• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Uji Efikasi Sediaan Sunscreen

2. Efek proteksi gel dan krim sunscreen fraksi polifenol teh hijau terhadap

C. Pengaruh Bentuk Sediaan Terhadap Nilai SPF Secara In Vivo dan Proteksi Terhadap Inflammation Associated Edema

1. Penetapan Nilai SPF Gel dan Krim Sunscreen Fraksi Polifenol Teh Hijau Secara In Vivo

pendahuluan yang dilakukan meliputi : penetapan 1 MED yang berfungsi dalam penetapan waktu/dosis radiasi pada penentuan SPF secara in vivo dan efek proteksi terhadap inflammation associated edema, serta penetapan puncak inflamasi yang akan digunakan pada pengujian efek proteksi terhadap inflammation associated edema.

1. Optimasi Penentuan Nilai 1 MED

Eritema merupakan metode yang sangat rutin digunakan untuk menentukan efikasi sunscreen dan MED merupakan basis yang digunakan untuk menghitung SPF (Fourtanier et al, 2000). Telah dipercaya bahwa penentuan eritema pada hewan uji sangat sulit dilakukan. Edema pada Skh hairless strain sering digunakan sebagai model untuk eritema pada manusia. Dosis UVR yang digunakan untuk menimbulkan edema pada Skh hairless strain sama dengan MED pada kulit manusia type II/III. Evaluasi eritema bersifat semikuantitatif yang menyebabkan kurang akurat dibanding pengukuran dengan edema (Fourtanier et al., 2000). Oleh karena adanya dasar teori demikian, maka dalam penelitian ini menggunakan edema untuk mengukur MED. Edema dihitung sebagai skinfold thickness sebagai parameter dari inflamation associated edema akibat paparan UV.

Minimal Edema/Erythema Dose (MED) merupakan dosis (energi radiasi UV) yang dibutuhkan untuk menimbulkan edema/eritema yang minimal (Fourtanier

et al, 2000). Lampu UV yang digunakan dalam penelitian ini belum diketahui energinya. Oleh karena itu, dosis radiasi dalam penelitian ini ditentukan dengan mengukur lama (waktu) radiasi UV yang dapat menimbulkan edema (perubahan

skinfold thickness). Dalam penelitian ini, penetapan 1 MED ditetapkan dengan memilih perubahan skinfold thickness 1,5-2 kali lipat skinfold thickness awal karena perubahan skinfold thickness dapat diamati secara visual. Pengukuran 1 MED dilakukan pada hewan uji yang tidak diberi aplikasi sediaan sunscreen.

Pada penelitian ini, lampu UV yang digunakan adalah lampu UVA (lampu TL UVA, Black Light, Unfiltered Lamp, Sankyo) dengan nilai 115-116 lux. Energi dari radiasi lampu sinar UV tersebut belum diketahui, sehingga untuk menetapkan dosis penyinaran dilakukan dengan mencari lama waktu penyinaran yang efektif dalam menginduksi inflamation associated edema (perubahan skinfold thickness 1,5-2 kali lipat). Hasil yang didapatkan adalah nilai 1 MED. Variasi lama penyinaran yang dipilih adalah 5, 10, 15, dan 20 menit. Nilai 1 MED ini ditetapkan dengan menghitung perubahan skinfold thickness awal dibandingkan dengan skinfold thickness pada 24 jam sesudah radiasi sinar UV. Hasil orientasi 1 MED dapat dilihat pada gambar 12 berikut ini.

0,85 0,68 0,67 0,72 0,68 0,82 0,91 1,23 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 1,6 1,8 5 10 15 20 Waktu (menit) ski n fo ld t h ickn ess (m m )

tebal awal tebal akhir

Gambar 12. Perubahan skinfold thickness yang diukur 24 jam setelah radiasi UV.

Hasil ini didapatkan dari radiasi UV pada hewan uji tanpa aplikasi topikal selama 5, 10, 15, dan 20 menit. Dari ke-4 seri waktu tersebut, paparan UV selama 20 menit memberikan rata-rata

skinfold thickness akhir paling besar dan mendekati 2 kali lipat skinfold thickness awal.

Dari gambar 12 di atas diketahui bahwa pada dosis radiasi 20 menit terjadi perubahan skinfold thickness 1,5-2 kali lipat skinfold thickness awal, yaitu dari

skinfold thickness awal sebesar 0,68±0,02 mm menjadi 1,23±0,35 mm (perubahan

skinfold thickness adalah sekitar 1,8 kali lipat). Oleh karena itu ditentukan waktu paparan selama 20 menit sebagai 1 MED.

2. Penetapan Puncak Inflamasi

Sebelum menentukan efek proteksi terhadap inflammation associated edema, dilakukan penetapan puncak terbentuknya inflamasi. Proses terbentuknya inflamasi melalui beberapa proses sehingga membutuhkan waktu untuk mencapai inflamasi yang maksimal. Edema intraselular dapat dilihat 16-18 jam setelah radiasi, diikuti 30-48 jam untuk edema interseluler yang menyebabkan kerusakan keratinosit

disekitarnya (Svobodova et al., 2003). Oleh karena itu, untuk mendapatkan pembentukan inflamasi yang maksimal, pengamatan perubahan skinfold thickness

dilakukan selama 72 jam dengan 3 kali radiasi. Dengan didapatkannya puncak terbentuknya inflamasi, maka ketepatan pengamatan pun juga akan meningkat. Penetapan ini dilakukan pada hewan uji kontrol (tanpa diberi aplikasi sunscreen, diradiasi UV selama 1 MED selama 3 hari berturut-turut). Hasil penetapan puncak inflamasi dapat terlihat dari gambar 13 berikut ini :

1,13 1,08 0,5 1,27 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 1,6

Tebal aw al hari 1 hari 2 hari 3

S k in fo ld T h ickn ess ( mm)

Gambar 13. Perubahan skinfold thickness pada kontrol pasca paparan UV

Berdasarkan data statistik (ANOVA) didapatkan bahwa perubahan skinfold thickness pada hari 1 (1,13±0,14 mm), hari 2 (1,08±0,20 mm), dan hari 3 (1,27±0,22 mm) berbeda tidak bermakna (p>0,05) sehingga dapat ditentukan puncak inflamasi pada hari 1, hari 2, maupun pada hari ke-3. Pada penelitian ini ditentukan puncak inflamasi pada hari ke-3 disebabkan karena adanya pertimbangan bahwa semakin banyak treatment yang dilakukan (banyaknya radiasi dan banyaknya aplikasi sediaan) maka diharapkan akan terbentuk inflamasi yang lebih optimal.

Penelitian ini menggunakan sumber radiasi berupa lampu UVA. Secara teoritis, sinar UVA dapat menyebabkan hiperplasia dan inflamasi karena UVA dapat menyebabkan pembentukan ROS yang dapat merusak membran lipid (Svobodova,A., Walterova, D., Vostalova, J., 2006). Namun efek UVA dalam memproduksi inflamasi lebih rendah dibanding UVB, bahkan dengan meningkatnya jumlah UVA dapat menurunkan efek inflamasi yang dihasilkan dari radiasi UVB (Reeve, Domanski, Slater, 2006). Dengan demikian, penggunaan sumber radiasi berupa lampu UVA menyebabkan pembentukan inflamasi menjadi kurang optimal. Hal inilah yang kemungkinan menyebabkan pembentukan inflamasi pada hari 1 sampai dengan hari 3 terjadi perubahan skinfold thickness yang berbeda namun tidak bermakna secara statistik.

B. Uji Efikasi Sediaan Sunscreen

Efikasi dari sediaan sunscreen dilihat dari nilai indikator efikasi sediaan

sunscreen yaitu nilai SPF yang didapatkan secara in vivo dan nilai proteksi sediaan

sunscreen terhadap inflammation associated edema. Perbedaan dari kedua efikasi ini adalah nilai SPF menunjukkan lama sediaan sunscreen dapat melindungi kulit dari radiasi sinar UV, sedangkan proteksi terhadap inflammation associated edema

menunjukkan efektivitas sediaan sunscreen dalam melindungi kulit dari terbentuknya inflamasi karena radiasi UV. Inflamasi merupakan reaksi awal kulit ketika terkena radiasi UV. Terbentuknya inflamasi dapat menyebabkan kerusakan DNA yang juga berhubungan dengan terbentuknya fotokarsinogenesis. Dengan demikian,

terbentuknya inflamasi dapat digunakan sebagai penanda biologis terjadinya resiko fotokarsinogenesis (Widyarini et al, 2001).

1. Penetapan nilai SPF gel dan krim sunscreen fraksi polifenol teh hijau secara in vivo

Sun Protection Factor (SPF) merupakan ukuran nilai efikasi sediaan

sunscreen. Tujuan dari penentuan nilai SPF ini adalah untuk menentukan lama proteksi sediaan sunscreen ketika diaplikasikan di kulit. Nilai SPF secara in vivo

diukur dengan rumus sebagai berikut:

SPF = sunscreen pa MED sunscreen dengan MED tan 1

Untuk pengujian SPF secara in vivo ini, nilai ”MED dengan sunscreen” dipilih dari peningkatan skinfold thickness (skinfold thickness akhir-skinfold thickness

awal) karena radiasi UV selama n X 1 MED pada hewan uji dengan aplikasi sediaan

sunscreen yang nilainya berbeda tidak bermakna (p>0,05) dengan peningkatan

skinfold thickness pada hewan uji dengan perlakuan 1 MED tanpa aplikasi sediaan

sunscreen. Dalam pengujian nilai SPF sediaan sunscreen digunakan 6 kelompok hewan uji dengan jumlah 5 ekor untuk tiap kelompok.

Sesuai dengan penelitian pendahuluan, nilai SPF dari kedua sediaan ini adalah 5,874 yang dihitung secara in vitro dengan metode Petro. Berdasarkan nilai SPF secara in vitro, maka ditentukan dosis waktu penyinaran adalah 5 MED (100 menit penyinaran radiasi UV), 7 MED (140 menit penyinaran radiasi UV), dan 9 MED (180 menit penyinaran radiasi UV). Dari data pendahuluan tersebut, dapat

diketahui bahwa perubahan peningkatan skinfold thickness antara hewan yang diberi aplikasi sediaan sunscreen dan tanpa diberi sediaan sunscreen berbeda tidak bermakna (p>0,05), dalam arti lain sediaan krim dan gel sunscreen polifenol teh hijau dapat memberikan proteksi terhadap radiasi UV selama 180 menit pemaparan. Waktu pemaparan kemudian dinaikkan lagi menjadi 10 MED (200 menit penyinaran radiasi UV), 15 MED (300 menit penyinaran radiasi UV), dan 20 MED (400 menit penyinaran radiasi UV).

0,52 0,76 0,68 0,63 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1

kontrol krim 10 krim 15 krim 20

p e n in g kat an ski n fo ld t h ic k n es s ( mm)

Gambar 14. Peningkatan skinfold thickness (skinfold thickness akhir-skinfold thickness awal) pada pengujian SPF krim sunscreen fraksi polifenol teh hijau.

Dengan adanya aplikasi krim sunscreen pada kulit mencit, maka waktu yang dibutuhkan untuk menimbulkan peningkatan skinfold thickness yang berbeda tidak bermakna dengan 1 MED (tanpa aplikasi sediaan) adalah 20 X 1 MED atau 400 menit. Oleh karena itu, dengan perhitungan SPF diatas, maka SPF krim sunscreen

0,67 0,56 0,56 0,63 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1

kontrol gel 10 gel 15 gel 20

p e ni ng k a ta n s k in fol d thi c k n e s s ( mm)

Gambar 15. Peningkatan skinfold thickness (skinfold thickness akhir-skinfold thickness awal) pada pengujian SPF gel sunscreen fraksi polifenol teh hijau.

Gel sunscreen polifenol teh hijau juga dapat memberikan proteksi terhadap radiasi UV. Dengan adanya aplikasi Gel sunscreen pada kulit mencit, maka waktu yang dibutuhkan untuk menimbulkan peningkatan skinfold thickness yang berbeda tidak bermakna dengan 1 MED (tanpa aplikasi) adalah 20 X 1 MED. Oleh karena itu, dengan penghitungan SPF, maka SPF gel sunscreen polifenol teh hijau adalah 20. Jadi, nilai SPF secara in vivo dari sediaan krim dan gel adalah sama, yaitu SPF 20.

Berdasarkan standar yang dikeluarkan oleh FDA, gel dan krim fraksi polifenol teh hijau dengan nilai SPF 20 termasuk dalam golongan sunscreen dengan daya proteksi menengah (Edlich et al, 2004).

Menurut ideal penelitian, penentuan SPF pada penelitian ini dilanjutkan dengan radiasi hingga 30 MED atau sampai mendapatkan perubahan peningkatan

skinfold thickness yang lebih besar secara bermakna dengan skinfold thickness pada 1 MED (tanpa aplikasi sediaan) untuk memberi kepastian apakah dosis 20 MED benar-benar memberikan perubahan peningkatan skinfold thickness yang berbeda tidak bermakna dengan kontrol. Namun, karena adanya keterbatasan hewan uji, maka

radiasi dihentikan sampai 20 MED. Penentuan SPF pada penelitian ini menjadi kurang valid karena sumber radiasi UV yang digunakan tidak sesuai untuk uji penentuan nilai SPF sediaan sunscreen. Pengujian SPF menurut COLIPA merekomendasikan penggunaan sumber radiasi berupa xenon arc lamp (lampu UVB) yang difilter menggunakan dichroic UV filter (Anonim, 2006). Sinar UVA bertanggungjawab pada pembentukan inflamasi tetapi sifat inflamatogennya hanya kecil (Svobodova et al, 2006; Reeve et al, 2006). Hal ini menyebabkan pembentukan inflamasi menjadi kurang optimal.

2. Efek proteksi gel dan krim sunscreen fraksi polifenol teh hijau terhadap inflammation associated edema

Eritema, edema, dan hiperplasia merupakan reaksi awal dari inflamasi terhadap radiasi UV. Adanya radiasi UV A akan menimbulkan radikal bebas yang dapat merusak membran sel dan memacu peroksidasi lemak sehingga terjadi peradangan dengan disertai pelepasan mediator–mediator inflamasi seperti histamin, kinin, prostaglandin, leukotrien dan sebagainya, yang dapat mengakibatkan vasodilatasi serta peningkatan aliran darah dan terbentuklah eritema (Tedesco, Martinez, dan Gonzalez, 1997). Reaksi inflamasi akut dapat digunakan sebagai penanda terhadap resiko fotokarsinogenesis (Widyarini et al., 2001). Dengan demikian, selain menentukan nilai SPF, perlu dilakukan pengujian efek proteksi sediaan sunscreen terhadap inflammation associated edema. Tujuan dari pengujian ini adalah untuk mengetahui efek proteksi sediaan sunscreen terhadap inflammation associated edema pasca paparan UV. Pada pengujian ini, sediaan sunscreen dioleskan

pada kulit mencit 15 menit sebelum radiasi UV dengan harapan agar sediaan

sunscreen dapat berfungsi lebih efektif dalam memberikan proteksi terhadap radiasi UV.

Efek proteksi terhadap inflamation associated edema diukur dengan parameter perubahan skinfold thickness akibat radiasi UV. Terbentuknya edema yang ditandai dengan perubahan skinfold thickness merupakan bagian yang penting karena merupakan variabel tergantung yang akan diamati.

Penentuan nilai skinfold thickness didapatkan dari rata-rata skinfold thickness pada 3 bagian middorsal punggung mencit. Sediaan sunscreen dikatakan memiliki efek proteksi terhadap inflammation associated edema jika didapatkan perubahan skinfold thickness yang lebih kecil secara bermakna dibandingkan kontrol.

0,5 0,53 0,5 1,39 1,07 1,27 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 1,6 1,8

Kontrol basis krim Krim

ski n fo ld th ickn ess (m m )

tebal awal tebal akhir

Gambar 16. Grafik pengaruh basis krim dan krim sunscreen fraksi polifenol teh hijau terhadap perubahan skinfold thickness pasca paparan UV. Keterangan : kontrol

adalah kelompok hewan uji yang tidak diberi aplikasi sunscreen dan diradiasi selama 1 MED

selama 3 hari berturut-turut; basis krim adalah kelompok hewan uji yang diberi aplikasi basis krim 0,2 g dan diradiasi selama 1 MED selama 3 hari berturut-turut; krim adalah kelompok

hewan uji yang diberi aplikasi krim sunscreen polifenol teh hijau 0,2 g dan diradiasi selama 1

Pada gambar 16, dapat dilihat bahwa perubahan skinfold thickness setelah radiasi UV pada basis krim (1,07±0,27 mm) lebih rendah dibanding pada kontrol (1,27±0,22 mm) dan pada aplikasi krim (1,39±0,19 mm). Namun, dengan pengujian secara statistik (ANOVA) didapatkan bahwa rata-rata perubahan skinfold thickness

antara krim sunscreen, basis krim sunscreen, dan kontrol berbeda tidak bermakna (p>0,05) yang menandakan bahwa basis krim maupun krim sunscreen fraksi polifenol teh hijau tidak memberikan proteksi terhadap inflammation associated edema. 0,5 0,43 0,52 1,11 1,19 1,27 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 1,6

Kontrol Basis Gel gel

ski n fo ld t h ic kn ess ( m m )

tebal awal tebal akhir

Gambar 17. Grafik pengaruh basis gel dan gel sunscreen fraksi polifenol teh hijau terhadap skinfold thickness pasca paparan UV. Keterangan : kontrol adalah kelompok

hewan uji yang tidak diberi aplikasi sunscreen dan diradiasi selama 1 MED selama 3 hari

berturut-turut; basis gel adalah kelompok hewan uji yang diberi aplikasi basis gel 0,2 g dan diradiasi selama 1 MED selama 3 hari berturut-turut; gel adalah kelompok hewan uji yang

diberi aplikasi gel sunscreen polifenol teh hijau 0,2 g dan diradiasi selama 1 MED selama 3 hari

berturut-turut

Berdasarkan gambar 17, aplikasi basis gel memiliki skinfold thickness yang lebih rendah (1,19±0,27 mm) dibanding kontrol (1,27±0,22 mm). Dibandingkan

dengan aplikasi gel, skinfold thickness pada basis gel lebih tinggi disbanding dengan aplikasi gel (1,11±0,11 mm). Namun, berdasarkan pengujian dengan menggunakan ANOVA didapatkan bahwa terdapat perbedaan tidak bermakna (p>0,05) antara kelompok kontrol, gel sunscreen, dan basis gel sunscreen yang menandakan basis gel dan gel sunscreen fraksi polifenol teh hijau tidak memberikan proteksi terhadap

inflammation associated edema.

Menurut sifat dari polifenol, polifenol dapat mengabsorbsi radiasi UV dan juga dapat berfungsi sebagai antioksidan sehingga dapat melindungi kulit dari efek buruk radiasi UV. Polifenol teh hijau (katekin) memiliki sifat stabil pada suasana asam (Syah, 2006). Gel dan krim sunscreen fraksi polifenol teh hijau memiliki pH sediaan yang cenderung asam, yaitu sekitar pH 4-5. (Prasetya, 2008; Wijayanti, 2008) sehingga sudah mendukung kestabilan polifenol teh hijau. Gel dan krim sunscreen

fraksi polifenol teh hijau tidak memberikan proteksi terhadap inflammation associated edema dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu sumber radiasi yang digunakan adalah UVA sehingga pembentukan inflamasi tidak dapat optimal, konsentrasi fraksi polifenol yang tidak memberikan efek (konsentrasi terlalu kecil) atau dapat disebabkan karena proses ekstraksi yang kurang sesuai untuk mengekstrak polifenol teh hijau sehingga banyak polifenol yang rusak (fraksi polifenol memiliki kualitas yang rendah).

C. Pengaruh Bentuk Sediaan Terhadap Nilai SPF Secara In Vivo, Proteksi

Dokumen terkait