• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.5 Efisiensi Pakan

Efisiensi pakan pada keempat rasio C/N berbeda-beda. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 8. Efisiensi pakan pada rasio C/N 0, 5, 10 dan 15 secara berturut-turut berdasarkan Gambar 8 adalah 73,67%, 139,8%, 153% dan 180,81%. Perlakuan memberikan pengaruh yang nyata terhadap efisiensi pakan (p<0.01). Perlakuan rasio C/N 0 berbeda nyata dengan perlakuan rasio C/N 5, 10 dan 15. Namun perlakuan rasio C/N 5, 10 dan 15 tidak berbeda nyata. Efisiensi pakan yang tertinggi dicapai pada rasio C/N 15, sedangkan efisiensi pakan yang terendah terdapat pada rasio C/N 0.

Dari hasil uji lanjut polinom ortogonal menunjukkan adanya hubungan linier antara rasio C/N dengan efisiensi pakan (Gambar 8), yang mengikuti persamaan y = 6,7065x + 86,696 (R2= 0,8538; p<0,01). Dengan demikian, setiap kenaikan rasio C/N sebesar satu satuan akan menaikkan efisiensi pakan sebesar 6,7065%, serta semakin tinggi rasio C/N maka semakin tinggi efisiensi pakan. Nilai koefisien determinasinya adalah 0,8538, artinya model dugaan dapat menjelaskan model yang sebenarnya sebesar 85,38%.

Gambar 8. Efisiensi pakan benih ikan patin selama 28 hari 180,81 153,7 139,8 73,67 y = 6,7065x + 86,696 R2 = 0,8538 0 50 100 150 200 0 5 10 15 Rasio C/N E fis ie n s i p akan ( % ) b a a a

4.1.6 Kualitas Air

Nilai parameter kualitas air pada masing-masing rasio C/N selama masa pemeliharaan mengalami fluktuasi (Lampiran 9 dan 10). Namun, secara umum perubahan tersebut masih berada pada batas toleransi untuk kehidupan benih ikan patin. Data kisaran kualitas air selama masa pemeliharaan disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Kisaran Kualitas air selama masa pemeliharaan Perlakuan Parameter

Rasio C/N 0 Rasio C/N 5 Rasio C/N 10 Rasio C/N15

DO (ppm) 4,54 - 5,38 3,68 - 5,87 4,54 - 5,57 3,92 - 5,60 pH 6,8 - 8,6 5,35 - 7,95 5,68 - 8,0 6,02 - 7,95 Amonia (ppm) 0,0010 - 0,0253 0,0010-0,0194 0,0010 - 0,0282 0,0010 - 0,0134 Suhu (°C) 27,8 – 28,4 27,6 – 28,5 27,7 – 28,5 27,7 – 28,4 Kekeruhan (NTU) 1,7 – 5,8 2,1 – 6,6 2,1 – 5,8 2,1 – 9,1

4.2 Pembahasan

Permasalahan yang sering terjadi pada sistem budidaya intensif yaitu terjadinya peningkatan buangan metabolik berupa nitrogen anorganik, terutama amonia dan nitrit. Peningkatan konsentrasi nitrogen anorganik ini dapat dikontrol oleh aktivitas suspensi mikroba dengan memanfaatkan kembali residu protein yang tidak dicerna oleh ikan. Aktivitas mikroba (bakteri heterotrof) pada kolam budidaya intensif dapat berlangsung secara optimal jika terdapat sediaan karbon yang cukup sehingga akan mempercepat penurunan konsentrasi nitrogen anorganik di dalam air. Dengan demikian penambahan molase sebagai sumber karbon penting untuk diterapkan karena merupakan cara yang praktis dan murah. Hal ini menurut Avnimelech (1999) dapat digunakan untuk mengurangi penumpukan atau mempercepat penurunan konsentrasi nitrogen anorganik di dalam air. Selain itu, hal yang menjadi dasar pemikiran dilakukannya penambahan karbon ke dalam sistem pemeliharaan, yaitu pakan yang biasanya digunakan adalah pakan yang kandungan proteinnya 40-50%, sehingga rasio C/N dapat menjadi rendah yaitu 2, sedangkan produksi bakteri bergantung pada ketersediaan karbon (Beristain, 2005).

Penambahan molase sebagai kontrol nitrogen anorganik dalam sistem perairan akuakultur dapat diatur melalui konsep rasio C/N. Konsep rasio C/N merupakan bioteknologi karena memanfaatkan kerja bakteri terutama bakteri heterotrof. Bioteknologi ini sangat cocok diterapkan, melihat kondisi sekarang yaitu persediaan air sebagai kebutuhan primer sangat terbatas sehingga pemanfaatannya harus dioptimalkan. Keterbatasan ini ditekan oleh adanya kompetisi penggunaan sumber daya, kegiatan pertanian, konsumsi domestik, industri, transport, rekreasi dan kegiatan perikanan. Menurut Welcomme (2001), dalam dunia akuakultur, kondisi ini menuntut untuk ditemukannya sistem treatment air agar kualitas air tetap bagus pada sistem budidaya yang intensif. Dengan demikian, konsep rasio C/N inilah yang menjadi jawaban untuk tuntutan permasalahan yang terjadi dalam dunia akuakultur.

Penambahan molase yang berpengaruh positif pada sistem pemeliharaan stagnan disebabkan oleh kerja bakteri heterotrof yang sebagian besar memanfaatkan karbon dari substrat molase dan nitrogen dari sisa buangan

metabolisme ikan dan residu pakan sebagai sumber energi untuk menyusun biomassa sel bakteri atau disebut SCP (Single Cell Protein). Mekanisme kerja bakteri heterotrof dalam mengurangi konsentrasi nitrogen anorganik yaitu terdapat pada Gambar 9.

Gambar 9. Kerja bakteri heterotrof pada sistem budidaya tanpa pergantian air dengan penambahan karbon

Mekanisme kerja bakteri pada Gambar 9 yaitu partikel pakan yang jumlahnya sekitar 1%, pakan yang tidak termakan sekitar 10% dan feses sekitar 70% merupakan sumber N yang berpotensi menghasilkan amonia yang tidak terionisasi terutama ketika terjadi perombakan secara anaerob. Senyawa amonia ini berpotensi toksik bagi ikan, sehingga perlu ditambahkan bakteri heterotrof ke dalam sistem pemeliharaan karena bakteri ini dapat mendegradasi amonia. Perkembangan bakteri heterotrof melalui manipulasi rasio C/N menggunakan molase sebagai sumber karbon dalam sistem pendederan ikan patin dapat mengurangi konsentrasi amonia. Penambahan molase dapat mempercepat asimilasi N dalam bentuk amonium oleh bakteri, akibatnya reaksi kesetimbangan amonia akan bergeser ke kanan (regenerasi amonium) sehingga nilai amonia dapat dipertahankan pada kondisi yang dapat ditoleransi ikan. Pengambilan karbon dan

NH3-N Partikel pakan < 1 % Feses 70 % Pakan tidak termakan < 10 % N Bakteri Heterotrof Tingkat degradasi cepat karena penambahan karbon Populasi heterotrof NH4+-N NO2--N NO3--N Tingkat oksidasi Tingkat pengambilan NH4+-N 43 % 15 % Proporsi NH4+ Populasi

Nitrosomonas sp. PopulasiNitrosococcus sp.

nitrogen oleh bakteri dari lingkungannya dimanfaatkan sebagai sumber energi untuk penyusunan protein tubuh atau SCP yang selanjutnya akan menjadi sumber protein yang bermanfaat bagi ikan. Mekanisme kerja bakteri ini akan menurunkan tingkat pergantian air, bahkan tanpa pergantian air selama masa pemeliharaan sehingga dapat menghemat biaya pemompaan air dan meminimalisir limbah buangan budidaya.

Dengan adanya penambahan karbon ke dalam media pemeliharaan, kerja bakteri menjadi optimal. Namun, terdapat perbedaan hasil dengan adanya penambahan dosis karbon yang berbeda-beda. Secara berturut-turut, efektivitas kerja bakteri heterotrof dimulai dari yang terbaik yaitu rasio C/N 15, 10, 5 dan 0. Semakin tinggi rasio C/N atau semakin tinggi jumlah molase yang diberikan maka kerja bakteri semakin efektif. Selain itu, dari jumlah molase yang diberikan pada dosis yang tertinggi dari hasil penelitian, ternyata masih diperoleh hubungan yang linier antara rasio C/N terhadap parameter laju pertumbuhan harian, pertumbuhan panjang baku, biomassa, efisiensi pakan dan produksi, sedangkan hubungan yang kuadratik tardapat pada parameter SR. Namun, kecenderungan ini masih kecil. Dengan demikian, rasio C/N masih perlu ditingkatkan lagi yaitu melalui penambahan jumlah molase dengan rasio C/N lebih dari 15. Rasio C/N sekitar 20 akan mempercepat proses dekomposisi (Chamberlain et al., 2001).

Derajat kelangsungan hidup pada rasio C/N 15,10 dan 5 masih tinggi yaitu berada pada kisaran 88 s/d 99%, sedangkan SR pada rasio C/N 0 sangat rendah, yaitu 47,35%. Hal ini disebabkan karena kandungan amonia yang tinggi pada minggu pertama dan kedua (Lampiran 9). Konsentrasi amonia menurun ketika minggu ketiga dan keempat. Penurunan konsentrasi amonia ini berlangsung lambat karena persediaan karbon di dalam air kurang sehingga bakteri tidak memperoleh energi yang cukup untuk menyusun protein tubuhnya. Walaupun kandungan amonia di minggu pertama pada rasio C/N 10 telah mencapai konsentrasi yang cukup tinggi yaitu 0,02 ppm, ikan masih dapat hidup dan tumbuh karena kondisi ini tidak berlangsung lama sebab penambahan karbon ke dalam air mempercepat degradasi NH3 dan NH4+. Hal ini dibuktikan dengan menurunnya konsentrasi amonia pada minggu kedua sehingga kondisi akumulasi amonia tidak berlangsung lama. Penurunan ini bisa terjadi dengan cepat yaitu

pada hari ke delapan karena penambahan karbon dilakukan setiap hari sehingga manajemen amonia masih berlangsung (Willet dan Catriona, 2007). Berdasarkan SNI SR benih ikan patin dan data lapangan pada Tabel 2, hasil penelitian menunjukkan bahwa SR pada rasio C/N 5, 10 dan 15 sesuai dengan SNI yang telah ditetapkan.

Penambahan molase ke dalam media pemeliharaan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan. Pertumbuhan panjang dan bobot terjadi pada keempat perlakuan yaitu rasio C/N 0, 5, 10 dan 15. Namun dari data yang ada, pertumbuhan yang tertinggi secara berturut-turut dicapai pada rasio C/N 15, 10, 5 dan 0. Hal ini disebabkan oleh jumlah karbon yang berbeda, semakin banyak jumlah molase yang ditambahkan ke dalam air, maka pertumbuhan panjang dan bobot semakin cepat. Pertumbuhan pada rasio C/N yang tertinggi lebih cepat karena semakin banyak jumlah karbon yang ditambahkan maka kerja bakteri semakin bagus sehingga bakteri dapat tumbuh dengan jumlah yang melimpah dan dengan kelimpahannya inilah, jumlah protein sel baru atau SCP yang berguna sebagai pakan alami ikan juga meningkat. Dengan melimpahnya jumlah pakan alami berupa SCP, maka ketersediaan energi yang diperoleh dari pakan juga meningkat.

Energi yang berasal dari pakan buatan dan alami (SCP) akan dipergunakan untuk kegiatan pemeliharaan hidup ikan (maintenance), untuk tumbuh dan berkembang. Pertumbuhan pada rasio C/N 0 lebih rendah dari rasio C/N 5, 10 dan 15 karena penggunaan energi yang diperoleh baik dari pakan buatan maupun alami terlebih dahulu digunakan untuk maintenance. Hal ini diakibatkan oleh menurunnya daya dukung lingkungan pada minggu pertama dan kedua selama dua puluh delapan hari pemeliharaan. Dengan meningkatnya pertumbuhan dari yang tertinggi secara berturut-turut pada rasio C/N 15, 10, 5 dan 0 maka akan diikuti dengan peningkatan parameter laju pertumbuhan harian dan biomassa. Apabila data pertumbuhan panjang (ukuran panen dalam satuan inci) pada rasio C/N 0, 5, 10 dan 15 disesuaikan dengan SNI ukuran panen benih ikan patin dan data lapangan pada Tabel 2, maka pertumbuhan panjang yang dicapai selama masa pemeliharaan sesuai dengan SNI yang telah ditetapkan. Artinya sistem pemeliharaan ikan pada kondisi yang stagnan tanpa pergantian air sama dengan

kondisi sistem pemeliharaan yang konvensional (sistem pemeliharaan dengan pergantian air).

Sistem budidaya yang stagnan dan tanpa pergantian air selama dua puluh delapan hari tidak menyebabkan produksi dan biomassa menurun, bahkan terus meningkat. Produksi dan biomassa yang meningkat dipengaruhi oleh parameter pertumbuhan bobot dan SR. Semakin tinggi tingkat pertumbuhan dan SR maka semakin tinggi pula produksi dan biomassa benih. Walaupun SR pada rasio C/N 15 lebih rendah daripada rasio C/N rasio 10 dan 5, tetapi angka produksi dan biomassa pada rasio C/N 15 tetap lebih tinggi daripada rasio C/N rasio 10 dan 5 karena parameter pertumbuhan yang lebih tinggi tersebut lebih berpengaruh pada penentuan produksi daripada parameter SR.

Data hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi pakan pada rasio C/N 5, 10 dan 15 lebih dari 100%. Data ini membuktikan bahwa bakteri heterotrof yang dimasukkan ke dalam air mampu bekerja secara optimal dengan adanya penambahan molase ke dalam air. Dengan sumber karbon yang jumlahnya memadai maka bakteri heterotrof mampu mengasimilasi sebagian besar karbon dan nitrogen anorganik menjadi protein mikroba yang berperan sebagai pakan alami benih ikan patin. Dengan tersedianya pakan alami, efisiensi pakan menjadi lebih tinggi.

Secara umum kondisi kualitas air yang meliputi parameter suhu, kandungan oksigen terlarut, pH, amonia dan kekeruhan masih berada pada kisaran normal selama masa pemeliharaan dan masih mendukung terjadinya pertumbuhan. Hal ini disebabkan karena kerja dari bakteri heterotrof yang berperan penting untuk menjaga keseimbangan kualitas air (Sugita et al., 1985). Kisaran temperatur atau suhu selama masa pemeliharaan yaitu pada rasio C/N 0, 5, 10 dan 15 rata-rata berada pada kisaran 27,6-28,5 0C (Lampiran 10). Kisaran ini merupakan kisaran yang dapat memacu pertumbuhan sesuai dengan pernyataan Hogendoorn et al. (1983) yaitu pada ikan kecil kisaran suhu untuk pertumbuhan yang optimal adalah 27,5 s/d 32,5 0C.

Oksigen terlarut adalah salah satu faktor pembatas dalam kegiatan pembenihan. Hal ini disebabkan oleh fase ikan pada tahap ini memiliki tingkat metabolisme dan kebutuhan yang tinggi sehingga konsentrasi oksigen terlarut

harus di atas 4 ppm. Konsentrasi oksigen selama masa pemeliharaan masih berada pada kisaran kelayakan untuk terjadinya pertumbuhan. Bahkan kandungan oksigen yang terendah pun masih mencapai 3,68 ppm yang terjadi pada minggu keempat masa pemeliharaan (Lampiran 9). Hal ini disebabkan oleh ukuran ikan yang semakin besar sehingga tingkat kebutuhan oksigen juga meningkat.

Nilai pH selama masa pemeliharaan pada rasio C/N 0, 5, 10 dan 15 masih berada pada kisaran yang optimum yaitu sekitar 6,95 s/d 7,95. Namun pada akhir masa pemeliharaan, pH menjadi rendah hingga mencapai pH 5, tetapi kondisi ini tidak berpengaruh pada lambatnya pertumbuhan karena penurunan pH hingga mencapai 5 bisa terjadi hanya pada hari ke 28 yaitu pada saat dilakukannya sampling yang terakhir.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin bertambahnya waktu pemeliharaan, maka biomassa ikan semakin meningkat, sehingga jumlah pakan yang diberikan juga meningkat. Peningkatan pemberian jumlah pakan akan berakibat pada peningkatan jumlah buangan metabolit benih ikan. Namun setelah hari ke-14 (Lampiran 10 lanjutan), peningkatan biomassa pada rasio C/N 5, 10 dan 15 tidak diikuti dengan peningkatan kandungan amonia. Hal ini disebabkan oleh adanya peranan bakteri heterotrof yang memanfaatkan nitrogen di air sebagai sumber energi untuk penyusunan SCP. Pemanfaatan nitrogen oleh bakteri pada rasio C/N 5, 10 dan 15 berlangsung optimal karena adanya penambahan molase sebagai sumber karbon, sedangkan pemanfaatan nitrogen pada rasio C/N 0 kurang optimal karena tidak adanya penambahan molase. Hal ini dapat dilihat dari lambatnya proses degradasi amonia yang terjadi setelah minggu kedua masa pemeliharaan, sedangkan degradasi amonia pada rasio C/N 5, 10 dan 15 terjadi setelah minggu pertama. Lambatnya proses degradasi amonia pada rasio C/N 0 menyebabkan derajat kelangsungan hidup sangat rendah yang hanya mencapai 47,33%. Dengan demikian degradasi amonia berlangsung lebih cepat dengan adanya penambahan molase ke dalam air.

Penambahan molase ke dalam air tidak menyebabkan kekeruhan menjadi tinggi. Pada umumnya, kekeruhan masih berada pada kisaran normal pada rasio C/N 0, 5, 10 dan 15 yaitu 1,7-9,1 NTU. Nilai kekeruhan tersebut masih kurang dari 20 NTU. Apabila kekeruhan mencapai 20 NTU, maka kekeruhan yang tinggi

ini dapat mengakibatkan terganggunya sistem osmoregulasi seperti pernapasan dan daya lihat organisme akuatik (Effendi, 2000). Apabila sistem osmoregulasi pada ikan terganggu, maka pembelanjaan energi lebih diutamakan untuk energi maintenance karena pemenuhan energi ini bersifat mutlak agar kelangsungan hidup ikan dapat dipertahankan. Kondisi ini akan berakibat pada berkurangnya budget energi untuk pertumbuhan sehingga pertumbuhan ikan akan terhambat (Affandi, 2002).

Data hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan molase pada sistem pemeliharaan yang stagnan berpengaruh nyata terhadap peningkatan parameter laju pertumbuhan harian, pertumbuhan panjang baku, biomassa, efisiensi pakan dan produksi. Walaupun parameter SR telah menurun pada perlakuan rasio C/N 10 dan 15, tetapi kecenderungan dari kurva kuadratik yang dibentuk masih kecil. Selain itu, data kualitas air menunjukkan bahwa kondisi físika kimia sistem pemeliharaan masih berada pada kisaran toleransi ikan untuk hidup dan tumbuh. Berdasarkan hasil tersebut, penambahan molase sebagai sumber karbon memberikan pengaruh yang positif pada sistem pemeliharaan yang stagnan sehingga dapat diterapkan pada kegiatan akuakultur.

Dokumen terkait