• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

A. Pre-eklampsia

III. Distribusi Penggunaan Kombinasi >2 Jenis Obat Antihipertensi

pada Pasien Pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit

Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2005 ... 55 IV. Distribusi Cara pemberian Obat Antihipertensi pada Pasien

Pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih

Yogyakarta Tahun 2005………... 56 V. Distribusi Lama Perawatan Pasien Pre-eklampsia di Instalasi

Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2005 ... 58 VI. Distribusi Interaksi Jenis Obat Antihipertensi dengan Obat

Antihipertensi Lainnya di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit

Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005 ... 59 VII. Distribusi Interaksi dan Sifat Interaksi Obat Antihipertensi

dengan Obat Antihipertensi Lainnya di Instalasi Rawat Inap

DAFTAR GAMBAR

Gambar halaman

1. Distribusi Umur Pasien Pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap

Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2005……… 38 2. Distribusi Usia Kehamilan Pasien Pre-eklampsia di Instalasi

Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2005 ... 39 3. Distribusi Paritas Pasien Pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap

Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2005 ... 40 4. Distribusi Macam Persalinan Pasien Pre-eklampsia di Instalasi

Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2005 ... 41 5. Distribusi Diagnosis Utama Pasien Pre-eklampsia di Instalasi

Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2005 ... 42 6. Distribusi Tekanan Darah Sistolik Pasien Pre-eklampsia di

Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta

Tahun 2005 ... 43 7. Distribusi Tekanan Darah Diastolik Pasien Pre-eklampsia di

Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta

Tahun 2005 ... 44 8. Distribusi Jenis Obat Antihipertensi yang Digunakan di

Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta

Tahun 2005 ... ... 46 9. Distribusi Golongan Obat Antihipertensi yang Digunakan di

Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta

Tahun 2005 ... 46 10.Distribusi Jumlah Penggunaan Obat Antihipertensi Secara

Tunggal maupun Kombinasi di Instalasi Rawat Inap Rumah

11.Distribusi Penggunaan Jenis Obat Antihipertensi Secara Tunggal di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih

Yogyakarta Tahun 2005... 52 12.Distribusi Penggunaan Kombinasi 2 Jenis Obat Antihipertensi di

Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran halaman

1. Standar Pelayanan Medik Rumah Sakit Panti Rapih

Yogyakarta……… ... 71 2. Data Umum Pasien Pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap

Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005... 72 3. Gejala, Tanda Fisik dan Data Laboratorium Pasien

Pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah sakit Panti Rapih

Yogyakarta tahun 2005... ... 74 4. Daftar Obat yang Digunakan oleh Pasien Pre-eklampsia di

Instalasi Rawat Inap Rumah sakit Panti rapih Yogyakarta tahun

2005... 77 5. Tingkatan evidence……… ... 90 6. Lembar Pengumpulan Data... 91

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Dalam pelayanan obstetri, selain Angka Kematian Maternal (AKM) terdapat Angka Kematian Perinatal (AKP) yang dapat digunakan sebagai parameter keberhasilan pelayanan. Namun, keberhasilan menurunkan AKM di negara-negara maju saat ini menganggap AKP merupakan parameter yang lebih baik dan lebih peka untuk menilai kualitas pelayanan kebidanan. Salah satu penyebab kematian perinatal adalah penyakit hipertensi dalam kehamilan (Sudhaberata, 2001).

Penyakit hipertensi dalam kehamilan (HDK) termasuk pre-eklampsia dan eklampsia sampai saat ini masih merupakan masalah dalam pelayanan obstetri di Indonesia. Walaupun sudah jauh menurun, angka morbiditas dan mortalitas maternal dan perinatal akibat pre-eklampsia dan eklampsia masih tinggi dan merupakan salah satu dari ketiga penyebab utama kematian ibu, di samping perdarahan dan infeksi (Armanza dan Karkata, 2005).

Pre-eklampsia ialah penyakit dengan tanda–tanda hipertensi, edema, dan proteinuria yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam trimester ke-3 kehamilan dan sering tidak diketahui atau tidak diperhatikan oleh wanita yang bersangkutan sehingga tanpa disadari dalam waktu singkat dapat timbul pre-eklampsia berat, bahkan eklampsia. Eklampsia adalah pre-eklampsia yang disertai dengan kejang (Wiknjosastro, 2002).

Di Indonesia pre-eklampsia masih merupakan sebab utama kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi dan penyebab kematian perinatal yang tinggi. Dari berbagai penelitian di Indonesia diketahui kematian ibu berkisar antara 9,8% -25,5% sedangkan kematian bayi di negara maju lebih kecil (Wiknjosastro, 2002). Menurut Zuspan dan Arulkumaran (cit., Sudhaberata, 2001), melaporkan angka kejadian pre-eklampsia di dunia sebesar 0-13%, di Singapura 0,13-6,6%, sedangkan di Indonesia 3,4-8,5%. Penelitian yang dilakukan oleh Soejoenoes (cit., Sudhaberata, 2001), di 12 RS Pendidikan di Indonesia, didapatkan kejadian pre-eklampsia–eklampsia 5,30% dengan kematian perinatal 10,83 perseribu (4,9 kali lebih besar dibandingkan dengan kehamilan normal). Penelitian yang dilakukan oleh Meizia dan Mose (cit., Armanza dan Karkata, 2005), jumlah kematian ibu di duabelas rumah sakit pendidikan di Indonesia antara tahun 1997–1980 berkisar 30-40% yang diakibatkan oleh pre-eklampsia. Menurut Dwijayasa (cit., Armanza dan Karkata, 2005) pada dekade 1990-an pre-eklampsia d1990-an eklampsia sudah merupak1990-an penyebab kemati1990-an maternal y1990-ang paling banyak yaitu sebesar 30%.

Pada pre-eklampsia–eklampsia juga didapatkan risiko persalinan prematur 2,67 kali lebih besar, persalinan buatan 4,39 kali lebih banyak, dan mempunyai kecenderungan lebih tinggi untuk mendapatkan bayi dengan berat badan lahir rendah (Sudhaberata, 2001).

Tingginya kematian ibu dan anak di negara–negara berkembang disebabkan oleh kurang sempurnanya pengawasan antenatal dan natal, penderita–penderita eklampsia sering terlambat mendapat pengobatan yang tepat. Oleh karena itu diagnosis dini pre-eklampsia, yang merupakan tingkat pendahuluan eklampsia serta

penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak (Wiknjosastro, 2002).

Salah satu upaya untuk menurunkan AKP akibat pre-eklampsia–eklampsia adalah dengan menurunkan angka kejadian pre-eklampsia–eklampsia. Angka kejadian dapat diturunkan melalui upaya pencegahan, pengamatan dini, dan terapi (Sudhaberata, 2001).

Pada dasarnya penanganan pre-eklampsia terdiri atas terapi medik dan penanganan obstetrik. Penanganan obstetrik ditujukan untuk melahirkan bayi pada saat yang optimal. Terapi medik hanya dapat dilakukan secara simptomatis karena etiologi pre-eklampsia belum diketahui. Salah satu terapi medik pada pre-eklampsia adalah obat antihipertensi. Penanganan pre-eklampsia ringan dapat dilakukan dengan beristirahat yang cukup dan mengurangi konsumsi garam. Penanganan pasien dengan tanda-tanda dan gejala-gejala pre-eklampsia berat segera harus diberi sedatif yang kuat untuk mencegah timbulnya kejang (Wiknjosastro, 2002).

Penanganan eklampsia dilakukan di rumah sakit, terutama untuk pre-eklampsia berat. Salah satu rumah sakit terbesar di Yogyakarta adalah Rumah Sakit Panti Rapih. Rumah Sakit Panti Rapih adalah Rumah Sakit Swasta Katolik di Daerah Istimewa Yogyakarta yang didirikan pada tanggal 14 September 1929 dengan tujuan dapat melayani masyarakat umum termasuk mereka yang kekurangan. Rumah Sakit Panti Rapih adalah Rumah Sakit swasta tipe madya dan memiliki 316 tempat tidur serta memberikan pelayanan kepada pasien selama 24 jam (Anonim, 1993).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat disusun perumusan masalahnya sebagai berikut di bawah ini.

1. Seperti apakah karakteristik pasien pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005?

2. Jenis dan golongan obat antihipertensi apakah yang diberikan pada setiap pasien pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005 ?

3. Berapa jumlah obat antihipertensi yang diberikan secara tunggal maupun kombinasi pada setiap pasien pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005 ?

4. Dengan cara pemberian apakah obat antihipertensi diberikan pada pasien pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005 ?

5. Berapa lama perawatan yang dijalani oleh setiap pasien pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005 ?

6. Apakah terdapat potensial interaksi antara obat antihipertensi dengan obat antihipertensi lainnya yang diberikan pada pasien pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005 ?

C. Keaslian Penelitian

Penelitian serupa pernah dilakukan oleh Juwita (2004), yaitu tentang pola peresepan pasien hipertensi gestasional di Bangsal Rawat Inap Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit DR.Sardjito Yogyakarta tahun 2002. Penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu dalam hal objek pengamatan, lokasi pengamatan, dan waktu pengamatan. Selain itu, penelitian ini hanya mengamati obat antihipertensi yang digunakan pada pasien pre-eklampsia (tidak mengamati seluruh obat yang digunakan oleh pasien pre-eklampsia). Pada penelitian ini peneliti menggunakan instalasi rawat inap di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005 dan yang diteliti sebagai objek lebih spesifik yaitu kasus pre-eklampsia.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Dapat digunakan sebagai informasi untuk mengembangkan konsep pelayanan farmasi di rumah sakit.

2. Manfaat praktis

a. dapat dijadikan evaluasi untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan melalui penggunaan obat secara rasional khususnya untuk kasus pre-eklampsia

b. dapat dijadikan referensi untuk penyusunan standar terapi di suatu rumah sakit atau pelayanan kesehatan yang lain khususnya untuk kasus pre-eklampsia

E. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui profil peresepan obat antihipertensi pada pasien pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta.

2. Tujuan Khusus

Penelitian ini bertujuan khusus untuk mengetahui:

a. karakteristik pasien pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005.

b. jenis dan golongan obat antihipertensi yang digunakan pada pasien pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005.

c. jumlah obat antihipertensi yang diberikan secara tunggal maupun kombinasi pada pasien pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005.

d. cara pemberian obat antihipertensi pada pasien pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005.

e. lama perawatan pasien pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005

f. potensial interaksi antara obat antihipertensi dengan obat antihipertensi lainnya yang diberikan pada pasien pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Pre-eklampsia 1. Definisi

Pre-eklampsia ialah penyakit dengan tanda–tanda hipertensi, edema, dan proteinuria yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam trimester ke-3 kehamilan, tetapi dapat terjadi sebelumnya, misalnya pada mola hidatidosa (Winknjosastro, 2002).

Pre-eklampsia adalah penyakit pada wanita hamil yang secara langsung disebabkan oleh kehamilan. Definisi pre-seklampsia adalah hipertensi disertai proteinuria dan edema akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Gejala ini dapat timbul sebelum 20 minggu bila terjadi penyakit trofoblastik (Manuaba, 2001).

Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu daripada tanda-tanda lain. Untuk menegakkan diagnosis pre-eklampsia, penentuan tekanan darah dilakukan minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam pada keadaan istirahat (Winknjosastro, 2002).

The National High Blood Pressure Education Program Working Group on

High Blood Pressure in Pregnancy mengelompokkan hipertensi dalam kehamilan menjadi 4 kelompok sebagai berikut.

a. Pre-eklampsia. Diagnosis pre-eklampsia ditetapkan bila tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg yang muncul pada wanita hamil setelah minggu ke–20 yang mana sebelum minggu ke–20, tekanan darah wanita hamil normal. Adanya protein pada urin sebesar

≥30mg/dl atau hasil test dipstik +1.

b. Hipertensi kronik. Diagnosis hipertensi kronik ditetapkan bila tekanan darah

≥ 140/90 mmHg sebelum minggu ke–20 atau jika pengukuran setelah minggu ke–20 tekanan darah tetap >140/90 mmHg sampai 12 minggu setelah melahirkan.

c. Superimpose pre-eklampsia dengan hipertensi kronis didefinisikan sebagai hipertensi kronis pada wanita hamil yang kemudian berkembang menjadi pre-eklampsia dengan adanya protein urin, trombositopenia, atau peningkatan enzim hati.

d. Hipertensi gestasional adalah hipertensi pada kehamilan yang tidak disertai dengan tanda- tanda pre-eklampsia seperti adanya protein urin (Gifford dkk, 2000).

Pre-eklampsia dan eklampsia hampir secara ekslusif merupakan penyakit pada primipara. Biasanya terdapat pada wanita masa subur dengan umur ekstrim, yaitu pada remaja belasan tahun atau pada wanita yang berumur lebih dari 35 tahun. Pada multipara, penyakit ini biasanya dijumpai pada keadaan-keadaan berikut:

a. kehamilan multifetal dan hidrops fetalis

b. penyakit vaskuler, termasuk hipertensi essensial kronis dan diabetes mellitus c. penyakit ginjal (Manuaba, 2001).

2. Etiologi

Apa yang menjadi penyebab pre-eklampsia sampai sekarang ini belum diketahui dengan pasti. Penyebab pre-eklampsia rupanya tidak hanya satu faktor, melainkan banyak faktor yang menyebabkan pre-eklampsia (Winknjosastro, 2002).

3. Patogenesis

Walaupun apa yang menjadi penyebab pre-eklampsia sampai sekarang belum diketahui. Telah terdapat banyak teori yang mencoba menerangkan patogenesis penyakit tersebut. Adapun teori–teori tersebut antara lain :

a. teori genetik, menyebutkan bahwa hipertensi dalam kehamilan ada kemungkinan diturunkan, khususnya pada kehamilan pertama. Tingkat kejadian pre-eklampsia pada anak perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan menantu wanita (Manuaba, 2001).

b. teori imunologik, menyebutkan bahwa janin adalah ”benda asing”. Pada kehamilan normal terdapat human leukocyte antigen (HLA). HLA G terdapat pada jaringan plasenta pada kehamilan normal. HLA G mempunyai peran dalam merangsang respon imun terhadap ”benda asing” yang terdapat di plasenta. Pada pre-eklampsia memiliki HLA G yang lebih sedikit atau memiliki protein HLA G yang berbeda sehingga terjadi gangguan adaptasi terhadap ”benda asing” dalam hal ini janin (Grifford, 2000).

c. teori ischemia regio uteroplasenter menyebutkan invasi sel trofoblas dapat menimbulkan dilatasi pembuluh darah pada kehamilan normal, sehingga dapat memenuhi kebutuhan nutrisi dan oksigen serta plasenta dapat berfungsi dengan normal. Pada kasus pre-eklampsia, invasi sel trofoblas hanya terjadi pada sebagian arteri spiralis di daerah endometrium-desidua, yang mengakibatkan terjadinya gangguan fungsi plasenta karena sebagian besar arteri spiralis miometrium tetap dalam keadaan konstriksi sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan darah plasenta untuk nutrisi dan oksigen.

Akibat labilnya distribusi oksigen ke plasenta, maka akan menghasilkan radikal bebas dan menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah. Kerusakan endotel akan mengakibatkan terjadi agregasi dan adhesi trombosit di tempat kerusakan pembuluh darah. Timbunan agregasi dan adhesi trombosit disekitar pembuluh darah yang rusak mengakibatkan kerusakan dan lisis dari trombosit, dan akhirnya berakibat menurunnya jumlah trombosit sehingga memudahkan terjadi perdarahan (Manuaba, 2001).

d. teori radikal bebas. Teori ini menjelaskan jika oksigen labil distribusinya akan menimbulkan produk metabolisme samping yaitu radikal bebas, dengan ciri terdapat “elektron bebas”. Elektron bebas ini akan mencari pasangan dengan merusak jaringan, khususnya endotel pembuluh darah. Antiradikal bebas yang dapat dipakai untuk menghalangi kerusakan membran sel sebagai anti aksi adalah vitamin C dan Vitamin E. kerusakan dari membran sel akan merusak dan membunuh sel endotel (Manuaba, 2001).

e. teori kerusakan endotel

Fungsi endotel sendiri adalah melancarkan sirkulasi darah sehingga terdapat aliran nutrisi dan pembuangan hasil metabolisme dapat berjalan baik, melindungi pembuluh darah agar tidak terjadi timbunan trombosit, serta menghindari pengaruh vasokonstriktor. Adapun kerusakan sel endotel menyebabkan fungsi sel endotel sendiri menurun sampai hilang, terjadi timbunan trombosit pada lumen pembuluh darah sehingga aliran darah terganggu karena lumen sempit, meningkatnya permeabilitas membran dan terjadi ekstravasasi cairan darah yang menyebabkan edema. Kerusakan sel

endotel akan menimbulkan gangguan relaksasi pembuluh darah. Kerusakan endotel menyebabkan gangguan produksi prostaglandin total, terjadi gangguan keseimbangan produksi dengan lebih banyak tromboksan, yang merupakan vasokontriksi pembuluh darah yang poten sehingga hipoksia plasenta makin bertambah. Kerusakan khas dari endotel pembuluh darah, terutama pada ginjal menimbulkan glomerular endotheliosis yang menyebabkan proteinuria (Manuaba, 2001).

f. teori trombosit, menyebutkan pada kejadian pre-eklampsia terjadi ketidakseimbangan pada produksi derivat prostaglandin. Derivat prostaglandin yang terganggu adalah protasiklin (PGI2) yang dapat menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah serta menghalangi agregasi dan adhesi trombosit pada endotel pembuluh darah, derivat prostaglandin yang lain yang juga terganggu adalah tromboksan A2 yang bekerja sebaliknya, yaitu menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah dan menyebabkan agregasi dan adhesi trombosit pada endotel pembuluh darah yang rusak. Kerusakan trombosit meningkatkan pengeluran tromboksan sehingga tromboksan dibandingkan prostasiklin yaitu 7:1 (Manuaba, 2001). Akibat tingginya pengeluaran tromboksan, berakibat terjadinya vasokontriksi pembuluh darah yang menyebabkan tekanan darah meningkat (Manuaba, 2001).

g. teori diet ibu hamil

Kebutuhan kalsium ibu hamil cukup tinggi. Kebutuhan untuk pembentukan tulang dan organ lain dari janin sekitar 2-2,5 gram/hari, jumlah tersebut juga

diperlukan untuk mempertahankan agar konsentrasi dalam darah menjadi konstan. Bila terjadi kekurangan kalsium, maka kalsium ibu hamil akan dikuras untuk memenuhi kebutuhan sehingga terjadi pengeluaran kalsium dari jaringan otot. Manifestasi yang terjadi akibat kalsium keluar dari otot jantung adalah melemahnya kontraksi otot jantung dan menurunkan stroke volume, sehingga aliran darah akan menurun dan seterusnya mengakibatkan ischemia regio uteroplasenter, selain itu keluarnya kalsium dari otot pembuluh darah akan menimbulkan kompensasi terjadinya vasokontriksi pembuluh darah akibatnya tekanan darah meningkat dan terjadi hipertensi (Manuaba, 2001).

Dalam standar pendidikan obstetri dan ginekologi tersurat teori yang dianut yaitu teori ischemia regio uteroplasenter dengan dukungan teori yang lainnya (Manuaba, 2001).

4. Manifestasi klinik

Biasanya tanda–tanda pre-eklampsia timbul dalam urutan : pertambahan berat badan yang berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan akhirnya proteinuria. Pada pre-eklampsia ringan tidak ditemukan gejala–gejala subjektif. Pada pre-pre-eklampsia berat didapatkan sakit kepala di daerah frontal, skotoma, diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrum, mual atau muntah. Gejala–gejala ini sering dikemukakan pada pre-eklampsia yang meningkat dan merupakan petunjuk bahwa eklampsia akan timbul. Tekanan darah pun meningkat lebih tinggi, edema menjadi lebih umum, dan proteinuria bertambah banyak (Wiknjosastro, 2002).

5. Diagnosis

Pada umumnya diagnosis pre-eklampsia didasarkan atas adanya dua dari tiga tanda utama yaitu hipertensi, edema, dan proteinuria. Penambahan berat badan yang berlebihan bila terjadi kenaikan 1 kg seminggu beberapa kali. Edema terlihat sebagai peningkatan berat badan, pembengkakan kaki, jari, tangan, dan muka. Tekanan darah

≥140/90mmHg yang diukur setelah pasien beristirahat (Mansjoer dkk, 1999).

Dahulu, kenaikan tekanan darah sistolik sebesar >30mmHg atau tekanan diastolik meningkat >15mmHg walaupun nilai absolut tekanan darahnya dibawah 140/90 mmHg merupakan salah satu kriteria diagnosis pre-eklampsia, tetapi menurut

The National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in Pregnancy, hal ini tidak lagi merupakan salah satu kriteria diagnosis, karena bukti klinis yang ada menunjukkan bahwa pasien pada kategori ini tidak mengalami perburukan keadaan. Namun, penilaian para praktisi klinik menyatakan bahwa pasien yang mengalami peningkatan tekanan darah sistolik sebesar >30mmHg atau tekanan diastolik meningkat >15mmHg perlu pengawasan yang ketat, khususnya jika terdapat protein urin dan nilai asam urat sama dengan atau lebih besar dari 6mg/dl (Grifford, 2000).

Tekanan diastolik pada trimester kedua yang lebih dari 85mmHg patut dicurigai sebagai bakat pre-eklampsia. Proteinuria bila terdapat protein sebanyak 0,3g/L dalam air kencing 24 jam atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan +1 atau 2, atau kadar protein ≥1g/L dalam urin yang dikeluarkan dengan kateter atau urin porsi tengah, diambil minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam (Mansjoer dkk, 1999).

Menurut Sudhaberata (2001), eklampsia dibagi menjadi 2 yaitu, pre-eklampsia ringan dan pre-pre-eklampsia berat. Kriteria diagnosis pre-pre-eklampsia ringan sebagai berikut ini.

a. Tekanan darah ≥140mmHg/90mmHg

b. Edema tungkai, lengan atau wajah, atau kenaikan berat badan 1 kg/minggu. c. Proteinuria 0,3g/24 jam atau plus 1-2.

d. Oliguria.

Kriteria diagnosis pre-eklampsia berat yaitu apabila pada kehamilan lebih 20 minggu didapatkan satu atau lebih tanda berikut ini.

a. Tekanan darah >160/110mmHg diukur dalam keadaan relaks dan tidak dalam keadaan his.

b. Proteinuria >5g/24 jam atau +4 pada pemeriksaan kualitatif. c. Oliguria : urine <500 ml/24 jam disertai kenaikan kreatinin plasma d. Gangguan visus dan serebral

e. Nyeri epigastrium/hipokondrium kanan. f. Edema paru dan sianosis.

g. Gangguan pertumbuhan janin intrauterin.

h. Adanya sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver enzyme, Low platelet Count).

6. Pencegahan

Walaupun timbulnya pre-eklampsia tidak dapat dicegah sepenuhnya, namun frekuensinya dapat dikurangi dengan pemberian informasi dan pelaksanaan pengawasan yang baik pada wanita hamil. Informasi yang diberikan tentang manfaat

istirahat, diet tinggi protein dan rendah lemak, karbohidrat, garam, dan pertambahan berat badan yang tidak berlebihan (Wiknjosastro, 2002).

Belum ada kesepakatan dalam strategi pencegahan pre-eklampsia. Beberapa penelitian menunjukkan pendekatan nutrisi (diet rendah garam, diet tinggi protein, suplemen kalsium, magnesium, dan lain-lain) atau medikamentosa (teofilin, antihipertensi, aspirin, diuretik, dan lain-lain) dapat mengurangi kemungkinan timbulnya pre-eklampsia (Mansjoer dkk, 1999).

7. Strategi Terapi

Pengobatan hanya dapat dilakukan secara simptomatis karena etiologi pre-eklampsia dan faktor-faktor yang menyebabkan belum diketahui. Tujuan utama penanganan ialah untuk mencegah terjadinya pre-eklampsia berat dan eklampsia, melahirkan janin hidup, dan melahirkan janin dengan trauma sekecil–kecilnya (Wiknjosastro, 2002).

Pada dasarnya penanganan pre-eklampsia terdiri atas pengobatan medisinal dan penanganan obstetrik. Penanganan obstetrik ditujukan untuk melahirkan bayi pada saat yang optimal, yaitu sebelum janin mati dalam kandungan, akan tetapi sudah cukup matur untuk hidup diluar uterus (Wiknjosastro, 2002).

Penanganan pre-eklampsia dibagi menjadi 2 bagian yaitu perawatan aktif dan perawatan konservatif. Perawatan aktif terbagi pengobatan medisinal dan pengobatan obstetrik.

a. Terapi medisinal meliputi :

1). segera rawat di ruangan yang terang dan tenang, terpasang infus dekstrosa atau ringer laktat dari IGD.

2). total bed rest dalam posisi lateral decubitus.

3). diet cukup protein, rendah karbohidrat-lemak dan garam. 4). antasida.

5). anti kejang:

a). magnesium sulfat (MgSO4)

Syarat: tersedia antidotum kalsium glukonat 10% (1 ampul secara i.v dalam 3 menit), reflek patella positif kuat, kecepatan nafas >16 kali/menit, tanda distress

Dokumen terkait