kan orangnya pendiam, jadi dia ee.. orang berkelahi kan karena kasar ngomongnya, kalau pendiam halus.

(S1.W1.b310-313)

Sekarang responden dapat menyimpulkan bahwa seluruh kebutuhannya telah terpenuhi. Dia memiliki suami dan anak yang baik, memiliki rumah, sudah bisa naik haji, keuangannya juga mencukupi. Ia hanya tinggal berharap semua anaknya bisa segera menyelesaikan pendidikan, mendapat pekerjaan, dan kemudian menikah. Ia ingin kelak anaknya mendapatkan istri yang sholeha, baik, ramah, dan menyayangi dirinya beserta suaminya. setiap manusia pasti tidak ada puasnya namun ia tidak serakah dan mensukuri semua pemberian Tuhan padanya. Responden bisa bersukur

karena ia tidak membanding-bandingkan dirinya dengan orang yang berlebih darinya, ia membandingkan dengan orang-orang yang kekurangan sehingga ia bisa melihat betapa dia sangat beruntung dengan segala sesuatu yang dimiliki. Segala sesuatunya harus disesuaikan dengan kemampuan.

Kalo suami menurut saya suami baik. Kalo kita pengen punya harta sekian beli ini ini ya mungkin kurang puas aja. Tapi kalo saya, anak-anak kita kuliah, mudah-mudahan kuliahnya cepat selesai, cepat dapat kerjaan, nanti dapat istri yang sholeha yang sayang sama kita, baik ramah nggak neko-neko nggak buat sakit hati, yakan. apa lagi. Ya tinggal si kecil ini la. Kalo secara itu kan manusia kan sebenernya nggak ada puasnya. Tetapi ya kalo ikhlas nya udah, financial ya wes apalagi, suami, anak kuliah, ya kita kan doanya ke depannya baek-baek, apa lagi coba. Rumah, rumah ya jangan minta yang besar-besar. Kalo kita minta nya, menggapainya yang apa ya susah. Kita sesuaikan dengan kemampuan. Kalo menurut saya sih gitu ya. kalo dibandingkan di bawah-bawah. Nengoknya jagan ke atas. Sama Allah udah dikasih rejeki, udah dikasih rumah, udah pengen naik haji, dikasi naik haji.

(S1.W2.b684-705)

2. Responden 2

a. Identitas Diri Responden

Tabel 3. Identitas Diri Responden 2

Nama R2

Usia 21 tahun

Usia pernikahan 1 tahun 3 bulan

Lamanya Commuter Marriage 1 tahun 3 bulan

Pekerjaan Mahasiswa

Suku Melayu

Pendidikan S-1

Agama Islam

b. Jadwal Wawancara

Tabel 4. Jadwal Wawancara Responden 2

No Hari, Tanggal Waktu Tempat

1. Sabtu, 15 Maret 2014 13.00 – 13.50 Rumah responden 2. Senin, 26 Mei 2014 13.00 – 14.30 Rumah responden 3. Sabtu, 31 Mei 2014 14.00 – 15.20 Rumah responden

c. Rangkuman Hasil Wawancara

Responden adalah seorang mahasiswa semester delapan tingkat akhir di suatu universitas swasta di kota Medan. Sekarang ia memiliki anak berusia 5 bulan. Mereka menjalani commuter karena mereka ingin tetap mempertahankan karir masing-masing. Responden ingin tetap melanjutkan kuliahnya di Medan sedangkan suaminya ingin tetap bekerja di Bagan Batu. Inilah yang menyebabkan mereka berpisah. Di Medan, responden tinggal di rumah orangtuanya bersama orangtua dan saudaranya. Selama dirinya ditinggal oleh suami bekerja, ia sibuk dengan perkuliahan dan mengurus anaknya. Responden sering merasa curiga pada suaminya di Bagan Batu

karena takut suaminya selingkuh dan terjadi hal-hal yang tidak baik. Kecurigaan ini didasari oleh keberadaan mantan pacar suaminya yang bekerja di tempat yang sama. Biasanya dia akan menghubungi suaminya jika merasa was-was. Dia juga menegur suaminya agar tidak bergaul dengan mantan pacarnya itu. Suaminya akan kesal jika ia suka mengungkit-ungkit hal itu. Suaminya akan menyuruhnya pulang saja ke Bagan Batu jika terus cemburu. Walaupun begitu responden tidak mau pulang karena ia bertekad untuk tetap menyelesaikan pendidikannya hingga selesai.

Sebelum memiliki anak, responden sering merasa kesepian karena suaminya tidak tinggal bersamanya. Dia akan pergi ke rumah saudaranya untuk berbagi cerita agar rasa kesepiannya berkurang. Selain itu dia akan berkumpul dengan teman-temannya. Menurutnya hanya statusnya saja yang berubah. Bagaimanapun ia masih wanita umur 21 tahun yang masih suka bergaul dengan teman-teman seumurannya.

Setelah memiliki anak, seluruh waktunya dicurahkan pada anaknya. Apabila sudah selesai kuliah, ia akan langsung pulang untuk mengurus anak. Untung bagi responden ia hanya kuliah dari jam 5 sore hingga sebelum maghrib tiba. Ketika dia kuliah, nenek, ibu, dan saudaranya di rumah bersedia menjaga anaknya sehingga bebannya berkurang sedikit. Walaupun begitu suaminya suka menanyakan padanya apakah dia sudah pulang sehabis maghrib karena khawatir pada anak mereka. jika setelah maghrib dirinya masih belum pulang juga, suaminya akan kesal padanya. Ia akan langsung pulang setelah suaminya memarahinya.

Diakuinya bahwa perannya sebagai mahasiswa sekaligus ibu commuter marriage ini membuatnya sangat menguras pikiran dan fisiknya. Namun anak juga bisa menjadi sumber stress baginya apalagi jika anaknya sedang sakit atau susah minum susu. Hal tersebut mengganggu pikirannya. Semua itu terhapus jika ia melihat anaknya tersenyum. Menurutnya senyuman anaknya bisa membuat lelahnya berkurang dan semangat kembali.

d. Observasi Pada Saat Wawancara

Wawancara 1

Wawancara dilaksanakan pada 15 Maret 2014 di ruang tamu sekaligus ruang keluarga rumah responden. Peneliti datang bersama seorang teman yang memperkenalkan responden pada peneliti. Pada saat peneliti sampai, responden hendak melaksanakan shalat Zhuhur. Ia meminta waktu sebentar untuk shalat sebelum wawancara dilaksanakan. Sambil menunggu responden yang sedang shalat, responden dihidangkan minuman oleh ibu responden. Setelah selesai, responden keluar dari kamar sambil membawa anaknya yang masih bayi. Karena akan menjalani wawancara, teman peneliti menawarkan diri untuk menjaga anak responden selama wawancara berlangsung.

Ruang tamu rumah responden berukuran sekitar 4x4 m. Di dalamnya ada sebuah meja yang dikelilingi 3 buah kursi. Dua buah kursi panjang dan sebuah kursi

kecil. Posisi kursi panjang saling berhadapan dan kursi kecil di ujung meja. Ada juga sebuah TV berukuran 21 inchi di atas sebuah meja kecil.

Responden sendiri mengenakan jilbab berwarna putih dan setelan baju dan celana panjang berwarna coklat muda. Wajahnya masih terlihat cerah karena baru saja selesai sholat.

Pada awal wawancara, responden masih terlihat kaku. Ia menjawab seadanya saja, meminta mengulang pertanyaan, dan tidak menjawab seperti yang diminta oleh peneliti. Namun setelah berjalan beberapa menit, responden mulai banyak bicara. Ia menjawab dengan panjang dan hampir selalu memberikan contoh nyata di setiap jawabannya.

Di sela-sela wawancara, apabila anaknya menangis minta susu, responden meminta izin untuk menyusui anaknya terlebih dahulu sebelum melanjutkan wawancara. Setelah itu anaknya kembali dititipkan pada teman peneliti dan responden melanjutkan wawancara bersama peneliti.

Di akhir wawancara peneliti meminta kesediaan responden untuk melakukan wawancara selanjutnya. Sebelum pulang peneliti masih mengobrol-ngobrol sedikit bersama responden dan bermain dengan anaknya. Setelah itu peneliti pamit pulang.

Wawancara kedua dilaksanakan pada tanggal 26 Mei 2014 di ruang tamu responden seperti pada wawancara pertama. Responden mengenakan jilbab putih dan masih menggunakan baju tidur berwarna putih dan biru begitu juga dengan celananya. Ia sedang melayani seorang pembeli di warungnya saat peneliti tiba. Responden pun menyambut peneliti sambil menggendong anaknya. Setelah selesai melayani pembeli, ia mempersilahkan responden masuk ke dalam.

Sebelum memulai wawancara, peneliti mempersiapkan alat perekam dan dafar pertanyaan. Kemudian peneliti menanyakan apakah wawancara sudah dapat dimulai. Pada saat hendak memulai wawancara, ada seorang pemuda yang adalah seorang penghuni kos responden. Pemuda itu sangat berisik dan responden tidak bisa berkonsentrasi. Akhirnya responden mengajak untuk melakukan wawancara di sebuah tempat pangkas milik keluarganya. Kebetulan saat itu tempat pangkas sedang ditutup sehingga bisa digunakan untuk wawancara.

Tempat pangkas itu berukuran sekitar 2x3m. Di dalamnya terdapat dua buah kursi pangkas menghadap satu sisi ruangan dengan cermin. Di bawah cermin itu ada meja dengan berbagai peralatan pangkas seperti gunting, pisau cukur, sabun. Di dalam ruangan juga ada dua buah kursi tunggu yang panjang yang terbuat dari bambu. Di atas kursi tunggu ini juga ada cermin panjang yang kelihatannya berguna untuk bisa melihat model rambut dari belakang. Selain cermin, ada juga beberapa poster dengan berbagai model potongan rambut tertempel di dinding dekat cermin.

Setelah merasa nyaman dimulailah wawancara. Kali ini responden sudah lebih nyaman dibandingkan wawancara sebelumnya. Ia terdengar lancar menjawab pertanyaan dari peneliti walaupun sesekali ia berhenti untuk memikirkan jawabannya.

Pada saat pertanyaan tentang seksualitas ia menjawab sambil tersenyum dan terlihat malu-malu. Selain itu ia biasa-biasa saja. Selama wawancara, dia menggendong anaknya sambil menyusui dan menidurkannya sehingga responden berdiri ketika diwawancarai. Di pertengahan wawancara ia meminta izin untuk melaksanakan sholat Zhuhur. Peneliti pun mempersilahkannya.

Selesai melaksanakan sholat Zhuhur, wawancara kembali dilanjutkan hingga selesai. Setelah itu peneliti tidak langsung pulang. Peneliti mengobrol ringan bersama responden mengenai kuliahnya. Sekitar 30 menit mengobrol barulah peneliti meminta izin untuk pulang sambil meminta kesediaan untuk diwawancarai lagi.

Wawancara 3

Wawancara ketiga dilakukan pada hari Sabtu, 31 Mei 2014. Peneliti kembali datang bersama dengan seorang teman. Responden yang sedang menggendong anaknya mempersilahkan masuk. pada hari itu responden mengenakan setelan berwarna biru muda dan jilbab putihnya. Peneliti duduk dan mengeluarkan alat perekam untuk memulai wawancara. Teman peneliti menawarkan diri untuk menjaga anak responden agar wawancara bisa berjalan lebih leluasa. Sebelum dimulai ibu responden datang membawa minuman untuk peneliti dan temannya.

Wawancarapun dimulai setelah responden sudah merasa siap. Selama wawancara berlangsung responden menjawab dengan tenang dan lancar. Ia mulai berbicara dengan nada yang meninggi ketika membicarakan sifat suaminya yang tidak ia sukai dan keponakannya yang sekarang tinggal lagi bersama mereka.

Di tengah-tengah wawancara responden tak lupa meminta peneliti untuk minum yang telah disediakan. Setelah selesai wawancara, responden mengobrol-ngobrol sedikit sebelum akhirnya pulang.

e. Latar Belakang Commuter Marriage

Sebelum menikah, responden dan suaminya telah menjalani pacaran sekitar tiga tahun. selama dua tahun pertama mereka pacaran jarak dekat. Mereka sama-sama berada di kota Medan. Awalnya suaminya kost di rumah responden karena suaminya bekerja di sebuah rumah sakit dekat rumah responden. Itulah awal pertama jumpa responden dengan suaminya. pada saat itu responden masih kelas 3 SMA. Selama beberapa bulan tinggal di atap yang sama tumbuhlah benih-benih cinta di antara responden dan suaminya hingga akhirnya mereka pacaran. Dua tahun berjalan dalam suatu hubungan pacaran, suaminya ditawarkan untuk bekerja ke Bagan Batu. Inilah awal perpisahan responden dengan suaminya. namun walaupun begitu mereka tetap pacaran.

Setahun menjalani pacaran jarak jauh akhirnya suaminya melamar responden. Sebelumnya mereka telah mendiskusikan mengenai pernikahan yang akan mereka jalani. Keduanya bersikukuh dengan karir masing-masing. Responden ingin tetap melanjutkan kuliahnya di Medan dan suami ingin tetap bekerja di Bagan Batu. Suaminya setuju saja dengan alasan responden tentang perkuliahannya karena hal itu menyangkut masa depan responden juga. Responden juga setuju saja dengan alasan suaminya yang harus menetap di Bagan Batu karena itulah sumber keuangan suami dan keluarga jika nantinya mereka menikah kelak. Dari berbagai pertimbangan tersebut akhirnya tercapailah suatu kesepakatan bahwa mereka akan menikah namun tidak tinggal bersama

f. Penyesuaian Pernikahan Responden

Responden sejak awal pernikahannya sudah menjalani commuter marriage. Umur pernikahannya baru menginjak 1 tahun 3 bulan. Sebagai pasangan muda, tentunya responden masih butuh penyesuaian terhadap keadaan pernikahan jarak jauhnya ini. area penyesuaian yang paling mencolok adalah pengasuhan anak dimana ia harus mengasuh bayinya tanpa kehadiran suami sedangkan ia juga harus kuliah. Selain itu responden juga harus pandai mencari waktu dan melihat kondisi jika ingin berdiskusi dengan suami saat ingin mengambil keputusan karena suaminya yang temperamental dan keras. Responden sebagai pasangan muda yang masih aktif secara

seksual juga harus menyesuaikan pemenuhan kebutuhan seksualnya karena jarak yang memisahkan antara dirinya dan suami. Keuangan juga menjadi area yang krusial bagi responden karena pendapatan yang tidak menentu sedangkan pengeluaran yang besar untuk kuliah dan anak mereka. Adapun gambaran penyesuaian yang dilakukan responden terhadap beberapa area tersebut adalah sebagai berikut.

1) Dyadic Cohesion

Walaupun terpisah oleh jarak yang jauh, responden selalu meminta pendapat suaminya dan mempertimbangkan masukan dari suaminya jika hendak memutuskan sesuatu. Ia mengaku suaminya juga suka meminta pendapat padanya namun walaupun begitu suaminya tidak mendengarkan masukannya. Ia hanya diam saja kalau suaminya sudah begitu. Percuma juga melawan karena suaminya orang yang keras.

Itu selalu minta pendapat. Pokoknya selalu minta pendapat dia lah. (S2.W2.b125-126)

Dia minta pendapat saya cuman nggak mau dengerin. Nggak mau nerima masukan saya. Yaudah.

(S2.W2.b106-108)

..abang itu juga keras orangnya. Apapun masukan dari kita dia nggak pernah mau nerima.

(S2.W2.b143-145)

Ketika responden ingin mengutarakan keinginannya pada suami, biasanya ia menunggu saat yang tepat. Jika suaminya terlihat lelah sepulang dari kerja dia tidak

berani mengutakan karena bisa-bisa suaminya malah akan memarahinya. Saat yang tepat menanyakan sesuatu adalah ketika suaminya sedang dalam suasana hati yang baik dan tidak stres. Responden memang tidak tahu bagaimana pasien yang dihadapi suaminya di rumah sakit. Ada saja kemungkinan pekerjaan membuat suaminya stres atau tidak dalam suasana hati yang baik untuk membicarakan susuatu sehingga responden harus pandai-pandai melihat keadaan suaminya. Jika tidak, semuanya bisa berujung pada pertengkaran.

Diomongin tapi nunggu momen yang tepat. Misalnya kalau dia lagi capek saya nggak berani tuh nanya apa-apa. Memang nunggu dia kayak yang, oo.. dia bisa ni diomongin. Hatinya pun bagus, dia pun nggak yang lagi marah, lagi stres. Karena kan nggak tau, dia lagi sama pasien nya atau pasien lagi gimana di rumah sakit. Kalau misalnya dia pulang kerja ada yang saya tanyain sementara dia lagi nggak mood, jadinya gaduh. Nggak cocok gitu waktunya. Tapi kalau dia memang lagi mood, lagi bagus, mau saya nanya nya. Itu kalau lagi bagus. Tapi kalau lagi nggak bagus saya tanyain dia marah.

(S2.W1.b182-195)

Ekspresi wajah menjadi tanda-tanda bagi responden untuk mengetahui suasana hati suaminya untuk diajak bicara. Selain itu ia juga mengetahui suasana hati suaminya sedang baik ketika suaminya sedang bercanda dengan anak mereka dan tertawa bersama. Intinya suaminya bisa diajak bicara jika sedang tidak berdiam diri saja. Kalau suaminya sudah diam saja dan ketika diajak bicara sudah menunjukkan tanda-tanda akan marah maka saat itu bukanlah saat yang tepat untuk menanyakan sesuatu pada suaminya. Ia akan menunda sampai mendapat momen yang tepat.

Ya nampak gitu dari ekspresi wajahnya. Trus kalau lagi bagus itu kadang dia ganggui anaknya ntah ketawa-tawa. Disitu lagi bagus, kalau nggak biasanya dia diam, trus kalau ditanyain mau marah aja berarti nggak waktu yang tepat.

(S2.W1.b198-203)

Ekspresi suami bisa ia lihat jika mereka sedang bersama. Namun jika mereka sedang berjauhan dan ada yang ingin dia bicarakan pada suaminya maka ia akan menghubungi suaminya. Dia mengetahui kesiapan suaminya untuk dapat diajak berbicara adalah saat suaminya memintanya bicara. Jika sudah seperti itu dia akan bicara. Jika memang harus ditunda maka responden akan menunda dan menghubungi suaminya saat sudah ada waktu lagi.

Dia kasih ngomong ya ngomong kalau dia bilang nanti ya nanti. (S2.W1.b224-225)

Masalah keuangan menjadi hal yang paling sering mereka bicarakan karena semua gaji suaminya dipegang oleh responden sehingga suaminya akan menanyakan kemana saja pengeluaran keuangan. Hal ini sering dibicarakan ketika dia sudah menerima gaji suaminya tersebut. Selain itu mereka mereka juga mengontrak rumah di Bagan Batu sehingga pengeluaran keuangan mereka belum menentu. Responden sering mengeluhkan keadaan tempat tinggal mereka ini. ia ingin mereka cepat-cepat punya rumah sendiri.

Cuma ditanya aja la kejelasan uangnya itu kemana? Kok cepat kali abis. Gitu aja. Ya namanya kebutuhan, gini gini gini namanya juga udah ada anak. (S2.W2.b60-62)

Kalau disana kan kami ngontrak, gitu kan. Nggak tentu gitu biaya pengeluarannya berapa. Ya memang yola yang megang semua gajinya. Kan dia yang nanya kan, uang untuk apa aja. Misalnya dia udah gajian, mau bayar apa aja ini dek. Ya kalau udah siap gajian aja maslaah keuangannya. Yang

lain-lain nggak. Saya suka ngeluh sampe kapan kek gini ngontrak, maunya kan rumah sendiri

(S2.W1.b115-123)

Dengan keadaan keuangan seperti itu responden harus bisa mengaturnya dengan baik. Biasanya ia akan mengutamakan hal-hal yang penting terlebih dahulu seperti kontrakan dan kebutuhan sehari-hari. Belum lagi karena mereka tinggal dengan keponakan mereka sehingga uang sekolah dan jajannya harus disisihkan juga.

Ya pande-pande la misalnya ee ada yang perlu-perlu aja la dulu yang disisihkan uangnya. Kayak kami kan masih ngontrak ya ee disisihkan untuk kontrakan, disisihkan untuk kebutuhan uang apa.. kami kan juga ada tinggal sama kami keponakan abang kan. Uang sekolahnya, uang jajannya itulah musti disisih-sisihkan semua.

(S2.W2.b45-52)

Perpisahan dan umur anaknya yang masih meyusu padanya membuat pengasuhan anak lebih utama dipegang oleh responden. Suaminya juga ikut ambil andil dalam pengasuhan anak namun hanya sebentar saja. Alasannya karena suaminya lelah bekerja sehingga waktu yang dihabiskan bersama anaknya hanya sebentar saja.

Iya sering. Cuman nggak lama gitu. Sebentar aja. nanti dikasinya sama saya. (S2.W2.b643-645)

Kadang kan dia pulang kerja, sebentar aja, capek dia dikasihnya sama saya. (S2.W2.b6648-650)

Commuter marriage berarti pernikahan dimana pasangan tidak tinggal di rumah yang sama. Namun walau begitu bukan tidak pernah bertemu sama sekali. Biasanya ada waktu-waktu tertentu dimana pasangan dapat berjumpa kembali. Pada responden, ia biasanya pulang ke rumahnya di Bagan Batu setiap tiga atau empat minggu terakhir sebelum ujian semester berlangsung. Jadi, sekitar sebulan responden memakai semua jatah absen yang ia miliki untuk dapat bersama suaminya di Bagan Batu. Setelah itu ia kembali lagi ke Medan untuk mengikuti ujian semester.

Saya gini, dalam mata kuliah itu kan 16 kali pertemuan nanti misalnya udah tinggal berapa kali ada absen tiga atau empat ke belakang itu kan. Itukan empat itu paling nggak sebulan, saya udah pulang ke Bagan udah nggak ikuti mata kuliah lagi. Nanti waktu saya mau ujian baru saya balek lagi.

(S2.W1.b78-84)

Bukan hanya responden saja yang mengunjungi suami di Bagan Batu. Suaminya juga terkadang mengunjunginya di Medan apalagi ketika ia melahirkan anak mereka. suaminya menjenguknya walaupun hanya seminggu. Setelah anaknya lahir juga suaminya yang menjenguknya di Medan. Sebelum anaknya lahir responden yang biasa mengunjungi suaminya di Bagan Batu apalagi saat ia sedang hamil. Sebenarnya suaminya tidak bisa sering-sering ke Medan karena suaminya adalah perawat di sebuah rumah sakit yang tidak bisa sembarangan pergi meninggalkan tugas.

Suami yang kemari. Waktu siap melahirkan itukan suami yang kemari. Semenjak ada anak pun suami yang kemari gitu. Bukan yola yang kesana. Tapi kalau misalnya ntah kayak masih hamil, kemaren tu yola yang pulang. Karena kan dia kerja harus ada yang gantikan, nggak sembarang pergi aja.

(S2.W1.b96-103)

Jika sedang berkumpul dengan suaminya barulah responden berbicara banyak hal. Mulai dari cerita soal rumah mereka, perkembangan anak mereka, dan sesekali bercerita tentang perkuliahan yang dijalaninya. Mereka juga pergi jalan-jalan atau sekedar makan di luar rumah. Namun yang paling sering dia ceritakan pada suaminya adalah masalah keuangan.

Ya jalan-jalan gitu la, ya pigi makan di luar (S2W2.b31-32)

Yah ee.. cerita rumah gitu, kayak cerita yah perkembangan anak ya kalau ada ntah masalah kuliah gitu cerita itu. Ya paling utama masalah keuangan lah yang paling diceritain kalau sama suami.

(S2.W1.b109-113)

3) Affectional Expression

Berpisah dengan suaminya membuat ekspresi afeksi responden terjadi saat mereka berjumpa saja. Responden merasa semakin sayang pada suaminya dan merasa bahwa waktu-waktu yang dihabiskan bersama menjadi berkualitas. Hubungan seksualitas mereka juga semakin memuaskan. Bahkan suaminya juga mengakuinya. Sehingga responden menyimpulkan bahwa kebutuhan biologisnya baik-baik saja dan memuaskan.

Dia pun sendiri ngomong kek gitu. Karena kan disana kan udah lama nggak jumpa. Kalo jumpa pun cuma beberapa hari. Jadi lebih lain aja. dia pun

Dokumen terkait