• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

I. E.9 Representasi dan Konstruksi Realitas dalam Iklan

Untuk menggambarkan ekspresi hubungan antara teks media (termasuk iklan) dengan realitas, konsep representasi sering digunakan. Secara semantik, representasi bisa diartikan to depict, to be a picture of, atau to act or speak for (in the place of, in the name of) somebody. Berdasarkan kedua makna tersebut, to represent bisa didefinisikan sebagai to stand for. Ia menjadi sebuah tanda (a sign) untuk sesuatu atau seseorang, sebuah tanda yang tidak sama dengan realitas yang direpresentasikan tapi dihubungkan dengan, dan mendasarkan diri pada realitas tersebut. Jadi representasi mendasarkan diri pada realitas yang menjadi referensinya. 50

Ada dua pendekatan dalam mempelajari pencitraan iklan.

Pendapat pertama menurut Baudrillard (penganut aliran post- Strukturalis), iklan tidak berakar dalam realita sosial. Iklan merupakan stimulasi yang tercermin dalam citraan-citraan yang kemudian membentuk realitas sosial atau dengan kata lain iklan merupakan realitas yang hyper. Ia menegaskan bahwa iklan tidak memiliki referensi kecuali citra-citraan itu sendiri. (self-refential). Melalui citra-citra atau image

yang diciptakannya, iklan diharapkan mampu mengubah perilaku seseorang, menciptakan permintaan konsumen dan juga mampu membujuk orang agar berpartisipasi di dalam kegiatan konsumsi, yang pada akhirnya mereproduksi masyarakat konsumen. Pendapat yang kedua oleh penganut metode semiotik strukturalis, iklan jelas berakar pada realitas kongkret. Menurut para penganut metode semiotik strukturalis, suatu hal yang mustahil diiklankan apabila tidak ada referensi sosialnya,

49

Wahyu Wibowo, Sihir Iklan, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2003, hal.161. 50

karena khalayak tidak akan memahami iklan itu. Namun diakui bahwa tidak semua iklan bersifat jujur sebab dalam beberapa kasus ia justru berbohong terhadap kenyataan sehari-hari. 51

Dalam kenyataannya, masyarakat selalu berupaya mengenalkan diri melalui barang yang mereka miliki. Mekanisme pernyataan posisi seseorang di tengah masyarakat yang telah berubah dan berada dalam pengendalian sosial, kini terletak pada kebutuhan baru secara konsumtif. Dengan demikian pernyataan posisi seseorang dalam masyarakat, dapat pula dikonstruksi melalui iklan televisi.52

Tentang proses konstruksi realitas, prinsipnya adalah setiap upaya “menceritakan” (konseptualisasi) sebuah peristiwa, keadaan, atau benda.53 Iklan memiliki kekuatan untuk menciptakan suatu realitas sosial yang oleh banyak ahli dinamakan dengan realitas maya, serta mampu menghidupkan khalayak apada sebuah realitas yang dibangun berdasarkan kesadaran palsu (pseudo-reality).54 Jadi kekuatan konstruksi sosial media massa mampu melumpuhkan daya kritis khalayak. Jadi, persoalannya adalah ketika kemampuan massa itu digunakan untuk mengkonstruksi erotisme, maka kekuatan konstruksi sosial media iklan mampu membangun sebuah kesadaran palsu khalayak bahwa erotisme adalah sebuah kebenaran.55

Berger dan Luckman (1991:1) memulai penjelasan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman “kenyataan’ dan “pengetahuan”. Realitas diartikan

51

Ibid, hal viii-x 52

Burhan Bungin. Imaji Media Massa: Konstruksi dan Makna Realitas Sosial Iklan Televisi dalam Masyarakat Kapitalistik, Yogyakarta, Jendela, 2001, hal 24

53

Ibnu Hamad, Op. Cit, hal 11 54

Burhan Bungin Pornomedia: Konstruksi Sosial Teknologi Telematika dan Perayaan Seks di Media Massa, Jakarta, Prenada Media, 2003, hal 180

55

sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas, yang diakui memiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung pada kehendak kita sendiri. Sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik.56

Teori Reymond Wiliams dan Simon During (1993) mengatakan bahwa iklan membentuk sebuah dunia magis yang mengubah komoditas ke dalam situasi gemerlap dan mempesona melalui media massa. Melalui proses kreatif, iklan mampu mengkonstruk suatu realitas dari realitas sosial yang terjadi dan membentuk realitas bentukan baru (Berger dan Luckman, 1990), yang disebut sebagai kesadaran palsu oleh Marx. Terjadinya proses pengaruh atau transformasi citra tersebut akibat dari interaksi simbolik yang menghadirkan dunia kesadaran dan mempengaruhi pandangan budaya manusia.57

Konstruksi sosial amat terkait dengan kesadaran manusia terhadap realitas sosial itu sendiri. Realitas sosial adalah hasil dari kesepakatan objektif yang terbentuk lewat suatu proses interaksi dalam sebuah grup, komunitas, dan budaya. Karena itu kesadaran adalah bagian yang paling penting dalam konstruksi sosial.58

Konstruksi sosial merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan gagasan substruktur dan supersruktur. Dalam sosiologi pengetahuan, Scheler (Berger dan Luckmann, 1990:9) melihat adanya hubungan antara pemikiran dengan

56

Ibid, hal 178 57

Yuniarti Eka Basuki, Thesis “Representasi perempuan dalam iklan shampo : analisis semiotik pada iklan shampo Rejoice Rich dan iklan shampo Sunsilk Clean and Fresh”, Universitas Indonesia, Jakarta. Dapat diakses melalui

http://www.digilib.ui.edu/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=96952&lokasi=lokal 58

Burhan Bungin, Imaji Media Massa: Konstruksi dan Makna Realitas Sosial Iklan Televisi dalam Masyarakat Kapitalistik, Op. cit, hal 23

kenyataan yang mendasarinya. Dengan demikian substruktur merupakan kenyataan sosial yang dibangun melalui proses dialektika, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Sedangkan superstruktur merupakan bentuk lain dari pemikiran dan kesadaran palsu yang terrefleksikan dari substruktur.59

Sementara itu, potret kekuatan kapitalisme televisi menunjukkan pada model konstruksi sosial, dimana kapitalisme sebagai kekuatan konstruksi sosial, mengkonstruksi skenario jurnalisme televisi, termasuk pola konstruksi skenario iklan televisi. Skenario ini setiap saat disebarkan ke masyarakat melalui siaran- siaran televisi yang ditangkap oleh pemirsa sehingga terkonstruksi nilai tertentu di masyarakat sebagaimana yang diinginkan televisi. Iklan komersial ditandai dengan saratnya imajinasi dalam proses pencitraan dan pembentukan nilai-nilai estetika untuk memperkuat citra terhadap objek iklan itu sendiri, sehingga terbentuk image.60

Kajian intelektual mengenai relalitas sosial dalam kaitannya dengan iklan, menyatakan bahwa iklan itu bukan sebuah cermin realitas yang jujur. Tapi, iklan adalah cermin yang cenderung distorsi, membuat menjadi cemerlang, melebih- lebihkan dan melakukan seleksi atas tanda-tanda atau citra-citra. Tanda atau citra itu tidak merefleksikan realitas tetapi mengatakan sesuatu tentang realitas. Seperti yang dikemukakan oleh Marchand, iklan itu adalah sebuah cermin masyarakat, A Mirror on the Wall, yang lebih menampilkan tipuan-tipuan yang

59

Ibid 60

Burhan Bungin, Erotika Media Massa, Surakarta, Muhammadiyah University Press, 2001, hal 88- 89

halus dan bersifat terapetik daripada menampilkan refleksi-refleksi realitas sosial.61

Pembentukan realitas bahasa ini tak lepas dari peran ‘diri’ pemirsa yang secara dialektika berhubungan dengan lingkungannya. Dengan kata lain, telah terjadi internalisasi atas realitas sosial sesungguhnya. Herbert Mead mengatakan bahwa diri (self) menjalani internalisasi atau interpretasi atas realita struktur yang lebih luas. Self, merupakan internalisasi seseorang atas apa yang telah digeneralisisr orang lain, atau kebiasaan-kebiasaan sosial komunitas yang lebih luas.62

Saussure mengatakan bahwa setiap tanda selalu diikuti dengan maksud tertentu yang digunakan dengan sadar oleh kelompok yang menggunakan tanda- tanda itu, dan makna tanda-tanda itu ditangkap secara sadar oleh kelompok- kelompok yang menangkap pesan makna tersebut. Sebaliknya, tanda-tanda tanda-tanda itu tanpa disadari juga ditangkap oleh penerima pesan lainnya dengan makna yang berbeda dengan kelompok yang mengirim pesan tadi.63

Dokumen terkait