Artemisia annua L. adalah tumbuhan obat yang berguna sebagai antimalaria, antipiretik, dan antibakteri. Pada jaringan vaskular A.annua L. diketahui terdapat mikroba endofit. Mikroba endofit adalah mikroba yang hidup di dalam jaringan tanaman tanpa membahayakan tanaman inangnya. Mikroba ini diketahui dapat memperbaiki pertumbuhan tanaman karena kemampuannya menekan pertumbuhan patogen dengan cara kompetisi, menghasilkan senyawa antibiotik, atau menginduksi ketahanan tanaman.
Tujuan penelitian ini adalah mengisolasi bakteri endofit dari batang tanaman A. annua L., menguji potensi antibakteri dari senyawa yang dihasilkan oleh isolat bakteri endofit tersebut terhadap bakteri uji Bacillus subtilis dan Salmonella typhi, serta mengetahui identitas bakteri penghasil senyawa antibakteri tersebut.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dan bersifat eksploratif-deskriptif. Isolasi bakteri endofit dari batang tanaman A. annua L. dilakukan dengan metode streak plate, sedangkan potensi antibakteri dilakukan dengan metode difusi paper disc. Identifikasi dan determinasi bakteri endofit dilakukan dengan pengamatan morfologi koloni, morfologi sel, dan uji biokimia berdasarkan buku panduan baku determinasi bakteri (Holt et al, 2000).
Hasil penelitian ini adalah bakteri endofit penghasil senyawa antibakteri yang mempunyai potensi antibakteri terhadap Bacillus subtilis adalah genus Amphibacillus. Sedangkan senyawa yang dihasilkan oleh bakteri endofit ini tidak memiliki potensi antibakteri terhadap Salmonella typhi.
Kata kunci : bakteri endofit, potensi antibakteri, Artemisia annua L., Bacillus subtilis, Salmonella typhi, Amphibacillus.
ABSTRACT
Artemisia annua L is a medical plant which is used as antimalaria, antipyrethic, and antibacterial. It is known that there is an endhophytic microbia on its vascular tissue. Endophytic microbia is the microbia which lives in the plants tissue without endangering its host. This microbia is also known to be able to improve plant’s growth because its ability to repress the development of pathogen by competition, to produce an antibiotical substance, and to induce plant’s imunity.
The aims of this research were to isolate endophytic bacteria from the stem of A. annua L., to test the antibacterial potentiality from the substance resulted from the endophyt’s microbia isolate towards B. subtilis and S. typhi, and to find identify of bacteria which produce the antibacterial substance.
This research was a pure experimental research, which was explorative-descriptive. Isolation endophytic bacteria from the stem of A. annua L. was done by streak plate method, the antibacterial potentiality was observed through the paper disc diffusion method. The identification and determination towards endophytic bacteria was done through the observation of colony morphology, cell morphology, and biochemistry tests (Holt et al, 2000).
The result of this research were antibacterial compounds which was produced by endophytic bacteria was isolated from A.annua. L, had the potential antibacteria towards B.subtilis, and it was known that the identity of the endophytic bacteria which produced this antibacteria compounds was Amphibacillus. Whereas in the S. typhi, substance produced from this bacteria had no potentiality at all.
Keywords : endophytic bacteria, antibacterial potentiality, Artemisia annua L., Bacillus subtilis, Salmonella typhi , Amphibacillus
SUNBURN
AKIBAT RADIASI SINAR ULTRAVIOLET
PADA MENCIT BALB/C JANTAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh : Ivana Clarinta NIM : 048114045
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
ii
PENGARUH BENTUK SEDIAAN GEL DAN KRIM
SUNSCREEN
FRAKSI POLIFENOL TEH HIJAU TERHADAP PROTEKSI
SUNBURN
AKIBAT RADIASI SINAR ULTRAVIOLET
PADA MENCIT BALB/C JANTAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh : Ivana Clarinta NIM : 048114045
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iii
SUNBURN
AKIBAT RADIASI SINAR ULTRAVIOLET
PADA MENCIT BALB/C JANTAN
Yang diajukan oleh: Ivana Clarinta
NIM : 048114045
Skripsi ini telah disetujui oleh :
Pembimbing I
( Agatha Budi S.L., M.Si., Apt. )
tanggal ...
Pembimbing II
( drh. Sitarina Widyarini, MP, Ph.D )
iv
Berjudul
PENGARUH BENTUK SEDIAAN GEL DAN KRIM SUNSCREEN FRAKSI
POLIFENOL TEH HIJAU TERHADAP PROTEKSI SUNBURN AKIBAT
RADIASI SINAR ULTRAVIOLET PADA MENCIT BALB/C JANTAN
Oleh : Ivana Clarinta NIM : 048114045
Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma pada tanggal :...
Mengetahui
Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma
Dekan
(Rita Suhadi, M.Si., Apt.) Pembimbing I :
( Agatha Budi S.L., M.Si., Apt. )
Pembimbing II :
( drh. Sitarina Widyarini, MP, Ph.D )
v
Bercampur dengan Idealisme dan Rasionalisme
Dengan penuh Syukur aku persembahkan karya ini kepada...
Bapa Orang tuaku tercinta (Hendro Susilo dan Agnes Jantiningsih) Kakak Adikku (Mia F., Dea Nathania, Deana Nathania, Yesika Ayunditya) Kekasihku, Oktavianus Gresasis Primantoro Putro Teman-Teman Seperjuanganku Eleventh Generation Teman-Teman Farmasiku
Semua Teman Hidupku
Almamaterku
Dan…
Perjalananku belum usai
Aku sedang membuktikan bahwa
aku telah melangkah, sedang melangkah, dan terus melangkah…
vi
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena atas segala karuniaNya saya dapat menyelesaikan laporan skripsi yang berjudul “Pengaruh
Bentuk Sediaan Gel dan Krim Sunscreen Fraksi Polifenol Teh Hijau Terhadap Proteksi Sunburn Akibat Radiasi Sinar Ultraviolet Pada Mencit BALB/c Jantan.“
Laporan skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana pada program studi Farmasi.
Segala perjuangan, persahabatan, semangat dan putus asa bersatu dalam
penyusunan laporan skripsi ini. Karena itulah, saya sangat berterimakasih kepada : 1. Tuhan yang Maha Esa atas segala karunia-Nya.
2. Orangtua dan keluarga yang selalu mendukung saya.
3. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.
4. Dra. A. Nora Iska Harnita, M. Si., Apt., atas arahan dan bimbingan selama pembuatan skripsi ini.
5. Ibu Rini Dwiastuti, S.Farm., Apt. selaku koordinator Tea Project.
6. Ibu drh. Sitarina Widyarini, M.P., Ph.D. selaku pembimbing skripsi yang sangat berjasa dalam penyusunan skripsi ini
7. Ibu Agatha Budi Susiana L., M.Si., Apt. selaku pembimbing skripsi yang sangat berjasa dalam penyusunan skripsi ini.
vii
Fitokimia, Laboratorium Farmakologi dan Laboratorium Kimia Analisis atas segala bantuan dan kesabarannya.
10.Oktavianus Gresasis P.P atas bantuan, dukungan, dan semangatnya. 11.Kelompok Tea Project, Wortel Project,Algae project, dan juga Tomato
team atas segala persahabatan dan dukungannya.
12.Semua teman-teman eleventh generation, Farmasi, Poskes, Kost, KKN yang telah mendukung dan memberikan semangat.
13.Semua pihak yang telah memberi bantuan, semangat, dan dukungan yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna
karena keterbatasan pengetahuan, kelalaian dan kesalahan yang terjadi. Oleh karena itu, dengan hati yang sangat terbuka, penulis menerima koreksi, kritik, dan saran demi perkembangan diri dan berkembangnya ilmu pengetahuan. Semoga skripsi ini
dapat berguna bagi orang lain.
viii
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 17 Maret 2008
Penulis
ix
INTISARI
Senyawa alam pada 2 dekade terakhir ini secara luas terus dilakukan penelitian untuk digunakan sebagai sunscreen. Salah satu senyawa ini adalah senyawa fenolik yang dapat ditemukan pada teh hijau (30-40%). Senyawa ini tidak hanya mengabsorbsi sinar UV tapi juga memiliki efek antioksidan.
Bentuk sediaan sunscreen yang ada di pasaran dapat berupa krim, lotion, dan gel. Perbedaan sifat fisikokimia dari formulasi dapat menyebabkan variasi profil pelepasan obat dimana pada akhirnya akan mempengaruhi efikasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek gel dan krim sebagai bentuk sediaan topikal terhadap efikasinya sebagai sunscreen yang formulasinya mengandung fraksi polifenol teh hijau. Nilai efikasi yang akan diukur adalah parameter efikasi sediaan
sunscreen yaitu nilai SPF dan efikasi sunscreen untuk memproteksi kulit dari
inflammation associated edema.
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental menggunakan gel dan krim fraksi polifenol teh hijau sebagai objek penelitian. Hasilnya dianalisis menggunakan ANOVA dan independent sample t test statistic analysis dengan tingkat kepercayaan 95%.
Hasil dari penelitian ini adalah nilai SPF dari kedua sediaan sama, yaitu 20. Kedua bentuk sediaan sunscreen tidak memberikan proteksi terhadap inflammation associated edema. Namun, perbedaan bentuk sediaan (terdapat perbedaan bermakna) mempengaruhi perubahan skinfold thickness antara gel yaitu 1,11 ± 0,11 dan krim
yaitu 1,39 ± 0,19 mm.
x
The natural substances have been widely explored to develop sunscreen formulation for the last 2 decades. One of this substances is phenolic compound which can be found in green tea (30-40%). This compound does not only absorb UV light but also has an antioxidant effect.
Sunscreen topical dosage forms which is available in the market can be performed as a cream, lotion, gel and ointments. The diferences of physicochemical properties may lead to variation of drug release profile which eventually may effect the efficacy. This research aimed to investigate the effect of gel and creams as topical dosage forms on the efficacy of sunscreen which was formulated from green tea polyphenol fraction. The effect when will be examined are parameter efficacy of
sunscreen that is SPF point and efficacy ef sunscreen to protect skin from inflammation associated edema.
The study was an experimental study using gel and cream sunscreen with green tea polyphenol fraction as the object. The results were analised using ANOVA and independent sample t test statistic analysis with 95% confidence interval.
The result of this research reveals SPF point of both deliveries is same, that is 20. Both of sunscreen dosage forms does not have effect in protection from inflammation associated edema. However, different types of dosage form cause differences in the alteration of skinfold thickness between gel with 1,11 ± 0,11 mm and cream with 1,39 ± 0,19 mm (p<0,05).
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ………... v
PRAKATA...vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... viii
INTISARI ... ix
ABSTRACT ... x
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR...xvi
DAFTAR LAMPIRAN...xviii
BAB I PENGANTAR ...1
A. Latar Belakang Masalah ...…...1
B. Perumusan Masalah ... 4
C. Keaslian Penelitian ...4
D. Manfaat...6
xii
A. Tanaman Teh...8
1. Klasifikasi teh...8
2. Kandungan kimia...8
3. Kegunaan.………...9
B. Flavonoid dalam Teh Hijau...10
1. Flavanol...10
2. Flavonol...12
C. Sinar Ultraviolet...13
1. Pembagian spektrum sinar ultraviolet...13
2. Efek buruk radiasi ultraviolet...14
3. Efek positif radiasi ultraviolet...16
D. Inflamasi...16
1. Definisi...16
2. Penyebab...17
3. Gejala...18
4. Mekanisme... 18
E. Sunscreen...20
1. Pengertian sunscreen...20
2. Sun Protection Factor (SPF)...20
xiii
G.Gel...23
H. Krim...24
I. Landasan Teori...25
J. Hipotesis...27
BAB III METODE PENELITIAN...28
A. Jenis Penelitian...28
B. Variabel Penelitian...28
C. Definisi Operasional...28
D. Alat dan Bahan...30
1. Alat...30
2. Bahan...30
E. Jalan Penelitian...32
1. Praperlakuan mencit...32
2. Optimasi penentuan nilai 1 MED (edema)...33
3. Optimasi puncak inflamasi...34
4. Pengukuran Sun Protection Factor (SPF) secara in vivo...35
5. Pengukuran efikasi terhadap inflammation associated edema ...35
F. Analisis Data...37
BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN...39
A. Uji Pendahuluan...40
xiv
B. Uji Efikasi Sediaan Sunscreen...45
1. Penetapan nilai SPF gel dan krim sunscreen polifenol teh hijau yang diukur secara in vivo...46
2. Efek proteksi gel dan krim sunscreen fraksi polifenol teh hijau terhadap inflammation associated edema...49
C. Pengaruh Bentuk Sediaan Terhadap Nilai SPF Secara In Vivo, Proteksi Terhadap Inflammation Associated Edema, dan perubahan skinfold thickness ...53
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...60
DAFTAR PUSTAKA ...62
LAMPIRAN ...…..66
xv
Tabel I. Komposisi kandungan kimia pucuk daun teh (% berat kering)...9 Tabel II. Sifat fisik dan kimia katekin...11
Tabel III. Jumlah flavonol teh hijau...13 Tabel IV. Pengelompokan daya proteksi sunscreen berdasarkan nilai SPF
berdasarkan FDA... 21 Tabel V. Komposisi penyusun gel sunscreen fraksi polifenol teh hijau...31
Tabel VI. Komposisi penyusun krim sunscreen fraksi polifenol teh hijau...32
Tabel VII. Pengaruh bentuk sediaan terhadap nilai SPF, inflammation associated edema, dan perubahan skinfold thickness pasca
xvi
Gambar 1. Struktur kimia katekin...12
Gambar 2. Struktur flavonol...13
Gambar 3. Patogenesis dan gejala suatu peradangan...17
Gambar 4. Jalur sintesis asam arakidonat...19
Gambar 5. Struktur kulit...22
Gambar 6. Resonansi elektron pada (-)-epigalocathecin gallate (EGCG) ketika terjadi absorbsi radiasi UV...25
Gambar 7. Mekanime penangkapan radikal bebas oleh gugus cathecol... 25
Gambar 8. Skema metode optimasi penentuan 1 MED...33
Gambar 9. Skema metode optimasi puncak inflamasi...34
Gambar 9. Skema metode pengukuran SPF sediaan secara in vivo...35
Gambar 10. Skema metode pengukuran efikasi terhadap inflammation associated edema...36
Gambar 11. Skema langkah penelitian...40
Gambar 12. Perubahan skinfold thickness yang diukur 24 jam setelah radiasi UV...43
Gambar 13. Peningkatan skinfold thickness pada kontrol pasca paparan UV...44
xvii
skinfold thickness awal) pada pengujian SPF gel sunscreen
fraksi polifenol teh hijau...48 Gambar 16. Grafik pengaruh basis krim dan krim sunscreen fraksi polifenol
teh hijau terhadap peningkatan skinfold thickness pasca
paparan UV...50
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Scaning panjang gelombang fraksi polifenol teh hijau...66 Lampiran 2. Hasil optimasi 1 MED………....……...67
Lampiran 3. Penentuan waktu pembentukan inflamasi paling optimal pasca
paparan UV...73
Lampiran 4. Perhitungan SPF krim sunscreen fraksi polifenol teh hijau...77 Lampiran 5. Perhitungan SPF gel sunscreen fraksi polifenol teh hijau ...82 Lampiran 6. Perhitungan efek proteksi krim sunscreen fraksi polifenol teh
hijau terhadap inflammation associated edema akibat radiasi
UV...87
Lampiran 7. Perhitungan efek proteksi gel sunscreen fraksi polifenol teh hijau terhadap inflammation associated edema akibat radiasi
UV...……90
Lampiran 8. Perhitungan perbandingan bentuk sediaan terhadap efek proteksi
inflammation associated edema akibat radiasi UV sediaan
1
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang Masalah
Sinar matahari bagaikan lawan dan kawan bagi manusia. Di satu sisi, sinar matahari sangat membantu dalam pengubahan pro vitamin D menjadi vitamin D.
Namun, di sisi lain paparan sinar ultraviolet yang berlebihan dapat menyebabkan
sunburn sampai dengan terjadinya kanker kulit (Harry, 1982).
Berdasarkan panjang gelombangnya, spektrum sinar ultraviolet dapat dibagi
menjadi menjadi 3, yaitu UVA (320-400 nm), UVB (290-320 nm), dan UVC (200-290 nm). Spektrum sinar ultraviolet yang dapat mencapai bumi hanya sinar UVA
dan sinar UVB (Barel, Paye, dan Maibach, 2001). Namun, adanya global warming
yang disebabkan adanya pelubangan lapisan ozon menyebabkan jumlah UVC yang dapat masuk ke dalam bumi menjadi meningkat.
Berbagai cara dapat dilakukan untuk mengurangi efek buruk dari radiasi UV, yaitu dengan mengenakan payung dan pakaian yang tertutup ketika keluar dari
ruangan. Namun, ada cara lain yang lebih praktis yaitu dengan menggunakan sediaan
sunscreen.
Sediaan sunscreen merupakan salah satu sediaan topikal yang dapat
digunakan untuk melindungi kulit dari sengatan sinar matahari dengan cara mengabsorbsi maupun merefleksikan sinar UV (Stanfield, 2003). Beberapa senyawa
metoksi sinamate. Pengembangan bahan aktif yang dapat digunakan sebagai
sunscreen terus dilakukan terutama ketika global warming mulai mengancam dunia. Beberapa bahan aktif yang sedang dikembangkan tersebut berasal dari bahan alam, salah satunya adalah senyawa fenolik. Senyawa ini tidak hanya dapat mengabsorbsi
sinar ultraviolet tapi juga memiliki sifat antioksidan yang akan menangkap radikal bebas yang berasal dari radiasi sinar ultraviolet (Svobodova, Psotova, dan Walterova,
2003). Senyawa fenolik / polifenol banyak terdapat di teh hijau yaitu mencapai 30-40%. Kandungan terbesar polifenol dalam teh hijau adalah golongan katekin, seperti epikatekin (EC), galokatekin (GC), epigalokatekin (ECG), galokatekin galat (GCG),
dan epigalokatekin galat (EGCG) (Syah, 2006).
Indikator efikasi dari sediaan sunscreen adalah nilai Sun Protection Faktor
(SPF). Eritema merupakan metode yang secara rutin digunakan untuk mendapatkan efek inflamasi karena radiasi UV pada kulit manusia dengan Minimum Erythema Dose (MED) sebagai basis untuk determinasi SPF. Namun, penilaian eritema secara
luas diakui sulit. Edema pada mencit tipe Skh hairless strain biasa digunakan sebagai model untuk eritema pada manusia. Radiasi UV yang digunakan untuk minimal
edema respon sama dengan MED pada manusia dengan tipe kulit II / III (Fourtanier, Gueniche, Compan, Walker, dan Young, 2000). Oleh karena itu, parameter yang diukur pada penelitian ini bukanlah eritema tetapi edema (dengan parameter skinfold
thickness).
Sediaan sunscreen telah beredar luas di pasaran dengan berbagai merek
radisi UV, sediaan sunscreen dapat diproduksi dalam berbagai formulasi yaitu krim,
gel, maupun lotion. Fungsi dari berbagai pembawa sediaan farmasetis atau kosmetik adalah untuk memberikan efek secara langsung, menghantarkan zat aktif, dan membawa zat aktif menuju target (Barel et al, 2001). Perbedaan fisikokimia
formulasi dari sediaan dapat menyebabkan perbedaan pelepasan zat aktif sehingga dapat mempengaruhi efikasinya (Shargel dan Yu, 1985). Oleh karena itulah,
penelitian yang dilakukan bertujuan untuk membuktikan pengaruh bentuk sediaan terhadap efikasi yang diberikan oleh sediaan sunscreen.
Bentuk sediaan yang digunakan untuk penelitian ini adalah gel dan krim
sunscreen fraksi polifenol teh hijau dengan nilai SPF 5,874 (nilai SPF didapatkan dengan metode Petro secara in vitro) yang didapatkan dari penelitian sebelumnya
(Prasetya, 2008; Wijayanti, 2008). Pada metode Petro, pengukuran SPF didapatkan dengan mengukur absorbansi fraksi polifenol teh hijau dengan menggunakan spektrofotometer. Hasil yang didapatkan adalah konsentrasi fraksi polifenol teh hijau
yang mampu memberikan efek proteksi sebesar SPF 5,874. Kelemahan pengukuran SPF dengan metode ini adalah tidak memperhatikan efek dari bentuk sediaan yang
kemungkinan dapat menaikkan maupun menurunkan efek dari sunscreen yang diinginkan. Oleh karena itu, perlu pengujian in vivo yang sekaligus dapat melihat efek dari bentuk sediaan terhadap efikasi sunscreen. Efikasi sunscreen yang akan diteliti
pada penelitian ini adalah efek proteksi terhadap sunburn yang akan dijelaskan melalui indikator efikasi sediaan sunscreen yaitu nilai SPF yang akan diukur secara in
Untuk mendukung penelitian ini, penelitian pendukung yang telah dilakukan
adalah Optimasi Formula Gel Sunscreen Fraksi Polifenol Teh Hijau, dan Optimasi Formula Krim Sunscreen Fraksi Polifenol Teh Hijau.
B. Perumusan Masalah
Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah :
1. Berapakah nilai SPF secara in vivo sediaan gel dan krim sunscreen fraksi polifenol teh hijau?
2. Apakah gel dan krim sunscreen fraksi polifenol teh hijau dapat melindungi kulit
dari inflammation associated edema akibat radiasi UV yang ditandai dengan perubahan skinfold thickness yang lebih rendah secara signifikan dibanding
kontrol?
3. Adakah pengaruh jenis bentuk sediaan terhadap nilai SPF, proteksi terhadap
inflammation associated edema, dan terhadap perubahanskinfold thickness akibat
radiasi UV?
C. Keaslian Penelitian
Sejauh pengetahuan penulis, penelitian mengenai pengaruh bentuk sediaan
sunscreen fraksi polifenol teh hijau terhadap efikasinya belum pernah dilakukan.
Beberapa penelitian tentang teh hijau yang telah dilakukan adalah :
1. Green Tea in Chemoprevention of Cancer. Dalam penelitian ini memberikan hasil
tumor, inflamasi kulit yang diinduksi radiasi UV, dan tumorigenesis pada uji
kultur sel, uji hewan di laboratorium, studi epidemiologik, dan uji klinik (Mukhtar danAhmad, 1999).
2. Green Tea Polyphenol (-)-Epigallocathecin-3-Galate Treatment Of Human Skin Inhibits Ultraviolet Radiation-Induced Oxidative Stress. Dalam penelitian ini didapatkan bahwa adanya efek penghambatan stress oksidatif dari EGCG karena
efek antioksidan yang dimilikinya (Katiyar, Afaq, Perez, dan Mukhtar, 2001). 3. Natural Phenolics In Prevention Of UV-Induced Skin Damage. Dalam penelitian
ini didapatkan bahwa penggunaan topikal fraksi polifenol yang diisolasi dari teh
hijau dan teh hitam juga menunjukkan efek kemopreventif terhadap setiap tahap karsinogenesis kulit pada model kulit binatang. Selain itu, pemberian polifenol
teh hijau baik per oral maupun topikal dapat melindungi terhadap erythema, edema, lipid peroksidasi, penekanan sistem enzim pertahanan antioksidan epidermal, dan pembentukan metabolit prostaglandin yang diinduksi oleh UV-B
(Svobodova et al, 2003).
4. Treatment of Green Tea Polyphenols in Hydrophilic Cream prevents
UVB-induced Oxidation of Lipids and Proteins, Depletion of Antioksidant Enzymes and
Phosphorylation of MAPK Proteins in SKH-1 Hairless Mouse Skin, dalam
penelitian ini didapatkan bahwa aplikasi polifenol teh hijau dalam krim hidrofilik
dapat mencegah UV B yang menginduksi oksidasi lipid dan protein, penurunan enzym antioksidan dan fosforilasi dari MAPK protein pada SKH-1 Hairless
5. Skripsi yang berjudul “Optimasi Formula Gel Sunscreen Ekstrak Kering Polifenol
Teh Hijau (Camelia sinensis L.) dengan CMC (Carboxymethyl cellulose) sebagai
Gelling Agent dan Propilenglikol sebagai Humektan dengan Metode Desain
Faktorial” dan “Optimasi Formula Sediaan Krim Sunscreen Ekstrak Kering
Polifenol Teh Hijau (Camelia sinensis L.) dengan Asam Stearat dan Virgin Coconut Oil (VCO) sebagai Fase Minyak : Aplikasi desain Faktorial.” Pada
skripsi ini didapatkan hasil berupa gel sunscreen dengan bahan aktif fraksi polifenol teh hijau. Gel ini memiliki nilai SPF 5,874 yang didapatkan secara in
vitro dengan metode Petro. Untuk mendapatkan nilai SPF 5,874, kadar fraksi polifenol teh hijau yang dimasukkan ke dalam sediaan adalah 18,1 mg % setara dengan polifenol 0,022 % b/b terhitung ekuivalen dengan kuersetin (Prasetya,
2008; Wijayanti, 2008).
D. Manfaat
Manfaat yang diaharapkan melalui penelitian ini adalah :
1. Manfaat teoritis : memberikan sumbangan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan terutama mengenai cara pengukuran daya proteksi suatu zat terhadap
inflammationassociated edema yang disebabkan oleh radiasi sinar ultraviolet. 2. Manfaat praktis : hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah bukti ilmiah
mengenai efikasi fraksi polifenol teh hijau sebagai sunscreen dan mampu
E. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui nilai SPF secara in vivo gel dan krim sunscreen fraksi polifenol teh hijau.
2. Mengetahui efek gel dan krim sunscreen fraksi polifenol teh hijau terhadap
inflammationassociated edema akibat radiasi UV yang ditandai dengan perubahan
skinfold thickness yang lebih rendah secara signifikan dibanding dengan perubahan
skinfold thickness pada kontrol.
3. Mengetahui pengaruh jenis bentuk sediaan terhadap nilai SPF, proteksi terhadap
8
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Tanaman Teh
1. Klasifikasi teh
Teh dapat digolongkan dalam tiga jenis, yaitu teh hijau (tidak difermentasi),
teh oolong (semifermentasi), teh hitam (fermentasi penuh). a. Teh Hijau
Teh hijau dibuat melalui inaktivasi enzim polifenol oksidase di
dalam daun teh segar dengan tujuan untuk mencegah terjadinya oksidasi enzimatis katekin.
b. Teh Oolong
Teh oolong diproses melalui pemanasan daun dalam waktu singkat setelah penggulungan.
c. Teh Hitam
Teh hitam dibuat melalui oksidasi katekin dalam daun segar dengan
katalis polifenol oksidase atau disebut dengan fermentasi (Syah, 2006).
2. Kandungan kimia
Daun teh mengandung 30-40% polifenol yang sebagian besar dikenal
penyebab aroma, dan enzym. Gambaran mengenai komposisi kandungan kimia pucuk
daun teh adalah sebagai berikut :
Tabel I. Komposisi kandungan kimia pucuk daun teh (%berat kering) Bagian Dari
Protein 17,0 0,0
Lemak 8,0 0,0
Tepung 0,5 0,0
Vakuola
Polifenol/katekin 22,0 22,0
Kafein 4,0 4,0
Substansi fenol yang terkandung dalam teh adalah : a. Katekin (polifenol)
b. Flavonol
3. Kegunaan
Teh merupakan antioksidan penyegar kulit dan pengatur keseimbangan
melindungi kulit dari sinar matahari yang dapat mengakibatkan kanker kulit (Syah,
2006).
Aktivitas biologi yang pernah diteliti adalah sebagai kemopreventif terhadap senyawa promotor tumor, inflamasi kemopreventif terhadap senyawa promotor
tumor, inflamasi kulit yang diinduksi radiasi UV, dan tumorigenesis pada uji kultur sel, uji hewan di laboratorium, studi epidemiologik, dan uji klinik (Mukhtar and
Ahmad, 1999; Katiyar et al., 2001) lewat beberapa mekanisme seperti menghambat kerusakan DNA yang diinduksi oleh radiasi UV, menurunkan pembentukan
cyclobutane pyrimidine dimers (CPDs) seperti thymine dimer pada epidermis dan dermis, menginduksi apoptosis pada sel human epidermal carcinoma dan human carcinoma keratinocyte, mengeblok infiltrasi leukosit yang diinduksi UV, dan
menghambat pertumbuhan tumor pada siklus sel fase G0-G1 (Katiyar et al., 2001; Svobodova et al., 2003).
B. Flavonoid dalam Teh Hijau
Senyawa flavonoid yang ditemukan dalam teh hijau adalah flavanol dan
flavonol, yaitu :
1. Flavanol
Katekin merupakan flavonoid yang termasuk dalam kelompok flavanol
(Hartoyo, 2003). Katekin teh bersifat antimikroba (bakteri dan virus), antioksidan, antiradiasi, memperkuat pembuluh darah, melancarkan sekresi air seni, dan
Katekin teh hijau tersusun sebagian besar atas senyawa-senyawa katekin
(C), epikatekin (EC), galokatekin (GC), epigalokatekin (ECG), galokatekin galat (GCG), dan epigalokatekin galat (EGCG). EGCG diyakini merupakan komponen aktif teh hijau yang antara lain bermanfaat sebagai antihipertensi, antioksidan,
antikarsinogenesis, antikanker, dan melindungi dari sinar UV (Syah, 2006).
Tabel II. Sifat fisik dan kimia katekin (Syah, 2006)
Sifat Fisik Sifat Kimia
Kenampakan : putih
Titik lebur : 104-106oC
Sensitif terhadap oksigen
Sensitif terhadap cahaya (dapat mengalami
perubahan warna jika kontak langsung dengan udara terbuka)
Berfungsi sebagai antioksidan
Substansi yang dihindari : unsur oksidasi,
asam klorida, asam anhidrida, basa, dan
asam nitrit
Larut dalam air hangat
Stabil dalam kondisi agak asam atau netral
Struktur senyawa katekin adalah sebagai berikut :
Gambar 1. Struktur kimia katekin (Svobodova et al., 2003)
2. Flavonol
Tabel III. Jumlah flavonol teh hijau (Hartoyo, 2003)
Jenis flavonol Jumlah g/kg
Kuersetin 1,79 – 4,05 Kaemferol 1,56 – 3,31 Mirisetin 0,83 – 1,59
Gambar 2. Struktur flavonol (Hartoyo, 2003)
C. Sinar Ultraviolet
1. Pembagian spektrum sinar ultraviolet
Sinar Ultraviolet dibagi menjadi 3, yaitu ultraviolet C (UVC 200-290 nm),
ultraviolet B (UVB 290-320 nm), ultraviolet A (UVA 320-400 nm). Sinar ultraviolet A kemudian dapat dibagi menjadi tiga, yaitu UVA II (320-340 nm) atau UVA pendek, dan UVA I (340-400 nm) atau UVA panjang (Edlich, Winters, Lim, Cox,
2. Efek buruk radiasi ultraviolet
Radiasi sinar UV yang mencapai bumi adalah 90-95% adalah UVA dan hanya 5-10% UVB. Sinar UVA memiliki panjang gelombang yang lebih panjang dibanding UVB, maka UVA dapat terpenetrasi lebih dalam pada kulit. Sinar UVA
memiliki panjang gelombang yang panjang sehingga UVA dapat menembus kaca jendela sedangkan UVB dapat diblok oleh kaca jendela (Edlich et al, 2004). Paparan
UV pada kulit mamalia memunculkan reaksi inflamasi awal yang terdiri dari
erythema, edema, dan hiperplasia (Ley dan Reeve, 1997), juga melibatkan histamin dan proinflamatori prostaglandin, serta munculnya radikal oksigen yang dapat
dihambat oleh antioksidan endogen maupun eksogen (Steenvoorden dan Henegouwen, 1997).
Kedua spektra UV ini memiliki perbedaan efek biologi. Sinar UVA sebagai “Aging ray” penetrasi ke dalam epidermis dan dermis. Sinar UVA efektif untuk memproduksi efek immediate tanning yang menyebabkan penggelapan melanin pada
epidermis. Paparan intensif atau ekstensif UVA dapat membakar kulit sensitif, dan dalam jangka waktu yang panjang hal ini dapat merusak struktur di bawah lapisan
korneum dan menyebabkan penuaan dini. Ini cenderung menyebabkan penurunan kualitas kulit dan dapat menekan beberapa fungsi imunologi. Respon yang terjadi didalam sel karena induksi UVA lebih disebabkan karena proses oksidasi yang
diinisiasi dengan endogen photosensitisasi. Setelah paparan UVA, singlet oksigen, H2O2 dan radikal hidroksil dibentuk. Hal ini dapat merusak protein selular, lipid, dan
perusakan pada pembuluh darah dermal. Sinar UVA dapat menyebabkan perusakan
struktural DNA, mengganggu sistem imun, dan menyebabkan kanker (Svobodova et al., 2003; Edlich et al, 2004).
Radiasi UVB disebut sebagai ”burning ray”. Sinar UVB termasuk bagian
yang minor tapi merupakan konstituen aktif sinar matahari. Sinar UVB dapat menyebabkan inflamasi pada kulit dan eritema. Sinar UVB lebih genotoxic dibanding
UVA. Sinar UVB cenderung bekerja lebih banyak pada lapisan epidermal sel basal pada kulit. Ini menginduksi secara langsung maupun tidak langsung pada efek biologi, termasuk pembentukan pyrimidine fotoproduk, isomerisasi trans-cis urocanic
acid, induksi aktifitas ornithine dekarboksilase, stimulasi sintesis DNA, pembentukan radikal bebas pada kulit, photoaging, dan photocarcinogenesis. Sinar UVB signifikan
menurunkan daya antioksidan pada kulit, mengurangi kemampuan kulit untuk melindungi dirinya terhadap terbentuknya radikal bebas karena radiasi sinar ultraviolet. Hal ini memiliki kemampuan untuk menginduksi kanker kulit (squamous
dan basal sel karsinoma) karena kerusakan DNA. Hal ini juga dipengaruhi oleh penurunan pertahanan sistem imun kulit (Svobodova et al, 2003).
Sinar UVC sangat berbahaya, walaupun hanya dengan paparan singkat. Ini secara ekstrim merusak kulit. Untungnya, radiasi UVC dari matahari diabsorbsi sempurna oleh molekul oksigen dan ozon pada atmosphere dan tidak ada yang
mencapai bumi (Svobodova et al, 2003).
Setelah 48 jam radiasi UV, energi UV diabsorbsi pada beberapa tingkatan
stratum korneum. Eritema diinduksi oleh vasodilatasi, peningkatan aliran darah, dan
edema. Inflamasi terjadi pada lapisan bawah papillary dermis, dan diperantarai oleh histamin, serotonin, dan kinin. Prostaglandin (disintesis oleh enzim mikrosomal) bertanggungjawab pada pembentukan eritema, dan peningkatan eicosanoids
ditemukan pada jaringan manusia yang teradiasi. Sunburn merupakan efek singkat dari kerusakan epidermis sementara. Secara histologi, sunburn dihubungkan dengan
vasodilatasi pembuluh kapiler di papillary dermis, diskeratosis keratinosit (sunburn cells), perivenular edema, dan adanya dermal neutrofil (Edlich et al, 2004).
3. Efek positif radiasi sinar ultraviolet
Radiasi sinar UV juga memiliki efek positif bagi manusia. Efek positif dari radiasi UV adalah membantu dalam pembentukan vitamin D, mempengaruhi fungsi
reproduksi (tanpa sinar matahari, melatonin tidak akan disekresikan dari kelenjar pineal, sehingga fungsi organ sex berkurang) (Edlich et al, 2004).
D. Inflamasi
1. Definisi
Inflamasi adalah respon atau reaksi protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan tubuh karena suatu rangsangan yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera
kerusakan jaringan. Inflamasi berasal dari bahasa latin yaitu inflamare yang artinya
burn (Spector, 1980).
2. Penyebab
Inflamasi terjadi karena rangsangan, seperti infeksi, tekanan fisik, dan
tekanan kimia yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan. Kerusakan ini menginisiasi aktivasi dari faktor transkripsi yang mengkontrol ekspresi dari beberapa
mediator kimia (eicosanoids, oksidan biologi, sitokine, faktor adhesi, dan digestive enzyme). Beberapa oksidan biologi yaitu anion superoksid (.O2-), hidrogen peroksid (H2O2), nitric oksid (.NO), peroksinitrit (.OONO-), asam hipochlorous (HOCl),
peroxidase-generated oxidants seperti radikal hidroksil (.OH), dan singlet oksigen (.O2 ). Oksidan ini secara luas dihasilkan oleh sel fagosit seperti neutrofil dan
makrofage, digestive enzymes dan eicosanoids. Oksidan biologi ini akan merusak jaringan (Craig dan Robert, 2003).
Gambar 3. Patogenesis dan gejala suatu peradangan (Mutschler, 1986)
Noksius
Pembebasan bahan mediator
3. Gejala
Gejala reaksi radang yang dapat diamati adalah pemerahan (rubor), panas meningkat (calor), pembengkakan (tumor), nyeri (dolor), dan gangguan fungsi (fungsio laesa). Gejala tersebut merupakan akibat dari gangguan aliran darah yang
terjadi akibat kerusakan jaringan dalam pembuluh pengalir terminal, gangguan keluarnya plasma darah (eksudasi) ke ruangan ekstrasel akibat meningkatnya
ketebalan kapiler dan perangsangan resptor nyeri (Mutschler, 1986).
4. Mekanisme
Mekanisme terjadinya inflamasi pada jaringan diawali dengan proses
inisiasi yaitu peristiwa terjadinya perusakan jaringan secara fisik atau oleh substansi dari luar. Setelah itu, pembuluh arteri akan mengalami kontraksi singkat kemudian
diikuti dilatasi yang lama menyebabkan aliran darah meningkat dan darah masuk ke dalam kapiler darah yang inaktif. Leukosit mengalami marginasi membentuk lapisan di dinding dalam sel endothelial. Pada waktu yang sama terjadi peningkatan
permeabilitas kapiler darah sehingga cairan plasma, protein (albumin, globulin, dan fibrinogen), dan leukosit keluar kejaringan menyebabkan edema. Protein kemudian
dibawa oleh kelenjar limpatik menuju ke jaringan yang rusak. Pada jaringan yang tersebut terjadi chemoattraction dari sel inflamasi, dan aktifasi sel inflamasi untuk melepaskan mediator inflamasi (Craig dan Robert, 2003; Spector, 1980).
Mekanisme inflamasi secara seluler melibatkan aktivasi dari beberapa sel yang menyebabkan pelepasan mediator kimia. Beberapa diantaranya adalah sel mast
permeabilitas kapiler. Histamin akan berperanan sangat penting pada awal terjadinya
inflamasi, setelah itu diikuti dengan munculnya kinin kemudian diperkuat dengan adanya prostaglandin (Spector, 1980).
Gambar 4. Jalur sintesis asam arakidonat (Craig dan Robert, 2003)
Eicosanoid atau asam arakidonat terdapat pada membran fosfolipid dan disintesis ketika terjadi stimulasi seluler. Asam arakidonat berikatan pada membran
dengan phosphatidylcoline oleh enzim phospholipase A2. Asam arakidonat kemudian mengikuti 2 jalur enzimatis yang akan menghasilkan mediator inflamasi, yaitu jalur siklooksigenase (COX) yang memproduksi prostaglandin dan jalur lipooksigenase
yang menghasilkan leukotrien. Enzym COX terdapat dalam 2 isoform. Siklooksigenase-1 (COX-1) berfungsi sebagai perlindungan. Siklooksigenase-2
faktor utama dalam inflamasi kronis. Produk akhir dari prostaglandin bersifat spesifik
pada jaringan, contohnya platelet memproduksi thromboxane A2 (TxA2); sel pembuluh endothelial memproduksi prostasiklin (PGI2), sel mast memproduksi prostaglandin D2 (PGD2); dan vasculature, saluran gastrointestinal, tulang, dan
jaringan lain memproduksi prostaglandin E2 (PGE2) (Craig dan Robert, 2003).
E. Sunscreen
1. Pengertian sunscreen
Berdasarkan mekanisme aksinya, sunscreen dapat dibedakan menjadi 2,
yaitu chemical sunscreen dan physical blockers. Chemical sunscreen secara umum merupakan senyawa aromatik yang terikat pada gugus karbonil. Senyawa kimia ini
mengabsorbsi intensitas tinggi sinar ultraviolet dengan tereksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi, contohnya adalah oksibenzon, sinamate. Senyawa sunscreen yang termasuk dalam physical blockers merefleksikan radiasi UV, contohnya adalah TiO2
dan ZnO (Barel et al, 2001). Produk sunscreen seharusnya dapat efektif dalam mencegah sunburn, photo-ageing, dan juga memproteksi terhadap
photo-immunosuppression (Verheugen, 2006).
2. Sun Protection Factor (SPF)
Sun Protection Factor merupakan ukuran proteksi akut dari eritema, sangat
berkaitan dengan sumber UVR dan densitas dari sunscreen yang diaplikasikan.
Sunscreen tidak memberikan indikasi proteksi produk terhadap radiasi kronis
dosis UVR yang dibutuhkan untuk memproduksi 1 MED pada kulit yang telah
diproteksi setelah aplikasi 2 mg/cm2 produk sunscreen dibanding dosis sinar UV untuk memproduksi satu MED pada kulit yang tidak diproteksi. Sunscreen dengan
broad-spectrum atau spektrum luas mampu melindungi kulit dari UV A dan UV B (Barel et al, 2001).
3. Pengujian SPF
Eritema merupakan metode yang secara rutin digunakan untuk mendapatkan efek inflamasi karena radiasi UV pada kulit manusia dan MED adalah basis untuk determinasi SPF. Namun, penilaian eritema secara luas diakui sulit. Edema pada
mencit tipe Skh hairless strain biasa digunakan sebagai model untuk eritema pada manusia. Radiasi UV yang digunakan untuk minimal edema respon sama dengan
MED pada manusia dengan skin type II / III. Evaluasi eritema bersifat semiquantitatif sehingga menjadi kurang akurat daripada pengukuran edema (Fourtanier et al, 2000). Metode pengukuran SPF mengacu pada metode COLIPA, 1994 (Anonim, 2006)
sebagai metode internasional, yang pada metode tersebut penentuan SPF dideterminasi menggunakan 10 volunter manusia.
Tabel IV. Pengelompokan daya proteksi sunscreen berdasarkan nilai SPF berdasarkan FDA
Sunburn protection Sun protection factor
Minimal 2-12
Moderate 12-30
High >30
F. Kulit
Kulit memiliki beberapa fungsi, yaitu melindungi tubuh terhadap luka, perlindungan terhadap mikroorganisme patogen, mempertahankan suhu tubuh dengan pertolongan sirkulasi darah, mengatur keseimbangan cairan melalui sirkulasi kelenjar,
alat indera melalui persarafan sensorik. Lapisan kulit terdiri dari 3 lapisan, yaitu epidermis, dermis, dan subkutis (Syaifuddin, 1997).
Gambar 5. Struktur kulit ( Washington, Washington, dan Wilson, 2001)
Epidermis merupakan lapisan keratinising stratified squamous epithelial.
Epidermis terdiri dari beberapa lapisan, yaitu stratum korneum, stratum lusidum, stratum granulosum, stratum spinosum, dan stratum germinativum (Syaifuddin, 1997). Epidermis, lapisan terluar kulit, terdiri dari empat jenis sel: keratinosit, yang
menghasilkan pigmen; sel Langerhans, sel fagositik berperan dalam pengambilan dan
pengolahan antigen; dan sel Merkel, sel neuoroendokrin yang fungsinya belum diketahui (Sander, 2003).
Dermis terdiri dari jaringan ikat longgar dan pembuluh–pembuluh darah
halus, dan memiliki folikel rambut (Sander, 2003). Dermis terdiri dari 2 lapisan, yaitu:
a. bagian atas, pars papilaris (stratum papilar)
b. bagian bawah, retikularis (stratum retikularis) (Syaifuddin, 1997).
Subkutis terdiri dari kumpulan-kumpulan sel-sel lemak. Selain itu, jaringan
subkutis juga terdapat serabut-serabut jaringan ikat dermis (Syaifudin, 1997).
G. Gel
Menurut definisinya, gel merupakan bentuk sediaan semisolid yang mengandung larutan bahan aktif tunggal maupun campuran dengan pembawa senyawa hidrofilik dan hidrofobik. Gel juga dirumuskan sebagai sistem dispersi yang
minimal terdiri dari dua fase yaitu sebuah fase padat dan sebuah fase cair (gel liofil) atau terdiri dari sebuah fase padat dan fase berbentuk gas (gel kserofil) (Voigt, 1994).
Gel dibedakan berdasarkan karakteristik kelarutan dan polaritas dari substansi yang terlarut didalamnya, yaitu hidrogel untuk substansi yang hidrofilik dan lipogels untuk substansi yang lipofilik. Konsistensi dari gel disebabkan karena gelling
antara molekul pelarut dan jaringan polimer menyebabkan gerak molekul berkurang
sehingga meningkatkan viskositanya (Barel et al., 2001).
Setelah aplikasi, hidrogel akan memberikan efek mendinginkan karena evaporasi dari pelarut, mudah diaplikasikan dan melembabkan kulit (Barel et al.,
2001). Keuntungan lain dari bentuk sediaan ini adalah setelah kering meninggalkan lapisan tipis (film) tembus pandang elastis dengan daya lekat tinggi, yang tidak
menyumbat pori kulit, pernafasan tidak dipengaruhi dan dapat dengan mudah dicuci dengan air (Voigt, 1994).
H. Krim
Krim (cremores) adalah bentuk sediaan setengah padat berupa emulsi yang
mengandung satu atau lebih bahan obat yang terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Krim ada dua tipe, yaitu krim tipe minyak dalam air (M/A) dan tipe air dalam minyak (A/M). Krim yang dapat dicuci dengan air (M/A) ditujukan
terutama untuk penggunaan kosmetik dan estetika (Syamsuni, 2005).
Emulsi (lotion dan krim) merupakan bentuk sediaan kosmetik yang sering
digunakan dengan alasan rasa yang diterima kulit, penerimaan pasien, dan mudah dalam aplikasi. Krim merupakan sediaan semisolid dengan konsistensi yang lebih kental dibanding lotion. Penerimaan yang tinggi terhadap emulsi o/w berdasarkan
(air), memiliki efek mendinginkan karena evaporasi dari fase eksternal (Barel et al.,
2001).
I. Landasan Teori
Teh hijau mengandung 30-40% polifenol dengan kandungan terbesar adalah golongan katekin (Syah, 2006). Polifenol tidak hanya dapat mengabsorbsi sinar
ultraviolet tetapi juga memiliki sifat antioksidan yang akan menangkap radikal bebas yang berasal dari radiasi UV sehingga dapat meminimalkan efek buruk sinar UV, salah satu efek buruk tersebut adalah reaksi inflamasi. Polifenol dapat mengabsorbsi
sinar UV karena adanya gugus aromatik yang berikatan dengan gugus karbonil (Bowen, 1998). Mekanisme absorbsi dari polifenol teh hijau dapat dilihat pada
gambar 6.
Gambar 6. Resonansi elektron pada (-)-epigalocathecin gallate (EGCG) ketika terjadi absorbsi radiasi UV
Sedangkan efek antioksidan disebabkan adanya gugus hidroksil pada
air dan radikal baru yang distabilisasi oleh efek resonansi inti aromatik sehingga
bersifat tidak reaktif (Middleton Jr., Kandaswami, C., dan Theoharis, C.T., 2000). Mekanisme penangkapan radikal bebas oleh polifenol teh dapat dilihat pada gambar 7.
Gambar 7. Mekanisme penangkapan radikal bebas oleh gugus cathecol (Middleton
et al, 2000).
Senyawa yang memiliki sifat dapat mengabsorbsi maupun merefleksikan radiasi UV dapat diformulasi menjadi bentuk sediaan yang disebut sediaan sunscreen.
Sediaan sunscreen yang beredar dimasyarakat dapat berupa krim, lotion, dan gel. Bentuk sediaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah gel dan krim sunscreen
5,874, yang didapatkan secara in vitro dengan metode Petro (Prasetyo, 2008;
Wijayanti, 2008).
Akan tetapi, adanya perbedaan fisikokimia formulasi dari sediaan dapat menyebabkan perbedaan pelepasan zat aktif yang pada akhirnya dapat mempengaruhi
efikasinya (Shargel dan Yu, 1985). Gel merupakan matriks 3 dimensi hasil ikatan dari polimer (gelling agent) dengan solvent sehingga terjadi pembatasan gerak senyawa
yang terjebak didalam matriks 3 dimensi. Oleh karena itu, gel sering digunakan dalam sediaan farmasetis dalam pemberian efek pelepasan obat secara lepas lambat (Barel et al., 2001). Krim merupakan bentuk sediaan setengah padat berupa emulsi
yang mengandung satu atau lebih bahan obat yang terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai (Syamsuni, 2005). Krim merupakan bentuk sediaan yang
sering digunakan dalam sediaan kosmetik karena mudah dipalikasikan di kulit sehingga meningkatkan penerimaan pasien (Barel et al., 2001). Namun, penelitian mengenai profil pelepasan zat aktif dari sediaan krim belum dilakukan.
J. Hipotesis
28
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental. Objek uji dalam penelitian ini adalah bentuk sediaan sunscreen fraksi polifenol teh hijau, yaitu
berbentuk gel dan krim, yang formulasinya didapatkan dari penelitian sebelumnya.
B. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah jenis bentuk sediaan sunscreen fraksi polifenol teh hijau, yaitu berbentuk gel dan krim.
2. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah nilai SPF sediaan sunscreen dan
skinfold thickness.
3. Variabel pengacau terkendali dalam penelitian ini adalah kondisi fisologis
mencit BALB/c.
4. Variabel pengacau tak terkendali dalam penelitian ini adalah kondisi patologis
mencit BALB/c dan gerak mencit dalam kotak perlakuan.
C. Definisi Operasional
1. Minimum Edema Dose atau MED merupakan lama waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan peningkatan skinfold thickness yang optimal (mendekati 1,5-2
lipat skinfold thickness awal) akibat 1 kali paparan UV, yang diukur 24 jam
setelah radiasi.
2. Skinfold thickness merupakan ketebalan lipatan kulit mencit pada bagian punggung yang diukur pasca paparan UV.
3. Peningkatan skinfold thickness adalah skinfold thickness akhir dikurangi
skinfold thickness awal.
4. Dosis UVR adalah lama waktu pemaparan radiasi sinar ultraviolet.
5. Lampu Simulasi UV adalah lampu UVA, Black Light, Unfiltered Lamp, Sankyo, dengan panjang gelombang 365 nm yang digunakan untuk mensimulasi radiasi
sinar ultraviolet yang dipasang dengan jarak 15 cm dengan nilai 115-116 lux. Lampu simulasi UV telah dikalibrasi di Laboratorium Analisa Pusat, Universitas
Sanata Dharma, Yogyakarta.
6. Sun Protection FactoratauSPFadalah perbandingan antara MED dari kulit yang diproteksi dengan sediaan dan 1 MED dari kulit yang tidak diproteksi dengan
sediaan (Fourtanier et all, 2000).
7. Krim sunscreen fraksi polifenol teh hijau adalah bentuk sediaan sunscreen
yang berupa emulsi antara fase minyak dan fase air dengan tipe M/A yang mengandung fraksi polifenol teh hijau 18,1 mg % setara dengan polifenol 0,022 % b/b terhitung ekuivalen terhadap kuersetin.
8. Basis krim sunscreen fraksi polifenol teh hijau adalah pembawa (vehicle) yang berupa emulsi antara fase minyak dan fase air dengan tipe M/A yang tidak
9. Gel sunscreen fraksi polifenol teh hijau adalah bentuk sediaan sunscreen yang
berupa hidrogel yang mengandung fraksi polifenol teh hijau 18,1 mg % setara dengan polifenol 0,022 % b/b terhitung ekuivalen terhadap kuersetin.
10. Basis gel sunscreen fraksi polifenol teh hijau adalah pembawa (vehicle) yang
berupa hidrogel yang tidak mengandung fraksi polifenol teh hijau.
D. Alat dan Bahan Penelitian
1. Alat
a. Sumber radiasi ultraviolet / lampu simulasi UV
Lampu simulasi UV (lampu TL UVA, Black Light, Unfiltered Lamp, Sankyo) untuk radiasi dengan panjang gelombang 365 nm yang
digunakan untuk mensimulasi radiasi sinar ultraviolet dipasang dengan jarak 15 cm dengan nilai 115-116 lux. Lampu simulasi UV (lampu TL UVA, Black Light, Unfiltered Lamp, Sankyo) telah dikalibrasi di
Laboratorium Analisa Pusat, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. b. Timbangan elektrik,
c. Electronic digital caliper (dengan ketelitian 0,02 mm) d. Gloved fingers
2. Bahan
a. Gel sunscreen fraksi polifenol teh hijau
Gel sunscreen didapatkan dari hasil penelitian sebelumnya
setara dengan polifenol 0,022 % b/b terhitung ekuivalen terhadap
kuersetin.
Formula gel sunscreen tersusun dari :
Tabel V. Komposisi penyusun gel sunscreen fraksi polifenol teh hijau (Wijayanti, 2008)
Komposisi Jumlah %
Fraksi polifenol teh hijau 0,022 % b/b
CMC 4,3 g 4,33%
Propilen glikol 10 g 10,07%
Etanol 11,7 g 11,78%
Aquadest 72,5 g 73,01%
Metil paraben 0,3 g 0,30%
Asam sitrat 0,5 g 0,50
Total 99,3 100%
b. Krim sunscreen fraksi polifenol teh hijau
Krim sunscreen didapatkan dari hasil penelitian sebelumnya (Prasetya, 2008), mengandung fraksi polifenol teh hijau 18,1 mg %
setara dengan polifenol 0,022 % b/b terhitung ekuivalen terhadap kuersetin.
Tabel VI. Komposisi penyusun krim sunscreen fraksi polifenol teh hijau (Prasetya,
c. Binatang percobaan
Mencit jantan strain Balb/c dengan umur 8-10 minggu yang diperoleh dari Laboratorium Pusat Penelitian Terpadu (LPPT) UGM, dan dimasukkan ke dalam kandang, selanjutnya dijaga pada suhu ruangan.
Mencit diberi pakan pellet dan diberi air ad libitum. d. Depilatories (krim penghilang bulu).
E. Jalan Penelitian
1. Praperlakuan mencit
Sebelum diberi perlakuan, punggung mencit dihilangkan rambutnya dengan cara dicukur atau digunting. Kemudian, oleskan krim depilatories untuk
dengan tissue untuk menghilangkan krim depilatories. Setelah bersih, oleskan krim
pencegah pertumbuhan rambut, diamkan selama 1 hari. Sebelum digunakan untuk uji, kulit mencit dibersihkan kembali dengan menggunakan kain basah kemudian diukur
skinfold thickness.
2. Optimasi penentuan nilai 1 MED (edema)
Dua belas mencit dikelompokkan menjadi 4 kelompok. Masing-masing
kelompok diukur ketebalan kulit (skinfold thickness) awal pada bagian punggung sebelum diradiasi dengan menggunakan electronic digital caliper. Setelah itu masing-masing kelompok mencit diradiasi dengan menggunakan lampu UV selama 5, 10, 15,
dan 20 menit. Dua puluh empat jam kemudian, peningkatan ketebalan kulit mencit diukur. 1 MED adalah waktu paparan yang diperlukan untuk membuat ketebalan kulit
mencit menjadi mendekati 1,5-2 kali lipat sebelum dipapar sinar UV
Gambar 8. Skema metode optimasi penentuan 1 MED
12 mencit hasil praperlakuan
Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4
Radiasi UV 5
3. Optimasi Puncak Inflamasi
Lima ekor mencit diukur skinfold thickness awal pada bagian punggung sebelum diradiasi menggunakan electronic digital caliper. Setelah itu, mencit diradiasi dengan menggunakan lampu simulasi UV selama 1 MED sebanyak 3 kali
dengan selang waktu 24 jam. Perubahan skinfold thickness mencit diukur pada waktu 24, 48, dan 72 jam setelah radiasi.
Gambar 9. Skema metode optimasi puncak inflamasi
5 ekor mencit hasil praperlakuan
Diradiasi selama 1 MED
Ukur peningkatan skinfold thickness 1 24 jam
24 jam
Ukur peningkatan skinfold thickness 2
24 jam
Diradiasi selama 1 MED
Diradiasi selama 1 MED
4. Pengukuran Sun Protection Factor (SPF) Secara In Vivo
Pengukuran SPF menggunakan 35 hewan uji mencit Balb/c yang telah dipreparasi sebelumnya. Diukur skinfold thickness awal dengan menggunakan
electronic digital caliper. Mencit didistribusikan menjadi 7 kelompok. Skema metode pengukuran SPF dapat dilihat pada gambar 8. Sun Protection Factor adalah MED kelompok dengan sediaan dan diradiasi UV dibagi dengan MED kelompok tanpa
sediaan dan diradiasi UV (Fourtanier et al, 2000).
Gambar 10. Skema metode pengukuran SPF sediaan secara in vivo (Fourtanier et al,
2000).
5. Pengukuran efikasi terhadap inflammation associated edema
Penghitungan efikasi terhadap inflammation associated edema
menggunakan 25 hewan uji mencit Balb/c yang telah dipreparasi sebelumnya 45 mencit hasil praperlakuan
Kontrol 1 Kelmpk. 1 Kelmpk. 2 Kelmpk. 3
krim Tanpa
aplikasi
Jumlah aplikasi = 2,5 mg/cm2 ± 2,5% 15 menit sebelum radiasi
Radiasi
Ukur peningkatan skinfold thickness 24 jam setelah radiasi
kemudian didistribusikan dalam 5 kelompok. Skema metode pengukuran efikasi
terhadap inflammation associated edema dapat dilihat pada gambar 9.
Gambar 10. Skema metode pengukuran efikasi terhadap inflammation associated edema (Widyarini et al, 2001)
25 mencit hasil praperlakuan
Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4 Kelompok 5
Tanpa
Jumlah aplikasi = 0,2 gram, 15 menit sebelum radiasi
Diradiasi selama 1 MED
Ukur peningkatan skinfold thickness 1 24 jam
24 jam
Ukur peningkatan skinfold thickness 2
24 jam
Diradiasi selama 1 MED
Diradiasi selama 1 MED
F. Analisis Data
Data yang diperoleh adalah nilai skinfold thickness. Data skinfold thickness
tersebut kemudian diolah untuk mendapatkan nilai MED. Nilai MED digunakan untuk mendapatkan nilai SPF secara in vivo yangdihitung dengan rumus:
SPF =
Nilai MED yang digunakan untuk “MED dengan sediaan” dipilih dari hasil radiasi selama n X 1 MED dengan peningkatan skinfold thickness yang berbeda tidak
bermakna dengan peningkatan skinfold thickness pada hewan uji yang diradiasi lampu UV selama 1 MED dan tanpa proteksi sediaan. Untuk mengetahui perbedaan
bermakna atau tidak bermakna digunakan uji statistik berupa one tailed - independent sample t test. Peningkatan skinfold thickness dapat dirumuskan sebagai berikut:
Nilai skinfold thickness juga digunakan dalam pengukuran proteksi terhadap
inflammation associated edema. Hasil yang didapatkan dalam pengukuran ini
ditampilkan dalam bentuk grafik yang menggambarkan perubahan skinfold thickness
dimana sumbu Y adalah skinfold thickness (mm) dan sumbu X adalah perlakuan yang
diberikan pada hewan uji sebelum dan setelah radiasi UV. Hasil kemudian diuji secara statistik menggunakan ANOVA untuk mengetahui adanya perbedaan bermakna
atau tidak bermakna antara kelompok perlakuan. Perbedaan diuji dengan
menggunakan Post hoc berupa LSD.
Untuk mengetahui pengaruh bentuk sediaan terhadap inflammation
39
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sediaan sunscreen merupakan sediaan topikal yang digunakan untuk melindungi kulit dari efek buruk radiasi UV. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
hasil evaluasi efek suatu sediaan yang digunakan sebagai sunscreen adalah kondisi patologis-fisiologis hewan uji dan pemilihan jenis hewan uji. Untuk menjaga kondisi hewan uji, maka pada penelitian ini hewan uji ditempatkan pada tempat yang
terpisah-pisah. Dua tipe mencit yang digunakan untuk evaluasi proteksi sunscreen
adalah hairless mice, seperti SKH1:hr strain dan hairy/haired mice, seperti mencit
BALB/c, C3H/HeN dan C57BL/6 (Kim, Ananthaswamy, Kripke, dan Ullrich, 2003). Idealnya, pengujian sun protection menggunakan jenis mencit yang tidak berambut (hairless mice) karena mencit ini lebih sensitif terhadap sinar UV. Namun,
ketersediaan hairless mice yang sangat sulit ditemukan di Yogyakarta maupun di Indonesia menyebabkan penelitian ini menggunakan mencit yang memiliki rambut
(haired mice). Penelitian ini menggunakan mencit BALB/c dengan rentang usia 8-10 minggu sebagai hewan uji. Adanya rambut dapat meningkatkan perlindungan terhadap radiasi sinar UV. Oleh karena itu, mencit BALB/c dihilangkan rambutnya
terlebih dahulu sebelum digunakan sebagai hewan uji. Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah jantan karena adanya hormon estrogen pada betina dapat
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada
perbedaan efikasi antara gel dan krim sunscreen fraksi polifenol teh hijau sehingga dapat diketahui pengaruh bentuk sediaan maupun formulasi terhadap efikasi
sunscreen. Untuk mencapai tujuan tersebut, peneliti melakukan berbagai langkah penelitian yang dapat dilihat pada gambar 11 berikut ini.
Gambar 11. Skema langkah penelitian
A. Uji Pendahuluan
Uji pendahuluan dilakukan sebagai orientasi untuk mempersiapkan hal-hal yang diperlukan dalam pengambilan data pada saat uji efikasi sediaan sunscreen. Uji
A. Uji Pendahuluan
1. Optimasi Penentuan Nilai 1 MED
2. Optimasi Puncak Inflamasi
B. Uji Efikasi Sediaan Sunscreen
2. Efek Proteksi Gel dan Krim Sunscreen Fraksi Polifenol Teh Hijau Terhadap Inflammation Associated Edema
C. Pengaruh Bentuk Sediaan Terhadap Nilai SPF Secara In Vivo dan Proteksi Terhadap Inflammation Associated Edema
pendahuluan yang dilakukan meliputi : penetapan 1 MED yang berfungsi dalam
penetapan waktu/dosis radiasi pada penentuan SPF secara in vivo dan efek proteksi terhadap inflammation associated edema, serta penetapan puncak inflamasi yang akan digunakan pada pengujian efek proteksi terhadap inflammation associated
edema.
1. Optimasi Penentuan Nilai 1 MED
Eritema merupakan metode yang sangat rutin digunakan untuk menentukan efikasi sunscreen dan MED merupakan basis yang digunakan untuk menghitung SPF (Fourtanier et al, 2000). Telah dipercaya bahwa penentuan eritema pada hewan uji
sangat sulit dilakukan. Edema pada Skh hairless strain sering digunakan sebagai model untuk eritema pada manusia. Dosis UVR yang digunakan untuk menimbulkan
edema pada Skh hairless strain sama dengan MED pada kulit manusia type II/III. Evaluasi eritema bersifat semikuantitatif yang menyebabkan kurang akurat dibanding pengukuran dengan edema (Fourtanier et al., 2000). Oleh karena adanya dasar teori
demikian, maka dalam penelitian ini menggunakan edema untuk mengukur MED. Edema dihitung sebagai skinfold thickness sebagai parameter dari inflamation
associated edema akibat paparan UV.
Minimal Edema/Erythema Dose (MED) merupakan dosis (energi radiasi UV) yang dibutuhkan untuk menimbulkan edema/eritema yang minimal (Fourtanier
et al, 2000). Lampu UV yang digunakan dalam penelitian ini belum diketahui energinya. Oleh karena itu, dosis radiasi dalam penelitian ini ditentukan dengan
skinfold thickness). Dalam penelitian ini, penetapan 1 MED ditetapkan dengan
memilih perubahan skinfold thickness 1,5-2 kali lipat skinfold thickness awal karena perubahan skinfold thickness dapat diamati secara visual. Pengukuran 1 MED dilakukan pada hewan uji yang tidak diberi aplikasi sediaan sunscreen.
Pada penelitian ini, lampu UV yang digunakan adalah lampu UVA (lampu TL UVA, Black Light, Unfiltered Lamp, Sankyo) dengan nilai 115-116 lux. Energi
dari radiasi lampu sinar UV tersebut belum diketahui, sehingga untuk menetapkan dosis penyinaran dilakukan dengan mencari lama waktu penyinaran yang efektif dalam menginduksi inflamation associated edema (perubahan skinfold thickness
1,5-2 kali lipat). Hasil yang didapatkan adalah nilai 1 MED. Variasi lama penyinaran yang dipilih adalah 5, 10, 15, dan 20 menit. Nilai 1 MED ini ditetapkan dengan
0,85
tebal awal tebal akhir
Gambar 12. Perubahan skinfold thickness yang diukur 24 jam setelah radiasi UV.
Hasil ini didapatkan dari radiasi UV pada hewan uji tanpa aplikasi topikal selama 5, 10, 15, dan 20 menit. Dari ke-4 seri waktu tersebut, paparan UV selama 20 menit memberikan rata-rata
skinfold thickness akhir paling besar dan mendekati 2 kali lipat skinfold thickness awal.
Dari gambar 12 di atas diketahui bahwa pada dosis radiasi 20 menit terjadi
perubahan skinfold thickness 1,5-2 kali lipat skinfold thickness awal, yaitu dari
skinfold thickness awal sebesar 0,68±0,02 mm menjadi 1,23±0,35 mm (perubahan
skinfold thickness adalah sekitar 1,8 kali lipat). Oleh karena itu ditentukan waktu
paparan selama 20 menit sebagai 1 MED.
2. Penetapan Puncak Inflamasi
Sebelum menentukan efek proteksi terhadap inflammation associated
edema, dilakukan penetapan puncak terbentuknya inflamasi. Proses terbentuknya inflamasi melalui beberapa proses sehingga membutuhkan waktu untuk mencapai
disekitarnya (Svobodova et al., 2003). Oleh karena itu, untuk mendapatkan
pembentukan inflamasi yang maksimal, pengamatan perubahan skinfold thickness
dilakukan selama 72 jam dengan 3 kali radiasi. Dengan didapatkannya puncak terbentuknya inflamasi, maka ketepatan pengamatan pun juga akan meningkat.
Penetapan ini dilakukan pada hewan uji kontrol (tanpa diberi aplikasi sunscreen, diradiasi UV selama 1 MED selama 3 hari berturut-turut). Hasil penetapan puncak
inflamasi dapat terlihat dari gambar 13 berikut ini :
1,13 1,08
Gambar 13. Perubahan skinfold thickness pada kontrol pasca paparan UV
Berdasarkan data statistik (ANOVA) didapatkan bahwa perubahan skinfold
thickness pada hari 1 (1,13±0,14 mm), hari 2 (1,08±0,20 mm), dan hari 3 (1,27±0,22
mm) berbeda tidak bermakna (p>0,05) sehingga dapat ditentukan puncak inflamasi
pada hari 1, hari 2, maupun pada hari ke-3. Pada penelitian ini ditentukan puncak inflamasi pada hari ke-3 disebabkan karena adanya pertimbangan bahwa semakin banyak treatment yang dilakukan (banyaknya radiasi dan banyaknya aplikasi sediaan)
Penelitian ini menggunakan sumber radiasi berupa lampu UVA. Secara
teoritis, sinar UVA dapat menyebabkan hiperplasia dan inflamasi karena UVA dapat menyebabkan pembentukan ROS yang dapat merusak membran lipid (Svobodova,A., Walterova, D., Vostalova, J., 2006). Namun efek UVA dalam memproduksi inflamasi
lebih rendah dibanding UVB, bahkan dengan meningkatnya jumlah UVA dapat menurunkan efek inflamasi yang dihasilkan dari radiasi UVB (Reeve, Domanski,
Slater, 2006). Dengan demikian, penggunaan sumber radiasi berupa lampu UVA menyebabkan pembentukan inflamasi menjadi kurang optimal. Hal inilah yang kemungkinan menyebabkan pembentukan inflamasi pada hari 1 sampai dengan hari 3
terjadi perubahan skinfold thickness yang berbeda namun tidak bermakna secara statistik.
B. Uji Efikasi Sediaan Sunscreen
Efikasi dari sediaan sunscreen dilihat dari nilai indikator efikasi sediaan
sunscreen yaitu nilai SPF yang didapatkan secara in vivo dan nilai proteksi sediaan
sunscreen terhadap inflammation associated edema. Perbedaan dari kedua efikasi ini
adalah nilai SPF menunjukkan lama sediaan sunscreen dapat melindungi kulit dari radiasi sinar UV, sedangkan proteksi terhadap inflammation associated edema
menunjukkan efektivitas sediaan sunscreen dalam melindungi kulit dari terbentuknya
inflamasi karena radiasi UV. Inflamasi merupakan reaksi awal kulit ketika terkena radiasi UV. Terbentuknya inflamasi dapat menyebabkan kerusakan DNA yang juga